Mengapa bulan ramadhan disebut sebagai syahrul qur'an

BULAN ramadhan adalah bulan istimewa bagi umat islam. Bulan ini adaalah bulan mulia, dimana setiap muslim sangat menantikan bulan suci ini.

Secara bahasa, Ramadhan berasal dari kata ramdha, yarmadhu, yang berarti ‘panas yang terik’ atau ‘panas yang membakar’. Secara maknawiyah, kita bisa menghayati Ramadhan sebagai bulan yang dapat membakar dan melebur segala dosa orang-orang yang berpuasa.

Selain pengertian bahasa dan istilah tersebut, Ramadhan mempunyai sejumlah nama lain yang diambil dari Al-Qur’an dan As Sunnah, maupun diambil dari makna hakikinya.

Berikut ini sepuluh nama bulan ramadhan yang ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah:

1. Syahrul ‘ibadah (Bulan Ibadah).

Bulan ramadhan dinamakan bulan ibadah karena kuantitas ibadah umat Islam pada bulan Ramdhan berlipat kali banyaknya dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.

Hal ini disampaikan oleh Rasulullah SAW:

“Dari Salman Al-Farisi ra. berkata : Rasulullah saw. memberi khutbah kepada kami di hari akhir dari bulan Sya’ban dan bersabda : “Hai sekalian manusia akan datang bulan yang agung (Ramadhan) yaitu bulan yang penuh berkah di dalamnya. Dalam bulan itu ada malam yang mulia (lailatul qadr)yang lebih utama dari pada seribu bulan. Allah telah mewajibkan puasa di bulan itu, dan shalat tarawih di malamnya sebagai ibadah sunah. Barang siapa yang melakukan kebaikan (ibadah sunah) di bulan itu pahalanya seperti melakukan ibadah wajib dibanding bulan yang lainnya. Dan barang siapa melakukan kewajiban di dalamnya, maka pahalanya seperti melakukan 70 kewajiban dibanding bulan lainnya. Bulan Ramadhan adalah bulan ditambahnya rizki orang mukmin, bulan di awalnya menjadi rahmat, di tengahnya menjadi ampunan dan di akhirnya merupakan kebebasan dari neraka,” (HR. Ibnu Huzaimah)”

2. Syahrul Qur’an (Bulan Al-Qur’an)

Disebut demikian karena Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan. Hal itu seperti tercantum dalam Firman Allah berikut ini:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,” (QS. Al Baqarah [2] : 185).

3. Syahrul Rahmah (Bulan Penuh Rahmat)

Pada bulan ini Allah menurunkan banyak Rahmat. Siapa yang tidak mendapat rahmat pada bulan Ramadhan maka orang itu termasuk orang yang celaka.

Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

“Telah datang kepadamu bulan Ramdahan, bulan yang penuh berkah, Allah meliputi kalian di dalam bulan tersebut, rahmat diturunkan, dosa-dosa dihapuskan dan do’a-do’a dikabulakan. Allah akan melihat kalian semua berlomba-lomba di dalam bulan itu, maka Dia merasa bangga terhadap kalian dan para malaikat. Maka perlihatkanlah segala macam kebaikan diri kalian di hadapan Allah. Sebab orang yang celaka adalah orang yang terhalang mendapatkan rahmat Allah pada bulan tersebut,” (HR. Ath Thabrani).

4. Syahrul Mubarak (Bulan Keberkahan)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa sesungguhnya Rasulullah bersabda:

“Ketika datang bulan Ramadhan: Sungguh telah datang kepadamu bulan yang penuh berkah, diwajibkan atas kamu utnuk puasa, dalam bulan ini pintu syurga dibuka, pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu,” (HR. Ahmad, An Nasai dan Baihaqy. Hadits shahih Lighairihi).

5. Syahrul Maghfirah (Bulan Ampunan)

Allah sangat senang memberikan pengampunan kepada orang yang berpuasa, sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang Mukmin, laki-laki dan perempuan yang Benar, laki-laki dan perempuan yang Sabar, laki-laki dan perempuan yang Khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara KeHormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar,” (QS. Al Ahzab: 35).

Rasulullah SAW juga telah bersabda:

“Barangsiapa puasa Ramadhan karena beriman dan penuh harap (pahala), maka diampuni dosanya yang telah lalu dan yang sekarang,” (HR. Bukhari dan Muslim).

