Berikut ini yang bukan merupakan anggota kelompok seni grafis Decenta ialah

Berikut ini yang bukan merupakan anggota kelompok seni grafis Decenta ialah

Berikut ini yang bukan merupakan anggota kelompok seni grafis Decenta ialah
Lihat Foto

Art & Market

Karya seniman seni grafis Haryadi Suadi.

KOMPAS.com - Seni grafis merupakan cabang seni rupa yang proses pembuatan karyanya menggunakan teknik cetak dan hasil karyanya biasanya di atas kertas.

Cetakan seni grafis dibuat di atas permukaan yang dinamakan dengan pelat, yang dapat terbuat dari papan kayu, pelat logam, lembaran kaca akrilik, lembaran linolium atau batu litografi.

Menurut Encyclopaedia Britannica, seni grafis adalah kategori seni rupa tradisional, termasuk segala bentuk ekspresi artistik visual (misal lukisan, gambar, fotografi, seni grafis), biasanya diproduksi pada permukaan datar.

Secara bahasa, grafis berasal dari bahasa Yunani, yaitu graphein yang memiliki makna menulis atau menggambar.

Sedangkan dalam bahasa Inggris, grafis berasal dari kata graph atau graphic yang bermakna tulisan, lukisan yang ditoreh atau digores.

Meski memiliki makna menulis dan menggambar, grafis di sini memiliki maksud sebagai seni mencetak manual tanpa mesin cetak.

Namun pada perkembangannya, seni grafis memanfaatkan penemuan mesin cetak untuk mencetak sebuah karya.

Berikut ini sejarah perkembangan seni grafis di Indonesia.

Baca juga: Raden Saleh, Pionir Seni Modern Indonesia

Muncul pada masa penjajahan Belanda

Ada beberapa pendapat terkait kemunculan seni grafis di dunia. Pendapat pertama menyatakan bahwa kesenian ini berasal dari China.

Versi lain menyatakan bahwa seni grafis telah muncul sejak zaman purba dengan temuan cap tangan di gua prasejarah yang di temukan di Sulawesi.

Cetak Saring Kelompok Decenta 1973 1983: Infrastruktur Seni dan Identitas Keindonesiaan* Chabib Duta Hapsoro Sabtu, 20 Februari 2016 CoffeeWar, Kemang Decenta merupakan sebuah biro desain yang didirikan oleh Adriaan Palar, G. Sidharta, dan A.D. Pirous setelah mereka mendapatkan proyek penggarapan elemen estetik Gedung Convention Hall tahun 1973 di Jakarta. Untuk eksekusi proyek tersebut ketiganya mengajak T. Sutanto, Sunaryo, dan Priyanto Sunarto. Sebagai perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas, Decenta berkembang sebagai sebuah perusahaan desain. Decenta banyak dipercaya oleh institusi negara ataupun partikelir untuk menggarap perancangan dan eksekusi elemen estetik seperti relief, monumen, dan lain-lain. Selain itu mereka juga menggarap perancangan interior dan grafis. Terkecuali Adriaan Palar, para anggota Decenta tersebut, adalah seniman sekaligus pengajar di Departemen Seni Rupa ITB. Novum, sebuah majalah desain grafis yang berbasis di Munchen, Jerman Barat (saat itu) pernah menjadikan Decenta sebagai topik utama. Novum memuat profil Decenta pada edisi 6 Juni tahun 1978. Sebelum membahas Decenta, majalah tersebut menampilkan profil Studio Desain Grafis ITB secara sekilas dan menampilkan beberapa tugas desain mahasiswa yang diasuh oleh A.D. Pirous dan Priyanto Sunarto.

Reinhard Eisele, penulis laporan tersebut, mencatat bahwa Decenta berkiprah dalam bidang desain. Sekalipun membatasi ruang geraknya pada bidang tersebut namun sesekali mereka juga bertindak sebagai kontraktor. Decenta memiliki beragam aktivitas seperti dekorasi interior, grafis, tekstil, perancangan produk serta mural relief, lukisan, patung monumen dan bentuk-bentuk ekspresi lain. Kebanyakan seniman dan desainer profesional yang tergabung dalam Decenta juga bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Seni Rupa ITB. 1 Makalah ini berfokus pada karya-karya cetak saring para seniman anggota kelompok Decenta, G. Sidharta, A.D. Pirous, Sunaryo, T. Sutanto, Priyanto Sunarto, dan Diddo Kusdinar (seorang lulusan Studio Seni Grafis, ITB angkatan 1968 yang belakangan direkrut oleh Decenta) yang dibuat di studio Decenta. Mengapa demikian? Oleh publik seni rupa Indonesia, Decenta dikenal sebagai kelompok, terutama setelah mereka berpameran cetak saring di beberapa kota di Indonesia. Cetak saring pada awalnya digunakan Decenta dalam kepentingan komersial. Namun, kemudian teknik tersebut digunakan sebagai misi kelompok ini untuk mempromosikan seni grafis. Tulisan ini hendak menampilkan pencapaian-pencapaian kelompok ini pada cetak saring sebagai salah satu teknik dalam seni grafis. Selain itu, tulisan ini akan menjabarkan proses penciptaan karyakarya cetak saring yang menyatukan mereka sebagai sebuah kolektif/kelompok seniman. Melalui hal tersebut tulisan ini akan merefleksikan bagaimana karakteristik-karakteristik Decenta sebagai sebuah kelompok. Terakhir, tulisan ini juga hendak menunjukkan pengaruh upaya Decenta dalam memproduksi dan memediasi karya cetak saring serta dalam infrastruktur seni rupa dan desain di Indonesia. CETAK SARING: PERBENDAHARAAN TEKNIS BARU SENI GRAFIS INDONESIA Menurut Diddo Kusdinar, Decenta adalah pengguna istilah cetak saring pertama kali sebagai terjemahan dari silkscreen. 2 Pada gambar ilustrasi di halaman berikut, terlihat sebuah judul besar yang bertuliskan PAMERAN GAMBAR CETAK SARING MCMLXXV. Di sebelah kiri terdapat tulisan exhibition of screenprints 1975. Frasa bahasa Inggris tersebut menjadi penerjemahan atas judul besar yang berbahasa Indonesia. Melihat sampul liflet tersebut kita dapat mengasumsikan bahwa daripada DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 02

serigraphy, istilah screenprint lebih dikenal oleh medan seni rupa Indonesia, sebagai istilah asing dari cetak saring. Patut dipercayai pula bahwa beberapa orang Decenta menerjemahkan cetak saring dari istilah screenprint secara tidak serta merta, melainkan disesuaikan dengan logika kesesuaian dalam Bahasa Indonesia. Pada akhirnya screenprint diterjemahkan sebagai cetak saring daripada cetak layar. Penggunaan cetak saring berdasarkan atas logika proses teknik cetak ini yang menggunakan proses penyaringan. Cetak saring akhirnya melengkapi peristilahanperistilahan lokal teknik seni grafis setelah cetak tinggi, cetak datar dan cetak dalam. 3 Sampul Liflet Pameran Gambar Cetak Saring 1975 (Decenta) Menurut Kusdinar teknik cetak saring sudah banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia dan dikenal dengan sablon. Kusdinar sendiri sudah mengenal dan cukup menguasai teknik cetak ini sebelum ia masuk ke Studio Seni Grafis Murni, ITB. Pada tahun 1970-an penggunaan teknik sablon sudah digunakan secara besar-besaran pada industri tekstil yang kemudian berkembang menjadi bagian dari teknik percetakan dalam industri pakaian dan kemasan. Sunarto juga menambahkan bahwa di tahun 1970- an teknik cetak sablon sudah umum dikenali terutama dalam industri tekstil dan pencetakan stiker. 4 KARAKTERISTIK DECENTA Bab ini mengelaborasi bagaimana karakter-karakter Decenta sebagai sebuah kelompok yang mempengaruhi penciptaan karyakarya cetak saring para anggotanya. a. Pencarian Keindonesiaan Hampir seluruh anggota kelompok Decenta yang saya wawancarai menyatakan bahwa sebagai seniman mereka melakukan pencarian keindonesiaan pada karya-karya mereka. Bukti dari karakter tersebut dapat kita awali dengan pernyataan A.D. Pirous: Setelah selesai kita dapat bayaran (atas pekerjaan commisioned-pen) dan kita terkejut karena uang yang kita dapat terlalu besar. Kenapa kita tidak berkumpul untuk membentuk semacam asosiasi seperti pelukis, pematung, gerafikus dan textile designer. Kita berkumpul dengan intensitas dan kecanduan kita yakni bicara dan mencari diri identitas dalam seni rupa modern Indonesia. 5 Frasa intensitas dan kecanduan dapat dimaknai sebagai sensasi kenikmatan saat seorang mengalami sesuatu. Hal DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 03

ini menyiratkan adanya pencarian keindonesiaan itu tidak berjarak dan menjadi sebuah proses yang alamiah. Pernyataan tersebut juga menandai bahwa para anggota Kelompok Decenta dipertemukan bukan hanya melalui proyek, tetapi juga atas dasar kesamaan pandangan kesenimana: pencarian identitas keindonesiaan. Sunarto juga menyampaikan hal serupa: Yang Barat itu kami (mengacu pada anggota Decentapen) tidak merasa akrab. Kami malah ingin yang Timur. 6 Frasa Yang Barat, itu kami tidak merasa akrab merefleksikan adanya perbedaan pandangan para anggota Kelompok Decenta pada kecenderungan Mazhab Bandung, yang menjadi ciri Departemen Seni Rupa ITB saat itu yang dipengaruhi oleh wacana Modernisme-Formalisme. Pernyataan Sunarto menegaskan perbedaan para anggota Kelompok Decenta dengan kecenderungan modernisme: Sebetulnya, Pak Dharta, Pak Pirous, Pak Sunaryo, Pak Tanto dan saya kelirulah tidak bisa patuh oleh seni modern yang diajarkan ITB. Bagi saya lukisan abstrak itu ajaib. Seni modern itu sudah menjadi keharusan bagi mahasiswa. Kecuali mahasiswa studio grafis Pak Apin tidak terlalu ketat melaksanakannya. 7 Frasa ajaib yang disampaikan oleh Sunarto mengindikasikan sesuatu yang asing. Pernyataan Sunarto di atas juga menyingkirkan stereotip bahwa Departemen Seni Rupa ITB hanya identik dengan seni rupa modern yang bertaut pada modernisme-formalisme. Melalui Jim Supangkat, Sidharta juga telah menyampaikan pernyataan tentang kesenimanannya, sebelum ia tergabung di Decenta, yakni tahun 1971. Jim Supangkat menemukan tulisan Sidharta yang menyatakan: Apakah pikiran dan jalan yang ditempuh Barat satusatunya cara untuk mencapai seni masa kini di Indonesia. Saya ingin lepas dari kemutlakan nilai. Saya ingin mencari alternatif, saya ingin mencari nilai-nilai lokal Indonesia. 8 Bagaimana nilai-nilai keindonesiaan tersebut dicari oleh Kelompok Decenta? Beberapa kali A.D Pirous, Sunaryo dan T. DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 04

Sutanto menyebutkan kalimat berbahasa Prancis: Dialogue Avec La Pass sebagai landasan estetik berkarya Decenta. Dialogue Avec Le Pass yang berarti berdialog dengan masa lalu dimaksudkan mereka untuk mencoba menggali kekayaan seni rupa tradisi khas Nusantara untuk diaplikasikan pada karya-karya mereka. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Eisele pada majalah Novum: Keunikan asosiasi ini (Decenta) adalah penggalian kembali nilai-nilai budaya tradisional yang berkembang di Indonesia dan kemudian diekspresikan kembali dalam idiom-idiom modern. Percakapan kreatif dengan masa lalu, sebagai bagian dari proses pengembangan, bersamaan dengan usaha untuk meningkatkan kepekaan dalam mengalami lingkungan adalah elemen-elemen yang dipertimbangkan dalam identitas seni rupa Indonesia. 9 Percakapan kreatif dengan masa lalu berbeda maknanya dengan kembali ke masa lalu. Percakapan dengan masa lalu menyiratkan bahwa seseorang yang bercakap-cakap dengan masa lalu tersebut masih menjejakkan diri di masa kini. Masa lalu dapat dimaknai sebagai sebuah rujukan atau referensi yang menuntun seseorang dalam kehidupan masa kini. Kenapa percakapan masa lalu ini menjadi penting untuk dilakukan? Dapat diartikan bahwa pernyataan tersebut memiliki nuansa poskolonial di mana oleh penjajahan yang panjang, masyarakat Indonesia menjadi terasing dan tercerabut dari kehidupan masa lalu/aslinya. Melalui peninggalan benda-benda tradisi yang masih hadir dalam kehidupan modern, masyarakat Indonesia yang tidak mengalami kehidupan tradisi menjadi tergugah dan menemukan banyak nilai-nilai yang tidak mereka temukan dalam kehidupan modern. Di Decenta perbincangan tentang keindonesian sering dilakukan. Sunarto menceritakan bagaimana peristiwa itu terjadi: Selalu ada saat-saat kita duduk ngobrol-ngobrol tentang Keindonesiaan. Dan setiap orang biasanya punya argumen sendiri-sendiri. Biasanya itu dilangsungkan di meja rapat yang besar dan dilangsungkan sore hari. Saat siang meja itu dipakai untuk rapat, menemui klien dan lain-lain. 10 Pembicaraan tentang keindonesiaan dapat berlangsung secara DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 05

simultan karena terjadi saat mereka berkarya. Hal ini diceritakan Pirous bagaiamana anggota kelompok Decenta bekerja di tempat yang sama sehingga bisa saling mempengaruhi: Dan di ruang besar itu ada meja saya, meja Naryo, Dharta dan lain-lain. Jadi masing-masing kami bisa saling melihat saling mempengaruhi dan seterusnya. Decenta seperti itu. Saya mempengaruhi mereka dan mereka mempengaruhi saya. Begitu seterusnya. 11 Decenta sebenarnya pernah sekali mengeluarkan semacam manifesto kelompok, meskipun tidak terlihat secara langsung sebagai sebuah manifesto. Manifesto itu tampil dalam liflet Pameran Gambar Cetak Saring 1975 dan tampil dalam sejumlah pertanyaan-pertanyaan. 12 Kelompok Decenta dipersatukan oleh corak kesenimanan yang sama, yakni pencarian Keindonesiaan. Meskipun tidak semua anggota tidak mengaitkan pencarian keindonesiaan pada tradisi hal tersebut tidak mengurangi karakter pencarian Keindonesiaan tersebut. Di sisi lain, karakter pencarian keindonesiaan Kelompok Decenta melibatkan diri pada pergulatan identitas seni rupa Indonesia pada masa tersebut, dekade 1960-1970an. b. Eksperimentasi Eksperimen dapat diartikan sebagai melakukan prosedurprosedur saintifik, yang secara khusus dilakukan di sebuah laboratorium untuk menemukan sesuatu. Meskipun tidak melakukan prosedur-prosedur yang saintifik Decenta sebenarnya menerapkan eksperimen, khususnya dalam teknik cetak saring. Eksperimen-eksperimen tersebut hadir dalam konteks teknis karya cetak saring secara umum dan khusus yang dijelajahi masing-masing anggotanya. Dalam konteks teknis secara umum, dapat terlihat dari pola produksi cetak saring Decenta dengan keberadaan fasilitas bengkel cetak saring yang lengkap, anggota Kelompok Decenta, terutama Sunarto dan Kusdinar melakukan eksperimentasieksperimentasi untuk didapatkan satu rumusan teknis yang bisa diterapkan pada karya-karya cetak saring mereka. Eksperimentasi teknis itu dapat terjadi dalam penggunaan warna, bagaimana menemukan komposisi warna yang tepat dan menghasilkan karya yang baik secara teknis kendati tidak menggunakan cat khusus sablon. Aspek eksperimentasi juga DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 06

timbul saat Sunarto dan Kusdinar melatih sejumlah orang untuk menjadi asisten-asisten mereka dalam menciptakan karya cetak saring. Sunarto memperlihatkan bagaimana sebuah eksperimentasi teknis cetak saring berlangsung: Ada pameran di Soemardja, yakni pameran grafis Amerika. Ada satu seniman perempuan yang membuat karya screen dan tahu kalau itu bisa menjadi karya seni. Dan warnanya ada nuansanya. Dan itu tidak mungkin dicetak dua kali. Kita lalu tahu ternyata tintanya dicampur di atas screen dan ditarik. Nah, ekstasenya seperti itu. Apalagi di Decenta, kita tidak punya bayangan efisiensi. Dan bisa mengacak-acak warna. 13 Frasa tidak punya bayangan efisiensi memperlihatkan amat difasilitasinya para anggota Decenta untuk bereksperimentasi. Seperti yang diungkapkan Kusdinar di bawah ini: Decenta itu sebetulnya memfasilitasi semua, dari cat, sampai tenaga bengkel bisa dipakai. Jadi saya mau bikin apa saja tinggal bikin, mau pakai kertas berapapun boleh. xiv Pirous menyebutkan bahwa anggota kelompok Decenta menempati satu ruang kerja bersama-sama, sehingga ketika mereka berkarya mereka juga dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Pernyataan Kusdinar mengamini hal tersebut: Kami menciptakan suatu atmosfer di mana bekerja itu dengan apapun di situ, bila menarik perhatian masingmasing bisa saling melihat. Akhirnya satu bikin, semua bikin. Itu yang menarik, ada influence dari suasana itu sehingga kita juga menjadi bergairah. 15 Kusdinar melanjutkan bahwa selain itu mereka memiliki referensi yang cukup. Decenta memiliki sumber visual seperti dokumentasi foto pola hias seni rupa tradisional Indonesia. Kalimat yang diungkapkan Pirous yakni, Kita berkumpul dengan intensitas dan kecanduan kita yakni bicara dan mencari diri identitas dalam seni rupa modern Indonesia, sesungguhnya juga merepresentasikan suasana kerja eksperimen Decenta kondusif dan menghadirkan sejenis ekstase dalam berkarya. Pernyataan di atas dapat menjadi menjadi alasan bagaimana dicapainya kualitas DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 07

artistik karya-karya cetak saring anggota kelompok Decenta. Eksperimentasi dapat bermakna bahwa sebagai kelompok, anggota Decenta dibebaskan dalam menjelajahi karya cetak saring dalam bentuk dan tema apapun. Pernyataan Sidharta di bawah ini menyimpulkan motif eksperimentasi karya cetak saringnya: Sunaryo, A.D. Pirous dan T. Sutanto di ruang kerja Decenta Salah satu praktik berkesenian yang saya lakukan adalah menggambar dan sejak 1974 mulai membuat serigrafi. Kenapa saya memilih serigrafi karena media ini berbeda dengan lukis dan patung. Saya menginginkan media yang belum pernah saya pakai dengan proses kerja yang lain dan teknik yang baru. Praktik serigrafi ini memungkinkan saya untuk melatih kepekaan saya terhadap seni tradisi, dengan banyak mempergunakan motif-motif ornamen. 16 Pada penciptaan karya-karya cetak saring ini para seniman menggunakan beberapa teknik. Misalnya peniruan ragam hias yang digambar di atas kaca untuk kemudian ditransfer ke atas screen cetak saring. Selain itu mereka juga menggunakan citraan fotografi dengan menggunakan ortofilm (semacam negatif) yang kemudian ditransfer di atas screen. Citraan fotografis tersebut bermacam-macam, misalnya ragam hias, foto-foto sosok yang difoto sendiri oleh seniman maupun diambil dari majalah dan lain-lain. Beberapa orang juga menerapkan metode menggambar langsung di atas screen. Eksperimentasi-eksperimentasi yang dilakukan oleh anggota kelompok Decenta pada akhirnya dapat menuntun mereka kepada sebuah hal yang baru, baik metode berkarya ataupun penemuan teknik. A.D. Pirous misalnya, melalui teknik cetak saring akhirnya ia menemukan sebuah alternatif penciptaan teknik etsa viscosity yang tidak bisa diciptakannya di Indonesia. Teknik etsa viscosity yang dapat menghasilkan banyak warna akhirnya dapat digantikan oleh teknik cetak saring. Teknik cetak saring juga mempengaruhi karya-karya Sunaryo yang lain yang memungkinkan ia menemukan medium ekspresi baru. Sunaryo menceritakan bagaimana metode penciptaan karya cetak saringnya mempengaruhi karya-karya patung dan lukisannya: DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 08

Justru di cetak saring saya mendapat peluang mengarah ke sana, Saya menggambar di kaca. Tapi, susahnya di kaca kalau mengubah harus dikerik dulu akhirnya pakai film. Film, geser-geser saya gunting akhirnya seperti assembling itu munculnya dari sana (cetak saring). Akhirnya ke relief dan lain-lain. 17 Kendati tidak dapat memastikan, Sunarto mengamati bahwa karya cetak saring mempengaruhi karya-karya Sidharta yang lain: Suatu media itu bisa dia kembangkan ke mana-mana. Pengaruh cetak saring kepada Pak Dharta juga bukan hanya warna saja. Tapi juga unsur-unsur dekoratif. Saya tidak berani positif bilang tapi sepertinya karya Pak Dharta juga terpengaruh oleh karya Pak Tanto. Karya Pak Dharta menjadi Indonesia dalam arti menggunakan bahasa dan idiom-idiom yang sangat Indonesia. 18 Sutanto menceritakan motivasi pribadinya dalam menjelajahi teknik cetak saring, yakni: Namanya juga sablon, seni rendah dibandingkan yang lain-lain. Tapi ternyata, kita berpikirnya secara industri kan cepat, mudah, dan bisa colorful sekaligus. Jadi dulu itu mikirnya sebagai industri. Tapi ternyata kita bisa apa saja dengan sablon, dan lebih kreatif dan sensitif. Kuncinya di senimannya sebenarnya. 19 Sutanto, Sunarto dan Kusdinar dapat dikatakan memiliki corak eksperimentasi tersendiri karena latar belakang mereka dari pendidikan seni grafis, terlebih Sunarto dan Kusdinar sudah lama menekuni cetak saring. Sunarto menyatakan: Di Decentalah Pak Sidharta mulai coba-coba untuk mengecat patung. Dan itu diterapkan di cetak saringnya. Dan Pak Dharta kan suka menggambar model. Dia tidak bisa melepaskan model. Saya dan Pak Tanto biasalah nakal-nakalan begitu. Yang ajaib-ajaib. 20 Frasa nakal-nakalan dan ajaib menyiratkan ada eksperimentasi di luar kewajaran yang mungkin sukar dipahami oleh orang lain. Sutanto bercerita tentang salah satu karyanya: Saya pernah bikin karya sablon, sebetulnya cuma garis. DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 09

Tapi garis itu terdiri dari bermacam-macam warna titik. Tekniknya sebenarnya sulit, tapi orang tidak terkesan. Yang terkesan malah Pak Pri. 21 Eksperimentasi menjadi karakteristik kedua Kelompok Decenta. Terkhusus pada teknik cetak saring hal ini mempengaruhi pencapaian kualitas artistik pada penciptaan tersebut. Pada lingkup yang lebih khusus eksperimentasi tersebut dapat beberapa anggotanya untuk menemukan pola kekaryaan baru. Selain itu karakteristik eksperimentasi ini juga berhubungan dengan karakteristik Decenta pertama, pencarian keindonesiaan. Eksperimentasi cetak saring dibuat dengan tujuan untuk mencapai nilai estetik tertentu yang berhubungan dengan tujuan mereka masing-masing dalam mencari indentitas keindonesiaan. KARYA-KARYA CETAK SARING DECENTA Bagian ini menampilkan pembacaan terhadap sebuah karya masing-masing seniman anggota Kelompok Decenta, yang mewakili kecenderungan-kecenderungan kekaryaan mereka pada penjelajahan teknik cetak saring. a. A.D Pirous: Doa XII/Penghormatan Kepada Tanah Abee A.D. Pirous, Doa XII/Penghormatan Kepada Tanah Abee Doa XII/Penghormatan Kepada Tanah Abee mewakili seluruh kecenderungan karya cetak saring A.D. Pirous. Pilihan artistik yang dipraktikkan oleh A.D. Pirous dalam konteks teknis adalah penggunaan citraan-citraan reproduksi fotografi, penumpukan warna, teknik cut-out (penggunaan satu screen untuk menghasilkan banyak warna) dan gradasi warna. Beberapa pokok soal yang diterapkan oleh Pirous pada karya cetak saringnya adalah interaksi kebudayaan Barat dan Timur. Secara khusus tema tersebut ditampilkan dengan menggunakan bentuk-bentuk budaya tradisional Aceh. Pokok soal yang ditampilkan karyakarya cetak saring Pirous adalah nilai-nilai religiusitas Islam dan representasi kondisi sosial politik. Karya-karya cetak saring Pirous juga memiliki pokok soal formalisme di mana terdapat kualitas tekstur, warna dan bidang yang dipolakan olehnya. Doa VI/Penghormatan Kepada Tanoh Abee merupakan salah satu karya cetak saring A.D. Pirous yang menggunakan unsur-unsur tulisan Arab dan Al Quran selain menggunakan unsur tekstur tembok kuno. Karya ini, yang berangkatahun 1981 secara garis besar juga menandai penggunaan unsur-unsur serupa yang ia lakukan pada lukisan-lukisan kaligrafinya. Doa XII/Penghormatan Kepada Tanoh Abee menampilkan pemandangan yang terdiri atas langit, awan, matahari, bukit dan pengunungan serta laut. DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 10

Hamparan bukit dan gunung ditumpangi manuskrip yang berupa tulisan-tulisan Arab. Matahari dan awan pun ditampilkan dalam wujud tulisan Arab pula. 22 Penilaian atas karya Doa IX/ Penghormatan kepada Tanoh Abee pun tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor di atas. Kesan tekstur nisan pada karya ini dapat hadir dengan dua cara yakni, pertama, memproses salah satu koleksi foto nisan yang dikumpulkan Pirous melalui proses fotografi untuk menghasilkan kontras yang tinggi untuk screen cetak saring. Kedua, dengan memotret salah satu lukisan Pirous yang memiliki tekstur nisan untuk selanjutnya diproses secara fotografi seperti yang pertama. Proses penciptaan karya Doa IX/ Penghormatan kepada Tanoh Abee banyak melibatkan aspek perancangan, mengingat suasana kerja dan visi Decenta sebagai biro desain. Namun jika aspek perancangan diidentikan dengan hasil akhir yang sudah terbayang oleh senimannya, sebenarnya banyak ruang antara yang dihadapi Pirous saat mengerjakan karya-karya cetak saringnya. Penggunaan gradasi warna misalnya. Seniman harus mencampur dua atau lebih warna di atas screen menawarkan aspek-aspek ketidakterdugaan. Tantangan juga hadir saat seniman dituntut untuk menghasilkan banyak edisi karya dan semuanya harus memiliki kualitas yang sama. b. G. Sidharta: Alam II Karya ini mengesankan kerja tangan yang ekspresif. Pada setiap sulur, garis atau bidang (juga tidak dapat dipastikan) tampil dengan kualitas tebal-tipis yang berbeda. Kualitas karya cetak saring yang demikian terindikasi melalui stensil yang tercipta dengan gambar tangan. Modus seperti ini dimungkinkan yakni dengan teknik mengambar di atas kaca yang kemudian difoto sehingga dihasilkan ortofilm yang dapat ditransfer di atas screen. Teknologi fotografi memungkinkan adanya penampilan pola yang rumit dan menangkap garis-garis yang ekspresif. G. Sidharta, Alam II, 1975 Karya Alam II menunjukkan kecenderungan awal yang dijelajahi oleh Sidharta pada teknik cetak saring. Oleh Sidharta penggamitan unsur budaya tradisi dilakukan melalui metode salin-tempel (copy-paste) pada citraan ornamen yang hadir di buku ataupun melalui metode gambar langsung di atas screen ataupun kertas kalkir. Alam II menampilkan kecenderungan kedua. Garis-garis pembentuk ornamen pada karya itu nampak ekspresif dan mustahil dihasilkan melalui metode salin-tempel. DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 11

Secara teknis hal ini merepresentasikan penggunaan proses fotografi yang baik. Secara teknis pula hal ini merepresentasikan dikuasainya teknik penumpukan warna yang baik. Maka dari itu aspek-aspek keberadaan Decenta sebagai biro desain dan memiliki teknologi fotografi yang lengkap amat berpengaruh pada penciptaan karya ini. Hal-hal di atas mewakili karakteristik Decenta dalam hal eksperimentasi. Karya-karya Sidharta seringkali juga tersusun atas beberapa objek yang dengan teknik assemblage serta memasukkan ornamen dua dimensi dari khazanah seni tradisi. Penyimpangan juga ia lakukan dengan mengecat patungnya, yang dalam konteks seni rupa modern dilarang karena sebagai pematung ia seharusnya memperlakukan material secara jujur dan apa adanya. Secara umum, periode cetak saring Sidharta memberikan kemungkinan padanya untuk menghadirkan berbagai ornamen atau ragam hias tradisional, khususnya ragam hias Jawa. Ornamen itu hadir sebagai citraan yang digambar secara manual. Metode manual ini diimplementasikan dengan cara menggambarkan objek di atas kaca yang kemudian ditransfer atau dipindahkan ke atas screen cetak saring. Ornamen tersebut juga hadir di dalam reproduksi fotografis. Dalam aspek piktorial, dapat diketahui bahwa pencarian keindonesiaan terlihat melalui karya-karya cetak Sidharta yang menggunakan unsur budaya tradisi yang secara khusus dilakukan Sidharta dengan mengadaptasi ornamen Irian. Sebagai karya yang berorientasi formal pelihat dapat mengapresiasi ini menimbang komposisi warna dan garis yang ditampilkan. Gejala ini juga masuk dalam kecenderungan karya abstrak di mana seniman tidak hanya menampilkan abstrak murni melainkan menampilkan unsur-unsur ornamen dekoratif yang digayakan secara formal. Di samping masih merasakan aspek liris dan visual karya, pelihat juga mampu merasakan adanya bentuk-bentuk representasional. Dalam aspek isi pengalaman secara sekilas karya ini tidak bisa dibaca melalui kacamata tersebut. Namun perubahan kekaryaan Sidharta yang tadinya menampilkan unsur formalis murni pada patung menjadi terdapatnya unsur-unsur budaya tradisi mencerminkan peneladanannya terhadap budaya itu. Unsur budaya tradisi etnik yang menyatu dengan sistem kepercayaan dimaknai oleh Sidharta adalah memiliki orientasi pada DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 12

