Jenis bencana alam yang termasuk ke dalam hidro-meteorologi adalah

Bencana Hidrometeorologi, sebuah istilah yang dalam satu dekade terakhir marak dibahas. Bencana meteorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi (curah hujan, kelembaban, temperatur, angin). Kekeringan, Banjir, Badai, Kebakaran hutan, El Nino, La Nina, Longsor, Tornado, Angin puyuh, topan, angin puting beliung, Gelombang dingin, Gelombang panas, Angin fohn (angin gending, angin brubu, angin bohorok, angin kumbang) adalah beberapa contoh bencana Hidrometeorologi. Bencana tersebut dimasukan kedalam bencana meteorologi karena bencana diatas disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi.

Perubahan cuaca hanya pemicu saja, penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan yang masif akibat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan frekuensi dan intensitas bencana di Indonesia terus meningkat selama 15 tahun terakhir. Terbaru, data BNPB menyebutkan selama 2021 (1 Januari – 7 April 2021) telah terjadi 461 bencana banjir, dan 209 bencana Tanah Longsor termasuk bencana yang terjadi di NTT dan NTB  baru-baru ini.

Jenis bencana alam yang termasuk ke dalam hidro-meteorologi adalah
Info Bencana Indonesia 2021 | Gambar: Pusdatinkom BNPB

Terjadinya bencana alam di NTT dan NTB karena terbentuknya siklon tropis Seroja.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memaparkan penyebab terjadinya bencana alam banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dipicu cuaca buruk akibat badai atau siklon tropis Seroja. Cuaca ekstrem Badai Siklon Tropis Seroja menyebabkan sejumlah titik di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalami banjir bandang dan tanah longsor. Daerah yang memiliki dampak cukup besar yaitu Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata dan Kabupaten Alor.

Siklon tropis sendiri memberikan dampak berupa potensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat disertai kilat/petir serta angin kencang. Selain itu memberikan dampak pula pada gelombang laut yang tinggi.

Jenis bencana alam yang termasuk ke dalam hidro-meteorologi adalah
Perkiraan Streamline | Gambar: BMKG

Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan munculnya siklon tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi bukti bahwa perubahan iklim global itu nyata adanya.

“Perubahan iklim global itu memang nyata, ditandai semakin meningkatnya suhu baik di udara maupun di muka air laut”, ujar Dwikorita dalam konferensi pers secara virtual yang dipantau dari Jakarta, Senin (5/4/2021).

Menurut dia, fenomena ini jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, sejak sepuluh tahun terakhir, kejadian siklon tropis semakin sering terjadi. Bahkan pada 2017, dalam satu pekan bisa terjadi dua kali siklon tropis.

“Hal ini menunjukkan memang dampak perubahan iklim global harus benar-benar segera kita antisipasi,” Ujar Dwikorita.

Sumber :

https://www.suara.com/news/2021/04/06/045241/penjelasan-lengkap-bmkg-soal-siklon-tropis-seroja-penyebab-bencana-di-ntt

Bencana Hidrometeorologi, Apa itu?

https://www.facebook.com/InfoBencanaBNPB

Jenis bencana alam yang termasuk ke dalam hidro-meteorologi adalah

Jenis bencana alam yang termasuk ke dalam hidro-meteorologi adalah
Lihat Foto

SHUTTERSTOCK/John D Sirlin

Ilustrasi badai petir, rahasia alam semesta.


KOMPAS.com - Sebagai negara tropis yang memiliki dua musim, Indonesia rentan terjadi sejumlah bencana. Bahkan awal tahun 2021 ini, Indonesia sudah diguncang dengan berbagai bencana yang menimbulkan korban jiwa.

Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim dengan berbagai parameternya.

Ketua Lembaga Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Penjaminan Mutu (LP3) Institut Sumatera Utara (ITERA) Acep Purqon mengatakan, bangsa Indonesia sangat rentan terhadap berbagai bahaya akibat adanya perubahan iklim.

Antara lain badai siklon tropis, hujan lebat, gelombang panas, kekeringan dan banyak lagi.

Baca juga: Peneliti IPB: Tanaman Herbal Ini Berkhasiat Redakan Asam Urat

Sikapi perubahan iklim dengan cerdas

Perubahan iklim jangka panjang juga dapat meningkatkan intensitas dan frekuensi kejadian cuaca dan iklim ekstrem. Untuk itu masyarakat harus bersiap menghadapi cuaca dan iklim dengan cerdas dan bijaksana.

“Layanan informasi meteorologi mulai dari prakiraan cuaca harian hingga prediksi iklim jangka panjang diharapkan mampu membantu masyarakat menyadari pentingnya informasi cuaca dan iklim,” ujar Acep seperti dikutip dari laman itera.ac.id, Jumat (26/3/2021).

Acep menambahkan, ITERA terus bertransformasi dengan cepat dalam menghadapi era disrupsi. Selain itu juga dibayangi potensi bencana yang dapat membahayakan.

Seperti bencana gempa bumi, tsunami, tanah longsor, angin topan, banjir, kebakaran hutan hingga adanya pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga sekarang.

Baca juga: 23 Berita Hoax Seputar Covid-19 dan Penjelasan Pakar Pulmonologi UGM

Menyikapi hal tersebut, ITERA siap untuk mendukung segala upaya, program, dan kegiatan-kegiatan pendidikan kebencanaan.

"ITERA siap menjadi pionir perguruan tinggi di Indonesia yang siap siaga bencana,” tandas Acep.

Memperingati Hari Meteorologi Dunia ke-71, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (MKG) Institut Teknologi Sumatera (ITERA) mengadakan seminar dalam jaringan dengan tema 'Strategi Peningkatan Pemahaman terhadap Bencana Hidrometeorologi di Indonesia'.

Pembicara webinar ini, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Indonesia Dr. Ir. Dodo Gunawan menerangkan, terjadinya bencana hidrometeorologi di Indonesia tidak terlepas dari faktor pengendali iklim atau cuaca.

Baca juga: Bantuan hingga Rp 12 Juta Per Semester, Ini Cara Daftar KIP Kuliah 2021

Bencana hidrometeorologi yang kerap terjadi di Indonesia antara lain:

1. Banjir

2. Tanah longsor

3. Kekeringan

4. Angin puting beliung

5. Gelombang tinggi

Selain itu juga fenomena cuaca juga kerap terjadi di Indonesia diantaranya El Nino atau La Nina, Dipole Mode, Indonesian SST, dan Asian-Australian Monsoon.

Baca juga: 9 Jurusan Undip Terfavorit di SNMPTN dan Daya Tampung SBMPTN 2021

Fenomena-fenomena ini yang menjadi variasi iklim yang ada di Indonesia. Seperti fenomena El Nino mengakibatkan terjadinya kemarau, sedangkan fenomena La Nina mengakibatkan terjadinya hujan dengan intensitas tinggi.

“Pada akhir tahun 2020 dan awal tahun 2021 Indonesia mengalami curah hujan yang cukup tinggi akibat adanya fenomena La Nina dan Monsoon Timur. Sehingga beberapa wilayah di Indonesia terjadi banjir,” terang Dodo.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Bencana Hidrometeorologi, sebuah istilah yang dalam satu dekade terakhir marak dibahas. Bencana meteorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter (curah hujan,kelembaban,temperatur,angin) meteorologi. Kekeringan, Banjir, Badai, Kebakaran hutan, El Nino, La Nina, Longsor, Tornado, Angin puyuh, topan, angin puting beliung, Gelombang dingin, Gelombang panas, Angin fohn (angin gending, angin brubu, angin bohorok, angin kumbang) adalah beberapa contoh bencana Hidrometeorologi. Bencana tersebut dimasukan kedalam bencana meteorologi karena bencana diatas disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi.

Perubahan cuaca hanya pemicu saja, penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan yang masif akibat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan frekuensi dan intensitas bencana di Indonesia terus meningkat selama 15 tahun terakhir.

Jenis bencana alam yang termasuk ke dalam hidro-meteorologi adalah
   
Jenis bencana alam yang termasuk ke dalam hidro-meteorologi adalah

Pada 2016 telah mengalami peningkatan jumlah kejadian bencana hidrometeorologi hingga 16 kali lebih tinggi dari jumlah kejadian bencana di tahun 2002. Bencana-bencana tersebut jelas akan memerikan dampak kerugian yang sangat besar. Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 diprediksi mencapai Rp 221 triliun, setara dengan 1,9 persen pendapatan ekonomi nasional.

Meningkatnya bencana hidrometeorologi merupakan konsekwensi dari meningkatnya kerentanan.

Jenis bencana alam yang termasuk ke dalam hidro-meteorologi adalah

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengatakan, banjir dan longsor erat kaitannya dengan curah hujan tinggi akibat kondisi cuaca ekstrem sebagai konsekuensi dari perubahan iklim. Akan tetapi, curah hujan yang tinggi bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab terjadinya banjir di suatu wilayah. Faktor lingkungan, seperti infrastruktur sungai atau drainase yang buruk, penggundulan hutan, dan faktor lainnya sangat berpengaruh.

