Lemak yang terdapat dalam ikan adalah lemak

KOMPOSISI NUTRISI IKAN DAN HASIL PERIKANAN SECARA UMUM

Ikan dan hasil perikanan lainnya memiliki rasa khas yang spesifik, sifat ini yang membuat ikan banyak disukai sebagai bahan pangan. Rasa khas dan spesifik ini diakibatkan oleh komposisi kimia yang terkandung di dalam komoditas ini.

Komposisi kimia ikan tergantung kepada spesies, umur, jenis kelamin dan musim penangkapan, serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan. Kandungan protein dan mineral daging ikan relatif konstan, tetapi kadar air dan kadar lemak sangat berfluktuasi. Jika kandungan lemak pada daging semakin besar, kandungan air akan semakin kecil dan sebaliknya. Adapun komposisi ikan secara umum dapat dilihat pada Tabel 2

Tabel 2 Komposisi Daging Ikan

No.

Kandungan

Besar (%)

1.

Protein

16 – 24

2.

Lemak

0,2 – 2,2

3.

Air

56 – 80

4.

Mineral (Ca, Na, K, J, Mn), vitamin (A, B, D) dan sebagainya

2,5 – 4,5

Sumber : Susanto, (2006)

Adapun kandungan gizi beberapa spesies ikan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan Gizi Ikan Beberapa Spesies

Air

Daging ikan laut mengandung air sekitar 50–85%, tergantung pada spesies dan status gizi dari ikan. Ikan dalam keadaan lapar, yaitu pada saat sedang bertelur, kehilangan simpanan energi pada jaringan sehingga meningkatkan kadar air daging. Di dalam otot atau jaringan yang lain, air berperan penting sebagai pelarut sehingga memungkinkan terjadinya reaksireaksi biokimia di dalam sel.

Air dalam daging ikan dibedakan atas air terikat dan air bebas. Disebut air terikat karena tertahan secara kuat oleh molekul-molekul hidrofilik, terutama protein dalam bentuk gel atau sol. Hidrasi protein tergantung pada sifat kepolaran (struktur dipole) dari molekul air dan adanya molekul protein berupa gugus fungsional aktif (amino, karboksil, hidroksil) dan peptida serta senyawa lain yang memiliki kemampuan melakukan adsorpsi air. Dipole air membentuk lapisan terhidrasi yang mengelilingi gugus aktif dan protein secara keseluruhan.

Tidak seperti halnya air bebas, air terikat bukanlah pelarut, membeku pada suhu jauh di bawah 0oC dan memerlukan panas lebih banyak untuk menguapkannya. Air bebas mungkin tidak bergerak (immobile) atau secara struktur memang bebas. Air tidak bergerak terdapat pada pori-pori mikro (micro-pores) atau kapiler mikro antara molekul-molekul fibrilar, struktur berserabut dan membran sel. Air tertahan di dalam jaringan akibat tekanan osmotik dan adsorpsi oleh struktur sel yang merupakan jaringan membrane protein dan serat. Secara struktur air bebas terdapat dalam ruang interselular serta dalam plasma darah dan limfa. Air bebas bertindak sebagai pelarut untuk senyawa-senyawa nitrogen ekstraktif dan garam-garam mineral yang terkandung di dalam daging ikan. Kandungan air yang bebas secara struktur dalam daging mentah untuk beberapa spesies ikan adalah sekitar 4,6−10,4%.

Jika daging ikan diberi perlakuan seperti pembekuan, pemanasan, pengeringan, variasi pH atau tekanan osmotik, perbandingan antara kedua jenis air mengalami perubahan dan kemudian menyebabkan terjadinya perubahan konsistensi. Ketika ikan dibekukan, tidak ada air yang hilang, tetapi hubungan air-protein terganggu, sebagai akibatnya pada saat daging dilelehkan menjadi kurang kompak dan lebih berair.

Protein

Protein adalah komponen ikan yang sangat penting ditinjau dari sudut gizi dan biasanya terkandung sekitar 15−25% dari berat total daging ikan. Molekul protein terutama terdiri dari asam amino, yang merupakan senyawa organik yang mengandung satu atau lebih gugus amino dan satu atau lebih gugus karboksil. Hampir semua asam amino yang terdapat pada protein hewan juga terdapat pada protein daging ikan dan di antara asam-asam amino tersebut terdapat asam amino esensial, yaitu valin, histidin, isoleusin, lisin, leusin, methionin, threonin, triptofan, dan fenilalanin. Komposisi asam amino antar ikan tidak banyak berbeda. Akan tetapi, kandungan histidin pada ikan tuna, cakalang, tongkol dan kembung memiliki kandungan histidin yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis-jenis ikan lainnya.

Berdasarkan kelarutannya, protein pada daging ikan dibedakan atas tiga kelas, yaitu protein larut air, protein larut garam dan protein tidak larut. Protein larut air adalah protein sarkoplasma atau protein enzim, yang terdapat sekitar 20−30% dari protein total. Sarkoplasma juga larut dalam larutan garam netral dengan kekuatan ionik di bawah 0,15. Selain itu, protein sarkoplasma juga larut dalam larutan garam konsentrasi tinggi. Sebagian besar protein ini memiliki aktivitas enzimatis. Biasanya kandungan protein sarkoplasma pada ikan pelagis lebih tinggi dibandingkan dengan ikan dasar (demersal). Otolisis setelah ikan mati berkontribusi terhadap aktivitas enzimatis protein sarkoplasma. Secara tidak langsung otolisis mempengaruhi daya ikat air (water holding capasity) dari otot, tetapi berpengaruh secara nyata terhadap tekstur ikan masak dan kemampuan ikan membentuk gel. Di antara enzim-enzim sarkoplasma yang mempengaruhi mutu ikan adalah enzim glikolitik dan enzim hidrolitik lisosom.