keseimbangan alam. Hal ini terlihat melalui judul karya ini yang mencerminkan pola-pola abstraksi penciptaan ornamen sukusuku asli di Irian pada unsur alam khususnya tumbuhan. Hal ini merepresentasikan pula sikap penghormatan mereka terhadap alam. Maka dari itu, dalam konteks tersebut karya ini merupakan kritik karya-karya Sidharta pada kehidupan modern yang sebetulnya banyak merusak alam. Jikapun kehidupan modern mustahil dihindari, nilai-nilai tradisi seharusnya juga tidak bisa dilupakan. c. Sunaryo: Citra Irian II Sunaryo, Citra Irian II, 1975 Seri karya Citra Irian Sunaryo merupakan perluasan dari karya patungnya yang berjudul serupa. Karya cetak saring seri Citra Irian tampil setelah karya patung Citra Irian dalam Torso di tahun 1971. Tercatat, seri karya ini adalah seri karya Citra Irian merupakan yang terbanyak yang ia buat, hingga akhir dekade 1980-an. Karya cetak saring ini tersusun atas beberapa potongan-potongan motif Irian (serta Bali dan Nias) yang disusun secara digeser-geser namun masih terdapat tujuan untuk menyatukan beberapa garis. Metode itu pada akhirnya mendekonstruksi karakteristik ornamen hias tersebut: Adanya upaya untuk mencari bentuk keseimbangan atau harmoni lain (tidak simetris) setelah melakukan upaya pemotongan, penggeseran dan penyatuan motif-motif Irian itu. Tampilan karya-karya cetak saring Sunaryo berbeda dengan dengan karya anggota Kelompok Decenta yang lain. Citra Irian II menghadirkan ruang kosong hitam yang cukup luas dan memberikan aksen yang penting. Ia hadir sebagai penentu komposisi. Jika digabung secara keseluruhan, komposisi ini menampilkan kualitas liris. Karya ini menampilkan teknik yang tidak terlampau rumit. Melihat kecenderungan bidang dan pewarnaan nampak bahwa sang seniman tidak banyak melakukan penumpukan warna. Komposisi Citra Irian II ada yang tampil dalam sepotong bidang gambar yang besar (hitam dan putih) ataupun memenuhi satu bidang. Komposisi tersebut kebanyakan tampil secara abstrak. Sesekali figuratif dan representasional, namun tidak kehilangan kecenderungan abstraksinya dan selalu tampil dalam kepentingan penyusunan garis dan bidang. Dalam karya-karya cetak saringnya Sunaryo, sering menggunakan warna-warna tanah yakni cokelat, kuning tua dan hitam. Maka dari itu dalam DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 13

konteks keindonesiaan khas Decenta, yang secara khusus dalam konteks piktorial karya-karya Sunaryo mencerminkan kecenderungan kultural di mana ia melakukan pengambilan unsur-unsur visual seni rupa lama. Menurut pernyataannya, di awal-awal masa penjelajahan cetak saringnya ia menggunakan metode menggambar di atas kaca untuk kemudian ia transfer ke screen cetak saring. Setelah menemukan teknik ortofilm seperti anggota-anggota Decenta lain. Pada akhirnya karya-karya Sunaryo banyak bergantung pada teknologi ini. Sunaryo menyatakan pula bahwa metode potongtempel-geser ini mempengaruhi metode penciptaan karyanya yang lain seperti patung, lukisan dan relief. Meskipun secara kasat mata hanya terlihat Sunaryo memetik unsur lama untuk kemudian dikelola dalam pendekatan formalis terdapat intensi lain dari penciptaan karya-karya cetak saring ini. Karya Sunaryo nampak meneladani penciptaan ragamragam hias Irian tersebut dari pencipta-pencipta aslinya yang dibuat bukan sebagai karya seni melainkan sebagai penyaluran daya-daya transenden sebagai manifestasi suatu kepercayaan suku tersebut. Hal tersebut pada akhirnya menggarisbawahi aspek isi pengalaman juga pada karya-karya Sunaryo tersebut. Karya Sunaryo hendak mengingatkan sebagai orang Indonesia setidaknya dirinya sendiri dibutuhkan keseimbangan orientasi untuk menggali kebudayaan Timur untuk pencapaian kehidupan yang lebih baik. Problem pergulatan identitas juga menghampiri Sunaryo sebagai seniman. Ia pun mengakui bahwa cetak saring menjadi alat eksperimentasi pencariannya terhadap identitas keindonesiaan. Karya Sunaryo baik setelah cetak saring seperti patung, lukisan dan lain-lain mengalami perubahan. Ia berulangkali menerapkan ornamen visual khas Indonesia Timur hingga mendapatkan titik getarnya sendiri. Melihat karya-karya Sunaryo pelihat mampu merasakan aspek-aspek ekspresif dan liris. d. T. Sutanto: Pemandangan Merah Pemandangan Merah karya T. Sutanto menampakkan kecakapan teknis dari senimannya terutama mengesankan adanya penumpukan beberapa warna. Kemudian detil-detil pada ornamen dan obyek-obyek bergaris tipis juga mengesankan penguasaan teknis fotografi yang baik sehingga tampil pada dengan perbedaan warna yang tegas antar bidang, meskipun dalam ukuran kecil. DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 14

Karya cetak saring Sutanto yang lain juga menyiratkan kerjakerja tangan saat menggambar dan memperlihatkan penumpukan warna yang dalam beberapa hal diintensikan untuk menghasilkan warna baru. Karya-karya cetak saring Sutanto juga mewakili kecakapan teknis lain misalnya adanya gradasi warna. Sutanto adalah salah satu seniman kelompok Decenta yang menampilkan kekayaan warna pada karyanya, yang contohnya dihasilkan dengan warna-warna transparan yang saling bertumpuk. Hal tersebut tidak akan dicapai oleh Sutanto tanpa adanya karakteristik eksperimentasi yang dimiliki oleh Decenta. T. Sutanto, Pemandangan Merah, 1975 Dibandingkan dengan A.D. Pirous, G. Sidharta dan Sunaryo, cetak saring menjadi medium kekaryaan utama T. Sutanto. Dapat dinyatakan bahwa Sutanto memiliki kedekatan dengan medium tersebut, terlebih ia juga menjadi pengajar di Studio Desain Grafis, Departemen Seni Rupa ITB. Lebih dari itu Sutanto juga berprofesi sebagai desainer grafis dan di bawah Decenta ia banyak mengerjakan perancangan grafis. Maka dari itu pengerjaan karya seni dan pekerjaan perancangan menjadi memiliki irisan penciptaan yang unik bagi Sutanto. Misalnya karya-karya cetak saring Sutanto menampilkan reproduksi citraan-citraan yang diambil dari dunia perancangan dan periklanan. Pada karya Pemandangan Merah, ia menampilkan citraan gigi palsu yang diambil dari iklan-iklan tukang gigi di Indonesia. Selain itu banyak karya-karya lain yang menggunakan metode serupa. Pada akhirnya citraan-citraan itu menjadi ikon khas budaya populer di Indonesia. Di sini terdapat intensi Sutanto pula untuk menggunakan ikon-ikon populer, masinal dan bersifat kitsch yang berseberangan dengan orientasi karya seni rupa yang berorientasi kepada seni tinggi. Oleh karena hal tersebut, kita dapat membaca keterpengaruhan Sutanto terhadap Gerakan Pop Art di Amerika Serikat tahun 60-an. Hal itu juga mempengaruhi sisi pemaknaan yang ditampilkan pada karya-karya cetak saring Sutanto. Jika tujuan perancangan adalah memberikan solusi, dalam arti berorientasi pada kepentingan audiens maka karya cetak saring Sutanto adalah berorientasi kepada senimannya sendiri. Maka dari itu kita akan mendapatkan sejumlah tanda-tanda dan simbol-simbol yang susah dirangkai menjadi sebuah makna yang utuh, jika tidak disebut sebagai pemaknaan yang absurd. Pemetikan unsur lama yakni elemen-elemen seni rupa tradisi, yang menandai karakteristik pencarian keindonesiaan Decenta, juga digunakan secara spesifik oleh Sutanto, yang berbeda DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 15