Berdasarkan data BMKG, dari peta frekuensi hujan lebat sepanjang tahun 2009-2016, wilayah Papua merupakan wilayah dengan frekuensi tertinggi kejadian hujan lebatnya. Namun, jika dilihat dari peta frekuensi kejadian banjir atau longsor dalam kurun ini, kejadian banjir di Papua yang terendah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pulau Jawa sebagai wilayah dengan tingkat pembangunan yang tinggi, frekuensi kejadian banjir dan longsornya juga sangat tinggi.

Frekuensi curah hujan tinggi tidak selalu dapat menimbulkan kejadian banjir dan longsor di suatu wilayah, tetapi lebih bergantung pada kondisi lingkungan setempat. Kepala BNPB Willem Rampangilei mengatakan, intensitas bencana alam yang terus meningkat adalah akibat daya dukung lingkungan yang dari tahun ke tahun semakin lemah. Kerusakan ekologi terjadi secara masif karena didorong oleh penyalahgunaan lahan.

Kawasan hulu yang seharusnya menjadi zona lindung, resapan air, dan penyangga sistem hidrologi telah berubah menjadi pertanian, perkebunan, pertambangan, dan permukiman. Perubahan tersebut telah berlangsung sejak lama sehingga dampak yang ditimbulkan saat ini merupakan akumulasi dan memunculkan lahan kritis yang tersebar di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi seperti di Pulau Jawa. Baca “Bencana Lingkungan yang Tiada Akhir”.

Jenis bencana alam yang termasuk ke dalam hidro-meteorologi adalah

Berbagai kerusakan lingkungan akibat ulah manusia yang memanfaatkan lahan tanpa memperhatikan fungsi kawasan, daya dukung dan daya tampung dalam DAS telah “sukses” menambah laju jumlah DAS kritis di Indonesia. Baca “Arisan bencana tahunan di Indonesia, Akankah berakhir?”

Bertambahnya jumlah DAS kritis telah terbukti secara linier dengan bertambahnya jumlah kejadian bencana hidrometeorologi. Penyerobotan kawasan hutan lindung di daerah hulu DAS menjadi kawasan pertanian intensif seperti yang terjadi di daerah hulu DAS Serayu di banjarnegara telah merubah wajah kawasan dataran tinggi Dieng menjadi tak bervegetasi, akibatnya, kejadian-kejadian bencana rajin menghampiri setiap tahunnya.

Kerusakan hutan di Indonesia dimulai sejak awal 1970-an, ketika pemerintah pada waktu itu membagi-bagi kawasan hutan produksi di Indonesia kepada para pemegang konsesi untuk dipanen kayunya. Lebih dari 600 perusahaan pemegang konsesi hutan produksi (HPH) memanen kayu-kayu di hutan alam Indonesia hingga sektor kehutanan pada waktu itu menduduki peringkat kedua penghasil devisa negara terbesar setelah minyak bumi. Akibat praktek pemanenan tanpa pemulihan hutan yang benar, maka luasan hutan yang terdegradasi semakin bertambah.

Berdasarkan data Kementrian Kehutanan, tahun 1985-1997 pengurangan luasan hutan mencapai 22,46 juta hektar, atau 1,87 juta hektar per tahun. Periode 1997-2000, laju pengurangan luasan hutan bertambah hebat hingga mencapai 2,84 juta ha per tahun. Hasil analisis citra SPOT Vegetation tahun 2000-2005 menunjukkan pengurangan penutupan hutan sebesar 1,08 juta hektar per tahun.

Berbagai data dan informasi diatas telah menjadi bukti yang kuat, bahwa keberadaan hutan terutama di daerah hulu DAS memiliki korelasi yang kuat terhadap kejadian bencana hidrometeorologi. Wilayah DAS yang biasanya dibagi menjadi 3 zona (hulu, tengah dan hilir) memiliki fungsi dan karakteristik yang berbeda-beda. (Baca “Sehatkah DAS kita?“)

Banyak peran hutan dalam pengendalian daur air yang harus dapat direstorasikan kembali jika ingin dapat berkontribusi dalam pengurangan resiko bencana hidrometeorologi. Dan yang terpenting, seluruh pihak harus dapat berperan dan berkontribusi dalam pemulihan lingkungan dan hutan untuk mewarisi generasi penerus lingkungan yang lebih baik.

Penulis: Hatma Suryatmojo