6. Syahrul Tarbiyah (Bulan Pendidikan)

Puasa di bulan Ramadhan bisa diibaratkan sekolah khusus yang ajaran barunya selalu dibuka setiap tahun dengan tujuan pendidikan praktis dalam menyerap nilai-nilai yang paling tinggi. Barangsiapa memasukinya untuk mendapatkan karunia Ilahi, kemudian ia berpuasa sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, lalu ia dapat melakukan ibadah tambahan sesuai yang telah disyariatkan, maka ia akan lulus dengan menyandang gelar muttaqin. Dengan gelar muttaqin orang akan mendapatkan jaminan ampunan dari Allah SWT dan terbebas dari api neraka.

Rasulullah SAW menegaskan, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa melakukan amal ibadah tambahan (sunah) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu,” (HR. Bukhari Muslim).

7. Syahrul Jihad wal-Falaah (Bulan Jihad dan Kemenangan)

Sejarah mencatat, bahwa pada bulan suci Ramadhan inilah beberapa kesuksesan dan kemenangan besar diraih ummat Islam. Ini sekaligus membuktikan bahwa Ramadhan bukan bulan malas dan lemah, tapi merupakan bulan kuat, bulan jihad, bulan kemenangan.

Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada bulan ramadhan ialah perang badar. Pada hari Jumat 2 Ramadhan tahun ke-2 H terjadi perang pertama dalam Islam yang dikenal Perang Badar. Badar adalah nama tempat di sebuah lembah yang terletak di antara Madinah dan Makkah. Tentara Islam mengontrol lokasi strategis dengan menguasai sumber air yang ada di daerah tersebut.

Perang ini melibatkan tentara Islam sebanyak 313 anggota berhadapan dengan 1.000 tentara musyrikin Makkah yang lengkap bersenjata. Dalam perang ini, tentara Islam memenangkan pertempuran dengan 70 tentara musyrikin terbunuh, 70 lagi ditawan. Sisanya melarikan diri.

Perang ini adalah suatu yang luar biasa ketika tentara Islam yang kurang jumlah, lemah dari sudut kelengkapan dan berpuasa dalam bulan Ramadan memenangkan pertempuran Perang Badar. Ini membuktikan puasa bukan penyebab umat Islam bersikap lemah dan malas sebaliknya berusaha demi mencapai keridhaan Allah. Orang yang berjuang demi mencapai keridhaan Allah pasti mencapai kemenangan yang dijanjikan.

Peristiwa perang badar di bulan ramadhan ini tercantum dalam firman-Nya:

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya,” (QS Al-Imran:123).

8. Syahrul Shabr (Bulan Kesabaran)

Bulan ramadhan disebut juga bulan kesabaran, sebab di bulan ini kita harus sabar dalam menahan makan dan minum, serta hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa.

Rasulullah bersabda: “Puasa itu separuh dari kesabaran,” (HR. At Tirmidzi).

9. Syahrul Judd (Bulan Kemurahan)

Bulan ramadhan juga dinamkan bulan kemurahan sebab di bulan ini Allah memberikan keutamaannya bagi orang yang berlaku murah hati untuk menolong dan membantu sesama.

Anas radhiyallahu’anhu menyampaikan, ditanyakan kepada Rasulullah, “Sedekah manakah yang paling utama ?” jawab Rasulullah, “Sedekah di bulan Ramadhan,” (HR. At tirmidzi).

10. Bulan Dilipat Gandakannya Amal Shaleh

Bulan ramadhan istimewa sebab di bulan ini setiap amal perbuatan manusia dilipatgandakan berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Hal itu diterangkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:

Rabb-Mu berkata: “Setiap perbuatan baik dilipat gandakan pahalanya sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa, puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai yang melindungi dari api neraka. Bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih wangi dari pada parfum misik. Apabila orang bodoh berlaku jahil kepada seseorang diantara kamu yang tengah berpuasa, hendaknya ia katakan: “Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa,” (HR At-Tirmidzi). []

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari sekian banyak nama lain dari bulan Ramadan, ia juga biasa disebut “syahrul Qur’an” (bulan al-Qur’an). Dikatakan demikian karena pada bulan ini al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan (Al-Baqarah: 185). Pada bulan ini pula pada setiap malamnya malaikat Jibril selalu datang kepada Rasulullah Saw untuk memeriksa hafalan dan bacaan al-Qur’an Rasul (Riwayat Ibnu Abbas).

