Mengapa hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan kekuasaan lain dalam memutuskan perkara brainly

(Judges can not pass judgment on people better than god)
Oleh : Hj. St. Zubaidah, S.Ag.,S.H.,M.H. (Wakil Keyua PA Negara)

Kebebasan Hakim merupakan salah satu prinsip penting dalam konsep negara hukum diatur dalam keputusan simposium Universitas Indonesia tentang konsep negara hukum tahun 1966, disebutkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu ciri khas negara hukum. Dalam pasal 1 ayat (3) Perubahan ketiga UUD 1945 karena negara Indonesia adalah negara hukum menurut menurut Budiardjo, salah satu ciri-ciri adanya prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan dijamin secara konstitusional.

Lebih lanjut Seno Adji menyebutkan ada tiga ciri khusus konsepsi negara hukum yaitu:

  1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi di bidang politik, hokum, social, ekonomi, budayadan pendidikan.
  2. Legalitas dalam arti hukum dalam sejarah.
    Tidak bersifat memihak, bebas dari segala pengaruh kekuasaan lain

Dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka diwajibkan kepada hakim untuk selalu menjaga kemandirian peradilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya (pasal 3 ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan kemandirian Hakim adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan baik fisik maupun psikis. Kebebasan Hakim dalam pelaksanaan tugas peradilan Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan apapun, bahkan ketua hakim pengadilan yang lebih tinggi, tidak berhak untuk ikut campur dalam soal peradilan yang dilaksanakannya.

Pasal 39 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman, menyatakan Mahkamah Agung merupakan pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan di bawahnya, tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Kebebasan Hakim merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan karena pada dasarnya tujuan dari kebebasan Hakim adalah mengadili dan memutus perkara dengan sebaik-baiknya,
memberikan keputusan yang berdasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran.

Dalam konferensi internasional commission of jurist di Bangkok pada tahun 1965, disebutkan ada 6 syarat sebagai dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah rule of Law yaitu:

  1. Perlindungan konstitusional.
  2. Peradilan atau badan-badan bebas dan tidak memihak.
  3. Pemilihan umum yang bebas.
  4. Kkebebasan menyatakan pendapat.
  5. Kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.
  6. Pendidikan Kewarganegaraan.

Hakikat independensi kekuasaan kehakiman itu tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak terbatas atau tanpa batas kecuali kekuasaan Tuhan yang maha kuasa di dunia ini maupun di akhirat. Kekuasaan kehakiman yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu sehingga dalam konferensi internasional commision of jurist dikatakan bahwa "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner".

Kebebasan Hakim merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan kehakiman tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral, etika, transparansi, pengawasan, profesionalisme dan imparsialitas. Terkadang independensi dan kebebasan Hakim tidak luput dari pengaruh-pengaruh direktif yang berasal dari antara lain lembaga internal dalam kekuasaan kehakiman itu sendiri sendiri, lembaga di luar lembaga peradilan baik eksekutif, legislatif maupun lembaga yang lain, dan pengaruh tekanan masyarakat baik nasional maupun internasional.

Konsep kebebasan peradilan tersebut diperoleh pemahaman bahwa kebebasan peradilan (independent judiciary) harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judisial accountability). Konsep inilah yang melahirkan konsep pertanggungjawaban peradilan (judisial accountability) termasuk didalamnya integrity dan transparansi yang dibangun di atas prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggung jawab hukum (legal responsibility) dan tanggung jawab kemasyarakatan (social responsibility).

Kebebasan tidak berdiri sendiri tetapi dikaitkan dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran aku akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada manusia, kepada bangsa dan negara, sehingga meskipun bebas, tetapi tidak sampai melanggar norma-norma hukum, dan juga hak dan tanggung jawab selaku warga negara.

