Ibu Nani Sapada merupakan seniman tari dan musik dari daerah

Ibu Nani Sapada merupakan seniman tari dan musik dari daerah

Mengembaralah di setiap halaman buku ini, dan kau akan menjala samudera pengetahuan tentang bagaimana para seniman cendekia mempertahankan eksistensi seni, musik, tari, dan kebudayaan SulSel di tengah gejolak pasca revolusi sampai 1990-an. melanglang buana di lembaran ini.. selain berdecap kagum “wahh luar biasa”.. sy pun acap kali berguman “tidak begitu, seharusnya begini, ahh mungkin saja karena orang barat hanya mngira ngira, padahal di lontara tidak pernah dijelaskan begitu”.

ayo meneroka perjalanan Anderson sejak 1993 di Sulsel, kita akan menyusuri carut marut gejolak parade Kebudayaan di Sulawesi Selatan (titik fokusnya di Makassar). menyajikan ritual yang dipanggungkan, dari hiburan seni kembali ke ritual, sebuah petriotisme dalam pertujukan, sinrilik dan kacaping, bunyi dan kuasa, tentang melembagakan pertujukan, dan media massa dan musik daerah di Sulawesi selatan

Sulawesi dalam Parade

Perjalanan Anderson kali ini menyuguhkan parade kebudayaan di Sulawesi selatan dengan gugusan politik, etnis, dan kedaerahan maupun nasional yang tertuang dalam pekan budaya dengan menampilkan tarian, musik, dan ritual yang terjadi dalam pusaran carut marut, eksistensi pagelaran, pelestarian budaya dan pergolakan kepentingan pasca revolusi.

Pada 1993 17 Juli terjadi festival kebudayaan besar yang telah direncanakan di gelar di Benteng Somba Opu, namun hal ini terpaksa ditunda selama seminggu untuk menyambut kedatangan wakil presiden RI Try Sutrisno.

Pelaksanaan festival kebudayaan sepanjang pekan diikuti oleh perwakilan setiap kabupaten di Sulawesi Selatan. Para penari, musikus, pengrajin, tukang masak, bahkan pejabat agama meninggalkan rumah, keluarga, pekerjaan sawah, pangkalan pembuatan perahu, dan warng untuk untuk menyajikan pertunjukan gratis selama festival itu. Pada tempo ini gerak masih diwarnai orde baru. Peserta festival kebudayaan dari masing-masing daerah bermukin di tempat semacam asrama di sekitar ujung pandang tanpa dilengkapi fasilitas keamanan dan tunjangan makanan. Tidak ada yg protes karena takut pada pemerintah daerah. bagaimana? luar biasa bukan perjuangan perwakilan tiap kabupetan? hehe..

Festival dibuka di bawah terik mentari tropis pukul 15.00 oleh gubernur Sulawesi Selatan. Tampak sejumlah pejabat duduk di bawah atap, sementara didekat tempat duduk utama itu terdapat area untuk tamu istimewah, termasuk Anderson sebagai tamu asing. Di seberang jalan kerumunan masyarakat Somba Opu menonton dengan batasan garis polisi. (tatkala sy membaca ini? sy mikir: kok ada batasan garis polisi? masyarakat pribumi bukanlah penebar teror.. bahkan kebudayaan lokal kuat karena lahir dan ditopang oleh penduduk lokal..! seharusnya penduduk diperlakukan sebagaimana manusia merdeka). Sebuah pertunjukan luar biasa; intsrumen musikal, gaya bermain, dan ragam kilasan teknik menari,

selama pekan Budaya itu, Pewakilan daerah menunjukkan etnitasnya masing-masing. Pertunjukan yang digelar antara lain: Tarian Daerah Bugis, beberapa penonton duduk di bawah tenda dan penonton yang lain hanya berpayungkan langit. Acara lain adalah massureq, kecapi dengan pola meliuk-liuk, nyanyian dengan lirik yang mengundang tawa, penonton memberi penilaian dengan bunyi tepuk tangan yang meriah.

Pertunjukan ritual tidak dilabeli dengan kabupaten asal, melainkan klasifikasi kelompok, misalnya upacara adat Bugis yang digelar di Rumah adat Luwu. penonton lebih terpukau pertunjukan ritual ini ketimbang pertunjukan tarian.

Masyarakat di Sulawesi Selatan pada tempo itu kreatif. iye, betul. Mereka terlihat melengkapi pertunjukan seni, musik, tari dan ritual dengan menjual berbagai kerajinan tangan daerah, makanan, dan minuman  di sejumlah rumah tradisional.

Inilah cerminan kebudayaan di Sulawesi Selatan pada masa orde baru Soeharto. Mereka merayakan keragaman budaya sekaligus memperkuat berbagai tingkat identitas lokal yang secara resmi diakui.