Bagi umat Islam, Ramadan dan al-Qur’an adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi, Ramadan adalah bulan spesial dengan segudang keistimewaan. Di sisi lain, al-Qur’an adalah kitab suci yang isi kandungannya merupakan petunjuk bagi hidup seorang Muslim dan membacanya adalah ibadah. Pada bulan ini, umat Islam tidak menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga itu dan memanfaatkannya dengan memperbanyak membaca al-Qur’an atau biasa kita sebut “tadarusan.”

Membaca al-Qur’an memang sangat diperintahkan. Nabi Saw bersabda: “Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafa ‘at bagi pembacanya.” (HR. Muslim). Al-Qur’an adalah hidangan Allah Swt, sebagaimana sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah, maka kalian terimalah hidangan-Nya itu semampu kalian” (HR. Hakim).Bagi mereka yang membaca al-Qur’an itu, Allah akan memberinya pahala yang berlipat ganda. Sebagaimana sabda Nabi: “Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf; tetapi Alif satu huruf; Lam satu huruf dan Mim satu huruf ” (HR. Tirmidzi).

Oleh karena itulah diriwayatkan, pada bulan Ramadan sahabat Nabi, Utsman bin Affan biasa mengkhatamkan al-Quran setiap hari sekali. Imam al-Syafi’i mengkhatamkan al-Quran, di luar shalat, sebanyak enam puluh kali. Al-Aswad setiap dua hari sekali. Al-Nakha’i dan Qatadah mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an setiap tiga hari. Di bulan al-Qur’an ini, apalagi di sepuluh hari terakhirnya, bagi umat Islam, membaca al-Qur’an adalah amalan utama.

Kebiasaan membaca al-Qur’an atau tadarus di sebagian masyarakat kita memang sudah cukup menggembirakan. Tetapi menurut hemat penulis, ada satu hal yang patut diperhatikan dan direalisasikan, yaitu agar kehadiran dan keberadaan al-Qur’an memberikan manfaat sesuai fungsinya secara optimal, maka kebiasaan tersebut harus ditingkatkan, dari hanya “membaca” ke tingkat “memahami.” Karena bila kita hanya membaca saja (membunyikan huruf dengan lisan) tanpa memahami kandungannya, bagaimana al-Qur’an yang merupakan petunjuk dan pembimbing dalam kehidupan manusia itu bisa terejawantah?.

Membaca al-Qur’an dan khatam berkali-kali, tanpa mencoba memahami maknanya, hemat penulis tidak akan membawa dampak yang signifikan bagi perbaikan kondisi masyarakat banyak. Ia hanya merupakan cermin kesalehan individu seorang ‘aabid (hamba). Tetapi kalau kita memahami dan kemudian mengamalkannya dalam hidup ini maka hasilnya akan luar biasa, yaitu akan tercipta kehidupan masyarakat Islami yang adil, makmur, dan sejahtera, seperti yang diinginkan al-Qur’an.

Mengerti dan memahami makna ayat-ayat al-Qur’an adalah langkah awal dan kunci gerbang menuju ke tahap mengamalkan isi kandungannya. Dan barang siapa mengamalkan isi kandungan al-Qur’an maka ia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat (QS. Thaha: 123), tetapi sebaliknya barangsiapa berpaling dari al-Qur’an, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (di dunia) (QS. Thaha: 124) dan akan memikul dosa yang besar di hari Kiamat (QS. Thaha : 100).

Perlu kita ingat juga bahwa perintah membaca al-Qur’an seperti tertera dalam al-Qur’an dan Hadis harus dipahami dalam arti mengerti dan memahaminya karena yang menjadi objek perintah (khitaab al-amr) tersebut adalah bangsa Arab yang pastinya mengerti bahasa Arab, bahasa al-Qur’an (walau pun menurut para ahli Tafsir, tidak semua orang Arab dapat memahami maksud al-Qur’an karena al-Qur’an itu bukan bahasa Arab biasa). Selain itu, kalau kita cermati terjemahan kata “membaca” dalam bahasa Arab, yaitu qara’a (akar kata qiraa’ah) dan talaa (akar kata tilaawah), maka dari keduanya mengandung arti yang lebih dari sekedar membaca huruf (dengan lisan).