Jika kita lihat makna kebebasan yang terkandung dalam Pancasila merupakan kebebasan yang diwarnai dan dijiwai oleh nilai-nilai dalam bangsa Indonesia yang telah berakar dalam kepribadian bangsa, kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial. Konsep kebebasan dalam Pancasila lebih mengutamakan kewajiban sosial daripada penuntutan hak pribadi, lebih mengutamakan memadukan pendapat dengan jalan musyawarah daripada menekankan pendapat sendiri terhadap pihak lain, dan mengutamakan nilai-nilai ketuhanan.

Kebebasan yang berdimensi Pancasila tersebut juga tercermin dalam tindakan Hakim dalam menemukan kebenaran materiil. Pondasi kebebasan tersebut termasuk termaktub dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum selanjutnya dalam pasal 24 undang-undang 1945 yang memuat prinsip jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kebebasan inilah yang akan menuntun Hakim dalam membuat keputusan secara mandiri tidak terikat dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun sesuai dengan keyakinan nuraninya yang mencerminkan kebenaran dan keadilan bagi masyarakat.

baca artikel selengkapnya

Kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk mengambil suatu kebijaksanaan dalam memutus perkara, diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan : �Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat�.�

Berdasarkan aturan hukum tersebut, terdapat norma hukum �mewajibkan Hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Untuk memenuhi norma tersebut, maka Hakim harus mengambil kebijaksanaan hukum�. Penentuan atas tuntutan rasa keadilan yang harus diterapkan oleh Hakim dalam memutus suatu perkara, secara teori para Hakim akan melihat �Konsep-konsep keadilan yang telah baku�. Konsep keadilan tersebut sepanjang sejarah telah banyak macamnya, sejak zaman Yunani Kuno dan Romawi keadilan dianggap sebagai salah satu dari kebajikan utama (cardinal virtue). Dalam konsep ini keadilan merupakan kewajiban moral yang mengikat para anggota masyarakat dalam hubungannya yang satu terhadap yang lainnya. Konsep keadilan sebagai suatu kebajikan tertentu berasal dari filusuf Yunani Kuno, yaitu Plato (427-347 sebelum Masehi) yang dalam bukunya Republic (terjemahan bahasa Inggris, Book IV, Section 12) mengemukakan adanya 4 kebajikan pokok dari konsep keadilan, yakni kearifan (wisdom), ketabahan (courage), pengendalian diri (discipline) dan keadilan (justice).�

Sebagian filusuf lainnya ada yang menganggap keadilan bukan sebagai salah satu kebajikan, karena ada kebajikan-kebajikan khusus lainnya seperti misalnya kejujuran, kesetiaan dan kedermawanan. Kebajikan tersebut mencakup seluruhnya (all-embracing virtue), dalam pengertian ini keadilan lalu mendekati pengertian kebenaran dan kebaikan (righteousness).�

Berhubungan erat dengan pengertian tersebut di atas konsepsi tentang keadilan sebagai unsur ideal, suatu cita atau sebuah ide yang terdapat dalam hukum. Dalam pengertian ini keadilan sering diartikan terlampau luas sehingga tampak berbaur dengan seluruh isi dari moralitas.�

Dalam bidang hukum pada umumnya keadilan dipandang sebagai tujuan akhir (end) yang harus dicapai dalam hubungan-hubungan hukum antara perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang berdaulat serta perseorangan dengan masyarakat lainnya. Tujuan mencapai keadilan itu melahirkan konsep keadilan sebagai hasil (result) atau keputusan (decision) yang diperoleh dari penerapan atau pelaksanaan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum. Pengertian keadilan ini dapat disebut keadilan prosedural (�Procedural justice�) dan konsep inilah yang dilambangkan dengan dewi keadilan, pedang, timbangan dan penutup mata untuk menjamin pertimbangan yang tak memihak dan tak memandang orang. Sejalan dengan ini pengertian keadilan sebagai suatu asas (principle). Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa memperhatikan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.�

Ciri atau sifat konsep keadilan dapat diikhtisarkan maknanya sebagai berikut : adil (just), bersifat hukum (legal), sah menurut hukum (lawful), tak memihak (impartial), sama hak (equal), layak (fair), wajar secara moral (equitable), benar secara moral (righteous). Dari perincian tersebut ternyata bahwa pengertian konsep keadilan mempunyai makna ganda yang perbedaannya satu dengan yang lain samar-samar atau kecil sekali. Dalam setiap pengambilan kebijaksanaan oleh Hakim, maka Hakim selalu berlindung kepada Upaya Hukum yaitu Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, artinya apabila Hakim Tingkat Pertama mengambil kebijaksanaan dalam memutus perkara tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang harus dipatuhi, maka solusinya dipersilahkan naik banding untuk diuji kebijaksanaan tersebut, demikian pula kebijaksanaan hukum yang diambil oleh Hakim Tingkat banding apabila melanggar standard suatu norma hukum, pengujiannya melalui Kasasi Mahkamah Agung RI dan seterusnya sampai pengujian di Peninjauan Kembali, oleh karena itu diperlukan norma hukum sebagai standard bagi para Hakim dalam hal pengambilan suatu kebijaksanaan hukum untuk memutus perkara.�

Sampai saat ini pengawasan terhadap pengambilan kebijaksanaan oleh para Hakim dalam memutus perkara belumlah begitu efektif untuk diterapkan. Hal ini terbukti belum adanya para Hakim yang diproses secara pidana karena melanggar standard norma yang harus dipatuhi oleh para Hakim dalam hal pengambilan suatu kebijaksanaan hukum untuk memutus perkara. Dengan demikian penegakan hukum terhadap tindakan Hakim dalam pengambilan suatu kebijaksanaan hukum mutlak diperlukan, baik penegakaan hukum administrasi maupun penegakan hukum pidana terhadap para Hakim yang melanggar standard norma hukum yang telah ditetapkan.�

Sebagai ilustrasi contoh kasus seorang Hakim yang bernama Ronald Hassong, SH babak belur, bibir pecah dan beberapa gigi retak setelah memutus perkara di Pengadilan Negeri Ende dalam kasus pencabulan. Ini menandakan kebijaksanaan yang diambil oleh Hakim dalam kasus tersebut di atas tidak memenuhi standard keadilan, oleh karena itu diperlukan standard norma hukum sebagai pegangan bagi para Hakim untuk dipedomani dalam memutus perkara dan standard norma hukum tersebut diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga kebijaksanaan yang diambil oleh Hakim dapat diuji secara hukum.�

Ilustrasi contoh kasus tersebut di atas sebenarnya merupakan Contempt of Court sekalipun konteksnya adalah suatu bentuk protes terhadap ketidak adilan, penyebab utamanya adalah belum adanya standard norma hukum yang harus dipedomani oleh para Hakim dalam pengambilan kebijaksanaan untuk memutus perkara. �Untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggara Peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan Peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court�.�

Dalam Black Laws dictionary dijelaskan bahwa : �Contempt of Court is any act which is calculated to embarrass, hinder or obstruct court in administration of justice or which is calculated to lessen its authority or dignity or tending to impede or frustrate the administration of justice or by one who being under the court`s authority as a party to a proceeding therein, willfull disobeyes its lawfull order or fail to comply with an undertaking which he has give�.�

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hakim dalam memutus perkara selalu dihadapkan pada persoalan keadilan, artinya Hakim selalu dituntut berlaku adil dalam memutuskan suatu perkara yang dihadapinya. Persoalan yang dihadapi Hakim untuk menuju suatu keadilan adalah menghadapi suatu kasus yang dilatar belakangi oleh perbedaan latar belakang, motivasi terjadinya suatu kasus dan lain-lain sekalipun persoalan hukum dari beberapa kasus yang sama. Oleh karena itu untuk menuju suatu keadilan tersebut diperlukan standard norma hukum sebagai patokan bagi para Hakim dalam memutus perkara, sehingga tidak terjadi lagi adanya Contempt of Court.