Berikan sebuah perbedaan antara ridha dan sabar ?

Penulis : Agung Pribadi

Ikhlas adalah suatu sikap perbuatan yang dilakukan hanya demi dan karena Allah semata tanpa mengharapkan imbalan dan pujian dari orang lain.

Ridha adalah mempercayai dengan sungguh-sungguh bahwa apa yang menimpa kita baik suka maupun duka adalah yang terbaik menurut Allah.

Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi.

Ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima takdir Allah SWT dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. 

Orang-orang yang ridha ketika ditimpa musibah, dia akan mencari hikmah yang terkandung di balik ujian tersebut. Ia yakin, Allah SWT telah memilihnya (untuk menerima ujian itu), dan Dia sekali-kali tidak menghendaki keburukan dari ketentuan cobaan bagi makhluk-Nya. Apabila ridha ini sudah mengakar dalam sanubari manusia, maka hilanglah semua rasa sakit yang diakibatkan oleh berbagai musibah yang menimpanya.

Dari Anas bin Malik RA bahwa Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya apabila Allah SWT mencintai suatu kaum, maka Dia mengujinya. Barangsiapa ridha terhadap ujian-Nya, maka dia memperoleh ridha-Nya dan barangsiapa tidak suka, maka mendapat murka-Nya.'' (HR Tirmidzi).


Berikan sebuah perbedaan antara ridha dan sabar ?
Bismillahirrohmaanirrohiim

Ikhlas, Sabar, Ridha, dan Syukur. Keempat kata sifat ini sudah tidak asing bagi kita semua. Terlebih bagi umat Islam. Untuk penganut agama lain, termasuk yang tidak beragama (Atheis), keempat kata ini memiliki arti tersendiri yang sama tujuan penggunaannya. Paling tidak semua orang setuju dan mengakui bahwa keempat kata ini memiliki makna yang baik. Dari sudut mana saja makna keempat kata ini dipahami, tetap membawa setiap orang kembali ke pemahaman tunggal.

Demikian baiknya makna dari masing-masing kata, tak jarang ada orang tua yang memilih menggunakannya untuk menamai anaknya. Ikhlas, Sabar, Ridha, dan Syukur, ketika dipilih menjadi nama nama orang, pasti pemberi nama berharap pengguna/pemiliknya memiliki sifat dari makna kata itu. Inilah yang dikatakan, “bahwa setiap nama yang diberikan orang tua kepada anaknya, didalamnya terkandung harapan dan doa.”

Dalam keseharian, kata “ikhlas, sabar, dan syukur” lebih familiar  di lisan orang dibanding “ridha.” Setiap orang dengan mudah menggunakan ketiga kata ini sebagai pernyataan perasaan dan sikapnya atas sesuatu dan orang lain. Orang pun dengan mudah memahami maksud penggunaannya. Hingga tak heran, kata-kata tersebut pada kenyataannya menjadi pembenaran atas sesuatu. Pada hal lain bisa menjadi gambaran kepribadian orang yang mengucapkannya. Terkadang juga digunakan sebagai kata tuntutan untuk sesuatu atau pernyataan nasehat dan bentuk dukungan moril kepada orang lain.

Untuk orang yang ditimpa musibah dan mengalami kesulitan hidup, kata “sabar” digunakan untuk memberikan moril dukungan kepadanya; untuk orang yang merasa kehilangan akan sesuatu yang berarti dalam hidupnya, kita akan menggunakan kata “ikhlas” untuk mengingatkannya; untuk orang yang melakukan ibadah dan menghadapi cobaan hidup, kita akan menggunakan kata “ridha” untuk memberikan pesan ketekunan kepadanya; dan kata “syukur” akan kita gunakan kepada seseorang yang menerima suatu rezeki dan karunia.

Menyimak maksud dan makna dari keempat kata ini dalam batasan “Jalan Menuju Allah”, keempat kata ini tidak bisa di bolak-balik urutannya (sesuai judul tulisan). Kata “Ikhlas” tetap menjadi kata sifat pertama, kemudian diikuti dua kata lainnya, dan terakhir kata “Syukur.” Kandungan hikmah dan tujuan dari masing-masing kata tersebut ditempatkan sesuai urutannya oleh para ulama dan fuqaha. Inilah sebagian pentahapan sifat menuju kepada Allah.