dibandingkan A.D. Pirous, G. Sidharta dan Sunaryo. Jika ketiga seniman tersebut memiliki peneladanan terhadap bentukbentuk visual dan penciptaannya. Mengingat keberadaan kualitas pemaknaan yang absurd pada karyanya. Sutanto juga terlihat menempatkan elemen seni rupa tradisi itu secara sedikit remeh dan bermain-main. Menelisik karya-karya Sutanto, elemenelemen tradisional pada karyanya juga memiliki orientasi folk art. Selain menampilkan ornamen-ornamen yang dekoratif, beberapa karya cetak saring Sutanto juga menampilkan suasana karnaval atau pawai tradisional Jawa yang ia buat dengan coretan naif. Dalam konteks ini, folk art Sutanto juga berorientasi mendekonstruksi seni tinggi. Melalui hal tersebut kita juga dapat menilai bahwa aspek bermain-main Sutanto pada seni tradisi disebabkan tidak berjaraknya ia terhadap budaya tradisi itu. Menurut pengakuannya sejak kecil Sutanto hidup dengan seni tradisi, seperti wayang, ketoprak dan lain-lain. Sutanto juga mengakrabi dunia dan folklor Jawa selain budaya populerpopuler seperti iklan, film dan lain sebagainya. e. Priyanto Sunarto: R Priyanto Sunarto juga menempatkan cetak saring sebagai medium kekaryaan yang utama sehingga karya-karya cetak saringnya menampilkan eksplorasi yang kaya. Kecenderungan kekaryaan Sunarto dalam beberapa hal juga mirip dengan Sutanto yakni keterpengaruhan pada aspek-aspek perancangan. Setelah lulus dari Studio Seni Grafis, Sunarto mengajar di Studio Desain Grafis yang didirikan oleh A.D. Pirous tahun 1971. Sama seperti Sutanto, Priyanto juga menjadi perancang grafis di mana sering menangani pekerjaan perancangan grafis seperti poster, sampul buku dan lain-lain. Priyanto Sunarto, R, 1974 Kemiripan kekaryaan Sunarto dengan Sutanto juga terletak pada penggunaan ikon-ikon budaya populer yang bersifat masinal dan kitsch untuk diterapkan pada penciptaan karya-karya seni tinggi (high art). Pemakaian citraan pulau-pulau pada peta pada karya Peta Bumi Indonesia Baru menunjukkan hal demikian. Secara sepintas kita akan melihat karya itu menyaru sebagai peta Indonesia yang biasanya terpajang di dinding kelas. Namun setelah diamati ternyata terdapat perubahan letak susunan pulau-pulau tersebut. Karya ini merepresentasikan adanya karakter senimannya yang gemar melakukan eksperimen, yang kemudian juga merepresentasikan karakter kelompok Decenta. Karya R menampillkan kecakapan teknis sang seniman terutama DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 16

dalam menampilkan teknik gradasi warna pada komposisi garis yang rumit. Aspek perancangan pada karya Sutanto juga terjadi pada Sunarto, di mana ada intensi untuk menampilkan tandatanda yang tidak bisa dihubungkan untuk menjadi makna. Pada karya R kehadiran motif tersebut bukan untuk menyampaikan suatu makna tertentu namun hanya untuk menghadirkan sensasi visual. Judul R susah dikaitkan dengan tanda-tanda apapun di dalam karya tersebut. Melihat kecenderungan tersebut terlihat kesamaan Sunarto dengan Sutanto yakni penggunaan motif-motif atau ornamen tradisional yang dekoratif, selain berorientasi pada dekonstruksi seni tinggi, juga tidak digunakan dalam kepentingan peneladanan pada budaya ataupun penciptaan kebentukan ornamen tersebut. Sunarto juga tidak memiliki jarak dengan kebudayaan tradisi. Ia juga memiliki ketertarikan pada budaya-budaya populer yang berkembang di sekitar tempat ia tinggal. Hal ini menjadi ciri khas Sunarto saat mengeksplorasi bentuk visual seni tradisi, yang pada akhirnya mencerminkan pencarian keindonesiaan. Hampir sama seperti Sutanto, Sunarto juga tidak mengalami keberjarakan pada seni tradisi, melihat beberapa karyakarya cetak saringnya yang menggunakan ornamen-ornamen seni tradisi tanpa tendensi apapun dan cenderung bermainmain. Ketiadaan beban Sunarto untuk mencari identitas keindonesiaan mematahkan stereotip Orientalisme bangsa Barat yang memandang bangsa Timur dalam sebagai bangsa yang terbelakang. Dengan itu pula Sunarto tanpa beban melakukan banyak eksperimentasi pada karya-karyanya serta menghampiri persoalan-persoalan keseharian. Selain itu beberapa karya Sunarto juga menampilkan ironi identitas keindonesiaan sendiri. Indentitas kesatuan itu dalam beberapa hal dipakai untuk melakukan penjajahan terhadap bangsa sendiri. f. Diddo Kusdinar: Nomer 3 Diddo Kusdinar, Nomer 3, 1974 Lulus dari Studio Seni Grafis, Departemen Seni Rupa ITB, Diddo Kusdinar merupakan praktisi desain grafis. Selain itu ia sudah sejak lama mengenal teknik cetak saring. Di Decenta ia juga sering menangani pekerjaan perancangan grafis. Terkhusus pada teknik cetak saring sebagai karya seni, Diddo juga sering melakukan eksperimentasi pada teknik ini, terutama pada penggunaan cat serta eksperimen-eksperimen lain. Ia juga sempat menjadi asisten Mochtar Apin pada penciptaan karyakarya cetak saring seniman itu. Maka, dapat ditengarai bahwa Diddo menguasai teknik ini. DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 17

