Jelaskan peran muslim Cina dalam penyebaran agama Islam di Indonesia

Wicaksosno, Fadil Satrio (2014) PERANAN CHENG HO DALAM PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA TAHUN 1405-1433. S1 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia.

Official URL: http://repository.upi.edu

Skripsi ini berjudul “Peranan Cheng Ho dalam Perkembangan Agama Islam di Indonesia Tahun 1405-1433”. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai latar belakang kehidupan Cheng Ho, peran Cheng Ho dalam perkembangan agama Islam di Indonesia Tahun 1405-1433 dan dampak peran Cheng Ho dalam perkembangan agama Islam di Indonesia Tahun 1405-1433. Metode penelitian yang digunakan adalah metode historis yaitu dimulai dengan mengumpulkan berbagai sumber tulisan maupun lisan, kritik sumber secara internal dan eksternal, interpretasi dan historiografi. Dalam melakukan penelitian penulis banyak menggunakan teknik studi litelatur yaitu mengumpulkan berbagai sumber tulisan yang relevan dengan kajian skripsi, dan teknik wawancara untuk melengkapi sumber tulisan. Cheng Ho merupakan seorang laksamana yang berasal dari China, lahir pada tahun 1371 M dari sebuah keluarga Muslim Cheng Ho kecil belajar mengenai ajaran Islam dan juga dunia kelautan dari Ayahnya yang sudah melaksanakan ibadah haji ke Mekkah, bernama Ma Haji yang merupakan seorang pelaut dan hal tersebut menginspirasi Cheng Ho untuk melakukan pelayaran. Ketika masih anak-anak berusia belasan tahun Cheng Ho ditangkap tentara Ming dan bekerja di istana dengan mengabdi terhadap putra kaisar yang keempat, Zhu Di (Yong Le). Ketika naik tahta menjadi kaisar, Yong Le memperintahkan Cheng Ho untuk memimpin misi pelayaran akbar Dinasti Ming ke Samudera Barat dengan tujuan perdagangan dan persahabatan. Pelayaran muhibah Dinasti Ming yang dipimpin oleh Cheng Ho dengan misi perdagangan dan persahabatan dilakukan dengan berkunjung ke berbagai negara termasuk Indonesia dilakukan selama 7 kali, dari tahun 1405-1433. Ketika berada di Indonesia, Cheng Ho dipercaya tidak hanya melaksanakan misi Dinasti Ming, tetapi juga mempunyai misi pribadi yaitu menyebarkan agama Islam. Peran Cheng Ho dalam perkembangan agama Islam di Indonesia diantaranya adalah melakukan syiar Islam, memberikan fasilitas kepada komunitas Muslim China bermazhab hanafi, membangun masjid-masjid, membantu dalam proses Islamisasi yang kebanyakan masyarakat China perantauan dan mengamalkan perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Peran Cheng dalam kegiatan agama Islam di berbagai negara, termasuk Indonesia tersebut hanya sedikit yang tercatat dalam catatan-catatan Dinasti Ming. Ada beberapa hal kenapa peran Cheng Ho dalam agama Islam tidak tercatat, seperti misi Cheng Ho dalam penyebaran agama Islam bukan merupakan misi Dinasti Ming dan Islam bukan agama mayoritas masyarakat China maupun Kaisar Dinasti Ming dan pejabat di kalangan istana. Kapan Cheng Ho wafat masih diperdebatkan oleh para sejarawan, antara tahun 1433, 1434 atau 1435. Dampak peran Cheng Ho dalam perkembangan agama Islam di Nusantara, diantaranya muncul beberapa komunitas Muslim China, pembangunan masjid-masjid, komunitas Muslim China mazhab Hanafi yang ada di Indonesia lebih terorganisir keberadaannya setelah dibimbing serta diarahkan oleh Cheng Ho, sedangkan kehidupan bersama secara rukun dan damai hidup berdampingan menjadi warisan terbesar Cheng Ho di Asia Tenggara. The study is based on the author's concerns of theory the arrival of Islam to Indonesia contained in textbooks of history in schools. The entry of Islam into Indonesia mentioning mostly origin of Indian, Arabic and Persian, but the theory of China was never mentioned in textbooks. Therefor, the authors wanted to examine the role of one of China's Muslim leaders and never stepped foot on the archipelago, which Admiral Zheng He in the development of Islam in the archipelago in 1405-1433. The problems discussed are the background of the life of Zheng, Zheng role in the development of Islam in Indonesia in 1405-1433 and the impact of Cheng Ho's role in the development of Islam in Indonesia in 1405-1433. Zheng He was an admiral from China, was born in the year 1371 AD from a Muslim family and a sailor. Zheng He had served the emperor's fourth son, Zhu Di (Yong Le). When ascended the throne as emperor, Zheng Yong Le gave an order of mission to lead a grand voyage of the Ming Dynasty to the Western Ocean with the purpose of trade and friendship. The shipping is done by visiting various countries including Indonesia conducted over 7 times, from the years 1405 to 1433. When in Indonesia, Zheng He believed that a personal mission to spread Islam. Impact Zheng role in the development of Islam in the archipelago, of which emerged some Muslim communities of China, the construction of mosques, while living together in harmony and peaceful coexistence be the greatest legacy of Zheng He in Southeast Asia. Keyword: Cheng Ho, Islamisasi, Dakwah, Pelayaran Muhibah.