Saat saya menulis tulisan sederhana ini, saya perhatikan judul di atas, ada hal yang unik. Terutama dalam jumlah huruf, jumlah huruf hidup dan jumlah huruf mati, dan susunan hurufnya. Keunikan yang saya tangkap adalah penulisan keempat kata ini berdasarkan huruf latin (bahasa Indonesia):

Kata “Ikhlas” terdiri atas enam huruf. Memiliki dua huruf  hidup dan empat huruf mati (2 + 4= 6);  Kata “Sabar” terdiri atas lima huruf. Memiliki dua huruf hidup dan tiga huruf mati (2 + 3 = 5); Kata “Ridha” terdiri atas lima huruf. Memiliki dua huruf hidup dan tiga huruf mati (2 + 3 =5); Kata “Syukur” terdiri atas enam huruf. Memiliki dua huruf hidup dan empat huruf mati (2 + 4 = 6). Bila angka-angka tersebut kita urutkan, akan menjadi “dua, tiga, empat, lima, dan enam.” Angka-angka tersebut bila saling ditambahkan, maka menghasilkan jumlah bilangan “dua puluh (20).”

Hasil akhir penambahan satu angka ke angka lain yang hasilnya dua puluh (20), membuat saya  jadi teringat nasehat almarhum ayah saya. Beliau mengatakan, “bahwa sholat wajib itu dua puluh rakaat: Tujuh belas rakaat di dapat dari sholat wajib (Isha, Subuh, Dhuhur, Asar, dan Magrib), ditambah satu rakaat diri (niat diri), satu rakaat Rasulullah (niat membenarkan perintah sholat), dan satu rakaat Allah (niat sholat karena Allah). Bila tiga rakaat yang terakhir di pisah dari tujuh belas rakaat, itu namanya belum melakukan sholat secara benar (atau hanya benar secara syariat karena terpenuhi rukun sholat). Sebab, dasar mendirikan sholat adalah kebenaran niat diri, membenarkan perintah Allah yang disampaikan oleh Rasulullah, lalu keimanan kepada Allah.” Tiga rakaat terakhir pada jumlah dua puluh rakaat dipahami sebagai niat akan kebenaran keimanan, bukan rukun sholat.

Penggunaan huruf hidup pada keempat kata sifat itu adalah“a, i, u.” Ketiga huruf hidup ini (tanpa huruf “e” dan “o”), adalah bunyi vokal yang diucapkan oleh seorang anak manusia ketika ia lahir. Vokal “aaaa….”melambangkan sifat api (semangat atau amarah); “iiii…” melambangkan sifat air (dingin); dan “uuuu…” melambangkan sifat angin (dingin atau sejuk). Vokal “eeee…” dan “oooo…” lebih menggambarkan sikap responsif atas sesuatu. Oleh kebanyakan orang tua di kampung, kedua vokal terakhir diartikan sebagai unsur tanah. Dalam dunia sufistik, Api – Cahaya, Air, Tanah, dan Angin adalah unsur-unsur utama pembentuk materi dan sifat manusia.

Berdasarkan kandungan huruf hidup pada setiap kata, “Ikhlas” mengandung dua huruf hidup, yaitu “iiii….” dan “aaa…”, ini melambangkan bahwa sifat ini mengandung unsur kesadaran dan kemauan dalam pelaksanaannya; “Sabar” mengandung dua huruf hidup, yaitu “aaaa…”, ini melambangkan bahwa sifat ini mengandung unsur kemauan dalam pelaksanaannya; “Ridha” mengandung dua huruf hidup, yaitu ‘iiii….” dan “aaaa….” ini melambangkan bahwa sifat ini mengandung unsur kesadaran dan kemauan dalam pelaksanaannya; dan “Syukur” mengandung dua huruf hidup, yaitu “uuuu…” ini melambangkan bahwa sifat ini mengandung unsur kesadaran dalam pelaksanaannya. Khusus huruf “uuuu…” pada sifat syukur, harus dibedakan sesuai sifatnya. Dingin yang disebatkan oleh materi air berbeda dengan dingin oleh angin – udara. Udara lebih lembut sifatnya dibanding air.