Gugusan kondisi yang terjadi pada masa itu adalah: dunia pariwisata merupakan sebuah kompponen penting dalam perjuangan perebutan kekuasaan kelompok etnis di Sulawesi Selatan. Pada pagelaran budaya ini wakil presiden berkunjung ke Makassar. Kelompok etnis mnampilkan tarian mereka, kecuali orang  Makassar menampilkaan ritual mereka.

Beberapa jam setelah wakil presiden pergi, pertunjukan malam utama disuguhkan berbagai kelompok penari wadam, sebagian besar adalah Bissu yang asal nya didominasi dari daerah Bugis. Mereka kesurupan dan mmenari dengan keris terhunus dan menusukkan pada leher, tangan, telinga. (dijelaskan dalam buku ini bahwa pelras menduga bahwa bissu adalah adopsi dari hubungan mereka dengan pejabat yang beragama Buddha dari sumatera sekitar satu millennium yang lalu/pelras 1996:72-73. saya hanya kurang setuju terkait dugaan Pelras. Mengapa saya tidak setuju? Karena tidak ada lontara di Sulawesi Selatan yang menjelaskan itu).

Pada pertunjukan kesenian, selain menggunakan pakaian adat daearh, pertunjukan ini juga telah didominasi pakaian jawa (kebaya) yang diiringi lagu keroncong.

Malam terakhir menyuguhkan hingar bingar gendang. Setelah acara ditutup, penonton menikmati musik dangdut, corak musik dangdut sebagian besar diserap dari musik filem India dan musik rock barat.

Ragam Perspektif dalam Pekan Budaya

Festival pekan budaya kembali dilaksanakan di Sulawesi Selatan pada Juli 1990 di alun- alun Ujung Pandang (saat ini disebut Karebosi). Pemeliharaan budaya dan menarik dollar wisatawan internasional kerap dijadikan tujuan, meskipun sering pula dipisahkan,

Memang menjadi tekad pemerintah secara sungguh-sungguh bahwa..”sektor pelestarian budaya daerah serta pengembangan kepariwisataan semakin dirangsang pertumbuhannya. Segingga pekan Budaya ke III pada 1992 di Sulawesi Selatan merupakan cermin di sektor pengembangan wisata.

Kegiatan melestarikan kebudayaan daerah yang disandingkan dengan upaya untuk meningkatkan kepariwisataan memang dimulai pada tahun 1990. Sejak pekan budaya pertama direalisasikan. Meskipun tujuan utama pelaksanaan festival itu bukanlah untuk menarik wisatawan, melainkan untuk mencari jati diri. Penguatan kebudayaan daerah merupakan penangkal gencarnya globalisasi saat itu.

Pada 1991 diadakan pekan budaya ke II sebagai upaya terciptanya kebersamaan empat etnis yang ada di Sulawesi Selatan, yakni, Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.

Bagaimana festival Budaya diramu untuk menasional melalui peleburan segenap etnis di Sulawsei Selatan? yuk berkecimpung dalam perjalanan Anderson berikut ini:

Global, Nasional, Lokal

Kehadiran tokoh-tokoh terkemuka, menteri menteri kabinet dan wakil presiden selalu hadir di dua festival awal, menjadi moment yang cocok untuk menasionalkan kebudayaan lokal di SulSel.

Festival Budaya  memang digagas untuk menjadi perayaan semua yang berbau lokal di dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Festival ini pun telah menjadi arena penting bagi dialog negosiasi dengan entitas nasion (bangsa) dan dunia, mengerahkan sumber-sumber daya lokal untuk mendapatkan status nasional dan insternasional bagi seluruh entitas di dalam provinsi.

Ciri yang menonjol bila kita meninjau beragam macam pameran yang ditampilkan pada pekan budaya, adalah bilik yang memamerkan jenis senjata, bendera- bendera, dan pedang yang bercorak desain lokal.

Memang selama pekan budaya yang dilaksanakan.. beberapa kelumit pmempertanyakan bahwa apakah ini adalah kreativitas atau pelestarian budaya? Mengapa muncul pertanyaa begitu? Karena beberapa genre tradisional dimodifikasi untuk pertunjukan di panggung atau bagian dari parade pembukaan. Di sisi lain banyak elemen yang tidak memiliki hubungan dengan cara berekspresi orang pribumi dalam hal gerakan, kostum, maupun musik pengiring. Meskipun pertunjukan ini pun menampilkan penari dengan pakaian tradisional.. nahh itulah disisi lain ingin mempertahankan akar budaya, disisi lain kita tanggung menerima masukan dari luar. Begitu

Kearifan Lokal dan Frustasi (apa yang terjadi?)

Periode kacau setelah revolusi amatlah panjang, berbagai opini muncul, sebutlah sebuah editorial tanpa nama dalam pedoman rakyat, 23 Juli 1991, hl.12 mengatakan “perkembangan budaya Sulawesi selatan jika disbanding dengan budaya porivinsi lain di nusantara ini, tidak berkontribusi yang cukup pada perkembangan budaya nasional”. Editorial ini sebenarnya menyalahkan masyarakat setempat yang kurang senonoh memperlakukan budaya nya sendiri. Seadil apakah opini ini?