Protein myofibrilar adalah protein larut dalam larutan garam netral dengan kekuatan ion cukup tinggi. Di dalam daging ikan, proporsi protein myofibrilar 65−75% dari seluruh protein daging. Protein myofibrilar terdiri dari myosin, actin, dan komponen minor lain. Protein myofibrilar berperan penting dalam kontraksi otot dari hewan hidup dan mendapat perhatian khusus dalam teknologi pemanfaatan ikan. Protein myofibrilar ikut berperan dalam kekakuan jaringan pada saat rigor mortis. Perubahan-perubahan protein ini menentukan kekakuan pada penyimpanan beku jangka panjang yang menyebabkan kekerasan dari daging. Protein myofibrilar bertanggung jawab terhadap plastisitas dan daya ikat air daging ikan, tekstur produk produk ikan serta sifat fungsional daging lumat dan homogenat, khususnya kemampuan membentuk gel.

Myosin merupakan 50−58% fraksi myofibrilar. Myosin ikan dibandingkan dengan myosin mamalia tidak berbeda sifat fisikokimia dan berat molekulnya, sedangkan myosin di antara spesies ikan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Akan tetapi, antara myosin ikan dan mamalia ditemukan perbedaan besar dalam hal stabilitas dan aktivitas ATPase terhadap denaturasi. Myosin ikan lebih tidak stabil terhadap denaturasi oleh panas dan bahan kimia dari pada myosin mamalia, ayam, dan katak. Stabilitas panas dari myosin tampaknya berhubungan dengan suhu badan. Di antara spesies ikan berbeda, myosin ikan yang berasal dari perairan dingin lebih tidak stabil dibandingkan dengan denaturasi panas ikan dari perairan hangat.

Actin terdapat sekitar 15−20% dari jumlah total protein daging ikan. Ketika daging lumat diperlakukan dengan larutan garam netral, actin terekstraksi bersama-sama dengan myosin membentuk actomyosin. Kompleks ini tidak hanya menunjukkan karakteristik ATPase yang diaktivasi oleh Ca2+ seperti pada myosin, tetapi juga diaktivasi oleh Mg2+. Sejumlah protein lain yang terlibat di dalam pembentukan struktur myofibril dan terlibat dalam interaksi protein kontraksi yang berjumlah sekitar 10% dari fraksi myofibrilar terutama terdiri tropomyosin and troponin. Selain itu, pada myofibril juga terdapat protein elastis yang disebut connectin atau titin.

Protein tidak larut adalah stroma yang terdiri dari protein jaringan penghubung, yaitu kolagen dan elastin. Protein stroma tidak dapat di ekstrak dengan menggunakan air atau larutan garam. Jumlah rata-rata stroma dalam daging ikan adalah 2−3%, umumnya lebih sedikit dibandingkan dengan yang terdapat pada daging mamalia. Kandungan stroma pada daging gelap lebih banyak dibandingkan pada daging putih. Pada umumnya kandungan kolagen pada daging ikan adalah sekitar 1−12% dari protein kasar. Kolagen udang banyak mengandung residu triptofan. Kemunduran mutu ikan segar dan ikan beku dapat merupakan hasil dari perubahan post-mortem dari kolagen yang menyebabkan disintegrasi fillet selama penanganan dan pengolahan, sedangkan elastin adalah protein yang dapat membentuk serat elastis seperti karet merupakan penyusun utama ligamen pada mamalia. Di samping itu juga terdapat protein abductin yang memiliki sifat elastis seperti elastin tetapi berbeda pada komposisi asam aminonya, yaitu mengandung glisin dan fenilalanin yang sangat tinggi.

Lemak

Ikan biasanya diklasifikasikan berdasarkan kandungan lemaknya. Lemak/lipid adalah kelompok komponen makanan yang biasanya dikenal sebagai fosfolipid, triasilgliserol, sterol, lilin, dan lainnya yang merupakan senyawa tidak larut air. Ikan digolongkan sebagai ikan berlemak rendah jika mengandung lipid kurang dari 2%; ikan berlemak sedang mengandung 2−5% lipid dan ikan berlemak tinggi mengandung lipid di atas 5%, dan bahkan ada ikan yang mengandung lipid sampai 20%, yaitu ikan lemuru dari selat Bali. Daging ikan yang masuk kelompok lemak rendah berwarna putih, sedangkan yang termasuk kelompok lemak tinggi berwarna putih sampai gelap. Variasi kandungan lipid sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, ukuran dan tahap siklus reproduksi. Daging kepiting dan udang kandungan lipidnya sangat rendah, bahkan kurang dari 1%.

Lipid pada ikan memiliki asam lemak omega-3 yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber lainnya. Asam lemak omega-3 memiliki kemampuan di dalam mengurangi risiko dari penyakit  jantung. Energi umumnya disimpan dalam bentuk trigliserida. Komposisi lipid ikan air tawar adalah berada antara mamalia daratan dan ikan laut. Ikan air tawar mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh omega-6, yaitu sekitar 15% dari asam lemak total, dan mengandung asam lemak omega-3 yang lebih sedikit dibandingkan ikan laut. Oleh karena itu, rasio asam lemak omega-3 terhadap asam lemak omega-6 dapat dipakai untuk membedakan antara ikan air tawar dan ikan laut, yaitu rasio masing-masing adalah 0,5–4 untuk ikan air tawar dan 5–15 untuk ikan laut. Lipid ikan hasil budidaya mengandung lebih banyak asam lemak omega-6 dan lebih sedikit asam lemak omega-3 dibandingkan dengan ikan yang hidup di alam bebas.

