Kelebihan tujuan sdgs dibandingkan mdgs

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa waktu yang lalu saya dan jaringan Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) berdiskusi dengan mas Hamong Santoso dari INFID terkait Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Kami mendapatkan banyak informasi penting terkait SDGs dan perkembangannya di Indonesia, termasuk peran yang bisa dimainkan oleh CSO dalam membantu mencapai tujuan dan target SDGs.

SDGs merupakan paket tujuan global yang disepakati oleh banyak kepala negara di dunia untuk melanjutkan Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) yang telah berakhir 2015 yang lalu. SDGs akan menjadi kompas dan roadmap untuk memandu proses pembangunan dunia selama 15 tahun ke depan hingga tahun 2030.

Kelahiran SDGs yang dibangun dengan pendekatan 'No One Left Behind" menimbulkan optimisme dan pesimisme pada saat yang bersamaan. Mereka yang optimis melihat kelebihan SDGs dalam pendekatannya dari sejak awal pengembangan gagasan dan tujuan yang menjadi kesepakatan akhir. SDGs dilahirkan dengan melibatkan banya pihak dari mulai perwakilan negara, masyarakat sipil, akademisi dan sektor bisnis.

Pendekatan yang partisipatif menjadikan SDGs sebagai tujuan global yang lebih inklusif dan mengakomodir banyak isu dan kepentingan. Inklusifitas ini terlihat dari diakuinya 4 pilar penyangga utama keberhasilan SDGs yaitu Pemerintah, Masyarakat Sipil (CSO), akademisi dan sektor bisnis. Tentu ini langkah yang progresif, karena dalam MDGs peran sektor non pemerintah tidak mendapatkan porsi yang cukup, bahkan cenderung diabaikan. Inilah salah satu kelebihan yang dimiliki SDGs dibanding MDGs.

Inklusifitas SDGs juga terlihat dari begitu komprehensifnya tujuan yang ingin dicapai, yaitu 17 tujuan dengan 169 target. Banyaknya tujuan dan target menunjukkan SDGs menganalisa permasalahan dengan komprehensif dan integratif. Lebih jauh lagi SDGs menegaskan bahwa 17 tujuan yang ditetapkan memiliki kesatuan yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi antara satu sama lain.

Namun dua kelebihan tersebut diatas justru dianggap sebagai kelemahan bagi kelompok yang pesimis terhadap SDGs. SDGs dianggap sebagai paket kebijakan yang terlalu ambisius. SDGs is too good to be accomplished. Bagiamana tidak? MDGs dengan tujuan dan target yang lebih sedikit, masih banyak negara yang belum bisa memenuhi proposalnya. Apalagi dengan tujuan yang banyak dengam indikator seabreg dalam SDGs maka bisa dipastikan, akan banyak tujuan dan target yang terbengkalai.

Tantangan pelaksanaan SDGs akan terletak pada kesiapan bernagai sektor untuk saling bekerjasama dalam mewujudkan tujuan dan targetnya. Karena dengan pendekatan seperti diatas interdependensi dan kolaborasi adalah faktor penting dalam SDGs dari mulai tahap perencanaan, penentuan prioritas hingga implementasinya.

Hal ini harus ditunjukkan dengan kesiapan birokrasi pemerintahan mengakomodir keterlibatan sektor lain dalam perumusan, penentuan prioritas dan pengembangan berbagai program terkait SDGS. Ini juga akan menjadi batu ujian penting untuk mengukur sejauh mana keempat elemen ini bisa bekerjasama antara satu dengan yang lainnya.

Maka perlu pendekatan baru dari berbagai pihak agar agenda SDGs bisa berjalan lancar. Pendekatan yang tidak menganggap program pembangunan ini sebagai hal yang biasa, business as usual. Mari kita terlibat agar jargon no one left behind dalam SDGs, membuat Dunia ini Maju dan bahagia warganya. Wallahu a'lam.

Foto: //www.kompasiana.com/firmanmuh/5a0bc47b9f91ce223e1cea62/sdgs-menyempurnakan-bukan-menggantikan

Agenda pembangunan global kini dinahkodai oleh agenda Sustainable Development Goals (SDGs) untuk periode tahun 2015–2030. Namun sebelum SDGs berlaku dan banyak dikenal oleh masyarakat internasional, Milennium Development Goals (MDGs) adalah agenda pembangunan global yang berlaku pada tahun 2000–2015.

MDGs sendiri adalah agenda pembangunan global yang diresmikan di UN Millenium Summit tahun 2000 silam. Beberapa poin dari MDGs diantaranya adalah:

  1. To eradicate extreme poverty and hunger

(menghapus kemiskinan dan kelaparan ekstrim);

2. To achieve universal primary education

(mencapai pendidikan dasar universal);

3. To promote gender equality and empower women

(mempromosikan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan);

4. To reduce child mortality

(mengurangi kematian anak-anak);

5. To improve maternal health

(meningkatkan kesehatan Ibu);

6. To combat HIV/AIDS, malaria, and other diseases

(memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya);

7. To ensure environmental sustainability

(memastikan keberlangsungan lingkungan);

8. To develop a global partnership for development

(mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan).[1]

Kedelapan poin di atas diharapkan dapat menjadi indikator pencapaian gol pembangunan internasional bagi seluruh negara di dunia. Target pencapaian realisasi dari kedelapan poin ini pun ditentukan pada tahun 2015.[2] Sehingga harapannya setelah pasca 2015, hasil output dari MDGs akan mampu dicapai oleh berbagai negara di dunia, terutama negara-negara berkembang dan negara-negara dunia ketiga. Semenjak awal dibuatnya MDGs, ternyata dunia telah melalui beberapa macam kemajuan yang signifikan dalam upaya pencapaian dari poin-poin di dalam MDGs.

Diantara tahun 1990 sampai dengan tahun 2002 saja rata-rata dari pendapatan masyarakat dunia bertambah sampai dengan kurang lebih 21 persen. Jumlah masyarakat yang berada di dalam kemiskinan ekstrim (extreme poverty) menurun menjadi sekitar 1 per 130 juta jiwa. Jumlah kematian anak-anak turun dari yang awalnya 103 kematian per 1.000 kelahiran per tahunnya menjadi 88 per 1.000 kelahiran. Harapan hidup pun naik dari yang awalnya rata-rata 63 tahun menjadi hampir 65 tahun. Akses pada air bersih di negara-negara berkembang dan negara-negara dunia ke-3 pun meningkat sebanyak 8 persen. Ditambah lagi dengan peningkatan dari akses pelayanan sanitasi masyarakat yang juga meningkat sebanyak 15 persen.[3] Semua pencapaian-pencapaian yang signifikan ini terjadi hanya dalam jangka waktu 12 tahun sejak dibuatnya MDGs. Sehingga bagi pihak-pihak pendukung MDGs, pencapaian-pencapaian sering dijadikan sebagai bukti argumentasi dan legitimasi daripada pagenda MDGs itu sendiri. Akan tetapi, pencapaian-pencapaian signifikan ini pun muncul bersamaan dengan kegagalan-kegagalan yang cukup signifikan pula dari MDGs.

Walaupun MDGs dianggap mengalami kemajuan secara umum dan global, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan-kemajuan tersebut tidak bersifat merata, terutama bagi negara yang betul-betul membutuhkan pembangunan seperti negara-negara di wilayah Afrika. Kenyataannya saja jumlah masyarakat Afrika secara umum yang hidup di dalam kemiskinan justru meningkat sejak 1990 sampai tahun 2008.[4] Sedangkan lebih dari dua lusin negara di Afrika saja tidak bisa menyelesaikan target pengadaan sekolah dasar pada waktunya sesuai gol MDGs yang ditentukan, yaitu tahun 2015.[5] Mirisnya, Afrika hanyalah salah satu kasus dari banyak kasus disparitas antara negara yang ‘diuntungkan’ karena stabilitas negara dan infrastruktur yang memadai dengan negara yang ‘kurang diuntungkan’ karena tidak memiliki fasilitas serupa di dalam upaya pencapaian MDGs secara global.

Sehingga dari kenyataan ini kita bisa menyimpulkan bahwa MDGs masih mengalami disparitas karena tergolong berhasil untuk meraih pembangunan secara global, tetapi gagal untuk meraih pembangunan yang merata ke seluruh lapisan negara baik yang maju, berkembang, maupun negara-negara dunia ke-3.

