Jelaskan posisi orang Kristen dalam PEMBANGUNAN

Oleh : Dr. Naslindo Sirait

Supaya sekarang melalui jemaat diberitahukan berbagai ragam himat Allah kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di surga” Efesus 3:10

Pendahuluan

Bagaimana negara menyusunan sebuah kebijakan (policy) melalui badan-badannya untuk menetapkan satu peraturan perundang-undangan di sebut sebagai politik hukum. Secara umum konsepsi politik hukum dapat dikatakan sebagai suatu mekanisme yang digunakan oleh  negara dalam menyusun sebuah kebijakan untuk melaksanakan tanggungjawab negara untuk memenuhi (to fulfill) kebutuhan masyarakat, terutama kebutuhan dasar dan sekaligus untuk melindungi (to protect) seluruh warga negara tanpa diskriminasi dengan melakukan langkah-langkah regulasi dan deregulasi dan menggerakkan institusi penegak hukum bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak sipil warganegara. Termasuk dalam konsepsi ini memastikan negara tidak melakukan pelanggaran hak sipil secara sengaja (by commission) maupun pembiaran (by omission), sebagaimana juga disampaikan Sunaryati Hartono bahwa politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.

Tulisan ini akan melihat bagaimana penyelenggara negara mengelola politik hukum untuk menjawab kebutuhan hukum sesuai dengan perkembangan jaman di Indonesia, juga akan melihat bagaimana keterlibatan umat Kristen di Indonesia dalam pembentukan politik hukum di Indonesia.

Perekembangan Politik Hukum Di Indonesia

Politik hukum sebagai alat pembentukan peraturan-peraturan yang dikenendaki untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan mencakup proses pembuatan (law making) dan penegakan hukum (law enforcement). Proses pembuatan hukum maupun penegakan hukum, sama-sama memiliki peran yang vital dalam mewujudkan cita-cita nasional. Produk hukum yang berpihak kepada masyarakat, akan membawa masyarakat sejahtera dan penegakan hukum yang berkeadilan akan memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi masyarakat, demikian sebalikknya.

Namun dalam prakteknya baik pembuatan hukum maupun penegakan hukum masih banyak mengalamai kendala. Baru-baru ini kita menyaksikan keributan di ruang publik, terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pemerintah menyebut RUU tersebut akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan penyederhanaan berbagai prosedur perizinan dan kemudahan berinvestasi serta berusaha yang akan membuka lapangan kerja sehingga pengangguran akan berkurang. Namun oleh beberapa elemen masyarakat sipil menolak karena disinyalir RUU ini alat kapitalis global yang akan menguasai Indonesia, juga disinyalir akan meningkatnya kerusakan lingkungan serta berkurangnya kesejahteraan dan perlindungan kepada buruh/pekerja di Indonesia.

Sebelumnya juga pada bulan September 2019,  kita meyaksikan penolakan besar-besaran terhadap RUU KPK, RUU KHUP,dan RUU Minerba yang disinyalir aktivis penggiat anti korupsi dan oleh elemen masyarakat lainnya akan memperkecil ruang KPK dalam memberantas korupsi di Indonsia, pelanggaran HAM dengan hukum yang refresif juga disinyalir penguasaan SDA oleh pihak-pihak asing yang akan merusak lingkungan dan merugikan ekonomi bangsa dari dari RUU Minerba. Tentu penolakan yang  begitu besar dalam bentuk demontrasi tidak perlu terjadi kalau pemerintah dalam pembentukan produk huukum sudah melibatkan dan memberikan ruang partisipasi publik yang luas kepada elemen-lemen masyarakat yang berkentingan, memang dalam satu kebijakn tidak akan pernah memberikan kepuasan bagi semua pihak, hanya saja perlu ada keseimbangan dari semua pihak, sehingga tidak ada yang dirugikan dari sebuah kebijakan dan tujuan dari sebuah kebijakan untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan benar-benar dapat di wujudkan.