Terdapat dua jenis asam lemak omega-3 penting, yaitu asam eikosapentanoat (C20:5) yang biasa dikenal dengan EPA (eicosapentanoic acid) dan asam dokosaheksanoat yang dikenal sebagai DHA (docosahexanoic acid). EPA adalah khas ditemukan pada alga laut, sedangkan DHA berasal dari zooplankton. Proporsi antara kedua jenis asam lemak tersebut sangat tergantung pada jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan.

Kandungan lipid ikan dapat menggambarkan suhu tempat hidupnya, ikan dari perairan dingin kandungan lipidnya dapat mencapai tiga kali dari yang terdapat pada perairan hangat. Pada individu ikan, kandungan lipid meningkat dari ekor ke kepala dengan peningkatan deposisi lemak pada perut dan daging merah. Beberapa jenis ikan kandungan lemaknya dipengaruhi oleh siklus bertelurnya. Pada ikan berlemak rendah, jumlah trigliserida yang disimpan dalam daging sedikit, tetapi sering hatinya mengandung lemak yang tinggi dan dapat dipakai sebagai sumber vitamin A dan D yang baik.

Lipid pada daging juga berkontribusi terhadap flavor dari ikan. Lipid sendiri memiliki sedikit rasa, tetapi peran pentingnya adalah kecenderungan untuk menghasilkan flavor yang tidak diinginkan akibat pengaruh dari lingkungan, seperti terjadinya ketengikan akibat reaksi oksidasi.

Kolesterol terdapat pada ikan, tetapi peranannya sebagai kolesterol dalam makanan termasuk rendah, khususnya pada ikan berlemak rendah. Bagi kita yang mengonsumsi minyak ikan, kekhawatiran mengonsumsi kolesterol yang tinggi tampaknya dapat dihiraukan karena penelitian menunjukkan bahwa kandungan kolesterol lipoprotein darah tidak meningkat secara nyata akibat adanya pengaruh dari adanya asam lemak omega-3.

Ikan dan beberapa shellfish (lobster dan kepiting) memakan binatang lain sehingga dapat diperkirakan bahwa sterol yang teridentifikasi adalah kolesterol, sedangkan moluska dan beberapa krustasea sangat menggantungkan makanannya pada organisme yang ada pada lingkungan airnya maka sebagian sterol yang ada merupakan sterol-nonkolesterol yang berasal dari tanaman alga. Dengan menggunakan teknik analisis yang baru ditunjukkan bahwa moluska hanya mengandung kolesterol 50 mg/100g, jauh lebih rendah dari tingkat kandungan yang diharapkan ada pada shellfish yang menyebabkan ada yang merekomendasikan untuk tidak menghindarkan shellfish pada menu makanannya. Kandungan fosfolipid biasanya tidak lebih dari 1% berat jaringan. Fraksi fosfolipid relatif stabil, jumlah dan komposisinya tidak tergantung kepada makanan dan faktor-faktor lainnya.

Karbohidrat

Ikan mengandung karbohidrat dalam jumlah yang sangat rendah dibandingkan dengan tanaman. Karena kandungannya yang sangat kecil maka dapat diabaikan, tetapi memiliki konsekuensi yang sangat penting terhadap mutu ikan selama pengolahan. Sebagian besar karbohidrat di otot ikan adalah glikogen yang merupakan polimer glukosa. Otot dari ikan atau krustasea hidup mungkin mengandung 0,1–1,0% glikogen. Moluska mempunyai kandungan glikogen yang tinggi, biasanya sekitar 1–7%, tetapi bervariasi menurut musim dan menurun secara cepat setelah mati, khususnya selama stres dan meronta ketika ditangkap. Pada sebagian besar spesies, produk dekomposisi glikogen adalah glukosa, gula fosfat dan asam piruvat, serta asam laktat. Beberapa spesies moluska menghasilkan campuran alanin, asam suksinat, dan oktopin.

Energi

Perhitungan dengan menggunakan data komposisi ikan adalah cara yang paling mudah di dalam menentukan nilai energinya. Energi yang dihasilkan oleh 1 g lemak adalah 9 kkal, 1 g karbohidrat menghasilkan 3,75 kkal dan 1 g protein menghasilkan 4 kkal. Akan tetapi, jenis lipid pada ikan sering menghendaki modifikasi nilai kalorinya. Nilai energi bagian yang dapat dimakan dari berbagai spesies ikan pada umumnya berkorelasi dengan kandungan lipid. Ikan berlemak rendah mengandung sekitar 80 kkal per 100 g bagian yang dapat dimakan, ikan berlemak sedang 100 kkal/100g, dan ikan berlemak tinggi 150–225 kkal/100g.

Shellfish dan ikan berlemak rendah lebih tergantung terhadap sifat lipid dari pada kandungan lipid total untuk kontribusinya terhadap densitas kalori. Energi sterol lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosfolipid dan monogliserida. Semakin tinggi lipid fosfolipid, semakin rendah kontribusi energi sebenarnya. Fosfolipid merupakan kandungan mayoritas lipid pada jaringan udang. Lemak daging cumi-cumi dan lobster memberikan kontribusi energi yang lebih rendah dibandingkan lemak daging tiram, kepiting dan udang penaeid. Kadar air yang lebih tinggi pada moluska dan krustasea dapat mengurangi kontribusi energinya dibandingkan dengan ikan.

