Berikut yang merupakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat VOC

Berikut yang merupakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat VOC

Sejarah Indonesia Kelas 11 SMA MA Halaman 35, Membandingkan Korupsi Pejabat VOC dengan Indonesia Sekarang /Tangkapan layar buku kemdikbud

RINGTIMES BALI - Berikut ini pembahasan soal Sejarah Indonesia, halaman 35, materi Membandingkan Tingkat Korupsi Pejabat VOC dengan kondisi Indonesia sekarang kelas 11 SMA MA.

Adanya pembahasan soal pada halaman 35 Sejarah Indonesia kelas 11 SMA MA, kami harap bisa membantu baik dari siswa, guru maupun orang tua untuk belajar dan mengevaluasi dari materi Membandingkan Tingkat Korupsi Pejabat VOC dengan kondisi Indonesia sekarang.

Dilansir dari laman Buku Sekolah Elektronik Kemdikbud pada 11 September 2022, simak pembahasan soal Sejarah Indonesia kelas 11 SMA MA pada halaman 35  dipandu oleh Alumni Sastra Sejarah Universitas Jember, Arif Budiman, S.S.

Baca Juga: Soal PTS PKN Kelas 3 Semester 1 Tahun 2022 Terbaru, Lengkap dengan Kunci Jawaban

Bagaimana penilaianmu terkait dengan korupsi yang dilakukan para pejabat VOC, bagaimana kalau dibandingkan dengan keadaan di Indonesia saat ini?

Pembahasan:

Pada mulanya, VOC bersikap baik terhadap penduduk Indonesia, namun lama kelamaan VOC tergiur pada hasil bumi Indonesia yang sangat dibutuhkan oleh negara Belanda. VOC mengalami keterpurukan karena dikelilingi pejabat yang haus akan harta sehingga mereka melakukan korupsi sebanyak-banyaknya.

Penilaiannya tentang korupsi yang dilakukan oleh para pejabat VOC yang menyebabkan VOC bubar adalah sebelum tahun 1684 Gubernur Jendral Speelman melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Gubernur Jenderal Speelman tidak pernah mendengarkan nasehat dari Dewan Hindia. Gubernur Jenderal Speelman memakai uang VOC dengan cara membuat proyek kerja fiktif. Ketika VOC berada di bawah kehendak Speelmen, hasil dari penjualan tekstil mengalami penurunan sebesar 90%, monopoli candu tidak efektif.

KASUS korupsi di Indonesia bukan sebuah peristiwa kejahatan yang baru terjadi saat sekarang ini atau di era Indonesia merdeka hingga sekarang. Korupsi sudah ada di Indonesia sejak zaman VOC ( Vereenigde Oostindische Compagnie/Persatuan Perusahaan Hindia Timur).Hal itu diungkapkan oleh Sub Koordinator Pusat Studi Arsip Pemberantasan Korupsi, Dharwis Yacob kepada mediaindonesia.com, Sabtu (24/4).

"Kasus korupsi di Indonesia sudah ada sejak era VOC. Hal itu terlihat dari laporan VOC tentang korupsi di berbagai daerah, baik dilakukan oleh bupati atau orang-orang di pemerintahan Kolonial Belanda," ujar Dharwis.

Korupsi di era pemerintahan Kolonial Hindia Belanda ini, sifatnya politik untuk menjatuhkan lawannya. Misalnya penguasa ingin menjatuhkan lawannya misalnya menjatuhkan kekuasaan bupati dan ingin digantikan oleh bupati pilihan penguasa, dengan menyodorkan isu korupsi. Namun ada juga yang murni korupsi untuk memperkaya diri sendiri. Kebiasaan pemimpin atau calon pemimpin daerah memberikan gratifikasi juga sudah ada di era masa itu. Termasuk keterlibatan tuan tanah, orang di pemerintahan dan calon penguasa atau penguasa telah terpola dalam lingkarang korupsi di masa lalu. Pola seperti ini kalau di era sekarang bisa digambarkan antara aparat pemerintahan, pihak swasta dan partai politik.

