jelaskan tentang perdagangan melalui jalur sutera

For faster navigation, this Iframe is preloading the Wikiwand page for Jalur Sutra.

{{::readMoreArticle.title}}
{{bottomLinkPreText}} {{bottomLinkText}}

Jalur Sutra

  • Introduction
  • Lihat pula
  • Pranala luar
  • Referensi

Thanks for reporting this video!

Please help us solve this error by emailing us at Let us know what you've done that caused this error, what browser you're using, and whether you have any special extensions/add-ons installed.

Thank you!

  Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin delegasi Indonesia menemui Presiden China Xi Jinping dan jajaran pejabat pemerintah setempat di Balai Agung Rakyat, Beijing, Kamis (25/4/2019). Sumber foto: Antara Foto

Memastikan Indonesia tidak masuk jebakan utang. Tapi ingin menjadi partner yang yang menguntungkan. Skemanya bisnis to bisnis, tidak ada utang negara.

Jalur sutera  dalam Wikipedia ditulis sebagai sebuah jalur perdagangan melalui Asia yang menghubungkan antara Timur dan Barat dengan dihubungkan oleh pedagang, pengelana, biarawan, prajurit, nomaden dengan menggunakan karavan dan kapal laut, dan menghubungkan Chang'an, Republik Rakyat Tiongkok, dengan Antiokhia, Suriah, dan juga tempat lainnya pada waktu yang bervariasi. Pengaruh jalur ini terbawa sampai ke Korea dan Jepang.

Jalur sutera benua terbagi menjadi jalur utara dan selatan begitu dia meluas dari pusat perdagangan Cina Utara dan Cina Selatan. Rute utara melewati Bulgar-Kipchak ke Eropa Timur dan Semenanjung Crimea, dan dari sana menuju ke Laut Hitam, Laut Marmara, dan Balkan ke Venezia. Sedangkan rute selatan melewati Turkestan-Khorasan menuju Mesopotamia dan Anatolia, dan kemudian ke Antiokia di Selatan Anatolia menuju ke Laut Tengah atau melalui Levant ke Mesir dan Afrika Utara.

Penamaan Jalur sutera mengacu pada kegiatan perdagangan sutera yang dilakukan oleh para pedagang Cina di sepanjang jalan tersebut, semasa pemerintahan Dinasti Han (206 SM-220 M). Jalur sutera terkenal setelah ahli geografi asal Jerman, Ferdinand von Richthofen, menyebut Silk Road (Jalur sutera) dalam beberapa kali ekspedisinya ke Cina antara 1868-1872.

Beberapa bagian dari rute Jalur sutera sempat mengalami perluasan pada 114 SM ketika utusan Kekaisaran Cina, Zhang Qian, melakukan misi dan eksplorasinya di Asia Tengah. Menurut catatan, rute utama dari jaringan perdagangan tersebut memiliki panjang 6.437 km.

Pada 22 Juni 2014, UNESCO menetapkan jalan kuno sepanjang 5.000 km dari Jalur sutera yang membentang dari Cina Tengah hingga wilayah Zhetsyu di Asia Tengah sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites). Rute yang dikenal sebagai Koridor Chang'an-Tianshan ini melintasi beberapa negara, mencakup Cina, Kazakhstan, dan Kirgizstan.

Beberapa tahun belakangan Jalur Sutera kembali mengemuka. Sabuk Ekonomi Jalur sutera dan Jalur sutera Maritim Abad ke-21, lebih dikenal sebagai Inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalan (OBOR).

Inisiatif sabuk dan jalan  ini diusulkan oleh pemimpin tertinggi Tiongkok Xi Jinping yang berfokus pada konektivitas dan kerja sama antara negara-negara Eurasia, terutama Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Sabuk Ekonomi Jalur Sutera (SREB) berbasis daratan dan Jalur Sutera Maritim (MSR) lintas samudera. Strategi tersebut menegaskan tekad Tiongkok untuk mengambil peran lebih besar dalam urusan global dengan sebuah jaringan perdagangan yang berpusat di Tiongkok.

Inisiatif ini diungkapkan pada September dan Oktober 2013 masing-masing untuk SREB dan MSR. Ini juga dipromosikan oleh Perdana Menteri Li Keqiang selama kunjungan kenegaraan ke Asia dan Eropa.

Inisiatif ini awalnya disebut One Belt and One Road/OBOR (Satu Sabuk dan Satu Jalan), namun di pertengahan 2016 nama resminya diganti menjadi Belt and Road Initiative (Inisiatif Sabuk dan Jalan).  Dalam tiga tahun terakhir, fokusnya adalah terutama pada investasi infrastruktur, material konstruksi, kereta api dan jalan raya, mobil, real estate, jaringan listrik, dan besi dan baja.

Perlu diketahui, Pemerintah Cina pada 2013 demi memperluas wilayah perdagangan Cina serta untuk memasarkan produknya ke berbagai belahan dunia dengan membuat satu jalan sutera OBOR menghubungkan Cina dengan Asia Tenggara, Asia Selatan dan Samudera Hindia. Dalam hal ini, proyek OBOR akan mengembangkan koridor ekonomi Cina-Indocina dengan memanfaatkan rute transportasi internasional yang bergantung pada kota-kota utama di sepanjang rute OBOR sekaligus menggunakan penggerak industri utama sebagai platform kerja sama antara Cina dengan negara-negara yang dilaluinya, termasuk Indonesia.

Selain itu, Jalan Sutera Maritim Abad 21 dirancang untuk beralih dari pantai Cina ke Eropa melalui Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia dalam satu rute, dan dari pantai Cina melalui Laut Cina Selatan ke Pasifik Selatan di sisi lain. OBOR melalui jalur laut ini akan berfokus pada membangun rute transportasi yang mulus, aman, dan efisien sehingga dapat menghubungkan pelabuhan laut utama di sepanjang jalan sutera OBOR. 

Cina saat ini sedang gencar melakukan kerja sama dengan negara-negara di Asia untuk menjalin jaringan di wilayah ini yang betujuan untuk membangun jalur sutera.  “One Belt One Road” ini Cina memberikan dana proyek beberapa negara seperti ke Pakistan sebesar 47 miliar dolar, Malaysia 27 miliar dolar, dan ke Filipina 24 miliar dolar.

Di Indonesia ada lima kontrak kerja sama yang telah ditandatangani. Pengembangan proyek hydropower di Kayan, Kalimantan Utara, senilai 2 miliar dolar AS, pengembangan industri konversi dimethyl ethercoal menjadi gas senilai 700 juta dolar AS, perjanjian joint venture pembangkit listrik tenaga air di Sungai Kayan senilai 17,8 miliar dolar AS, joint venture pengembangan pembangkit listrik di Bali senilai 1,6 miliar dollar AS, dan pengembangan smelter baja senilai 1,2 miliar dolar AS. Luhut menyebut, total nilai investasi yang didapatkan sebesar 23,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp310 triliun.

Proyek One Belt One Road Cina diyakini dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia. Dari 28 kerja sama antara Indonesia dan Cina dalam kerangka tersebut, nilainya mencapai USD91 miliar, atau lebih dari Rp1.288 triliun.

Hal itu disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman Ridwan Djamaluddin. Menurutnya, nilai proyek terbesar berada di Kalimantan Utara (Kaltara) dengan proyek hydropower.

Pemerintah Indonesia menawarkan dua kelompok proyek prioritas. Kelompok pertama mencakup empat koridor wilayah yakni Sumatra Utara (Sumut), Kaltara, Sulawesi Utara (Sulut), dan Bali. Sementara itu, kelompok kedua terdiri atas beberapa proyek di Sumatera Selatan (Sumsel), Riau, Jambi, dan Papua.

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan tahap pertama proyek skala besar dari inisiatif One Belt One Road (OBOR)  ditandatangi pada April 2019. Cina sudah menyiapkan rancangan kerangka perjanjian bersama untuk bekerja sama di Kuala Tanjung, sebagai proyek tahap pertama.

Selanjutnya, ada beberapa proyek kerja sama lain yang telah disepakati seperti Kawasan Industri Sei Mangkei dan kerja sama strategis pada Bandara Internasional Kualanamu untuk tahap kedua.

Pemerintah, menawarkan tiga puluh proyek yang terbagi menjadi empat koridor di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Pulau Bali. Total nilai investasi di keempat koridor tersebut mencapai USD91.1 miliar.

Wahana Lingkungan Hidup mengingatkan skema perjanjian One Belt One Road atau Belt and Road Inisiative (BRI) dengan pemerintah Cina dinilai bakal menimbulkan kerugian tak langsung bagi negara-negara terkait sebagai sebuah jebakan utang  ke Cina.

Jebakan utang ini menurut Walhi sebelumnya telah melilit negara yang menyepakati BRI dengan Cina, seperti Sri Lanka dan beberapa negara lainnya di Afrika. Dengan skema government to government atau g to g yang ditawarkan, Cina menjadi pemodal Sri Lanka untuk membangun Pelabuhan Hambantota di pantai selatan.

Cina pada 2017 menggelontorkan duit pinjaman senilai USD 1,5 miliar. Namun perjanjian ini berujung  buruk bagi Sri Lanka lantaran negara itu harus menyerahkan pelabuhannya kepada pemerintah Cina lantaran tak bisa melunasi utang.

Utang yang tidak terbayarkan itu berjumlah USD 8 miliar. Nilai utang ini setara dengan lebih dari 90 persen pendapatan domestik bruto rakyat Sri Lanka. Dengan demikian, pemerintah Sri Lanka mesti menyerahkan sekitar 50 persen saham pelabuhan kepada Cina dan harus melayani perusahaan milik Negeri Tirai Bambu itu selama 99 tahun.

Selain utang, kemungkinan kerugian kedua yang disoroti Walhi dengan adanya perjanjian ini adalah pemerintah menjadi tidak peka terhadap lingkungan hidup dan iklim. Menurut catatan WALHI, dari 28 Proyek senilai Rp1,296 triliun yang ditawarkan pemerintah Indonesia, masih ada proyek-proyek listrik energi kotor batubara.

"Ada yang memperingatkan jebakan utang, itu untuk yang skemanya tidak seperti kita," ujar Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan dalam keterangan tertulis, Jumat, 26 April 2019. Pasalnya, Indonesia tidak akan melakukan perjanjian antar pemerintah, melainkan skema business to business yang dinilai dapat mengurangi risiko jebakan itu.

Formatnya, menurut dia, tidak ada uang pemerintah yang disertakan dalam proyek-proyek tersebut. Luhut berprinsip kedua belah pihak harus sama-sama untung. Pemerintah hanya terlibat dalam studi kelayakannya, menyangkut lingkungan hidup, nilai tambah, transfer teknologi, B to B dan pemanfaatan tenaga kerja lokal.

Sementara itu Presiden Cina Xi Jinping dalam permbukaan KTT Belt and Road Initiative, Jumat lalu, mengatakan bahwa tidak berusaha menjebak siapa pun dengan utang dan hanya memiliki niat baik. Menurutnya, Inisiatif Jalan Sutera akan fokus pada transparansi dan pemerintahan yang bersih. Proyek besar infrastruktur dan perdagangan harus menghasilkan pertumbuhan berkualitas tinggi bagi semua orang. (E-2)

  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id