Vitamin

Vitamin dalam jaringan ikan, walaupun terdapat dalam jumlah kecil tetapi merupakan regulator yang sangat penting bagi proses metabolik. Terdapat dua jenis vitamin pada ikan, yaitu vitamin larut air dan vitamin larut lemak. Kandungan vitamin ikan dipengaruhi oleh metode penanganan, pengolahan dan penyimpanan.

Vitamin larut air yang terdapat pada ikan adalah kompleks vitamin B1 (thiamin, aneurin), B2 (riboflavin), B6 (adermin, piridoksin), Bc (asam folat), B12 (sianokobalamin, kobalamin, vitamin antianemia, faktor pertumbuhan), BT (karnitin), vitamin H (biotin) dan PP (asam nikotinat, niasin), inositol dan asam panthotenat, dan sejumlah kecil vitamin C (asam askorbat, faktor antiscorbutik). Vitamin B12 ikut berperan di dalam proses biosintesa protein.

Vitamin larut lemak pada ikan adalah vitamin A (vitamin antixerophthalmic, vitamin pertumbuhan), vitamin D3 (vitamin anti-rachitic) dan vitamin E (tocopherol, faktor anti-sterility). Kandungan vitamin A ikan jauh lebih banyak dibandingkan hewan lainnya sehingga dapat dipakai sebagai sumber vitamin A.

Distribusi vitamin di dalam tubuh ikan tidak seragam, kandungan paling tinggi biasanya terdapat pada organ internal dibandingkan dengan pada otot. Pernyataan ini sangat benar terutama untuk vitamin larut lemak yang tidak ditemukan pada daging ikan. Vitamin A tidak ditemukan pada daging ikan berlemak rendah dan terdeteksi dalam jumlah kecil pada daging ikan berlemak tinggi. Vitamin A pada ikan terutama terdapat pada hati dan dalam jumlah sedikit terdapat pada pyrolic caeca dan usus. Kulit ikan mengandung vitamin A yang lebih tinggi dibandingkan yang terdapat pada daging.

Krustasea dan moluska mengandung vitamin A yang cukup tinggi. Daging gelap biasanya mengandung vitamin B1, B2, B12 dan C yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging biasa. Vitamin B pada ikan cukup resisten terhadap faktor-faktor fisik dan kimiawi, dan sebagian besar terlindungi selama pengolahan menggunakan metode yang biasa digunakan. Ketika ikan dimasak, banyak vitamin larut air terlepas ke dalam air pemasak. Vitamin A cukup stabil terhadap panas sepanjang tidak terdapat oksigen dalam medium pengolahan, tetapi apabila ada oksigen vitamin A akan rusak karena oksidasi.

Mineral

Kandungan total mineral pada daging mentah ikan dan invertebrate adalah 0,6–1,5%. Komponen mineral yang terkandung dalam makanan dibedakan atas makroelemen dan mikroelemen. Kandungan makroelemen dalam daging ikan dan invertebrata laut (dalam mg/100g) adalah natrium: 25−620, kalium: 25−710, magnesium: 10−230, kalsium: 5−750, besi: 0,01−50, fosfor: 9−1100, sulfur: 100−300 dan klorin: 20−500.

Mineral mikroelemen penting yang terdapat pada ikan adalah fluoride (1−4 μg/g), iodin (ikan laut: 0,3−3,0 μg/kg dan ikan air tawar: 0,02−0,04 μg/g), selenium (0,7 μg/g), copper (0,7−79,3 μg/g), zinc (4,6−844 μg/g), chromium (0,1 μg/g), cobalt (0,2−1,5 μg/g), dan molybdenum (0−3,0 μg/g).

Ikan rentan terhadap cemaran logam berat karena lingkungan

Logam berat pada perairan merupakan ancaman bagi makhluk hidup baik itu biota yang ada di dalam perairan tersebut, maupun pada tumbuh-tumbuhan dan manusia yang bergantung pada sumber air tersebut. Sumber logam berat diperairan bersumber dari alam (debu vulkanik, pengikisan bebatuan dan lain-lain) dan aktivitas manusia (limbah domestik, limbah industri dan lain-lain) Logam berat memiliki sifat akumulatif di lingkungan. Keberadaan logam berat Timbal (Pb), Merkuri (Hg), dan Arsen (As) yang menumpuk pada air dan sedimen akan masuk ke dalam air, biota, serta sedimen pada perairan tersebut dan dapat menimbulkan efek toksik terhadap organisme di dalamnya (Sembel, 2015).

Keberadaan logam berat dalam air mempengaruhi kehidupan biota air, karena kemampuan biota dalam mengakumulasi logam berat yang ada di dalam air. Ketika sumber pencemaran logam berat masuk ke dalam badan air sungai maka sangat mungkin bisa mencemari perairan sungai tersebut, dan terakumulasi ke dalam biota yang berada dalam perairan sungai.

Jika masyarakat mengkonsumsi biota (ikan, dan kerang) yang telah terkontaminasi logam berat secara terus-menerus maka hal itu bisa membahayakan kesehatan masyarakat tersebut.

Risiko kesehatan yang mungkin bisa terjadi apabila telah terkontaminasi kandungan logam berat As dan terakumulasi dalam tubuh dalam waktu yang lama antara lain, iritasi usus dan lambung, penurunan produktivitas sel darah putih dan darah merah, perubahan kulit dan iritasi paru-paru, As juga memberikan kesempatan kanker berkembang lebih cepat (Agustina, 2014)

Ikan memiliki toksin alami

Toksikan (zat toksik) adalah bahan apapun yang dapat memberikan efek yang berlawanan (merugikan). Racun merupakan istilah untuk toksikan yang dalam jumlah sedikit (dosis rendah) dapat menyebabkan kematian atau penyakit (efek merugikan) yang secara tiba-tiba. Zat toksik dapat berada dalam bentuk fisik (seperti radiasi), kimiawi (seperti arsen, sianida) maupun biologis (bisa ular). Juga terdapat dalam beragam wujud (cair, padat, gas).