Actions (login required)

Jelaskan peran muslim Cina dalam penyebaran agama Islam di Indonesia
View Item

Ditulis berdasarkan peninggalan sejarah serta naskah kuno, buku ini mengajak Anda menelusuri lebih dalam lagi jejak perjalanan Cheng Ho dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia. Cheng Ho adalah pejuang muslim China yang hidup di masa Dinasti Ming (1403- 1424 M). Pada abad ke 15, Cheng Ho memulai pelayarannya yang panjang menuju Malaka. Dalam pelayarannya ini, ia banyak belajar tentang agama Islam mulai dari daratan China, Yunnan, Champa, Jawa, Melayu, Arab, hingga India.

Di Indonesia sendiri, kala itu Islam telah masuk lewat pedagang dari Gujarat (India) dan Timur Tengah. Tapi, Cheng Ho membawa gelombang China masuk ke Asia Tenggara diikuti arus penyebaran agama Islam yang damai.

Merdeka.com - Benda-benda kuno, tembikar, kapak batu giok yang diperkirakan sudah ada sejak zaman Neolithikum merupakan salah satu bukti orang Tionghoa sudah menginjakkan kakinya di Indonesia sejak masa itu.

Bahkan orang Tionghoa pun ikut andil dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.

Bukti-bukti orang Tionghoa ikut menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa sebenarnya ada dalam tulisan-tulisan Tionghoa yang disimpan di Klenteng Sam Po Kong selama 400-500 tahun oleh Residen Poortman. Hal ini diungkapkan dalam buku berjudul 'Tionghoa dalam Pusaran Politik' yang ditulis Benny G Setiono dan diterbitkan TransMedia tahun 2008.

Pada tahun 1928, dengan alasan menumpas pemberontakan komunis, Residen Poortman menggeledah Klenteng Sam Po Kong dan berhasil merampas 3 gerobak yang berisi berbagai catatan Tionghoa. Dari catatan inilah terlihat bagaimana peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam dan pembentukan sejumlah kerajaan Islam di Jawa.

Klenteng Sam Po Kong atau Klenteng Gedong Batu ini menjadi sumber penelitian bagaimana peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam dan pembentukan sejumlah kesultanan Islam di Jawa.

Klenteng Sam Po Kong dibangun di Kota Semarang, Jawa Tengah untuk menghormati Laksamana Cheng Ho. Laksamana Cheng Ho yang pertama membentuk masyarakat Tionghoa Islam di Nusantara.

Jejak-jejak peranan orang Tionghoa dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa cukup banyak terlihat. Di antaranya, pembentukan kerajaan Islam Demak dengan rajanya Raden Patah alias Jin Bun yang merupakan cikal bakal dari Kerajaan Mataram.

Kemudian ada masjid-masjid Walisongo di jalur Pantura Jawa yang menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan Tionghoa di dalamnya.

Masjid Agung Demak (Masjid Gelagah Wangi) atau makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat merupakan satu di antara banyak bukti kebudayaan Tionghoa berada. Di tembok-tembok masjid ini, terdapat guci-guci antik yang tak ternilai harganya.

Masjid Agung Demak ini juga menggunakan teknologi batu pembuatan jung, kapal niaga Tiongkok dari Dinasti Ming yang terbuat dari kayu.

Konon, Sunan Ngampel juga disebut mempunyai nama asli Bong Swi Hoo alias Raden Rachmat. Bong Swi Hoo berasal dari Yunnan dan cucu penguasa tertinggi di Campa, Bong Tak Keng (Carmain).

Bong Swi Hoo punya anak bernama Bong Ang (Bonang) yang menjadi Sunan Bonang. Begitu juga dengan Sunan Kali Jaga atau Raden Said adalah Gan Si Cang anak Gan Eng Cu alias Arya Teja, seorang kapten Tionghoa yang berkedudukan di Tuban. Arya Teja adalah mertua Bong Swi Hoo atau Sunan Ngampel.

Tak cuma Masjid Agung Demak, Kesultanan Cirebon pada tahun 1552 juga didirikan oleh orang Tionghoa bernama Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat Fatahillah atau Faletehan). Tahun 1553, Sunan Gunung Jati menikah dengan putri Haji Tan Eng Hoat bernama Ong Tin yang disebut sebagai Putri China. Upacara perkawinan keduanya pun berlangsung bak raja-raja Tiongkok.

Sunan Gunung Jati adalah Toh A Bo (Pangeran Timur), putra Pangeran Trenggana (Tung Ka Lo) anak dari Jin Bun (Raden Patah). Namun hal ini banyak menjadi perdebatan karena selama ini masyarakat masih mengacu pada sejarah yang dituliskan dalam buku Prof Husain Djajadiningrat yang terbit di Belanda tahun 1913. Dalam buku itu tertulis jika Sunan Gunung Jati adalah Faletehan, seorang ulama dari Pasai. Ketika Pasai dikuasai Portugis, Faletehan meninggalkan Pasai dan menetap di Demak.

Dari sini tampak jelas bahwa peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam cukup dominan di Indonesia. Meskipun sampai sekarang masih menjadi banyak perdebatan. Apalagi muncul pernyataan dari KH Said Agil Siradj bahwa KH Abdurrahman Wahid atau dikenal Gus Dur juga mempunyai garis keturunan Tionghoa, yakni Raden Patah.

Terlepas dari itu, sejarah nyata sudah menunjukkan bahwa kebudayaan etnis Tionghoa sudah tertoreh di sejumlah masjid di Indonesia.

Baca Juga:

Buru angpao, 2 ribu pengemis serbu Wihara di Petak Sembilan

Beretnis Tionghoa, Brigadir Zhiang sukses bekuk bandar narkoba

Cerita wanita Tionghoa yang diamuk ayah saat daftar jadi polwan

Cerita warga etnis Tionghoa tinggal di negeri syariah

Kekhusyukan doa warga Tionghoa sambut Tahun Baru Imlek 2565