Atas dasar itu dan komitmen Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) mendirikan Pusat Studi Pemberantasan Korupsi di wilayah Warung Buncit, Jakarta Selatan. Gedung tiga lantai itu merupakan gedung hasil sitaan KPK dalam kasus korupsi melibatkan Nazaruddin, mantan politisi Partai Demokrat. Dua lantai dimanfaatkan untuk penyimpanan arsip-arsip kasus korupsi sejak era VOC sampai sekarang.

"Arsip-arsip yang tersimpan di sini sudah inkracht di pengadilan. Adanya arsip-arsip ini agar bisa dipelajari juga adanya kasus-kasus serupa dan bagaimana penyelesaiannya pada saat itu. Contohnya ada arsip korupsi Jiwasraya pada tahun 80-an. Dan sekarang kembali lagi terjadi korupsi. Ini bisa dipelajari kasus penyelesaian hukumnya seperti apa," ujar arsiparis muda ini.

Disebutkannya bahwa era VOC, hukuman yang dijatuhkan bagi koruptor beragam. Mulai dari diasingkan hingga hukuman mati dengan digantung di lapangan danditonton masyarakat agar memiliki efek jera. Sementara di era Indonesia merdeka, belum ada koruptor yang dihukum mati. Bahkan saat VOC berakhir di Indonesia akibat bangkrut karena korupsi.

"Padahal di awal-awal itu VOC paling rutin melaporkan keuangan dan tidak ada kasus korupsi. Namun masa-masa terakhir pemasukan mulai menurun karena sudah masuk ke kantong pribadi masing-masing. Akhirnya ketahuan dan prosesnya (proses hukum) di Belanda," paparnya.

baca juga: Korupsi arsip

Tujuan lainnya kehadiran Pusat Studi Arsip Pemberantasan Korupsi ini, selain sebagai penelitian yakni sebagai pengingat bagi warga Indonesia bahwa korupsi bukan sebagai budaya tetapi sebagai aib yang harus dihilangkan dari bumi Indonesia. Pusat Studi Pemberantasan Korupsi ini dibuka untuk umum setiap Senin-Jumat pukul 8.00-15.00 selama Ramadan. Sedangkan pada hari biasa  operasional dibuka pukul 7.30-16.00.

Pusat Studi Arsip Pemberantasan Korupsi baru dibuka 20 Desember 2020 ini menyuguhkan beragam kasus korupsi yang melibatkan dari berbagai institusi pemerintah dengan didukung empat tenaga kearsipan yang profesional. (OL-3)

Armada VOC sebagai sampul buku VOC: A Bibliography of Publications Relating to the Dutch East India Company, 1602-1800 karya John Landwehr.

Tidak kurang dari 290 kapal Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC, Verenigde Oostindische Compagnie, biasa disebut Kompeni) tenggelam di lautan Indonesia. Selain pertempuran dengan kongsi dagang pesaingnya maupun dengan penguasa-penguasa Nusantara, banyak kapal karam karena kelebihan muatan dengan barang dagangan pribadi.

Perdagangan pribadi atau perdagangan gelap merupakan salah satu bentuk korupsi pejabat VOC. Korupsi sebagai penyebab keruntuhan membuat VOC diplesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie (Runtuh Lantaran Korupsi).

“VOC bangkrut karena perdagangan gelap. Gubernur VOC mestinya berdagang untuk disetor ke VOC di Belanda, tapi dia berdagang untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, semua gubernur VOC di sini kaya kaya,” kata Mona Lohanda, sejarawan dan arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia, kepada Historia.id.

Advertising

Advertising

Baca juga: Dokumen Saham Tertua VOC Ditemukan

Menurut sejarawan Ong Hok Ham, perdagangan pribadi atau perdagangan gelap disebut morshandel (perdagangan kecil). “Sebenarnya tidak kecil karena mereka memakai berbagai fasilitas VOC, seperti kapal, gudang, modal, koneksi, dan lainnya,” tulis Ong dalam Dari Soal Priayi Sampai Nyi Blorong.

Seiring meluasnya wilayah kekuasaan VOC, praktik korupsi kian merajalela, mulai dari menyunat uang kas dan anggaran VOC sampai memeras penduduk.

Selain morshandel, menurut Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia, praktik korupsi berupa memotong keuntungan yang menjadi hak VOC (stille winsten), memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi lebih daripada ketentuan (overwichten), sengaja mengajukan target setoran di bawah potensi (spillagie), memaksa penduduk menyerahkan upeti (contributien), dan menerima hadiah dari para penjilat (hommagien).

Misalnya, gubernur Pantai Utara Timur Jawa harus memenuhi target setoran 125 pikul beras buat VOC, tetapi menggelembungkannya menjadi 180-240 pikul. Selisihnya masuk ke dapur sendiri. Sementara itu, seorang direktur (opperhoofd) VOC di Cirebon yang bergaji 60 gulden per bulan, diwajibkan mencari pemasukan untuk kas VOC sebesar 12.000 ringgit per tahun (1 ringgit senilai 2,5 gulden), digelembungkannya menjadi 30.000 ringgit. Dari 17 ribu pikul kopi yang disetor ke VOC senilai 117.000 ringgit, dia menilep 64.000 ringgit. Target setoran itu secara langsung dibebankan ke rakyat.

VOC juga mewajibkan gubernur jenderal setor pemasukan 150.000 ringgit per tahun, residen di Solo 80.000 ringgit, dan residen di Yogyakarta 70.000 ringgit. “Entah berapa yang mereka ambil untuk diri sendiri,” tulis Parakitri.

Baca juga: Hari Ini VOC Berdiri

Dengan korupsi, tulis C.R. Boxer dalam Jan Kompeni, sebagian besar gubernur jenderal berhenti dari jabatannya sebagai orang kaya, beberapa di antaranya jadi jutawan. “Modalnya pasti tidak diperolehnya dari menabung atau berhemat dengan gaji resminya sekitar 600-700 gulden per bulan,” tulis Boxer.

Ambil contoh gubernur jenderal Johan van Hoorn (1704–1709) menumpuk harta 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada 1709, padahal gajinya hanya 700 gulden sebulan. Gubernur VOC di Maluku menumpuk 20.000-30.000 gulden dalam 4-5 tahun, sementara gajinya hanya sekitar 150 gulden sebulan.

Gaji pegawai VOC yang rendah dituding sebagai penyebab korupsi. Seorang juru tulis bergaji bulanan 16-24 gulden dan gubernur jenderal bergaji 600-700 gulden. “Keduanya menghadapi macam-macam godaan, tapi jelas yang tersebut akhir memiliki kesempatan yang lebih baik,” tulis Boxer.

Menurut Ong, latar belakang para pejabat VOC juga menjadi penyebab korupsi. Mereka memiliki motivasi petualangan dan keuntungan. Banyak di antara mereka berasal dari kalangan bangsawan yang “miskin” karena tidak berhak atas warisan. Berdasarkan undang-undang kebangsawanan Eropa hanya anak tertua yang sah yang berhak atas seluruh warisan orangtuanya. Mereka terbiasa hidup mewah, namun kemudian tak lagi memiliki sumber kekayaan untuk mendukung gaya hidupnya.

“Jabatan di VOC, dengan demikian, harus menjadikan mereka kaya raya agar bisa hidup mewah. Tetapi, sebaliknya gaji pegawai VOC rendah sekali sehingga korupsi menjadi kebiasaan pejabat VOC,” tulis Ong. Perilaku pejabat VOC dari kalangan bangsawan itu ditiru oleh pejabat lain yang bukan dari kalangan bangsawan.

Pemimpin VOC di Belanda insyaf bahwa gaji yang mereka bayarkan alakadarnya dan sadar bahwa para pejabat dapat menyedot keuntungan yang besar dari jabatan mereka. Oleh karena itu, pemimpin VOC di Belanda maupun di koloni menjual jabatan. “Demikian besar kemungkinan melakukan korupsi tanpa pernah dihukum sehingga untuk menjadi karyawan VOC orang rela menyogok,” tulis Parakitri.

Baca juga: Sepuluh Fakta Tentang VOC

Pernah terungkap, pengurus VOC di Belanda memasang tarif sogok selama 1719–1723 sebesar 3.500 gulden bagi yang ingin menjadi onderkoopman (pejabat rendah VOC) yang bergaji 40 gulden per bulan; 2.000 gulden untuk menjadi kapiten; dan 120 gulden untuk menjadi kopral. Bandingkan dengan kenyataan dari 19.000 karyawan pada 1720 cuma 30 orang yang bergaji 1.200 gulden setahun.

Demi jabatan sebagai gubernur VOC di Pantai Utara Jawa, seorang bangsawan Diderik “Dirk” van Hogendorp membayar sekian ribu gulden kepada penguasa VOC di Belanda, gubernur jenderal di Batavia, dan gubernur di Semarang. Ayahnya, pejabat tinggi VOC terkenal sangat korup, tewas tenggelam bersama kapal VOC beserta barang dagangan pribadinya.

“Dengan sendirinya Dirk Hogendorp menganggap jabatannya yang tinggi sebagai barang dagangan,” tulis Ong. Dirk kembali ke Belanda sebagai orang kaya raya dan mengunjungi kakak tertuanya dengan kereta kencana disertai para pengawal. Dia pun dapat menyunting seorang putri dari salah satu kerajaan kecil di Jerman.

Anehnya, Dirk malah menjadi peniup pluit (whistleblower). Menurut Ong, struktur korupsi pejabat VOC pada akhir abad ke-18 dapat kita diketahui dari surat-surat Dirk kepada saudara laki-lakinya, Gijs Bert Karel, yang mengungkapkan perilaku para pejabat VOC di Hindia Belanda.

Penindakan

Pada 25 April 1722, Gubernur Jenderal Hendrik Zwaardekroon (1718–1725), memerintahkan eksekusi mati 24 pejabat rendah VOC yang semuanya Indo-Eropa atau pribumi karena menyelundupkan rempah-rempah.

Namun, hukuman untuk pelaku korupsi tajam ke bawah. “Pelanggar-pelanggar yang tinggi kedudukannya kena hukuman jauh lebih ringan,” tulis Boxer.

Menurut Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada, tindakan terhadap pelaku korupsi berkedudukan tinggi hanya dua: memecat atau memutasikannya ke tempat lain. “Seperti yang terjadi pada Hendrik Breton (direktur jenderal perdagangan VOC, red.) yang dimutasikan sebagai gubernur ke Maluku,” kata Margana.

Contoh lain, Gubernur Jenderal Diderik Durven (1729–1732) bersama direktur jenderal dan dua anggota dewan senior hanya dibebastugaskan karena terbukti memeras orang Tionghoa. “Ini menimbulkan sensasi hebat, paling tidak untuk sementara. Tetapi sama sekali mereka tidak dikenakan hukuman mati, dan saya tidak tahu apakah mereka dipaksa mengembalikan barang-barang yang diperolehnya secara gelap,” tulis Boxer.

Baca juga: Ketika Kompeni VOC Dimaki dan Dipuji

Ternyata Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (1737–1741) melakukan hal yang sama selama “minggu berdarah” atau pembantaian Tionghoa pada 1740. Ketika dia ditentang oleh tiga anggota Raad van Indie (Dewan Hindia) di bawah pimpinan Gustaaf Willem Baron van Imhoff, justru keempat orang itu dipulangkan ke Belanda. Van Imhoff berhasil membela diri di hadapan Heeren Zeventien (Tujuhbelas Tuan) dan kemudian diangkat menjadi gubernur jenderal (1743–1750).

“Dia diperintahkan untuk mencegah korupsi. Kapal yang membawanya kembali ke Batavia sampai dibaptis sebagai De Hersteller (Pemulih), sekadar untuk menegaskan tekad itu,” tulis Parakitri. “Ternyata dia pun cuma bisa melegalisir sebagian korupsi agar bisa memberantas sisanya.”