Namun melihat karya-karya cetak saring yang dianalisis Nomer 3 dan Nomer 4, tidak nampak kerumitan teknisnya yang misalnya tampil pada karya-karya Pirous dan Sutanto. Karyakarya Kusdinar tampil dengan sedikit warna yang mencirikan sedikitnya penumpukan warna. Karya-karya Kusdinar juga tidak memperlihatkan adanya gradasi-gradasi warna. Maka kita mendapati kualitas-kualitas rupa yang minimal dan efisien. Maka dari itu penciptaan karya cetak saring Kusdinar memiliki kesamaan dengan Sutanto dan Sunarto yakni menjadi antitesis dari penciptaan karya cetak saring yang berorientasi desain namun dengan cara yang berbeda. Karya-karya Kusdinar menampakkan intensinya untuk menjadikan cetak saring sebagai medium pembebasan yang menghindarkan diri dari kerumitan teknis-teknis cetak saring. Selain karya Nomer 3, karya-karya Kusdinar yang juga tidak terlalu banyak memperlihatkan elemen-elemen seni rupa tradisi maupun kuno. Pada titik ini karya-karya Kusdinar dinilai dari aspek-aspek formal meskipun juga menghadirkan figur-figur. Melalui karya Nomer 3, dalam konteks identitas, terdapat ironi saat pencarian identitas keindonesiaan selalu dipandang bagaimana seniman mengadopsi elemen seni tradisi. Kusdinar yang tidak pernah mengecap kebudayaan tradisi secara langsung karena lahir dan dibesarkan di kota, tidak pernah merasakan tradisi sebagai sebuah identitas. Dapat dinyatakan pula bahwa identitas keindonesiaan menurut Kusdinar adalah senafas dengan ia menjadi seorang warga dunia. MEDIASI DAN KONSUMSI CETAK SARING DECENTA Selain menampilkan karakter pada pencarian identitas Keindonesiaan dan eksperimentasi, karya-karya cetak saring Decenta juga merefleksikan aspek mediasi, distribusi dan konsumsi karya seni rupa yang spesifik. a. Mediasi Kelompok Decenta memiliki inisiatif mediasi karya cetak saring mereka kepada publik seni rupa Indonesia, yakni berupa pameran keliling. Penjelajahan anggota-anggota Decenta pada karya cetak saring sekurang-kurangnya berlangsung di antara tahun 1973-1975 tanpa ada orientasi pameran. Hingga pada awal tahun 1975 terlontar sebuah ide dari beberapa anggota untuk memamerkan karya-karya mereka. DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 18

Gagasan itu dikembangkan dengan menyelenggarakan pameran keliling yakni di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Berlangsunglah pameran di empat kota tersebut judul PAMERAN GAMBAR CETAK SARING MCMLXXV (1975) oleh G. Sidharta, A.D. Pirous, T. Sutanto, Soenarjo, Priyanto S., Diddo K. Pameran ini berlangsung berturut-turut pada: 1. 11-26 Agustus 1975 di Galeri Cipta, TIM, Jakarta 2. 21-26 Agustus 1975 di Gelanggang Remaja, Bandung 3. 17-23 September 75, di Gedung Seni Sono, Yogyakarta 4. 24-28 Oktober 1975 di Gedung Maranatha, Surabaya. Sunarto kemudian merancang poster pameran. Sementara itu Sutanto dan Kusdinar merancang liflet pameran. Dalam rilis pameran tersebut mereka menyatakan bahwa teknik cetak saring sudah lama dikenal di Indonesia untuk pencetakan tekstil dan pembuatan poster-poster. Sebagai ungkapan karya seni baru tahun 1972 diperkenalkan oleh Mochtar Apin dalam Batik Variant -nya. Hal tersebut mereka disampaikan dalam sebuah siaran pers di Harian Pikiran Rakyat (1975). Poster PAMERAN GAMBAR CETAK SARING MCMLXXV (1975) Tiap orang menampilkan belasan karya mereka. Mereka menyatakan kepuasannya menanggapi pameran ini dan menyatakan bahwa pameran ini mampu mendorong kegairahan seni grafis Indonesia. 23 Setelah pameran berlangsung terdapat tulisan yang mengulas pameran itu. Salah satunya adalah tulisan Rudi Isbandi yang dimuat di mana ia secara khusus mengulas pameran di Surabaya. Ia menyebutkan bahwa karya-karya cetak saring itu ditampilkan dengan baik: Mengamati gambar-gambar cetak saring yang dipamerkan, orang-orang akan terkesan oleh keserba-rapian bentuk lukisan itu. Itu kesan pertama. Dan memang tidak keliru, sebab seluruhnya memang dipersiapkan dalam pembuatannya yang cermat, rapi dan bersih. Tak ada kesan asal jadi. Dari proses pembuatan bahannya, sampai lukisan dan bingkainya masuk di perhitungan secara teliti. 24 Beberapa kata dan frasa yang disebutkan Isbandi di atas menyiratkan beberapa hal. Frasa terkesan oleh keserba-rapian secara historis menyiratkan sebuah pengalaman positif saat mengalami karakter-karakter seni yang baru. Terlebih lagi terdapat frasa pembuatannya yang cermat, rapi dan bersih. Karakter-karakter teknik cetak saring yang ditampilkan Decenta DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 19

mampu memberikan pengalaman apresasi seni yang baru bagi publik seni rupa saat itu. Pengalaman baru tersebut oleh Isbandi tampil secara tersirat oleh kerancuannya saat menyebut karya-karya cetak saring tersebut sebagai lukisan. Bagaimanapun, penyebutan lukisan alih-alih grafis menyiratkan sudah diakuinya karya cetak saring sebagai karya seni rupa dua dimensi, lebih-lebih dengan penyebutan kata bingkai. Aspek-aspek yang bereleasi dengan ketelitian seperti cermat, rapi, bersih, masuk perhitungan secara teliti menyiratkan ciri-ciri yang menjadi bentuk kebaruan dalam karya seni rupa. Melihat tulisan Isbandi di atas, dapat dinyatakan bahwa upaya mediasi cetak saring sebagai sebuah kemungkinan baru seni grafis berhasil dilakukan oleh Decenta. Meskipun pameran ini tidak mengatasnamakan Decenta sebagai kelompok, publik seni rupa Indonesia banyak yang mengindentifikasi seniman-seniman ini tergabung dalam Kelompok Decenta. Pernyataan tersebut dapat terungkap melalui beberapa orang anggota Decenta yang penulis wawancarai. 25 Selain itu, dapat disimpulkan, melalui pameran ini terbukti berhasil mengenalkan dan mempopulerkan teknik cetak saring sebagai bentuk karya seni rupa yang baru. b. Distribusi dan Konsumsi Penciptaan karya cetak saring Kelompok Decenta memiliki latar belakang yang unik. Sunarto menceritakan bagaimana teknik cetak saring mulai dipakai oleh Decenta: Sebetulnya cetak saring itu ketemunya tidak disengaja. Saat itu Adri Palar memberikan proyek dari PT. Krakatau Steel, untuk mengisi interior rumah-rumah para pegawainya mulai dari korden, kursi dan lain-lain. Termasuk juga hiasan dinding. Saya tidak ingat siapa yang mengusulkan, sepertinya Pak Dharta (G. Sidharta), agar hiasan dindingnya memakai cetak saring saja yang mereproduksi karya-karya lukisan atau gambar kami. Itu kan ada 400 rumah, jadi tinggal dibagi-bagi saja tiap orang. Itulah sebetulnya dimulainya eksplorasi cetak saring di Decenta. 26 Mekanisme distribusi karya cetak saring Decenta juga diperankan oleh Galeri Decenta. Galeri ini sudah ada sejak Decenta berdiri. Fungsinya adalah sebagai balai pajang karya cetak saring, lukisan dan benda kriya hasil karya anggota Decenta. Dalam hal ini Sutanto menyatakan: DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 20