Memanglah pasca revolusi  kekacauan tradisi mencuat di tingkat lokal bahkan menasional. Bagaimana dengan Sulawesi selatan? Syharir Maula menyatakan, prihatin mandeknya keberanian berkreasi di SulSel dibandingakan dengan apa yang dijumpainya di Provinsi lain (seperti Jawa Tengah, Sunda, Bali, dll). Penyebabnya tentu saja karena kesenian di SulSel belum mampu menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Memang butuh kerjasama

Nahh, pada tahun 1990-an festival berlanjut dengan item-item yang lebih luas, berupaya mempresentasikan kepada orang di dalamnya dan orang lain. Ini merupakan proyek yang bermakna ganda, ranah terjadinya pertentangan sengit antara pejabat daerah, seniman lokal, dan partisipan lain yang datang membantu secara sukarela maupun terpaksa.

Dari Ritual Ke Panggung (beberapa ritual pada akhirnya dipertunjukkan di panggung demi menjaga kesenian loka)

Pada perjalanan Anderson begini: Sebelum revolusi Indonesia, beraneka ragam tarian dan musik ritual ditampilkan secara teratur di istana- istana kerajaan dan desa-desa di Sulawesi Selatan, seperti permainan suling, dan kelong yang diiringi kecapi..

Calire Holt berkunjung ke Sulawesi Selatan pada Tahun 1938, ia menyaksikan beberapa ritual begenre tari (pakarena bura’ne Makassar, pagellu, Mabadong Toraja, Pajaga Bugis, dan beberapa Tarian Bissu Bugis ).

Holt dalam kunjungan dan kesempatannya menyaksikan: bahwa seenggan apapun para penampil menggiring tarian itu keluar konteks ritual, mereka harus tetap tunduk pada keinginan pembesar Belanda. Maka jika mereka menolak akan memicu tindak kekerasan. **pendapat sy pribadi: seharusnya tdk begitu, tidak semua ritual boleh dipertontongkan untuk khalayak umum. karena beberapa ritual mengandung nilai skaral yang sangat tinggi, sehingga butuh pelan-pelan dan kehati-hatian dalam pelaksanaannya. tapi pemangku adat tidaklah berdaya pada tempo itu.

Dua dekade pertama kemerdekaan Indonesia (1945-1965) kondisi Sulawesi Selatan sedang tidak stabil. Bagian dari ritual kerajaan untuk bangsawan dan keluarga raja atau berfungsi sebagai ritual desa bagi seorang anggota keluarga orang biasa dan perayaan komunal. mengalami tantangan, seperti bissu dibunuh oleh Darul islam, penghancuran baju bodo berlengan pendek karena dianggap merangsang, dll.

Di bawah kepemimpinan Soekarno, berbagai upaya dilakukan untuk memelihara tradisi pertunjukan lokal. Orang desa di Sulawesi Selatan diam-diam melaksanakan upacara tradisional mereka, meskipun itu berpotensi untuk memancing reaksi dari darul Islam.

ditengah carut marut pertarungan politik, kekuasaan terhadap kebudayaan di Sulawesi Selatan, muncullah beberapa seniman Cendekia yang mengadakan berbagai gerak perlawanan untuk merawat identitas Budaya Lokal. nah.. kawan yuk kita lirik bagaimana perjalanan mereka denan menggunakan pendekatan dan nuansa yang berbeda:

1. Andi Nurhani Sapada

Anida Adalah sosok yang berkecimpung di dunia seni pertunjukan, sebut saja Tari Paggeluk Toraja (tana Toraja), Tari Sayo Kembe, Mandar (Kalumpang Mamuju), Tari Tomepare dan Tari Pattennung adalah karya Anida. Dia dikenal sebagai pencipta tradisi seni pertunjukan panggung di Sulawesi Selatan dari tahun 1950 an hingga 1970 an. Ia menyerap sejumpah dasar seni yang dilarang Darul Islam dan mengkotekstualisasikannya menjadi pertunjukan panggung sekuler berdurasi pendek yang cocok untuk hiburan baik dalam konteks daerah, nasional maupun internasional. Kerja-kerrja Anida diantaranya:

  • Memoles Tari Pakarena untuk penonton beragam

Genre musik dan tarinya lumayan rumit, dulu ini hanya ditampilkan dipedasaan dan untuk keluarga kerajaan selama berjam-jam. Tarian dipoles oleh ini Andi Nurhani Sapada dengan mengambil gerakan khusus dengan durasi kurang dari 10 menit, dengan musik pengiring yang sangat berbeda. Ia mengubah agar sesuai dengan penonton yang beragam, beberapa bagian vocal ia hilangkan, sejumlah bunyi gendang ia hilangkan, dan memilih ritnik yang lebih lembut ketimbang bagian yang hingar bingar.