Ekspedisi Militer

Margana mengatakan bahwa korupsi terjadi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang. Banyak para pejabat VOC di daerah memanfaatkan kekurangan kapal-kapal untuk operasional dagang dengan menggunakan kapal-kapal pribadinya. Demikian juga terjadi mark-up biaya-biaya ekspedisi, baik untuk patroli bajak laut, perang maupun kegiatan operasional dagang. “Tetapi nilainya tidak sebesar biaya-biaya ekspedisi militer dan perang,” ujar Margana.

VOC berurusan dengan politik kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sehingga mereka terlibat dalam berbagai peperangan, baik di Jawa, Sulawesi, maupun Maluku. Puluhan perang ini telah menguras habis kas perusahaan. “Biaya perang dan ekspedisi militer ke berbagai wilayah ini sangat besar, bahkan lebih besar dari pemasukan VOC sebagai organisasi dagang,” kata Margana.

Menurut Mona, ditambah lima kali perang dengan Inggris. “Sebelum tahun 1790, sudah tidak ada lagi kapal ke Belanda karena sudah bangkrut dan Inggris sudah memblokadenya,” ujar Mona.

Baca juga: Riwayat di Balik Berdirinya Kompeni Dagang VOC

Kendati keberanian dan kemampuan para perwira angkatan laut VOC tidak diragukan, tetapi masalahnya pada anak buah yang tidak berpengalaman. Sosiolog Belanda, J.C. van Leur, meyakini bahwa korupsi bukanlah faktor utama kemerosotan VOC, karena korupsi di Kongsi Dagang Inggris (EIC) juga sama hebatnya.

“Kelemahan angkatan laut merupakan faktor utama dalam kejatuhan VOC, walaupun dia (Van Leur, red.) melangkah terlalu jauh dengan menyatakan bahwa inilah sesungguhnya yang merupakan satu-satunya sebab keruntuhannya,” tulis Boxer.

Sejak 1744, kelemahan tersebut telah diakui oleh van Imhoff: “Bagaimana keadaan kita yang sebenarnya, saya takut mengatakannya, karena memalukan… apapun tidak ada, kapal-kapal yang baik, anak buah, perwira yang baik, dan demikianlah salah satu cabang yang paling pokok dari kekuasaan Belanda dipertaruhkan.”

Ekspedisi militer telah menguras keuangan VOC sehingga terlilit utang yang sangat besar. Sementara itu, kata Mona, “akumulasi kapital hanya terjadi pada elite-elitenya di delapan kamar dagang. Ketika bangkrut, VOC tidak dapat membayar dividen.”

Baca juga: Genosida VOC di Pulau Banda

Pada 6 Februari 1781, pemerintah Belanda menyuntikan pinjaman lewat penerbitan obligasi sebesar 55 juta gulden. Pada 1875, beban utang VOC melonjak menjadi 137 juta gulden. Ada pihak yang menuntut pembubaran VOC, tetapi belum bisa membayangkan pengadaan barang dari Nusantara tanpa perusahaan ini.

Raja Belanda Willem V memandang tidak masuk akal lagi mempertahankan VOC sebagaimana dikehendaki oleh beberapa pihak di Belanda. Berdasarkan Pasal 249 UUD Republik Bataaf (Belanda) 17 Maret 1799, dibentuklah Dewan Penyantun Hak Milik Belanda di Asia untuk mengambil alih semua tanggung jawab atas milik dan utang VOC. Pengambilalihan resmi diumumkan di Batavia pada 8 Agustus 1799. VOC resmi dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799.

Menurut Margana, seluruh utang dan aset VOC di seberang lautan termasuk di Indonesia diambil alih oleh pemerintah Belanda. Aset-aset VOC di Indonesia yang terbesar adalah teritorial dan bangunan-bangunan yang berada di atasnya. Untuk mengelolanya, pemerintah Belanda menjadikan bekas teritori VOC ini sebagai wilayah koloni yang disebut Hindia Belanda. Sejak itu, tahun 1800, didirikanlah pemerintah kolonial Hindia Belanda.