Kenapa Indonesia merasa sangat dirugikan dengan hasil perundingan Renville?

Perjanjian Renville memberikan konsekuensi kepada Indonesia sebab ketika perjanjian Renville ditangani dengan hal tersebut garis demarkasi Van Mook diterima yang menyebabkan semakin sempitnya wilayah Republik Indonesia karena meliputi Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur.

Mengapa perjanjian Renville dianggap merugikan pemerintah Indonesia?

Karena keputusan perjanjian Renville menyebabkan wilayah RI menjadi semakin sempit, yaitu terkurung oleh daerah-daerah pendudukan Belanda. Selain itu, kedudukan RI semakin sulit karena Belanda menjalankan blokade ekonomi secara ketat terhadap Indonesia.

Apa dampak hasil dari perjanjian Renville bagi Republik Indonesia?

Akibat Perjanjian Renville luas wilayah Indonesia menjadi semakin sempit dan sangat merugikan. Para tentara di Jawa Barat harus berpindah ke Jawa tengah yang dikenal dengan peristiwa Long March Siliwangi. Bahkan ibu kota negara juga harus berpindah dari Jakarta karena tidak lagi menjadi wilayah kekuasaan Indonesia.

Perundingan apa yang paling merugikan Indonesia?

Jawaban. Jawaban: Hasil Perundingan Renville dianggap sangat merugikan Indonesia karena TNI harus keluar dari wilayah yang telah diduduki tentara Belanda.

Perundingan yang mana yang dianggap merugikan bagi pihak Indonesia?

Dampak Negatif Perjajian Linggarjati

Dianggap merugikan Indonesia karena wilayah kekuasaan RI menjadi sangat kecil dan terbatas. Indonesia harus mengikuti dan bergabung dalam negara persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda yang dipimpin Ratu Belanda. Perundingan Linggarjari hanya membuat militer Belanda semakin kuat.

Perjanjian apa yang menguntungkan Indonesia?

1. yang paling menguntungkan : KMB karena adanya pengakuan kedaulatan dan secara resmi terbentuklah Republik Indonesia Serikat.

You might be interested:  Mengapa Olahraga Renang Sangat Menyehatkan?

Apakah Perjanjian Linggarjati menguntungkan atau merugikan?

Perundingan dan hasil perjanjian Linggarjati dianggap banyak kalangan merugikan Indonesia karena wilayah kekuasaan Indonesia yang berdaulat sangat kecil dan terbatas. Indonesia harus mengikuti dan bergabung menjadi negara persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

tirto.id - Perundingan Renville yang digelar tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 berpengaruh terhadap jalannya sejarah bangsa Indonesia. Isi Perjanjian Renville membuat wilayah kedaulatan Republik Indonesia menjadi semakin sempit.

Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 tidak lantas membuat posisi Indonesia di atas angin. Belanda yang datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu usai mengalahkan Jepang di Perang Dunia II ingin kembali menjajah Indonesia.

Rangkaian perundingan antara Indonesia dan Belanda dilakukan, tapi seringkali menemui kebuntuan. Ada dua perundingan yang saling berkaitan dan cukup dikenal dalam sejarah Indonesia yaitu Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville yang membahas tentang wilayah kekuasaan.

Latar Belakang Perundingan Renville

Perundingan Linggarjati pada 11-13 November 1946 menyepakati berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diakui Belanda. Hasil perundingan disahkan pada 25 Maret 1947. Namun, Belanda ternyata hanya mau mengakui kedaulatan RIS sebatas Jawa dan Madura saja.

Tugiyono Ks dalam buku Sekali Merdeka Tetap Merdeka (1985) menyebutkan, Belanda bahkan melanggar Perjanjian Linggarjati dengan melancarkan serangan pada 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947. Serangan ini dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I.

Agresi Militer Belanda I membuat sebagian dunia internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melontarkan penyesalan. Mereka mendesak Belanda agar menghentikan serangan dan segera menggelar perundingan damai dengan pihak Indonesia.

Baca juga:

  • Sejarah Agresi Militer Belanda I: Latar Belakang, Kronologi, Dampak
  • Sejarah Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, Tokoh Delegasi
  • Sejarah Perjanjian Kalijati: Latar Belakang, Isi, & Tokoh Delegasi

Tokoh Delegasi Perundingan Renville

Dikutip dari buku bertajuk Indonesia Menyongsong Era Kebangkitan Nasional Kedua: Volume 1 (1992) terbitan Yayasan Veteran RI, atas desakan Dewan Keamanan PBB, Belanda dan Indonesia menggelar perundingan di atas kapal perang milik Amerika Serikat bernama USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta.

Perundingan yang disebut Perjanjian Renville ini dilangsungkan pada 8 Desember 1947. Sebagai penengah adalah Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia,dan Belgia.

Adapun para tokoh yang terlibat sebagai delegasi dalam Perjanjian Renville adalah sebagai berikut:

Delegasi Indonesia terdiri dari Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.

Delegasi Belanda beranggotakan H.A.I van Vredenburg, Dr. P.J. Koets, Dr. Chr. Soumokil, serta orang Indonesia yang menjadi utusan Belanda yakni Abdul Kadir Wijoyoatmojo.

Sedangkan yang bertindak sebagai mediator dari KTN adalah Richard C Kirby dari Australia (wakil Indonesia), Frank B. Graham dari Amerika Serikat (pihak netral), dan Paul van Zeeland Belgia (wakil Belanda).

Baca juga:

  • Arti Gold, Glory, Gospel (3G): Sejarah, Latar Belakang, & Tujuan
  • Peristiwa Rengasdengklok: Sejarah, Latar Belakang, & Kronologi
  • Hari Pahlawan 10 November & Sejarah Pertempuran Surabaya 1945

Isi Perundingan Renville

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, akhirnya dihasilkan tiga poin kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, berikut isi Perjanjian Renville:

  1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai wilayah Republik Indonesia (RI).
  2. Disetujui adanya garis demarkasi antara wilayah RI dan daerah pendudukan Belanda.
  3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Dampak Perundingan Renville

Hasil Perundingan Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 itu ternyata cukup merugikan bagi Indonesia. Wilayah kedaulatan RI menjadi semakin sempit dengan diterapkannya aturan Garis van Mook atau Garis Status Quo.

Garis van Mook mengambil nama dari Hubertus van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir. Garis van Mook adalah perbatasan buatan yang memisahkan wilayah milik Belanda dan Indonesia sebagai hasil dari Perjanjian Renville.

Anthony Reid dalam Indonesian National Revolution 1945-1950 (1974) menyebutkan, menganggap keberadaan Garis van Mook juga sebagai bentuk hinaan terhadap Indonesia karena wilayah RI menjadi semakin ciut.

Namun demikian, ada dampak positifnya pula. Perjanjian Renville ternyata semakin membuka banyak negara di dunia internasional untuk memperhatikan Indonesia dan mencermati sepak-terjang Belanda.

"Dalam jangka panjang, keputusan-keputusan di Renville menarik perhatian dunia internasional yang semakin menyadari adanya pengorbanan besar untuk merdeka," tulis Anthony Reid.

Baca juga:

  • Sejarah Proses Masuknya Agama Kristen Katolik ke Indonesia
  • Sejarah Samudera Pasai: Pendiri, Masa Jaya, & Peninggalan
  • Sejarah Singkat Majapahit, Pusat Kerajaan, & Silsilah Raja-Raja

Baca juga artikel terkait PERJANJIAN RENVILLE atau tulisan menarik lainnya Ilham Choirul Anwar
(tirto.id - ica/isw)


Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Ilham Choirul Anwar

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA