Singkapan batubara di daerah Ombilin, Sumatra Barat. (Sumber: dokumentasi tim UGRG) Apabila kita berbicara tentang batubara, tentu kita sepakat bahwa batubara termasuk sumber daya Indonesia yang berharga dan tidak dapat kita lepaskan dari kehidupan sehari-hari. Minimal kita dapat menikmati aliran listrik dirumah, di kantor maupun di pertokoan berkat batubara si hitam manis, yang kerap disebut sebagai emas hitam. Artikel ini diharapkan dapat menambah wawasan kita mengenai batubara secara umum. Apa saja kegunaan batubara? Batubara merupakan salah satu sumber energi yang penting bagi dunia, yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik sebesar hampir 40% di seluruh dunia (Anonim, 2005). Batubara telah memainkan peran yang sangat penting selama berabad-abad, tidak hanya membangkitkan listrik, namun juga merupakan bahan bakar utama bagi produksi baja, semen, pusat pengolahan alumina, pabrik kertas, industri kimia, serta farmasi. Selain itu, terdapat pula produk-produk hasil sampingan batubara, antara lain sabun, aspirin, zat pelarut, pewarna, plastik, dan fiber (Anonim, 2005). Apakah anda terkejut mengetahui betapa bergunanya material hitam ini? Sekarang anda pasti tertarik untuk mengenal batubara lebih jauh. Apakah batubara itu dan bagaimana batubara bisa terbentuk? Batubara adalah akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang mati dan tidak sempat mengalami pembusukan secara sempurna, yang kemudian terpreservasi dengan baik dalam kondisi bebas oksigen (anaerobic) misalnya pada bagian bawah dari suatu danau atau pada endapan/sedimen berbutir sangat halus. Proses penimbunan tersebut terjadi bersamaan dengan pergeseran kerak bumi (dikenal sebagai pergeseran tektonik) yang memungkinkan sisa-sisa tumbuhan terakumulasi hingga sangat dalam. Akibat penimbunan, material tumbuhan terkena suhu dan tekanan tinggi yang menyebabkan perubahan fisika dan kimiawi. Selama tahap tersebut persentase hidrogen dan oksigen akan berkurang, sedangkan persentase karbon akan meningkat. Hasil akhirnya adalah suatu material yang mengandung karbon lebih dari 50% berdasarkan berat dan 70% berdasarkan volume, yang kita sebut sebagai batubara (Gambar 1). Gambar 1. Ilustrasi proses pembatubaraan (Grab et al., 2006 dalam Flores, 2014) Apa saja jenis batubara? Batubara memiliki karakteristik dan jenis yang berbeda. Faktor-faktor yang menentukan karakter dari batubara antara lain jenis tumbuhan penyusun dan pengotor yang terdapat pada batubara tersebut, yang nantinya akan memengaruhi kadar abu pada batubara. Selain itu, suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan merupakan faktor penting dalam pembentukan batubara, yang disebut sebagai maturitas organik. Tahap awal pada pembentukan batubara diawali dengan perubahan material tumbuhan menjadi gambut, yang kemudian berubah menjadi lignit. Seiring dengan bertambahnya suhu dan tekanan, lignit mengalami perubahan secara bertahap menjadi batubara sub-bituminus, kemudian bituminus dan sebagai peringkat tertinggi menjadi antrasit. Batubara dengan peringkat yang lebih tinggi (antrasit) umumnya lebih keras, memiliki kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat kelembaban yang lebih rendah, dan menghasilkan energi yang lebih banyak. Batubara sebagai sumber energi di Indonesia Permintaan energi Indonesia didominasi oleh konsumsi listrik dan diperkirakan akan meningkat didorong oleh pembangunan ekonomi dan populasi yang tumbuh cepat. Untuk dapat menyeimbangkan permintaan energi ini, pemerintah Indonesia telah menetapkan target untuk pembangkit listrik hingga 135,5 GW pada tahun 2025, dan dituangkan dalam Peraturan Presiden (PerPres) No.22 / 2017. Pasokan energi primer di Indonesia terutama didasarkan pada bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batubara. Kebijakan energi nasional menetapkan proporsi sumber energi pada tahun 2025 yaitu minyak (20%), gas (30%), batubara (33%), dan energi baru-terbarukan (17%). Sektor pembangkit listrik adalah konsumen batubara terbesar di Indonesia. Peningkatan konsumsi batubara sangat signifikan di sektor pembangkit listrik, yaitu dari 56 juta ton pada 2006 dan diperkirakan menjadi 123,2 ton pada 2025. Sementara Indonesia sendiri memiliki sumberdaya batubara (Gambar 2) sebesar 149,009 miliar ton dan cadangan sebesar 37,604 miliar ton (data Badan Geologi pada tahun 2018).