  • Menciptakan Ensambel Musik
  • Koreografi dan aransemen musik untuk sulwesi Selatan

Sejumlah tarian Bu Nani berdasarkan tradisi Bugis, Pada Tahun 1963 ia menciptakan “tari Donda’dondang” yang terisnpirasi dari tarian sensual wanita (pajoge) dari Bone, namun tarian bu Nani tidak menampilkan ciri-ciri erotis di dalamnya. Mengapa disebut tari donda’dondang? Kerena mengikuti judul lagu yang mengiringi traian ini, yakni “Donda’dondang lancirang” yang dimainkan oleh ensambel kecapi suling.

Tari “Pa’bekkenna Ma’jina” adalah ciptaan Bu Nani selama berada di Sidrap pada Tahun 1961. Tari ini biasa dikenal dengan istilah tari pelangi, karena menampilkan tujuh penari memutar-mutar selendang sebagai simbolisasi datangnya hujan dan berakhirnya musim kemarau. lagu pengiringnya berisi dua lagu Bugis, yakni Kandope dan Ongkona Arumpone dengan musik pengiring kecapi, suling, gendang, lea-lea, dan beccing.

Ia juga menciptakan Tari Bosara pada Tahun 1961, dimana perempuan membawa sebuah bosara (piring bertudung yang biasa digunakan sebagai tempat kue oleh orang Sulawesi selatan pada hari-hari perayaan). Bosara menjadi property tarian sejak Bu Nani menggubah tarian ini. Musik pengiringnya terdiri dari tiga lagu Bugis; Donda’dondang Lancirang, Indo’Logo, Kepala Mojong (kepala/desa/mojong), dengan instrument seperti tunrung pakkanjara

Tari Anging Mamiri (anging berhembus. Mks), tari pattennung yang menggambarkan perempuan menenun sutera, dan paling terkenal adalah tari “marellau pammase dewata” (bgs. Memohon berkah Tuhan) yang memiliki sifat sakral dan merepresentasikan adat dan kepercayaan tua Sulawesi Selatan. Penari membawa perlengkapan yang dipakai untuk ritual lokal, seperti dupa, siri, pisang, nasi, dan karangan bunga. Mereka meenari diiringi dua lagu bugis  yaitu ana’ mabbura mali’ dan Ongkona Sidenreng, dengan menggunakan alat musik biasa tanpa beccing. Meskipun Bu Nani mengasosiasikan ini dengan upacara Bugis untuk memohon roh leluhur, namun pada akhirnya ia selalu ditampilkan sebagai hiburan, bukan sebagai ritual.

Tari ma’latu Kopi (Toraja. tarian memetik kopi) Bu Nani ciptakan pada 1968. Ini mengikuti gebukan gendang pada tarian pagelluk dan menggunakan gendang toraja berkepala ganda yang diiringi alunan lagu Toraja “ Botingna Lebongna”, disusul dengan lagu multi bahasa “Cakodo’kodo

Bu Nani berhasil memenuhi harapan nasional melalui karya-karyanya. Pada tahun 1960 ia mengembangkan narasi-narasi kompleks yang cocok untuk kategori drama dan tari, ia kemudiaan menyebarkan karya-karyanya dengan mendirikan IKS (Institut Kesenian  Sulawesi) pada Juli 1962. Deretan pencapaian Bu Nani di Sulawesi Selatan mencapai puncaknya di level nasional pada 1972, ketika ia dihadiahi anugerah seni yang diberikan hanya ke segelintir  seniman di seluruh negeri, hampir semuanya adalah orang jawa, dan Bu Nani lah pertama dari SulSel yang mendapat penghargaan itu. Pembangunan kebudayaan nasional yang kuat harus berdasarkan kebudayaan daerah, kata Bu Nani. Seniman ini berhasil membuat seni daerah bukan hanya milik daerah ini, melainkan milik nasional. Dengan begitu hilanglah batas-batas yang mempertegas pertentangan antar suku.

Dari hiburan ke Seni dan Kembali ke Ritual (disini muncullah gejolak seniman cendekia untuk mengembalikan seni panggung kembali ke ritual/ beberapa pertunjukan tetap dipanggungkan namun tidak menghilangkan aspek sakralitas dalam ritual.)

Sepanjang abad ke-20 terjadi komodifikasi bentuk-bentuk musik dan tari yang berakar dari praktik ritual. Praktisi lokal terkadang putus asa melihat tradisi daerah bergelut dengan sekulrisme untuk memenuhi ekspektasi komersial. Apakah ada perlawanan dari para cendekia budaya?