Pada aspek penegakan hukum, kita juga meyaksikan bagaimana penegakan hukum belum berlangsung dengan baik. Penegakan hukum yang pada hakikatnya dapat memberikan keadilan,  kebermanfaatan dan kepastian hukum malah sebaliknya, ada adigum yang rasanya masih tepat untuk menggambarkan kondisi penegakan hukum di Indonesia bahwa “Hukum Tumpul  Keatas dan Tajam Kebawah”. Baru-baru ini kita dikejutkan adanya mafia peradilan, yang bisa mengatur jalannya penegakan hukum. Pelanggaran hukum yang terus terjadi untuk kasus-kasus yang sama, artinya penegakan hukum belum memberikan efek jera bagi masyarakat. Melihat masalah-masaah tersebut, baik dari sisi pembuatan hukum maupun penegakan hukum di Indonesia saat ini belum berjalan dengan baik.

Dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (bedasarkan periode sistem politik) antara politik yang demokratis dan politik otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Terjadinya perubahan itu karena hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah jika politik yang melahirkannya berubah. Bagaimana proses pembuatan dan  penegakan hukum di Indonesia, tentu tidak lepas dari kekuatan politik. Walaupun kita adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan atas dasar kekuasaan (machstaat), namun dalam prakteknya kekuasaan dan politik sangat dominan menentukan bekerjanya hukum. Karena hukum merupakan produk politik, lahirnya produk hukum tidak lepas dari mekanisme politik. Hukum juga berlaku sebagai salah satu alat politik, dimana penguasa dapat mewujudkan kebijakannya melalui hukum.

Karena itu, bagaimana politik hukum di Indoensia yang akan menghasilkan produk hukum dan penegakan hukum yang baik, tidak lepas dari kualitas kelembagaan yang ada, baik itu Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif. Kelembagaan yang independen, berintegritas dan profesional akan melahirkan politik hukum yang bervisi pada kesejahteraan, berkeadilan dan berprikemanusiaan.  Pemerintahan yang korup, yang otoriter akan cenderung membangun politik hukum yang korup yang akan menguntungkan dan melanggengkan kekuasaan. Karena itulah perlu di wujudkan lembaga-lembaga pemerintah yang bersih dan akuntabel, melalui sistim dan proses demokrasi yang  berkualitas tentu dengan kesadaran dan terlibatnya masyarakat sipilnya dalam menggunakan hak-hak politikya sehingga terlahir pemerintahan yang demokratis dan akuntabel.

Kita bisa melihat kualitas anggota legislatif yang berfungsi sebagai lembaga legislasi, apabila mereka tidak cakap dalam memahami persoalna-persoalan yang akan dijadikan kebijakan, kita bisa bayangkan kualitas produk legislasi yang dihasilkan, belum lagi dalam melahirkan sebuah legislasi terdapat banyak kepentingan, apabila anggora legislatif, maupun eksekutif tidak memiliki integritas yang tinggi, maka akan muda tergoda dengan berbagai iming-iming yang dapat membelokkan arah sebuah kebijakan untuk memenuhi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Kita semua mengetahui bagaimana demokrasi kita saat ini belum lepas dari politik uang, ongkos demokrasi yang begitu mahal yang harus ditanggung oleh apara konstestan baik di Pemilu, Pilkada maupun pada Pilpres.

Penolakan-penolakan masyarakat sipil terhadap berbagai produk hukum tidak terlepas dari turunnya kepercayaan masyarakat sipil kepada pemerintah. Hal ini ditenggarai proses pembuatan hukum maupun penegakan hukum kurang transparan, sehingga masyarakat mencurigai ada berbagai kepentingan yang ditutup-tutupi dan dipermainkan. Karena itu, sudah seharusnya dibangun sebuah sistim yang memungkinkan masyarakat sipil ikut mengawasi, terlibat dan transparan dalam pembentukan produk hukum dan penegakan hukum agar penyelewengan-penyelewengan dapat dihindari

Bagaimana Keterlibatan Umat Kristen Dalam Politik Hukum Di Indoensia

 Diawal berdirinya negara ini, para founding father berdebat tentang dasar negara yang akan dibentuk, terjadi pertentangan antara kaum Nasionalis Kebangsaan dan kaum Islam terhadap rumusan Piagam Jakarta bagian dari rancangan UUD 1945 yang telah disiapkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Para pemuka agama Kristen menyarankan agar kalimat pada sila ketuhanan yang ditambahkan tujuh kata yakni: “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, suatu bentuk rumusan yang mengharuskan orang Islam menjalankan syariat Islam, dan pasal yang menetapkan Presiden harus seorang Islam, dihapus dari rumusan UUD. Saran itu diterima oleh Muhammad Hatta dan para tokoh agama Islam sehingga kedua pasal itu diubah. Kesepakatan itu dapat menyatukan bangsa Indonesia seluruhnya, dan tidak ada diskriminasi warga negara serta tegaknya negara kesatuan Indonesia yang demokratis. Pristiwa itu merupakan saat-saat yang sangat menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia ke depan, sekaligus merupakan peranan yang sangat penting dari orang Kristen dalam pusaran politik bangsa Indonesia.

Dari sejak permulaan pergerakan kemerdekaan Indonesia, tokoh-tokoh kristen seperti Mr. Amir Sjarifudin, Mr. A.A. Maramis, Dr. Leimena, Dr. Moelia, yang duduk dalam kabinet pertama. Sedangkan Dr. Ratulangi menjadi Gubernur pertama di Sulawesi Utara dan Mr. Latuharhary gubernur di Maluku telah berperan dalam membangun politik hukum di Indonesia, dalam pembentukan cikal bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesudah proklamasi kemerdekaan diproklamasikan, sebagai respons terhadap maklumat pemerintah, yang memperbolehkan rakyat Indonesia untuk mendirikan partai-partai politik dengan tujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia maka pada tanggal 10 November 1945, didirikanlah partai politik Kristen yang bercorak nasional.

Pendirian partai politik itu memiliki tujuan yang lebih jauh yaitu untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan RI dan bersama menentukan tujuan pemerintahan berdasarkan Firman Tuhan, bahwa orang Kristen mesti menjadi “garam dan terang” dalam penyelenggaraan negara di semua bidang termasuk bidang politik. Saat itu, orang Kristen Protestan memiliki hanya satu partai politik yang menyalurkan aspirasi politiknya di Indonesia yaitu PARKINDO.  Sambutan orang Kristen di Indonesia terhadap hadirnya partai politik ini cukup besar sehingga sejak kemerdekaan RI, orang Kristen sebagai anggota dari PARKINDO selalu mendapat posisi dalam Kabinet. Walaupun PARKINDO telah menjadi saluran aspirasi politik bagi umat Kristen Protestan di Indonesia, namun ada sebagian orang Kristen yang menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai politik yang lain, antara lain: PNI (Partai Nasional Indonesia), MURBA dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) bahkan dari partai-paratai ini pun ada orang Kristen yang menduduki posisi penting sebagai menteri.

Ketika Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) didirikan pada bulan Mei 1950 yang seterusnya berubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) , gereja mulai mengembangkan pemikiran-pemikiran teologis-politis yang lebih luas terkait dengan HAM, kesetaraan gender, pendidikan, kesehatan, penangulangan kemiskinan, kelaparan, ketimpangan, perubahan iklim, dan isu energi dalam setiap rapat-rapatnya, namun diskursus yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keumatan ini, akhir-akhir ini kurang mengema apalagi samapai pada mempengaruhi pembuatan kebijakan publik di Indoensia. 

Dalam masa Orde Baru sampai pasaca reformasi sampai saat ini , terdapat juga masa-masa suram yang dialami oleh gereja atau umat Kristen, Selaian peleburan beberapa partai politik termasuk PARKINDO kepada 3 partai politik yang dibentuk, ini sekaligus menandai campu tangan pemerintah yang kuat untuk membatasi ha-hak politik warga negara, beberapa peristiwa yang bersifat religius-politis yang berkaitan langsung dengan eksistensi gereja dan umat Kristen juga perlu dicatat. Terjadi penghancuran gereja-gereja, penutupan gereja dan sekolah-sekolah Kristen oleh kelompok dari agama lain, pemerintah merespon dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (disingkat: SKB No. 1 tahun 1969, yang kemudian di revisi menjadi Peraturan Bersama Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 dan masih berlaku sampai saat ini), bahwa pembangunan rumah ibadat harus mendapat persetujuan penduduk setempat, dan Pada tahun 1978, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan No. 70 dan 77, yang melarang penyebaran agama ditujukan kepada orang-orang yang telah memeluk agama lain, dengan bujukan dan pamflet, tentu kondisinya memberatkan dan membatasi pendidrian gereja dan melanggar HAM soal kebebasan beragama dan terjadinya diskriminasi yang dialami warga negara terhadap kebebsan beragama dan berkeyakinan. Keputusan itu juga melarang mengunjungi rumah-rumah orang-orang yang memiliki agama lain.

Periode Orde Baru sampai saat ini, keterlibatan umat Kristen, baik secara individu-individu sebagai pejabat negera, pejabat militer, maupun politisi banyak tersebar di partai nasionalis seperti PDI Perjungan dan Golkar, mapun di partai kristen seperti PDKB maupun PDS namun belum terlihat kiprah yang kuat dan nyata dalam membangun politik hukum terutama soal praktek kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indoensia, sampai saat ini masih terjadi diskriminasi terhadap beberapa agama minoritas, baik dalam pendirian rumah ibadat maupun pengakuan terhadap eksitensi agama-agama minoritas di Indoensia. Konfilik beragamana sampai saat ini masih terus berlanjut,  bahkan cenderung meningkat ditandai dengan meningkatnya kelompok-kelompok intoleran, yang menutup paksa gereja, mempersoalkan IMB gereja dan bahkan ada yang berujung ke penjara karena kasus penodaan atau penistaan agama, dan posisi negara sangat lemah dalam menindak kelompok-kelompok intoleran.

Bagaimana Sikap Umat Kristen Kedepan Dalam Membangun Politik Hukum Di Indoensia

Bagaimanakah peran orang Kristen dalam pembanguna politik hukum di Indonesia, kita perlu melihat pendapatan Notohamidjojo sebagai intelktual Kristen di awal-awal kemerdekaan Indonesia merumuskan empat tugas gereja. Pertama, gereja dan orang Kristen harus mencegah pendewaan terhadap negara. Maksudnya adalah idiologi negara jangan sampai menjadi idiologi yang bersifat religius atau idiologi agama. Pelaksanaan tugas ini bisa menimbulkan dua tindakan dari negara, yakni ditindas atau sebaliknya gereja bisa dijadikan sebagai pewarta idiologi negara yang bersifat agama itu. Kedua, gereja mesti berusaha sungguh-sungguh menjadi eklesia untuk mengingatkan kepada semua pihak termasuk negara yang memiliki kuasa pedang bahwa negara dapat mengatasi kejahatan dengan kebaikan. Ketiga, kehadiran orang Kristen dalam bidang politik adalah melayani semua orang dalam masyarakat berdasarkan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kesetiaan. Keempat, gereja dapat menyediakan tempat pertemuan diantara golongan-golongan politik yang meraneka ragam mengenai kebijaksanaan pemerintahan negara. Maka gereja dapat melakukan pertemuan bersama dengan semua golongan politik yang berbeda untuk membahas persoalan-persoalan bangsa.

Sikap ini tentu dapat kita lihat sebagai sikap yang menegaskan bahwa gereja memang tidak mengambil bagian dalam pemerintahan negara atau dalam politik praktis, sebab gereja tidak identik dengan suatu partai politik, tetapi gereja dapat menggugah hati nurani masyarakat dan pemerintah dengan menyatakan kehendak Tuhan. Dalam situasi di mana organisasi politik sebagai sarana menyalurkan hati nurani rakyat tidak didengarkan maka gereja bersama dengan golongan agama lain dapat mengingatkan pemerintah bahwa kekuasaan harus selalu berpedoman kepada keadilan dan kebenaran.

Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses pembentukan hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada keseimbangan politik, kekuasaan, idiologi politik, ekonomi, dan sosial, Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Dalam prakteknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum.