Kata “qara’a” yang aslinya berarti “menghimpun”, bukan hanya berarti “membaca huruf atau aksara” seperti dalam QS. Al-A’raf : 204, tetapi juga mengandung arti “mendalami” apa yang dibaca (tadabbur), sebagaimana dijelaskan dalam QS. Muhammad: 24 dan “mempelajari” (diraasah), seperti terkandung dalam QS. Al-An’am: 156.

Begitu juga dengan kata talaa, yang arti dasarnya “mengikuti.” Ia bukan hanya bermakna “membunyikan huruf atau aksara beserta tanda-tanda bacanya,” tetapi lebih dari itu berarti “membaca yang menyebabkan pendengarnya dapat mengikuti atau terhanyut (jiwanya) di dalamnya.” Inilah maksud QS. Al-Anfal ayat 2 dan QS. Ali Imran ayat 164. Bagaimana seseorang akan terhanyut atau terpengaruh oleh bacaan al-Qur’an, kalau ia tidak mengerti makna dan maksud bacaan tersebut?

Dari analisa ini maka jelaslah bahwa terjemahan kata “membaca” dalam al-Qur’an, Hadis, dan bahasa Arab, bukan hanya berarti “membunyikan atau membaca huruf” tetapi lebih dari itu ia mengandung makna “mengerti, mendalami, dan mempelajari makna huruf atau aksara.” Dengan demikian, dalam konteks membaca al-Qur’an, maka tidaklah cukup bila hanya membaca huruf-hurufnya, tetapi perlu upaya memahami, mendalami dan mempelajari maknanya. Orang-orang yang sampai ke tahap mendalami dan mempelajari ini menurut Nabi Saw adalah orang-orang terbaik, sesuai dengan sabdanya: “sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Bukhari).

Berangkat dari pemahaman dan kesadaran itu, bagi kita orang Indonesa yang tidak mengerti bahasa Arab, maka agar bisa mengerti dan memahami isi kandungan al-Qur’an, kita harus mempelajari bahasa Arab, mendalami ilmu-ilmu Tafsir, atau minimal memanfaatkan terjemahan/tafsirnya yang berbahasa Indonesia. Bagi kalangan awam (yang tidak secara khusus mendalami ilmu Tafsir al-Qur’an), selain membaca al-Qur’an (tadarus) seperti biasa, sebaiknya mereka membaca terjemah/tafsir al-Qur’an. Kini telah banyak terjemah/tafsir al-Qur’an berbahasa Indonesia, seperti al-Qur’an, terjemah dan tafsirnya terbitan Depag, terjemah tafsiriyyah al-Qur’an karya Muhammad Thalib, atau Tafsir al-Misbah karya monumental M. Quraish Shihab, dan lain-lain. Bahkan bagi kita yang berbahasa Sunda, beberapa terjemah dan tafsir al-Qur’an bahasa Sunda bisa kita gunakan, misalnya Tafsir Rahmat basa Sunda karya H. Oemar Bakry, Ayat Suci Lenyepaneun karya Moch. E. Hasyim, atau Saritilawah Nur Hidayah dan Nurul Hikmah karya H.R. Hidayat Suryalaga.

Upaya memahami isi kandungan al-Qur’an ini sebetulnya sudah menjadi perhatian KH. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi pembaruan Muhammadiyah, lebih dari satu abad yang lalu. Ia melontarkan gagasan akan pentingnya mengkaji makna al-Qur’an, karena melihat fakta di tengah masyarakat yang hanya terbiasa membaca dan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, tetapi tidak mengerti maksudnya. Ide pembaruan ini menurut penulis masih tetap relevan bagi kita di zaman kontemporer sekarang ini.

Akhir kata, dalam rangka “memasyarakatkan al-Qur’an dan meng-al-Qur’an-kan masyarakat” (mendekatkan al-Qur’an di tengah masyarakat dan menjadikan al-Qur’an sebagai pola hidup masyarakat), hemat penulis usaha mengerti dan memahami al-Qur’an melalui membaca terjemah dan tafsirnya ini perlu kita galakan dan biasakan di tengah masyarakat, terutama di bulan suci Ramadan seperti sekarang ini. Dengan cara ini semoga al-Qur’an bisa lebih terasa fungsinya sebagai pedoman hidup dan sumber inspirasi bagi umat Islam di Indonesia. ***