Beberapa zat toksik mudah diidentifikasi dari gejala yang ditimbulkannya, dan banyak zat toksik cenderung menyamarkan diri (Candra, 2008). Racun alami adalah zat yang secara alami terdapat pada tumbuhan, dan sebenarnya merupakan salah satu mekanisme dari tumbuhan tersebut untuk melawan serangan jamur, serangga, serta predator (BPOM, 2008).

Racun Alami dari hewani, salah satunya adalah keracunan yang disebabkan oleh ikan. Keracuan tetrodotoksin (fugu poisoning) terjadi pada ikan yang termasuk dalam ordo tetraodontiformers, seperti puffer fish, Globe fish, Balloon fish (buntal), Blow fish , dan Toad fish. Efek Terhadap manusia meliputi gejala keracunan yang pertama kali muncul dalam waktu 15 menit hingga beberapa jam (bahkan mencapai 20 jam) setelah menyantap makanan yang mengandung tetrodotoksin.

Gejala awal meliputi parestesi bibir dan lidah, yang berlanjut ke muka dan ekstremitas. Seterusnya terjadi pula salivasi, mual, muntah, dan diare yang disertai sakit perut. Keracunan yang disebabkan skombrotoksin (histamin) terjadi pada ikan laut yang bermotif, terutama warna gelap yang memanjang dari kepala ke pangkal ekor adalah tuna (Thunnus spp), bonito (Sarda spp), mackerel (Scomber sp), skipjack (Katsuwonus pelamis spp). Efek terhadap manusia Keracunan baru terjadi bila kandungan histmanin mencapai kadar ≥ 100 mg. meskipun demikian, kercunan pernah dilaporkan pada kadar 20 mg. gejala akan timbul dalam waktu beberapa sampai beberapa menit (biasanya 10-30 menit) jam sesudah memakan ikan.

Gejala keracunan ini dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan sistem yang dirusaknya, yaitu sistem kardiovaskular serta sistem pencernaan dan saraf. Urtikaria, hipotensi, sakit kepala, dan kemerahan dapat timbul, sedangkan keterlibatan sistem pencernaan menimbulkan gejala berupa kram perut, diare, dan muntah. Rasa nyeri dan gatal yang terkait dengan urtikaria adalah wujud dari keterlibatan sistem saraf.

Toksikan Alami Pada Bahan Pangan Ikan

  • Tetrodotoxin(Puffer Toxin)

Tetrodotoxin adalah toksin yang ditemukan pada beberapa spesies ikan buntal ”puffer” (Fugu sp). Lebih dari 100 spesies ”puffer fish” (famili Tetraodontidae) menyebar dari perairan sedang hingga tropis, tetapi hanya sekitar 10 spesies yang dikonsumsi, khususnya di Jepang. Jenis ikan buntal beracun yang terdapat di Indonesia, antara lain: Buntal Duren (Diodon hytrix) dari famili Diodontidae bergigi lempeng dan kuat. Namun jenis buntal ini racunnya tidak mematikan bagi hewan lain seperti amfibi /aves. Buntal Landak (Diodon holacanthus) bersirip 14, berduri lemah pada punggung, dada, pada sirip dubur terdapat 23 duri lemah. Buntal Kotak (Rhynchostrcion nasus) dan Buntal Tanduk (Tetronomus gibbosus) berduri di kepalanya termasuk famili Ostraciontidae. Buntal Kelapa (Arothron reticularis), berciri duri lemah antara 10 – 11 pada sirip punggung, 9 – 10 pada sirip dubur dan 18 pada sirip dada. Buntal Pasir (Arthron immaculatus), Buntal Tutul (A . aerostaticus) dan Buntal Pisang (Gastrophysus lunaris).

Semua jenis ikan buntal tersebut beracun, akan tetapi tingkat toksisitas diantara spesies tersebut berbeda. Ikan buntal biasanya hidup di daerah terumbu karang. Daging segar dan beberapa bagian dari tubuh ikan buntal mungkin aman dimakan dalam keadaan mentah atau dimasak. Tetapi bagian lainnya seperti kandung telur (ovari) (tertinggi, sebagai alat perlindungan diri dari pemangsa) dan hati sangat beracun, juga mata, kulit, saluran pencernaan dan jeroan lainnya.

Gejala keracunan, diawali rasa mual, muntah, mati rasa dalam rongga mulut, selanjutnya muncul gangguan fungsi saraf yang ditandai dengan rasa gatal di bibir, kaki, tangan. Gejala selanjutnya, terjadi kelumpuhan dan kematian akibat sulit bernapas dan serangan jantung. Gejala tersebut timbul selama 10 menit hingga 3 jam setelah mengkonsumsinya.

  • Paralytic Shellfish Poison

Senyawa toksik utama dari ”paralytic shellfish poison” adalah ”saxitoxin” yang bersifat ”neurotoxin”. Keracunan toksin ini dikenal dengan istilah ”Paralytic shellfish poisoning” (PSP). Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang memakan dinoflagelata beracun. Dinoflagelata adalah agen saxitoxin dimana zat terkonsentrasi di dalamnya. Kerang-kerangan menjadi beracun di saat dinoflategelata sedang melimpah karena laut sedang pasang merah atau ‘red tide’.