Mari kita lirik apa yang dilakukan para pialang kekuasaan di SulSel demi menampilkan ritual versi panggung, bukan sebagai ritual yang dipanggungkan sebagai hiburan, melainkan pilihan yang dapat diolah dalam bingkai hiburan yang dikembangkan oleh Bu Nani dan rekan-rekannya.

Penyajian upacara ritual yang dipanggungkan untuk ditonton, merupakan tanda aktivitas kebudayaan yang ditonjolkan oleh kebijakan kebudayaan orde Baru. Contoh: SulSel pada April 1994 mengirim satu kontingen penari dan pemusik  untuk menampilkan “bunting Mangkasara” di Taman Mini. Di Jakarta Rombongan besar penduduk Jakarta asal Makassar ikut bergabung. Pertunjukan ini bukan hendak menampilkan kekuatan spiritual, melainkan untuk menampilkan Sulawesi Selatan sehingga berkontribusi memelihara kebudayaan dan apresiasi antar etnis.

Hal yang sama pada September 1993, penari dan pemusik dari kota Pare-Pare, Sidenreng-Rappang, dan Barru datang ke Taman mini menampilkan Panorama Budaya Sulawesi Selatan yang bertema “pesta panen masyarakat Bugis”, lagu-lagu Bugis yang dimainkan; sinfoni kecapi suling, enam penari, dan mendemonstrasikan mattojang (Bgs. Berayun). Semua ini bukanlah penciptaan ulang ritual, melainkan kilas balik kehidupan masal lampau yang dapat digunakan sebagai stimulasi apresiasi terhadap kekayaan seni dan budaya daerah . ini seperti nostalgia bagi perantau asal Sulawesi selatan terhadap masa kanak-kanak mereka.

2.Halilintar Lathief

Muncullah Halilintar Lathief, beliau  adalah seorang seniman-cendekiawan yang telah memelopori kembalinya semua jenis pertunjukan ritual, mulai dari kerasukan Bissu hingga tarian tarian selendang kebesaran yang nyaris hilang (salonreng), nyanyian surgawo dondo’ dan lek-lek, dan tarian pakarena Makassar yang mediatif dengan gendang menggegar. Ragam ritual ini disandingkan dengan membakar kemenyang, merapalkan mantra, meditasi, dan sumpah teriakan.

Titiknya disini adalah, Bu Nani mencurahkan energi yang begitu besar merintis jalan menuju modernitas, sedangkan Halilintar berbalik menjauh dari modernitas, walau mereka tidak bisa kembali ke masa lampau, namun mereke berkecimpung di dalam kerja seni post modern khususnya pertunjukan tradisional yang disponsori oleh pemerintah maupun swasta.

Halilintar kerapkali menggelar pertemuan dengan dengan mengundang seniman ulung yang berakar tradisional. Pada Juli 1994, dia menghadiri pertemuan malam yang digelar pada rumah adat Kajang di Somba Opu, ada penari pria yang kerasukan seraya memegang pedang, penari Pakbatte passapu Inilah genre tarian yang berkaitan dengan masyarakat terisolasi berbahasa Konjo di Tana Toa, kajang. Genre pertunjukan itu yang kerap kali dipandang ketinggalan zaman, justru di sini dihormati oleh kalangan muda dari kelas menengah ke atas.

demikianlah pendekatan yang dipakai Halilintar menggali masa lalu untuk memperkuat identitas daerah.

Patriotisme dan pertunjukan (sejak diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus, mulai teraktual gerakan patriotisme pada daerah, termasuk di Sulawesi Selatan. meskipun belum merata)

Sejak 17 Agustus diterapkan sebagai hari kemerdekaan Indonesia, setiap tahun upacara berlangsung di Ibu Kota Negara, Provinsi, hingga Kabupaten. Penaikan Bendera, pidato, doa-doa Islam, dan menampilkan pertunjukan daerah.

17 Agustus 1993 Anderson kembali berkunjung di sebuah desa kecil yang sangat jauh dari Ujung Pandang. Dia bersama halilintar menyaksikan perayaan 17 Agustus di Tanete, sebuah kota kecil di Kabupaten Bulukumba. Dia Melewati Tana Toa, di sana tak ada satupun perayaan kemerdekaan, tak ada pengibaran bendera Indonesia di depan rumah penduduk. Di Tana Toa pada waktu itu tak ada yang berbahasa Indonesia, dan tak ada yang muslim.

Sampai di Tanete, berbeda dengan Tana Toa. Di Tanete warga mulai akrab dengan bentuk- bentuk kebudayaan yang disebarluaskan oleh masyarakat Indonesia lainnya. Perayaan dibuka dengan paduan suara berbahasa Indonesia, qasidah berbahasa Indonesia, ditampilkan pula tari serampang duabelas (tarian asli sumatera Timur), lagu- lagu perjuangan ikut ditampilkan, lagu- lagu daerah ikut disajikan dengan pakaian nasional.

Masih rangkaian 17 Agustus, ada sebuah acara yang dirintis Halilintar Latief “diatas puing-puing”. Mengapa disebut demikian? Karena keseluruhan acara terlaksana di atas reruntuhan sebuah benteng yang tak terurus, acara ini mempunyai sub tema dalam bahasa Bugis “madoko tenrijamoang (bgs. Merana terabaikan/ menderita karena tak terurus). Disajikan pertunjukan perjuangan rakyat Indonesia melawan koloniallisme

Ada 2 Genre Musik Tradisional di Sulawesi Selatan

Sinrilik (nyanyian solo prosa narasi, selalu diiringi kesok-kesok), dan Kacaping (alat musik berbentuk perahu, kerap dimainkan untuk mengiringi lagu solo). Anderson menggambarkan setiap genre memiliki arti dan tantangan pada samannya.

  • Sinrilik: musik/narasi sastra Lisan Makassar

Seniman di Makassar menamai sinrilik sebagai sebuah nyanyian naratif lokal, kadang berisi syair epik panjang yang dilagukan oleh penyanyi pria dengan alat musik gesek (kesok-kesok).

Ada dua jenis sinrilik: (1) sinrilik bosi timurung (mks. Sinrilik hujan turun) yang digambarkan sebagai ratapan tanpa instrument, sebuah relung yang mendasari kesedihan atau melankoli orang makassar dilekatkan kepada abad-abad ketertindasan mereka.(2) sinrilik pakesok-kesok (mks. Sinrilik pemain rebab) gambaran perang bersejarah, eksplotasi herois, dan intrik romantis, yang memasukkan cerita, disajikan di depan khalayak dengan pengiring musik kesok-kesok. Mappaselleng daeng maggau  adalah salah satu passinrilik utama pada zamannya.

Pada 1970-an hingga 1980-an, sinrilik sering digunakan sebagai media penyampaian tujuan oleh pemerintah, sebut saja sinrilik KB (id. Keluarga berencana), Pamaliang Umunga (mks. Pemilihan umum), dan sinrilik P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila, pelatihan proganda ideology Negara yang pesertanya pegawai negeri sipil dan pelajar/ mahasiswa selama orde baru). Sinrilik tua yang paling dikenal adalah Kappalak tallumbatua, I Datu Museng, I Manakkuk, dan I Makdik Rimakka.

Kacaping (Mks), kacapi (Bgs., Mandar), katapi (Tor), atau kecapi (Ind). Alat musik ini sangat popular untuk konteks kehidupan di pedesaan terutama pada segenap kelompok etno-linguistik. Kecapi biasanya dimainkan pada deretan musik dan suasana, solo, duet, ensambel, mengiringi tarian, mengiringi narasi vokal liris, ritual, dan berbagai panggung hiburan.

Kecapi adalah alat musik rakyat, harganya relative murah dan banyak ditemui di rumah-rumah penduduk di SulSel. Banyak orang memainkan kecapi pada waktu informal. Terkadang pemain kecapi memikat penonton tidak hanya lewat petikan dan kepiawaian menyanyi, tapi biasanya mereka membumbui dengang acrobat yang rumit dan juga lucu, seperti sekelompo pemain dari Soppeng pada pekan Budaya 1993 berusaha memainkan musik ini kendati berdiri di  atas bahu dengan kecapi di belakang leher.

Bunyi dan Kuasa; menabuh ganrang Makassar

Sebut saja Abdul Muin Daeng Mile, seorang pemimpin penabuh gendang dalam atraksi genrang Ujung pandang, Agustus 1995. Ia menyebut  musik sederhana ini sebagai musik Ganrang, itilah yang meliputi semua jenis ensambel kecil yang minimal termasuk dua gendang Makassar berkepala ganda. Hampir semua ensambel memasukkan satu puik-puik, dimainkan dengan nafas sirkules, kerap dengan gong dan kadang dengan alat musik idiofon: kattok-kattok (gong dari bambu atau kayu pecah), anak baccing (plat logam gegaran), kancing (simbal), dan lae-lae (bamboo berumbai).

Ganrang Makassar dianggap alat musil keramat. Gendang sangat berperan penting pada pelaksanaan ritual. Namun bukan hanya itu, gendang tidak Cuma mengiringi ragam jenis tarian, termausk ritual dihormati seperti pakarena dan salonreng, namun juga untuk ritual pencucian benda pusaka, untuk membangun rumah, peluncuran kapal laut, membersihkan rumah yang baru ditinggal  mati oleh salah satu penghuninya, memberkati upacara pernikahan dan sunatan,. Ganrang ini juga mengiringi ritual- ritual pengobatan bagi penyakit yang parah.

Tiga jenis ganrang di Makassar: 1) ganrang Mngkasarak/ ganrang lompo/ganrang kalompoang/ ganrang gaukan, gendang jenis ini titabuh untuk upacara- upacara pemberkatan kebesaran dan pusaka kerajaan, 2) ganrang pakarena, ukurannya lebih kecil dnegan panjang 80-85Cm, dipakai  untuk mengiringi beragam tarian Makassar. 3) ganrang pammancak, gendang terkecil dengan panjang 60-65 Cm dipakai untuk mengiringi seni bela diri.

Asal usul & variasi-variasi dalam institusionalisasi seni pertunjukan

Dapat dikatakan bahwa institusionalisasi sudah ada sebelum tahun 1960-an. Mengapa? Karena telah banyak jenis music dan tari seperti tari pakarena yang tampil di istana kerajaan selama abad ke-19 (Mathes 1859, 46: 1875, 126), bahkan bisa jadi sebelum itu.

Mari sejenak mengungkapkan proses tersebarnya tarian di kalangan rakyar Sulawesi Selatan.

  • Didirikannya IKS pada 1962 oleh Andi Nurhani Sapada, meskipun sebelumnya pada tahun 1950 Bu Nani mengajukan musik dan tari pada kelas, hanya saja formalisasi nya pada 1962 di IKS itu. IKS ini bukan bentukan pemerintah.
  • Pada 1969, Ida Joesoef Madjid (murid Bu Nani), mendirikan yayasan anging mamiri (YAMA). Di sana diajarkan dan menampilkan tari dan musik lokal. YAMA ini bukan pula bentukan pemerintah.
  • 1 Juli 1969, didirikannya/ diresmikannya dewan kesenian Makassar (DKM). Makassar dalam hal ini bukan merujuk pada etnik, melainkan pada tempat berdirinya organisasi.
  • SMKI (sekolah menengah seni pertunjukan). Ini adalah pendikan formal pada tahun 1977, ini dikembangkan oleh Bu Nani sejak 1972 di kawasan Fort Rotterdam.
  • IKIP Ujung Pandang: mereka yang ingin melanjutkan pendidikan formal di bidang seni dan pertunjukan harus ke IKIP Ujung Pandang. Di fakultas pendidikan, Bahasa dan seni IKIP Ujung Pandang. Di sana mahasiswa dapat mengambil spesialisasi di seni pertunjukan: drama. Tari, dan music.

Kemunculan musik mancanegara di Sulawesi Selatan dapat dilacak Kembali di abad- abad silam, tatkala Makassar menjadi metropolis internasional pada abad ke- 16 dan 17. Penggunaan media massa telah dikenal sejak diperkenalkannya radio dan rekaman pada 1930-an. Pada akhir 1990-an, media penyiaran dan rekaman memenuhi Sulawesi selatan dengan menawarkan music popular. Lalu bagaimana interaksi media massa, genre, dan identitas local di SulSel?

Bentuk mediasi pertama yang masuk ke Sulawesi selatan adalah radio belanda, yang diperkenalkan pada 1930-an. Ada dua radio pada saat itu; 1) telegraaf- en telefoondienst (belanda; layanan post, telegraf, dan telepon), dan 2) NIRON (nederlans indie radio omroemp maatscappij- perusahaan penyiaran radio hindia Timur). Hanya saja, hampir semua mempresentasikan artis popular amerika dan eropa. Genre seperti ensambel gendang local, solo flute, lagu-lagu berbahasa daerah diiringi kecapi, dan nyanyian epik sinrilik, massureq, tidak disiarkan.

Memasuki 1950, Ketika pemerintah meresmikan stasiun radio nasional di Makassar: radio republic Indonesia (RRI), yang menyiarkan berita, aneka informasi, dan beragam jenis music yang seluruhnya disiarkan langsung dari studio, muncullah Nusantara Band yang tenar pada saat itu. Namun di akhir 1950-an, band ini berubah menjadi orchestra “orkes radio Indonesia” dengan tambahan sello, biola, dan timpani.

Sebut saja M.A. Arifin, dia bekerja sebagai pemusik dan penata musik di RRI pada 1950-an, sekaligus sebagai pemimpin orckstra dari 1964. Salah satu nya adalah orkes rambang-rambang (ensambel unik khas Sulawesi selatan yang menggabungkan biola, rebana, gong kecil, dan instrument pilihan lainnya. Di masa sekarang disebut orkes toriolo.

Sejak 1950-an, lewat radiolah khalayak dapat mendengar rangkaian music, dari klasik barat hingga pop barat, sampai music tradisional pribumi. Namun tidak semua music tradisional dapat didengar melalui radio. Musik gendang dan puik-puik yang kerap ditemui pada pesta pernikahan dan khitanan tidak diperdengarkan.

Pada 1960-an, muncullah polemik antara music popular mancanegara, terutama rock and roll. Pada tempo itu pemerintah memperingatkan tentang imoralitas dan kebobrokan dalam bunyi musik barat, dalam tindak tanduk penampilannya, dan pesan dalam lirik-liriknya. Mencuat hal ini pada surat kabar dan majala. Sejumah reaksi muncul dari kalangan pemuda.