Gambar 2. Peta persebaran batubara di Indonesia (Badan Geologi, 2014) Mengingat batubara memiliki sifat tak terbarukan dan dihasilkan dari proses geologi selama puluhan bahkan ratusan juta tahun, maka sangatlah disayangkan apabila pemanfaatannya tidak memiliki nilai tambah. Selain itu, pembakaran batubara untuk keperluan pembangkit listrik juga menghasilkan “limbah padat berbahaya dan beracun”. Pengembangan dan penelitian harus dilakukan terkait dengan penggunaan batubara dan pemanfaatan limbah batubara, antara lain gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), batubara tergaskan (gasified coal), atau pemanfaatan “limbah” batubara untuk menghasilkan sumberdaya non-konvensional yang menambah nilai dan efisiensi penggunaan batubara di Indonesia (Baca artikel: Limbah Padat Pembakaran Batubara: Potensi Sumber Daya Non-Konvensional di Masa Depan?). SUMBER:
Pendahuluan Batu bara, sebagai bahan bakar fosil, banyak dimanfaatkan dalam berbagai industri mulai dari pembangkit listrik, industri baja, hingga transportasi. Peran penting batu bara dalam beberapa industri strategis tersebut mendorong dilakukannya berbagai penelitian yang berhubungan dengan batu bara. Tulisan kali ini membahas secara singkat tentang proses pembentukan batu bara. Hubungan volume terhadap berat campuran karbon dan mineral (Schopf, 1956).Batu bara dalam pengertian yang mendasar adalah batuan yang mudah terbakar dengan kandungan karbon lebih dari 50% berdasarkan beratnya dan 70% berdasarkan volumenya (Schopf, 1956). Batu bara terutama tersusun oleh sisa-sisa tumbuhan yang mengalami proses penggambutan dan pembatubaraan. Secara lebih lengkapnya dapat diartikan bahwa batu bara adalah batuan sedimen, kaya bahan organik, tersusun atas sisa-sisa tumbuhan yang telah terawetkan, dan mudah terbakar sebagai ciri utamanya (Thomas, 2002) Pembentukan gambut Gambut (peat) merupakan akumulasi tumbuhan yang telah membusuk. Pembentukan gambut merupakan tahap awal terbentuknya batu bara. Gambut terbentuk di lahan basah yang disebut mire. Pembentukan mire dan karakteristik gambut yang dihasilkan bergantung pada beberapa faktor, yaitu evolusi tumbuhan, iklim, serta paleogeografi dan struktur geologi daerah. Endapan gambut yang tebal dapat terbentuk apabila (1) muka air naik secara perlahan-lahan sehingga muka air tanah konstan mengikuti permukaan endapan gambut, (2) mire terlindung dari penggenangan (banjir) oleh air sungai maupun air laut, dan (3) tidak ada interupsi oleh endapan sungai. Berdasarkan lingkungan pengendapannya, mire dapat dibedakan menjadi 2, yaitu paralic mire dan limnic mire. Mire disebut sebagai paralic apabila terhubung dengan laut atau daerah pesisir, misalnya laguna, estuarin, delta, dan teluk. Apabila terhubung dengan air tawar, mire disebut limnic, misalnya danau dan rawa. Secara umum, mire dapat dibedakan menjadi (1) topogenous mire apabila pembentukan gambut terjadi pada suatu level air yang tinggi dan (2) ombrogenous mire (raised bog) apabila ketinggian air berada di bawah permukaan gambut dan gambut memperoleh