Memperhatikan penjelasan-penjelasan di atas, keempat sifat ini harus dimiliki oleh setiap pribadi muslim. Cara memilikinya sudah tentu dengan melakukan kewajibannya sebagai hamba Allah dan umat Rasulullah. Mendirikan sholat adalah sarana utama untuk menghadirkan keempat sifat ini kedalam diri. Tanpa sholat, menurut hemat saya, keempat sifat ini akan kering maknanya, karena hanya akan menjadi bahasa lisan semata. Kalaupun makna keempatnya dipahami, seseorang pun akan kesulitan dan bingung untuk  mewujudkannya dalam bentuk sifat dan perilaku setiap hari. Ia akan kehilangan arah dan tujuan dalam mengimplementasikannya. Intinya, bila kita telah mendirikan sholat wajib, maka sifat-sifat sholat harus kita tunaikan secara nyata.

Mahabenar Allah dengan ilmu dan pengetahuan-Nya. Puji dan syukur atas karunia akal yang telah Engkau berikan.

Kita tak perlu terkejut dan bertanya, kenapa orang-orang yang memiliki pemahaman cukup tentang ilmu agama, lebih suka menyandingkan kata sabar dan kata syukur sebagai satu kesatuan maksud dalam pengkalimatan – pengucapan. Sebab kedua kata ini secara maknawi menyiratkan pesan “kemauan dan kesadaran”. Jarang kita temui kata ikhlas disandingkan dengan kata syukur, kata ridha dengan kata sabar, dsb. Kalaupun ada orang yang melakukannya, pasti terdengar rancu di pemahaman orang-orang tertentu.

Khusus “Jalan Menuju Allah”, tidak hanya diisi dengan sifat Iklas, Sabar, Ridha, dan Syukur saja. Masih ada sifat-sifat lain yang harus dimiliki oleh setiap pribadi muslim. Tata urutannya seperti ini: Muhaasabah (instrospeksi diri), Khauf (perasaan takut), Rajaa’ (pengharapan), Shiddiiq(jujur) Ikhlas, Sabar, Wara’, Zuhud, Ridha, Tawakal, dan Syukur. Sifat Muhaasabah atau introspeksi diri merupakan  jalan pertama, kemudian diikuti sifat-sifat lain, dan terakhir sifat syukur sebagai maqam paling tinggi dalam perjalanan menuju Allah.

Bila demikian makna keempat kata ini, sedikit misteri dari keempat sifatnya yang coba saya paparkan (pasti masih banyak lagi misteri dari keempat kata itu yang belum terkuak), kita harus  berhenti bermain-main dalam mengucapkan kata-kata tersebut. Sebab keempat kata ini memiliki makna – maksud – tujuan yang kita sendiri belum tuntas belajar untuk memahaminya. Apalagi kita telah menggunakannya untuk menasehati dan menyadarkan orang lain, tapi kita tidak memberikan penjelasan tentang arah dan tujuan dari penggunaan keempat sifat ini.

Sesungguhnya rahasia kebenaran dan keagungan makna “Ikhlas, Sabar, Ridha, dan Syukur”, hanya milik Allah. Dialah Yang Mahamengetahuinya. Sedikit yang saya sampaikan, bisa jadi salah dan bertentangan dengan pemahaman kebanyakan.

Dari kesebelas sifat yang harus dimiliki oleh setiap pribadi muslim, sengaja saya hanya memilih empat sifat tersebut untuk dibahas.Dasarnya, keempat sifat ini paling sering disebut oleh kebanyakan orang dalam percakapan setiap hari. Sebenarnya sifat “Jujur” pun masuk dalam kategori ini, tapi ia memiliki tingkatan di bawah sifat Ikhlas. Artinya, seseorang yang  memiliki sifat ikhlas, pasti ia bisa berlaku jujur.

Di bawah ini saya akan coba sedikit membahas Ikhlas, Sabar, Ridha, dan Syukur menurut kebanyakan pemahaman yang berlaku dalam lingkungan Islam (dalam batasan defenisi):

1. Ikhlas
Dalam kitab “ar-Risaalah al-Qusyairiyyah”, Abu Qasim al-Qusyairiyyah berkata,“Ikhlas adalah mengesakan Allah dalam mengerjakan ketaatan dengan sengaja. Yaitu melakukan ketaatan semat-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada tendensi lain, seperti berpura-pura kepada makhluk, mencari pujian manusia atau makna lain selain mendekatkan diri kepada Allah. Dapat juga dikatakan bahwa ikhlas adalah memurnikan perbuatan dari pandangan makhluk.