Di Jepang bagian selatan ditemukan spesies kepiting (Zosimus aeneus), hewan ini mengakumulasi dalam jumlah besar saxitoxin. Dan dilaporkan menyebabkan kematian pada manusia yang mengkonsumsinya.

Jenis plankton yang memproduksi saxitoxin adalah Alexandrium catenella dan A. tamarensis, Keracunan Saxitoxin menimbulkan gejala seperti rasa terbakar pada lidah, bibir dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki. Kemudian berlanjut menjadi mati rasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus yang hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan muntah. Toksin memblokir susunan saraf pusat, menurunkan fungsi pusat pengatur pernapasan dan cardiovasculer di otak, dan kematian biasanya disebabkan karena kerusakan pada sistem pernapasan.

Komponen utama dari amnesic shellfish poison adalah domoic acid. Domoic acid merupakan asam amino neurotosik, dimana keracunannya dikenal dengan istilah ”Amnesic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan karena mengkonsumsi remis (”mussel”). Toksin ini diproduksi oleh alga laut Nitzhia pungens dimana melalui rantai makanan, mengakibatkan remis mengandung racun tersebut.

Domoic acid mengikat reseptor glutamat di otak mengakibatkan rangsangan yang terus-menerus pada sel-sel saraf dan akhirnya terbentuk luka. Korban mengalami sakit kepala, hilang keseimbangan, menurunnya sistem saraf pusat termasuk hilangnya ingatan dan terlihat bingung dan gejala sakit perut seperti umumnya keracunan makanan. Telah dilaporkan toksin tersebut juga dapat mengakibatkan kematian.

  • Neurotoxic Shellfish Poison

Komponen utama dari neurotoxic shellfish poison adalah brevitoxin. Keracunan yang disebabkan oleh toksin Brevitoxin disebut ”Neurotoxic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan mengkonsumsi kerang-kerangan dan tiram. Toksin ini diproduksi oleh alga laut Ptychdiscus brevis dimana melalui rantai makanan mengakibatkan kerang dan tiram mengandung racun tersebut. Gejala keracunannya meliputi rasa gatal pada muka yang menyebar ke bagian tubuh yang lain, rasa panas-dingin yang bergantian, pembesaran pupil dan perasaan mabuk.

  • Diarrhetic Shellfish Poison

Komponen utama Diarrhetic shellfish poison adalah okadaic acid. Komponen yang lain adalah pectenotoxin dan yessotoxin. Keracunan yang disebabkan oleh toksin Okadaic acid ini disebut ”Diarrhetic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan mengkonsumsi kepah (mussel) dan remis (scallop). Toksin ini diproduksi oleh alga laut Dinophysis fortii dimana melalui rantai makanan mengakibatkan remis mengandung racun tersebut

Senyawa dari klas okadaic acid ini mempunyai efek sebagai promotor tumor. Gejala utama keracunan DSP adalah diare yang akut, dimana serangannya lebih cepat dibandingkan dengan keracunan makanan akibat bakteri. Selain itu, mual, muntah, sakit perut, kram dan kedinginan. Hingga saat ini informasi ataupun penelitian yang berkaitan dengan cara penanganan dan atau pengolahan yang mampu untuk mencegah bahaya keracunan toksin tersebut belum banyak diperoleh

Ciguatera disebabkan oleh ciguatoxin, suatu racun yang dihasilkan oleh alga bernama dinoflagellate, yang ditemukan di seluruh dunia. Selama bulan-bulan musim panas, dinoflagellate berkembang biak di perairan pesisir menciptakan apa yang disebut mekarnya alga. Ukuran populasinya menjadi begitu banyak sehingga airpun tampak memerah karena pigmen alganya, sebuah fenomena yang dikenal sebagai “gelombang merah”.

Ciguatera, adalah jenis paling umum dari keracunan ikan di seluruh dunia, yang mungkin didapatkan dari konsumsi ikan terumbu karang tropis, seperti kerapu, kakap, kakap putih, dan ikan kakatua termasuk salmon yang diternakkan. Setiap tahun diperkirakan 50.000 kasus terjadi secara global. Sejumlah 400 spesies laut diketahui mengandung bioaccumulate ciguatoxins, yang 1.000 kali lebih bahaya dibanding arsenik. Penyakit ini ditandai dengan gejala seperti sakit perut yang sangat hebat, mual, detak jantung di bawah normal, kejang dan pandangan kabur. Kadang kambuh dengan mengkonsumsi hidangan laut, ayam, babi, kopi atau alkohol dan mungkin terjadi selama bertahun-tahun setelah makan ikan tercemar. Ciguatoxin tahan terhadap panas dan dingin, jadi memasak, mengasapkan, mendinginkan, membekukan dan/atau pengasinan ikan beracun tidak bisa melindungi konsumen agar tidak sakit. Racun ini juga tidak terdeteksi karena tidak berbau dan terasa.

Scombroid, jenis keracunan ikan lain yang tersebar paling luas setelah ciguatera, adalah akibat mencerna ikan yang membusuk, dengan gejala yang kadang muncul dalam hitungan menit setelah makan ikan itu. Ikan yang mungkin mengandung scromboid diantaranya Sardin, Ikan Teri Ikan Haring, dan Amberjack. Racun histamine ini akan muncul jika kondisi ikan sudah tidak segar. Pembentukan histamine pada tubuh ikan scombroidae akan meningkat setelah ikan mati dan tidak segera dibekukan atau tidak segera diolah, sehingga dapat menyebabkan keracunan jika dikonsumsi. Konsekuensi yang mungkin terjadi diantaranya keracunan scromboid termasuk perasaan terbakar di sekitar mulut, kulit wajah mengelupas, detak jantung tidak normal. Memasak dan membekukan ikan tidak akan menetralkan racunnya

Logam Berat

      Perairan nusan­tara, baik itu sungai maupun laut, telah dicemari oleh ber­bagai macam logam berat. Masalah pencemaran air ini tidak bisa dipisahkan dari toksikologi, yakni pemaham­an mengenai pengaruh-pe­ngaruh bahan kimia yang me­rugikan bagi organisme hidup. Masalah toksologi logam berat seperti merkuri, timbal, tembaga, kadmium, arsenik dan kromium bukan hanya menjadi permasalahan nasional, tapi juga internasio­nal.