Kekuasaan politik dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah baik pada proses pembentukannya  maupun penegakan hukum itu sendiri.  Karena itu lah, negara kita yang menganut negara hukum pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen. Dimana  kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, telah diberikan batas-batas kekuasaan berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara.

Dengan sisitim ini, pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.

Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat  yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”

Perkembangan sistim tata pemerintahan di Indonesia yang melahirkan otonomi daerah juga memberikan peluang bagi tumbuhnya demokrasi di tingkat lokal., apabila kita merasa bahwa, kita sulit untuk memberikan arah perubahan politik hukum di Indonesia, kita bisa fokus kepada daerah-daerah dimana basis ke-Kristenan dapat memberikan warna perubahan. Kita melihat dan menyaksikan, bahwa daerah-daerah yang mayoritas masyarakatnya Kristen masih banyak tercatat sebagai daerah yang tertinggal dan masuk dalam kantong-kantong kemiskinan, misalnya Papua, NTT, Maluku, Mentawai, Nias dan daerah-daerah di Tapanuli di Sumatera Utara. Padahal di daerah-daerah yang saya sebutkan diatas dipimpin oleh gubernur ataupun Bupatinya adalah orang Kristen, mayoritas anggota DPDR nya juga kristen dan mayoritas kepala dinas sebagai pelaku-pelaku adalah Kristen, tentunya peluang besar bagi daerah-daerah tersebut untuk maju dengan nilai-nilai kebaharuan, tetapi fakta bahwa daerah-daerah kantong Kristen saat ini masuk sebagai daerah tertinggal.  Kehadiran gereja dengan pemerintah lokal seharusnya dapat  membangun politik hukum yang lebih berpihak untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat di sana, keberpihakan untuk mengentaskan kemiskinan, mempromosikan upaya-upaya kesehatan masyarakat, memberikan beasiswa pendidikan dan peningkatan perekonomian dengan memanfaatkan sumber daya alam lokal dan tentunya upaya yang sunguh-sungguh untuk membangun politik hukum untuk memberantas korupsi dan berbagai bentuk penyakit masyarakat seperti perjudian, peredaran dan pemakaian narkoba yang marak, minum-minuman keras, pratek portitusi, HIV-AIDS, maupun kasus kekerasan dalam keluarga.

Kelemahan kita selama ini, kita lalai dan abai terhadap isu-isu yang berkembanag di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, lembaga-lembaga keumatan seperti PGI yang diharapkan sebagai wadah konsultatif dan peyambung aspirasi warga gereja,  sering kurang aktif merespon, dan ikut aktif melakukan diskursus dengan pemerintah dan legislatif terhadap berbagai rancangan kebijakan yang akan dibangun pemerintah. Kalau pun merespon sudah terlambat mengantisipasi. Lembaga-lembaga Kristen dan warga Kristen juga abai dan tidak aktif ikut mengawasi dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi baik yang dirasakan langsung maupun oleh masyarakat lainnya, yang dilakukan oleh satu kelompok masyarakat maupun oleh aparatur pemerintah,  apa karena takut, atau sibuk dengan kepentingan masing-masing, sehingga upaya-upaya membangun masyarakat secara holistik sudah tidak menjadi agenda bersama.

Sesungguhnya di alam demokrasi saat ini, semua warga negara bisa aktif terlibat dalam politik hukum di Indonesia, tentu dengan menggunakan lembaga-lembaga yang ada, akan  efektif mempengaruhi para pengambil kebijakan di level masing-masing, untuk memberikan masuka-masukan kepada pengambil kebijakan yang didahului dengan melakukan sarasehan dengan meminta masukan dari elemen-elemen masyarakat, praktisi, perguruan tinggi, kelompok marginal dan kita sebagai warga negara bisa aktif menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaharuan di media, dengan aktif melobi para pembuat kebijakan. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam pembangunan politik hukum di Indoensia, tidak harus menjadi anggota partai politik atau pejabat pemerintah, tetapi dengan saluran-saluran yang ada kita bisa efektif berjejaring untuk mempengaruhi jalannya proses politik hukum di Indonesia, sehingga harapan kita bagaimana politik hukum dapat menciptakan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, dan bukan untuk kempentingan kelompok tertentu atau individu. (NS)