Dalam kitab yang sama, Junaid berkata,“Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba yang tidak diketahui oleh malaikat sehingga dia tidak dapat mencatatnya, tidak diketahui oleh setan sehingga dia tidak dapat merusaknya, dan tidak pula diketahui oleh nafsu sehingga dia tidak dapat memalingkannya.”

Fudhail ibn Iyadh masih dalam kitab yang sama berkata, “meninggalkan amal karena manusia adalah riyaa’, dan mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas adalah jika engkau dijaga oleh Allah dari keduanya.”

Demikian agungnya makna dan maksud dari sifat ikhlas, orang-orang yang memiliki sifat ini (mukhlis) akan dimuliakan oleh Allah.

Terdapat beberapa pesan penting akan sifat ini. Pertama, kepemilikan sifat ikhlas ditujukan semata-mata karena Allah; Kedua,sifat ikhlas lahir hanya dari perkara-perkara kebaikan (amal saleh); Ketiga, substansi perwujudannya dalam kehidupan bersifat rahasia (hanya diri sendiri dan Allah yang tahu).

Oleh karena itu, kebiasaan kita mengiringkan pemberian kepada seseorang dengan mengatakan, “Terimalah! Aku memberikan untukmu dengan ikhlas,” adalah pernyataan yang salah. Terlepas dari benar tidaknya niat memberikan sesuatu kepada orang lain, pernyataan ini mengandung unsur riyaa’ dan syirik.
2. Sabar
Dalam kitab “Syarh Riyaadh ash-Shaalihin” yang ditulis oleh Muhammad ibn Allanash-Shiddiqi, Raghib al-ashfahani berkata, “Sabar adalah menahan diri berdasarkan apa yang diharuskan oleh akal dan syariat, atau menahan diri dari apa yang diharuskan oleh keduanya (akal dan syariat) untuk ditahan.”

Al-Jurjani dalam kitab yang sama, berkata, “Sabar adalah meninggalkan keluh kesah kepada selain Allah tentang pedihnya suatu cobaan.”

Dzunnun al-Misri masih dalam kitab yang sama, berkata, “Sabar adalah menghindarkan diri dari hal-hal yang menyimpang, tetap tenang sewaktu tertimpa suatu ujian dan menampakkan kekayaan di kala tertimpa kefakiran dalam kehidupan.”

Ketiga definisi di atas mengandung tiga hal utama dalam berlaku sabar: Pertama,sabar harus berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sesuai tuntunan syariat; Kedua, kesabaran harus ditujukkan pertama-tama untuk meminta/memohon pertolongan kepada Allah; dan Ketiga, selalu menampakkan kekayaan nikmat dan karunia yang lain saat kita ditimpa kefakiran dalam satu atau dua hal.

Penggunaan akal dan syariat menjadi ukuran utama dalam berlaku sabar. Hendaknya kita tidak berlaku sabar secara membabi buta (tanpa pertimbangan akal sehat), dan tanpa aturan dan arah yang jelas (hukum syariat).

Dalam menasehati orang lain yang ditimpa musibah agar berlaku sabar menghadapinya, kita harus berani memberikan pemahaman yang benar tentang sifat ini. Sudah tentu cara memberikan pemahaman harus dikemas baik untuk disampaikan secara sederhana, serta menghargai kondisi orang tersebut. Ber-empati adalah salah satu cara menghargai orang yang sedang ditimpa musibah.

3. Ridha

Dalam kitab “Mi’raaj at-Tasyawwuf ilaa Haqaa’iq at-Tashawwuf” yang ditulis oleh Ahmad ibn Ujaibah, Sayid berkata, “Ridha adalah sikap lapangnya hati ketika menerima pahitnya ketetapan Allah.”

Dalam kitab yang sama Ibnu Ujaibah berkata,“Ridha adalah menerima kehancuran dengan wajah tersenyum, atau bahagianya hati ketika (suatu) ketetapan terjadi, atau tidak memilih-milih apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, atau lapang dada dan tidak mengingkari apa-apa yang datang dari Allah.”