                  Istilah logam berat (heavy metal atau trace metal) biasa­nya digunakan untuk mena­mai kelompok logam dan me­taloid dengan densitas (berat jenis) yang lebih besar dari 5 g/cm3. Meski demiki­an, unsur-unsur metaloid yang mempunyai sifat berba­haya juga dapat dimasukkan ke dalam kelompok tersebut. Kriteria logam berat saat ini mencapai lebih kurang 40 jenis unsur.

                  Berdasarkan kajian toksi­kologi, logam berat dapat di­bagi dua jenis, yakni pertama adalah logam berat esensial yang keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibu­tuhkan oleh organisme hi­dup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat me­nim­bulkan efek racun. Con­toh jenis ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn, dan lainnya. Ke­dua, adalah logam berat tidak esensial atau beracun yang keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui man­faatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr, As, dan lainnya.

                  Logam berat dianggap ber­bahaya bagi kesehatan bi­la terakumulasi secara berle­bihan di dalam tubuh manu­sia. Beberapa di antaranya bersifat membangkitkan kan­ker (karsinogen). Efek buruk logam berat juga tergantung pada bagian mana ia terikat dalam tubuh. Daya racun yang dimiliki akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim sehingga proses meta­bolisme tubuh terputus. Logam berat ini akan bertin­dak sebagai penyebab alergi, mutagen, teratogen atau kar­sinogen bagi manusia. Jalur masuknya adalah melalui kulit, pernapasan dan pen­cer­naan.

                  Sumber-sumber kontami­nannya bisa berupa sayuran maupun ternak yang sudah terkontaminasi logam berat dari penyiramannya yang mengandung logam berat. Bisa pula dari rumput yang dimakan ternak yang sudah terkontaminasi logam berat dari air yang diserapnya. Atau dari ikan yang mengkon­sum­si plankton atau habitat laut yang sudah dicemari oleh lo­gam berat.

Berikut ini lima logam be­rat yang sangat berbahaya bila masuk ke tubuh manusia.

                  Unsur Arsenik atau arsenik biasanya terdapat di alam dalam bentuk senyawa dasar berupa substansi anorganik. Arsen anorganik dapat larut dalam air atau berbentuk gas. Bila masuk ke dalam tubuh manusia, dapat menjadi pen­cetus kanker, infeksi kulit (dermatitis), mengganggu daya pandang mata, hiper­pig­mentasi (kulit menjadi ber­warna gelap), hiperkeratosis atau penebalan kulit. Dapat pula menyebabkan kegagalan fungsi sumsum tulang, me­nu­runnya sel darah, gang­gu­an fungsi hati, kerusakan gin­jal, gangguan pernafasan, kerusakan pembuluh darah, gangguan sistem reproduksi, varises, menurunnya daya tahan tubuh dan gangguan sa­luran pencernaan.

Mercuri atau merkuri (air raksa) adalah logam yang ada secara alami, merupakan sa­tu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Merkuri dapat berakumulasi dan terbawa ke organ-organ tubuh manusia lainnya, me­nyebabkan bronchitis sampai rusaknya paru-paru. Gejala awal keracunan merkuri pa­da tingkat awal, pasien mera­sa mulutnya kebal sehingga tidak peka terhadap rasa dan suhu, hidung tidak peka bau, mudah lelah, gangguan psi­kologi (rasa cemas dan sifat agresif), dan sering sakit ke­pala.

Jika terjadi akumulasi yang tinggi mengakibatkan kerusakan sel-sel saraf di otak kecil, gangguan pada luas pandang, kerusakan sarung selaput saraf dan ba­gian dari otak kecil. Turunan oleh merkuri (biasanya etil merkuri) pada proses keha­milan akan nampak setelah bayi lahir yang dapat berupa cerebral palsy maupun gang­guan mental. Sedangkan ke­racunan merkuri yang akut dapat menyebabkan kerusak­an saluran pencernaan, gang­guan kardiovaskuler, kega­galan ginjal akut maupun shock.

Sumber-sumber merkuri dapat berasal dari sisa pe­nam­bangan yang mengan­dung Hg dan dibiarkan meng­alir ke sungai dan dijadikan iri­gasi untuk lahan pertanian.

Adanya Timbal (Pb) da­lam peredaran darah dan otak dapat menyebabkan ganggu­an sintesis hemoglobin da­rah, gangguan neurologi (su­sunan syaraf), gangguan pada ginjal, sistem reproduksi, penyakit akut atau kronik sis­tem syaraf, dan gangguan fungsi paru-paru. Selain itu, dapat menurunkan IQ pada anak kecil jika terdapat 10-20 µg/dl dalam darah.