Banyak orang bertanya; mengapa stasiun radio nasional tidak memberikan ruang lebih besar kepasa music tradisional? Di sisi lain orang-orang di studio RRI berkata: ohh RII bakal kehilangan pendengarnya jika jam siarannya dipenuhi music seruling atau kecapi. Seperti demikian polemik tempo itu.

nahh.. Radio gamasi pada 1990-an muncul.  Inilah radio yang mengutamakan musik daerah, khususnya makassar. Gamasi ialah sebuah akronim atau semboyan radio “gaya makassar ada di sini”.

Radio barata muncul di akhir 1990-an. Dia juga memasukkan konten local, dengan menawarkan acara dan music tradisi daerah, tidak hanya sulsel, ta[I juga sulteng, manado, batak, bahkan Minangkabau.

TVRI Ujung Pandan berdiri sejak 1972, siarannya didominasi acara-acara dari stasiun Jakarta, meskipun demikian setiap hari mereka tetap menyiarkan sejumlah acara produksi lokal. TVRI Ujung Pandang sejak 1990-an menyediakan porsi besar acara lokal untuk musik dan tari, sejumlah drama, dan berita berbahasa daerah.

Bagaimana seni tradisional disusun dan diproduksi di TVRI Ujung Pandang?? Anderson pernah menyaksikan sinrilik disiarkan lima menit pada Agustus 1998, terlihat empat pria berbusana upacara Makassar (sarung, jas merah, patonrok, ikat kepala) duduk di panggung kosong. Seorang pria bernama Pak Arsyad menyajikan cerita yang terkenal “ I Datu Museng”.  Tiga lainnya sebagai penonton, lalu menanggapi dengan bahasa Indonesia, serta tidak beraksi menyimpulkan cerita. Ini menampilkan apa yang biasa dilakukan oleh sinrilik yang tidak ditelevisikan.

Sejarah musik rekaman komersial di Sulawesi Selatan berkembang sporadik selama enam dekade. Meski skalanya kecil hingga 1990-an.

Hampir dapat dipastikan musikus pertama Sulawesi Selatan yang masuk rekaman komersial adalah Hoo Eng Djie, dia peranakan Tionghoa, salah seorang penyanyi lokal yang terkenal di Makassar sejak 1930-an sampai 1950-an.

Contoh bentuk lagu Makassar rekaman awal adalah Hamsan Marliat menyanyikan “Bannang Ejayya” (mks. Benang merah), dengan iringin gitar, Cut, dan selo.

Mungkinkah ada diantara, kakanda, ayahanda, atau ibunda yang mengingat pengalan lirik lagu ini? Bannang Eja Singainta (benang merah cinta kita) rotasakna Klumbusi (kuretas kusutnya) Aule kukellainna (ah karena inginku) Jarrek ri passimbangenta (kita bersama selalu

Perusahaan kaset yang terlihat di Makassar pada Tahun 1990 ada tiga yaitu: 1) Irama Baru yang hanya memproduksi beberapa kaset bugis tiap tahun, 2) Jansen Record yang giat menelurkan dangdut Bugis lebih beragam, dan 3) Libel Record yang dipoerasikan Riady Panorama setelah mengawali usaha dengan kecapi, gambus, dan orkes toriolo, reputasinya menanjak dengan merekam penyanyi Makassar terkenal Iwan Tompo.

Semoga kebudayaan lokal tetap eksis dan tidak kehilangan spiritnya. usaha yang digelut oleh seniman cendekia; BU Nani, Halilintar, Mappaselleng, Daeng Mile, dan Iwan Tompo, dari interpenetrasi dunia tari sekuler, neo-ritual, narasi epik, permainan gendang kampong dan musik pop daerah, adalah usaha dengan penuh ketekunan untuk memelihara dan menopang pertunjukan lokal serta memberinya energi baru. Pendekatan mereka berbeda namun tujuannya sama adalah untuk menjaga semangat seni lokal.

***Nah kawan, memang seharusnya kita merawat eksistensi dan revitalisasi musik, tarian, lagu dareah dan kebudayaan lokal. Bukankah kita tidak ingin budaya lokal ini mati dalam sebuah proses globalisasi? Hehehe…

***Sedikit masukan pada alur pembahasan buku ini… lebih mantap jika alur ceritanya lebih runut.. pembahasan tahun pelaksanaan pekan budaya melompat-lompat dengan bebas.. tapi Buku ini sangat Bermanfaat untuk semua kita dalam memahami bagai mana zaman-zaman yang lalu, dengan begitu kita tidak kehilangan akar sejarah dan budaya.

Resensi Buku: Pakurru Sumange’ (musik, tari, dan politik kebudayaan Sulawesi Selatan)

Penulis: R. Anderson

Penerbit: Makassar. Ininnawa. 2013

jmlh hlm: 336 hlmn