Ibnu Athailah as-Sakandari dalam kitab “ar-Risaalah al-Qusyairiyyah” berkata, “Ridha adalah pandangan hati terhadap pilihan Allah yang Kekal untuk hamba-Nya. Yaitu, menjauhkan diri dari kemarahan.”

Terdapat tiga hal utama yang menjadi intisari dari sifat ridha: Pertama, berjiwa besar dan lapang dada/hati ketika menerima ujian dan cobaan hidup. Yang paling penting adalah ridha dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dari Allah; Kedua, berprasangka baik terhadap setiap ketetapan Allah yang terjadi/berlaku atas diri; dan Ketiga, menjauhkan diri dari kemarahan.

Sifat ridha bukanlah sifat yang mudah dipraktekkan dalam hidup. Ia membutuhkan kesadaran dan kemauan yang tinggi untuk melakukannya. Kesadaran akan tanggungjawab keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, serta kemauan memahami maksud dan kehendak Allah dan rasul-Nya.

Bila kita membaca kisah-kisah islami, sifat ridha dimiliki oleh sahabat-sahabat Rasulullah. Pasti kita tahu kalimat yang mengiringi penyebutan nama mereka, “RadhiallahuAnhu/Anha atau semoga Allah senantiasa meridhainya.” Gelar ini sering disingkat “RA” dalam penulisan nama sahabat yang mulia (Contoh. Umar ibn KhattabRA, Ali ibn Abithalib RA, Ustman ibn Affan RA, Fatimah binti Rasulullah Muhammad RA,  Abdurrahman ibn ‘Auf RA, Sa’ad ibn Abi Waqqas RA, Zubair ibn Awwam RA, dll).

Gelar atau penyebutan tersebut di akhir nama para sahabat dan keluarga Rasulullah diberikan dengan alasan yang kuat. Dalam kehidupan mereka, mereka telah ridha terhadap semua keputusan dan ketetapan dari Allah dan Rasulullah, hingga Allah dan Rasulullah pun menjadi ridha kepada mereka.

Menyangkut sifat ini, di dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 59, Allah telah mengatakan tentang hubungan keridhaan seorang hamba dengan-Nya: “Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata:”Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).”

Menerima datangnya ajal – kematian sebagai suatu ketetapan Allah dengan lapang dada adalah bentuk pengamalan sifat ridha. Hal ini telah dicontohkan oleh seorang sahabat Rasulullah, Bilal ibn Rabah RA. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (hadist ini Gharib): “Aku sangat bahagia!Besok aku akan bertemu dengan orang-orang yang aku cintai, yaitu Muhammad dan para sahabatnya.”

Bilal RA menerima kematiannya dengan lapang dada. Beliau paham, bahwa di balik sakit dan pedihnya sakaratul maut yang akan dilaluinanti, ada karunia dari Allah, yaitu ia bertemu dengan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya yang telah lebih dulu meninggal dunia.

Sifat ridha mengajarkan manusia untuk memahami bahwa Allah mendatangkan cobaan hidup bukan tanpa maksud. Setiap bencana dan kepedihan hidup yang dialami, di balik itu ada hikmah, karunia, dan nikmat yang lebih besar. Kita pun harus mau jujur untuk merenung sejenak, bahwa Allah memberikan manusia karunia dan kenikmatan hidup lebih banyak daripada penderitaan dan kesedihan yang menimpa kita.

4. Syukur

 Dalam kitab “Madariij as-Saalikin Syarh Manaazil as-Saa’iriin”  karangan Ibnu Qayyim al-Jauziah, dikatakan, “bahwa Syukur adalah kesinambungan hati untuk mencintai Sang Pemberi nikmat, kesinambungan anggota badan untuk menaati-Nya, dan kesinambungan lisan mengingat dan memuji-Nya.”

Menurut Ibnu Ujaibah dalam kitab ““Mi’raaj at-Tasyawwuf ilaa Haqaa’iq at-Tashawwuf”, “bahwa Syukur adalah kebahagiaan hati atas nikmat yang diperoleh, dibarengi dengan pengarahan seluruh anggota tubuh supaya taat kepada Sang Pemberi nikmat, dan pengakuan atas segala nikmat yang diberinya dengan rendah hati.”