Sebetulnya tadinya untuk dagangan, tapi dipakai untuk pameran. Dibukanya juga dengan pameran. 27 Maksud pernyataan Sutanto tersebut adalah bahwa galeri tersebut pada awalnya hanya digunakan sebagai balai pajang yang bersifat komersial. Namun lama kelamaan visinya diperluas yakni menyelenggarakan pameran yang berorientasi non-komersial seperti yang dinyatakan oleh Setiawan Sabana, anggota Decenta yang bergabung pada tahun 1983, sebagai berikut: Galeri itu sifatnya untuk memenuhi fungsi distribusi dan mediasi seni. Tidak hanya karya seni saja yang dipamerkan, melainkan juga kriya. Jadi di galeri tersebut ada penjualan karya juga, di samping pameran-pameran. Karya maupun kriya dapat dijual kalau mau. Yang dipamerkan adalah hasil karya para anggota Decenta seperti Pak Pirous, Pak Naryo dan lain-lain. Tidak dijual karya-karya yang selain mereka dan anggota Decenta lain. Ataupun karya-karya seniman lain yang sedang berpameran di galeri Decenta tersebut. 28 Dari aspek konsumsi karya cetak saring mereka, Decenta memiliki kesadaran untuk menjual karya-karya mereka sendiri, dengan infrastruktur galeri yang dimilikinya. Di bawah ini pernyataan Sabana mengenai hal tersebut: Permanent collection artinya orang-orang Decenta memajang karya-karya mereka di galeri dan boleh dibeli. Dulu kan waktu pameran kalau untuk menjual karya itu tidak terang-terangan. Kalau di Decenta modus itu sudah dimulai sebenarnya. Makanya di situ ada harga saat pameran di bawah karya. Di tiap pameran ada daftar harga karya-karya yang dipamerkan. Ada petugas yang menerima tamu dan menjadi semacam petugas kalau ada orang yang mau beli karya. 29 Dengan upaya distribusi semacam itu pada akhirnya Kelompok Decenta, menikmati aspek-aspek konsumsi karya seni, yakni karya-karya mereka mulai banyak terjual. Di bawah ini pernyataan lanjutan Sabana yang menggarisbawahi hal tersebut. Pernyataan Sabana di bawah ini juga memperlihatkan bahwa saat itu peran distribusi karya seni oleh seniman masih belum dikenal, bahkan dianggap tabu: Dan yang beli mulai banyak. Makanya waktu itu katakanlah gerak-gerak komodifikasi dan komersialiasi harga itu dimulai di Decenta. Jadi sebelumnya tidak DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 21

begitu. Setiap seniman pameran hal tersebut tidak terjadi terang-terangan. Komersialisasi itu tabu. Pelukis itu bukan pedagang. Waktu Decenta akhirnya terbuka. Apalagi grafis-grafisnya terjangkau. Tapi lewat merchandising itu juga. Kalau kemahalan, grafis itu terjangkau, dan itu yang paling terjangkau. Tapi itu dibuat oleh orangorang Decenta craft sebagai produk massal. Ada sentuhan senimannya. Craft-nya misalnya patung kecil, alat tulis, jam dan lain-lain. 30 Sub bab ini menyimpulkan bahwa Mekanisme distribusi dipenuhi oleh Galeri Decenta. Galeri Decenta, selain memiliki orientasi pada publik seni dengan menyelenggarakan pameran, diskusi dan seminar seni rupa adalah sebuah badan perusahaan untuk mendistribusikan karya-karya cetak saring anggota Kelompok Decenta. Belakangan, distribusi ini tidak hanya karya cetak saring, melainkan juga medium lain dan tidak terbatas pada karya seni rupa melainkan juga karya desain dan kriya. DECENTA DAN INFRASTRUKTUR SENI RUPA Decenta adalah sebuah kolektif yang mempertemukan karakteristik-karakteristik kesenimanan para personilnya. Di samping mereka memiliki peran atau jabatan tertentu dalam Decenta, karakteristik kesenimanan tersebut masih diwadahi oleh kelompok ini. Kerja utama Decenta adalah sebagai biro desain yang menggarap atau menekel pekerjaan-pekerjaan berorientasi pesanan seperti elemen estetik, monumen, perancangan interior dan perancangan grafis. Untuk memenuhi penggarapan proyekproyek tersebut mereka memiliki faktor produksi yang berupa sumber daya manusia dan non manusia. Sumber daya manusia terdiri atas desainer, sketcher, fotografer dan asisten-asisten teknis lainnya. Sementara itu mereka juga memiliki sumber daya non manusia yang terdiri atas kantor dan beberapa studio (cetak saring dan patung lengkap dengan alat-material pendukungnya). Kedua jenis sumber daya ini diadakan dan dikelola melalui dana keuntungan hasil proyek-proyek mereka. Dalam konteks Decenta sebagai biro desain, anggota Decenta yang notabene seniman berperan menjadi manajer, perencana, perancang dan eksekutor. Peran-peran tersebut diimplementasikan misalnya saat mereka mendapat proyek elemen estetik berskala besar. Satu atau beberapa orang menjadi perancang. Di saat yang sama mereka juga menjadi manajer terkait koordinasi dan instruksi kepada banyak pekerja. Mereka sering pula menjadi eksekutor pada pengadaan proyek-proyek DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 22

tersebut karena mereka memiliki landasan atau bekal teknis sebagai seniman. Sebagai seniman yang berkumpul dalam biro desain, para personil Decenta juga masih memiliki hasrat untuk berkaryaseni. Hasrat tersebut diimplementasikan pada penciptaan karya cetak saring. Sebetulnya pemilihan teknik cetak saring ini berkaitan dengan aspek keberadaan Decenta sebagai biro desain. Dalam salah satu proyek perancangan interior karya-karya cetak saring digunakan untuk mengisi tembok-tembok ruangan sebagai elemen estetik. Inisiasi itu akhirnya berlanjut dengan pengembangan karya-karya cetak saring oleh orang-orang ini yang berujung pada pameran di beberapa kota besar di Pulau Jawa yakni Bandung, Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Melalui cetak saring, Decenta juga mendayagunakan kelebihan teknik ini dalam konteks komersial. Dibandingkan dengan teknik grafis lain, cetak saring paling mudah diberdayakan baik dari sisi pengadaan alat dan teknis. Industri percetakan dan tekstil yang sudah berkembang saat itu memungkinkan beberapa orang mengenal teknik cetak saring, yang sering disebut sebagai cetak sablon. Di samping itu, teknik cetak saring yang memiliki pakem edisi, secara kebetulan juga berkaitan dengan karakter komersial. Cetak saring Decenta yang dibuat hingga puluhan edisi itu memenuhi karakter tersebut karena diciptakan secara massal. Melalui pakem edisi ini harga karya cetak saring menjadi tidak semahal lukisan. Sistem produksi karya cetak saring Kelompok Decenta menghadirkan proses mendesain di mana desainer membuat rancangan terlebih dahulu yang kemudian diperbanyak oleh asisten atau artisan. Maka dari itu, Decenta dapat dinyatakan menjadi salah satu seniman (kelompok) yang memulai penciptaan karya seni dengan pendekatan desain di Indonesia. Decenta sering mendapatkan proyek-proyek pesanan (kebanyakan dari pemerintah) yang berorientasi pada pengaplikasian elemen-elemen seni rupa tradisi yang merepresentasikan identitas keindonesiaan. Aspek-aspek desain dan pemenuhan pesanan pada akhirnya mempengaruhi penciptaan karya-karya cetak saring Decenta. Dapat disimpulkan, penciptaan karya-karya cetak saring Kelompok Decenta, yang memiliki orientasi pencarian terhadap identitas Keindonesiaan, dipengaruhi oleh aspek desain dan aspek komersial. Selain itu, fungsi distribusi dan mediasi karya-karya cetak saring DECENTA: INFRASTRUKTUR SENI DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN 23