air terutama dari air hujan. Gambar di bawah menunjukkan proses pembentukan raised bog. Contoh evolusi mire yang menunjukkan pembentukan raised bog (McCabe, 1987).Pembentukan batu bara (coalification) Batu bara, seperti telah dijelaskan sebelumnya, merupakan batuan sedimen yang berasal dari tumbuhan yang telah mengalami perubahan kimia dan fisika akibat proses biodegradasi (aktivitas bakteri) yang terjadi pada tahap penggambutan serta efek suhu dan tekanan selama proses pembatubaraan. Peningkatan tekanan dan suhu dapat terjadi karena peningkatan kedalaman pembebanan atau kontak batu bara dengan sumber panas, terutama berupa intrusi batuan beku. Faktor lain yang juga sangat berpengaruh pada proses pembatubaraan adalah waktu. Waktu ini berhubungan dengan seberapa lama pembatubaraan terjadi. Semakin lama gambut terkena suhu dan tekanan yang tinggi, batu bara yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang lebih baik. Proses pembatubaraan secara umum dapat digolongkan menjadi dua tahap, yaitu penggambutan (peatification) dan pembatubaraan (coalification). Proses pembentukan batu bara diawali dengan fase biokimia dan kemudian diikuti fase geokimia (peran organisme sudah tidak ada lagi). Fase biokimia terjadi pada gambut segera setelah deposisi dan pengendapan sedimen lain terjadi di atas gambut tersebut. Perubahan komposisi kimia dan fisika dari tumbuhan akibat aktivitas bakteri aerobik paling intensif terjadi pada “peatigenic layer” (± 0,5 m di bawah permukaan). Pada lapisan gambut yang lebih dalam, bakteri anaerobik mulai intensif bekerja karena berkurangnya oksigen. Selanjutnya, pada kedalaman lebih dari 10 meter, aktivitas bakteri mulai berkurang dan digantikan oleh proses kimiawi. Fase biokimia ini dipengaruhi oleh tingkat pembebanan sedimen, pH, dan tinggi permukaan air. Fase geokimia atau metamorfisme ditandai dengan peningkatan kandungan karbon (C) dan penurunan kandungan hidrogen (H) dan oksigen (O). Rasio antara O/C dan H/C dapat digunakan untuk menentukan peringkat batu bara. Proses pembatubaraan akan menghasilkan perubahan parameter batu bara, baik yang berupa sifat fisik maupun kimia. Tingkat pembatubaraan disebut sebagai peringkat batu bara (rank). Peringkat batu bara dari yang terendah adalah gambut, lignit, sub-bituminus, bituminus, antrasit, dan meta-antrasit. Proses dan reaksi kimia yang terjadi selama pembatubaraan dapat dilihat pada skema berikut. Skema proses pembatubaraan (Van Krevelen, 1992 dengan perubahan dalam Amijaya, 2007).Penutup Indonesia adalah salah satu negara penghasil batu bara terbesar di dunia. Berdasarkan data statistik energi dan ekonomi Indonesia (2010), total cadangan batu bara Indonesia adalah 21 miliar ton dengan produksi sekitar 250 juta ton/tahun. Besarnya cadangan dan produksi batu bara di Indonesia memberikan peluang besar untuk terbukanya lapangan pekerjaan di bidang pertambangan dan peningkatan perekonomian. Tentunya hal ini dapat diraih apabila prinsip penambangan yang berkelanjutan dilaksanakan dengan semestinya. Bahan bacaan:
Penulis: |