Sayyid dalam kitabnya “Ta’riifaat as-Sayyid” berkata, “bahwa syukur adalah mempergunakan semua nikmat yang telah diberikan oleh Allah, berupa pendengaran, penglihatan, dan lainnya sesuai tujuan penciptaannya.”

Memperhatikan tiga penjelasan di atas tentang sifat Syukur, terdapat empat hal utama yang terkandung: Pertama, kesinambungan hati dan seluruh anggota badan mencintai Allah Sang Pemberi nikmat; Kedua,pengakuan bahwa seluruh nikmat dan karunia hanya bersumber/berasal dari Allah Sang Mahakaya; Ketiga, tidak hanya harta benda, kesehatan, keimanan, dan lain-lain saja, seluruh anggota badan adalah juga nikmat dan karunia dari Allah, termasuk jiwa dan ruh untuk hidup; dan Keempat, mempergunakan seluruh nikmat dari Allah untuk kebaikan, serta untuk memuliakan dan berlaku taat kepada-Nya.

Demikian agung dan mulianya makna sifat syukur dalam Islam, oleh mayoritas ulama sifat ini dipahami sebagai sifat yang memiliki maqam tertinggi. Sifat syukur menyangkut totalitas diri dalam beriman kepada Allah dan Rasulullah. Siapapun tidak bisa menafikan tingginya kedudukan sifat syukur dalam perjalanan menuju Allah.

Berkenaan dengan Allah sebagai Sang Pemberi nikmat, Al Qur’an telah mengingatkan manusia. Dalam surat An Nahl ayat 53, Allah berfirman, “Dan nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka dari Allah.”

Seluruh nikmat dan karunia dari Allah tidak serta merta langsung kepada seseorang. Kehadiran orang lain, atau keberadaan ciptaan-ciptaan yang lain bisa menjadi perantaranya. Karena memang Allah memberikan nikmat dan karunia kepada seorang hamba, bukan hanya untuk digunakan sendiri oleh hamba itu. Ada hak orang lain yang harus diberikan dalam penggunaan nikmat dan karunia tersebut. Demikianlah Allah mengajarkan manusia secara indah dan lembut tentang sifat saling membutuhkan dalam berbuat baik dan saling berbagi manfaat kebaikan (menyebarkan manfaat sifat Syukur).

Untuk hal ini, Rasulullah menasehati umatnya dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.”

Nasehat Rasulullah tentang makna syukur –bersyukur atas nikmat dari Allah, sangat sederhana secara tata bahasa. Hanya satu pernyataan kalimat dengan dua penggalan anak kalimat. Tapi di balik kesederhanaan nasehat dari Rasulullah, terkandung dua mutiara hikmah dari sifat syukur. Pertama, tidak berterimakasih dan tidak menghargai kebaikan dari orang lain, adalah mengingkari nikmat Allah (kufur nikmat) dan tidak bersyukur atas nikmat Allah; dan Kedua, Allah sangat menghargai manusia yang berbuat baik dan membagi manfaat nikmat dan karunia dari-Nya kepada orang lain. Allah tidak akan menerima pernyataan rasa syukur dari seseorang, bila orang itu tidak mau berterima kasih dan menghargai kebaikan orang lain.

Saudaraku sekalian, demikian berharganya diri kita dalam pandangan Allah, Rasulullah pun akan bangga karena kita menjadi umatnya, bila kita memahami makna dan tujuan dari sifat Ikhlas, Sabar, Ridha, dan Syukur. Apalagi bila setelah kita paham, kita tekun belajar untuk menjadikannya sebagai sifat-sifat diri kita.

Tak ada yang mustahil untuk mendapatkan keempat sifat ini. Atas bantuan dan pertolongan dari Allah, ketekunan belajar untuk memahami dan melaksanakannya, kita pasti bisa memiliki keempat sifat ini sebagai perhiasan diri hidup di dunia. Insya Allah.

Akhirnya, hanya tulisan sederhana ini yang bisa saya hadiahkan kepada kalian sebagai sesama umat Rasulullah, semoga ada manfaatnya. Seluruh kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini bersumber dari saya. Kebenaran sejati hanya milik Allah Tuhan kita. Wa Allaah A’lam.

(Dari KAETARO untuk DIRI).

———————————–

Sumber gambar: http://4.bp.blogspot.com/