Kadmium (Kadmium) ji­ka berakumulasi dalam jang­ka waktu yang lama dapat menghambat kerja paru-pa­ru, bahkan mengakibatkan kanker paru-paru, mual, mun­tah, diare, kram, anemia, dermatitis, pertumbuh­an lambat, kerusakan ginjal dan hati, dan gangguan kar­diovaskuler. Kadmium dapat pula merusak tulang (osteomalacia, osteoporosis) dan meningkatkan tekanan da­rah. Gejala umum keracunan kadmium adalah sakit di dada, nafas sesak (pendek), batuk-batuk dan lemah.

Kandungan Chromium (Kromium) yang berlebih dalam tubuh dapat berakibat buruk pada sistem saluran pernapasan, kulit, pembuluh darah dan ginjal.

Tingginya tingkat cemar­an Cu akan berdampak nega­tif terhadap manusia, yaitu dapat menimbulkan kera­cun­an. Gejala yang timbul pada keracunan Cu akut adalah mual, muntah-muntah, men­ceret, sakit perut hebat, dan hemolisis darah. Pencemaran logam Cu pada bahan pangan pada awalnya terjadi karena penggunaan pupuk dan pesti­sida secara berlebihan. Mes­kipun demikian, pengaruh proses pengolahan akan da­pat memengaruhi status ke­berdadaan dalam bahan pa­ngan.

Walaupun beberapa mineral ini ditemukan secara alami pada tingkat yang berpotensial menimbulkan keracunan, tetapi belum ada efek membahayakan yang ditunjukkan. Hal ini telah diperlihatkan dalam hubungannya dengan bentuk kimianya (misalnya kompleks organik) yang belum siap untuk diasimilasi oleh manusia, oleh karena itu, dipandang tidak berbahaya.

Logam berat yang banyak mendapat perhatian adalah merkuri, arsenat, cadmium, dan timbal. Merkuri secara alami terdapat di alam serta di binatang dan jaringan tanaman. Mikroorganisme perairan menyebabkan metilasi merkuri yang menghasilkan metilmerkuri, dan senyawa tersebut akan terdapat pada ikan yang berasal dari perairan tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa kandungan merkuri pada ikan laut yang berasal dari perairan belum terpolusi sekitar 1−2 ppm. Secara alami merkuri terdapat pada air laut sebesar 0,03−0,3 ppb.

Arsenat di ikan terikat dalam kompleks organik yang tidak berbahaya. Arsenat terdapat pada air laut 2−5 ppb dan pangan yang berasal dari laut memiliki kandungan yang lebih tinggi. Hasil analisis menunjukkan ikan mengandung arsenat 2−8 ppm, tiram 3−10 ppm, kerang 120 ppm, dan udang 42−174 ppm. Cadmium terdapat pada tiram sebanyak 3−4 ppm dan dipercaya setelah diserap di dalam tubuh manusia kemudian membentuk kompleks dengan metallothionein, protein yang melakukan detoksifikasi cadmium.

Timbal tidak diabsorbsi atau dikonsentratkan oleh ikan sehingga tidak memiliki potensi yang membahayakan bagi manusia. Sumber utama yang dapat menyebabkan logam berat mencapai tingkat yang membahayakan adalah polusi, biasanya berasal dari limbah industri yang dibuang ke teluk atau sungai. Keracunan merkuri pernah mendapat perhatian Internasional setelah penduduk Minamata, Jepang pada tahun 1950-an menderita sakit sebagai akibat konsumsi ikan dari teluk Minamata yang pada saat itu terpolusi berat oleh merkuri.

 Toksin Organik

Ichthyotoxism adalah keracunan ikan akibat mengonsumsi jaringan ikan yang mengandung racun. Racun atau toksin tersebut tidak musnah akibat panas atau pengolahan. Ikan buntal mengandung tetrodotoksin yang merupakan racun sangat mematikan apabila dikonsumsi sehingga memerlukan keahlian untuk memasaknya.

Ikan karang, seperti ikan kerapu memiliki potensi menyebabkan keracunan ciguatera yang menyerang syaraf dan saluran pencernaan. Ikan tersebut telah makan ikan-ikan herbivora yang telah mengonsumsi alga atau dinoflagelata sebagai asal toksin. Beberapa ikan dan kekerangan mengkonsentratkan toksin yang berasal dari plankton yang dikonsumsi.

Paralytic shellfish poisoning (PSP) adalah keracunan yang timbul akibat mengonsumsi kerang yang dipanen pada saat terjadi red tide, yaitu dinoflagellata (biasanya Gonyaulax) tumbuh melimpah karena kondisi lingkungan yang sangat mendukung. Toksin (yaitu saksitoksin) tidak mempengaruhi moluska yang mengakumulasikan senyawa mematikan ini, tetapi dapat menyebabkan kematian manusia akibat gangguan pernapasan setelah  mengonsumsi moluska tersebut. Untungnya moluska biasanya akan membersihkan sendiri racun yang terakumulasi di tubuhnya bersamaan dengan hilangnya red tide.

BAGIAN-BAGIAN IKAN YANG DAPAT DIMANFAATKAN

Komposisi kimia ikan sangat bervariasi menurut spesies, bahkan juga berbeda antara satu individu terhadap individu lainnya dalam spesies yang sama. Dalam teknik pengolahan ikan, perlu juga diketahui lebih jauh perincian dari komposisi bagian ikan yang berstatus sebagai limbah. Kurang lebih 40-50% dari tubuh terdiri dari bagian yang dapat dimakan, yaitu yang berupa daging. Jumlah daging pada ikan bervariasi tergantung pada ukuran, jenis dan umur ikan. Pada ikan dengan bentuk tubuh ellips 60% dari tubuhnya dapat dimakan, untuk ikan yang berbentuk pipih dengan ukuran kepala besar hanya 35-40% saja dari bagian tubuhnya yang dapat dimakan.