Di sisi lain, MDGs dinilai gagal untuk menyentuh titik rasional yang realistis dari perspektif berbagai negara di dunia. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, proses pembangunan MDGs masih tergolong kurang merata di sebagian negara, terutama negara-negara yang kurang memiliki stabilitas dan fasilitas yang memadai. Sehingga beberapa pihak pun menggolongkan MDGs sebagai kurang realistis dalam penentuan batas waktu pencapaiannya.

Sebagai contoh, misalnya bila salah satu poin MDGs adalah memberantas kemiskinan ekstrim, maka ekonomi negara di Afrika secara umum harus tumbuh sebesar 7 persen/tahun di antara 2000–2015 agar bisa memangkas setengah dari jumlah masyarakat yang hidup di bawah tingkat kemiskinan minimum. Sementara berdasarkan sebuah penelitian, hanya tujuh dari 153 negara yang mampu mencapai target 7 persen pertumbuhan ekonomi ini.

Penelitian lain menunjukkan, bahwa apabila MDGs memang ingin tercapai secara global dan menyeluruh pada waktunya (2015), maka jumlah level bantuan global harus dinaikkan $50 milyar/tahun. Sedangkan nyatanya jumlah level bantuan global hanya berkisar dari $53 milyar di tahun 2000 menjadi $79 milyar di tahun 2004. Jumlah peningkatan bantuan ini hanya berjumlah setengah dari estimasi total bantuan yang diperlukan untuk mencapai MDGs pada waktunya.

Maka dari itu, tidak heran banyak pihak yang mengatakan bahwa gol-gol pembangunan yang dibuat dalam MDGs dulu gagal untuk menyentuh target capaian yang realistis, terlebih lagi bagi beberapa negara yang memiliki kekurangan dalam berbagai segi stabilitas politik, kekuatan ekonomi, maupun fasilitas infrastruktur.

Melihat penjelasan dari berbagai realita di atas, maka kita bisa mengetahui tantangan untuk agenda pembangunan pasca 2015 keberlanjutan atau sustainability. Sayangnya, masih banyak negara yang masih belum merasakan ‘dampak’ dari agenda pembangunan global seperti MDGs dan SDGs secara merata. Dari hasil-hasil penelitian di atas, beberapa pihak telah sibuk membicarakan perihal permasalahan kurangnya dana untuk merealisasikan MDGs dulu. Maka, bila kita ingin membuat perubahan terhadap ketahanan agenda pembangunan global tahun 2015–2030, maka kita harus mulai dari substansi dan mekanismenya terlebih dahulu.

Bila kita perhatikan poin-poin di dalam MDGs sebetulnya masih memiliki kekurangan dari segi substansi, karena poin-poinnya bersifat terlalu menggeneralisir isu pembangunan global sehingga kurang adaptatif secara universal. Kurang adaptatif di sini adalah dalam artian MDGs tidak memberikan mekanisme distribusi dan eksekusi yang spesifik untuk tiap negara yang memiliki faktor sosial, kultural, ekonomi dan politik yang beragam macamnya. Sehingga akhirnya akan sulit bagi beberapa negara untuk menyesuaikan prioritas domestiknya dengan gol yang ditentukan MDGs secara universal tanpa pertimbangan spesifik akan kondisi negara yang beragam macamnya.

Oleh karena itu saran pertama saya adalah MDGs seharusnya lebih adaptatif dengan memperhatikan aspek-aspek domestik dari masing-masing negara, karena tidak semua negara memiliki prioritas gol pembangunan yang sama persis dengan yang ditentukan oleh MDGs. Maka dari itulah sifat adaptatif menjadi pelajaran yang sangatlah penting terhadap agenda pembangunan global pasca SDGs resmi berlaku di tahun 2015.

Selain itu, bagi saya perumusan dan pengawasan terhadap proses pencapaian poin-poin dalam MDGs akan lebih baik jika dilaksanakan secara regional melalui organisasi regional tertentu. Ini bertujuan agar mempermudah adaptasi faktor sosial, kultural, ekonomi dan politik negara-negara di wilayah tersebut yang pasti akan memiliki lebih banyak kesamaan, dibanding menyeragamkan poin MDGs secara universal tanpa proses adaptasi sama sekali.

Proyeksi SDGs: Belajar Dari Evaluasi MDGs

Akhir kata, saran kedua saya untuk tercapainya keberlangsungan proyeksi Sustainable Development Goals (SDGs) pasca 2015 terhadap berbagai macam tantangan kedepannya, adalah kita harus melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap poin-poin di dalam MDGs.

Upaya untuk melakukan evaluasi terhadap poin-poin di dalam MDGs sebetulnya sudah dilakukan, salah satunya adalah dengan inisiasi program SDGs yang awalnya diusulkan pada Earth Summit di Rio, Brazil tahun 1992 dan kemudian dituangkan dalam sebuah konsep parallel di pertemuan Rio 20+ tahun 2012.[6]

Berikut 17 poin dalam SDGs:

Goal 1: No Poverty

(Tanpa Kemiskinan)

Goal 2: Zero Hunger

(Tanpa Kelaparan)

Goal 3: Good Health and Well-Being

(Kehidupan Sehat dan Sejahtera)

Goal 4: Quality Education

(Pendidikan Berkualitas)

Goal 5: Gender Equality

(Kesetaraan Gender)

Goal 6: Clean Water and Sanitation

(Air Bersih dan Sanitasi Layak)

Goal 7: Affordable and Clean Energy

(Energi Bersih dan Terjangkau)

Goal 8: Decent Work and Economic Growth

(Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi)

Goal 9: Industry, Innovation and Infrastructure

(Industri, Inovasi dan Infrastruktur)

Goal 10: Reduced Inequalities

(Berkurangnya Kesenjangan)

Goal 11: Sustainable Cities and Communities

(Kota dan Komunitas Berkelanjutan)

Goal 12: Responsible Consumption and Production

(Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung jawab)

Goal 13: Climate Action

(Penanganan Perubahan Iklim)

Goal 14: Life Below Water

(Ekosistem Laut)

Goal 15: Life on Land

(Ekosistem Daratan)

Goal 16: Peace, Justice and Strong Institutions

(Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh)

Goal 17: Partnership for the Goals

(Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan) [7]

Konsep dari SDGs tidak lain adalah sebuah terhadap konsep MDGs yang dianggap hanya berfokus pada output (hasil jangka pendek) dibanding outcome (hasil jangka panjang). Para penggagas SDGs merancang poin-poin evaluasi atas MDGs yang mereka kritik juga terlalu berfokus pada isu kemiskinan ekstrim dan pembangunan manusia (human development) dalam konteks ekonomi semata.

Selain itu, 17 poin yang ada di dalam SDGs juga tergolong lebih spesifik karena mencakup lebih banyak aspek yang belum tersentuh oleh MDGs sebelumnya, seperti aspek energi, bencana alam, pertambangan, perlindungan sosial, dan berbagai aspek lainnya. Semua poin yang dibuat di dalam SDGs memiliki tujuan agar pembangunan yang dicapai dapat menjadi lebih berkelanjutan secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Meskipun demikian terlihat perbedaan diantara keduanya, bagi saya seharusnya kita tidak memandang MDGs dan SDGs sebagai dua entitas yang berbeda, tetapi sebagai entitas yang saling melengkapi.

Bila dahulu MDGs berfokus pada kemiskinan ekstrim dan human development saja, maka implementasi SDGs 2015 sepatutnya mampu mengadopsi beberapa poin pada SDGs yang sebelumnya tidak dimasukkan ke dalam MDGs. Selain itu, inklusivitas konsep sustainability yang diusung oleh SDGs juga harus lebih ditekankan lagi agar berfokus pada outcome yang berkelanjutan dengan roadmap program yang terstruktur, dibandingkan dengan output berjangka pendek semata.

[1] //www.un.org/millenniumgoals/

[2] //www.unmillenniumproject.org/goals/

[3] Ibid.

[4] Clemens, Michael; Moss, Tod, What’s Wrong with the Millennium Development Goals? Center for Global Development, September 2008.

[5] Clemens; Moss. 2008. Ibid.

[6] Loewe, Markus. Post 2015: How to Reconcile the Millennium Development Goals (MDGs) and the Sustainable Development Goals (SDGs)? German Development Institute, 2012.

[7] //www.un.org/sustainabledevelopment/sustainable-development-goals/

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA