Bahasa menurun adalah bahasa yang digunakan terhadap orang

You're Reading a Free Preview
Pages 4 to 6 are not shown in this preview.

PELESTARIAN BAHASA MINANGKABAU SEBAGAI PEMBENTUK

PRIBADI YANG SANTUN

Silvia Marni, M.Pd.

STKIP PGRI Sumatera Barat

Abstrak

            Bahasa Minangkabau tidak hanya dipakai sebagai simbol  orang Minang, tetapi juga mengajarkan kesantunan dalam berkomunikasi. Bahasa Minangkabau memiliki aturan dan tatakrama yang disebut sebagai kato. Secara sederhana kato dapat diartikan sebagai sebuah tata aturan dalam berkomunikasi antarsesama komunikator sewangsa yang dikenal dengan istilah tau jo nan ampek atau  kato nan ampek. Dalam berbahasa, orang  Minangkabau mempertimbangkan dengan siapa mereka bertutur. Ada empat kategori kesantunan yang dipakai dalam bahasa Minangkabau. Pertama, kato mandaki; tatakrama bertutur kepada orang yang lebih tua. Kedua, kato malereang;  tatakrama bertutur kepada orang yang disegani. Ketiga, kato mendata; tatakrama bertutur kepada teman sebaya. Keempat, kato manurun;  tatakrama bertutur kepada orang yang lebih muda. Pelestarian budaya tau jo nan ampek ini akan memberikan sumbangan positif terhadap pembangunan karakter di masa datang.

Pendahuluan

            Bahasa Minangkabau sebagai mother tongue di daerah Sumatra Barat digunakan dan dipakai dalam komunikasi sehari-hari. Sekalipun orang Minangkabau memiliki kebiasaan atau tradisi lama, yaitu marantau (bisa disebut sebagai gejala migrasi), mereka tetap setia dengan kampung halamannya dan bahasa ibunya. Hal ini menjadi salah satu penyebab penyebaran bahasa Minangkabau semakin luas dan dikenal oleh sebagian besar penduduk nusantara. Walaupun dipengaruhi oleh tatanan masyarakat Minangkabau yang menganut sistem budaya matrilinial, tradisi marantau tersebut tidak berpengaruh buruk terhadap pemakaian bahasa Minangkabau karena sistem tersebut membuat mereka sangat terikat dengan tanah kelahirannya.

            Akan tetapi, dalam beberapa waktu terakhir, ketika zaman sudah berubah, ketika teknologi informasi sudah merajai nusantara, bahasa Minangkabau mengalami kemerosotan pemakaian. Orang Minang sudah mulai terpengaruh dengan budaya mengglobal. Adanya desakan dari pemakaian bahasa    Indonesia yang merupakan  bahasa kedua orang Minangkabau sebagai bahasa nasional yang kuat, sebagai bahasa pemersatu keragaman budaya nusantara. Ini menjadi penyebab utama bahasa Minangkabau mulai terpinggirkan. Di setiap aspek kehidupan, tuntutan profesi, dan perkumpulan masyarakat di Minangkabau, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar yang harus digunakan. Penggunaan ini mendesak ruang penggunaan bahasa Minangkabau semakin kecil dalam kehidupan orang Minang.

            Hal di atas menjadi semakin memprihatinkan ketika orang tua merasa cemas jika anaknya memperoleh mother tongue dalam bahasa Minangkabau, anak-anak mereka menjadi sulit mengikuti pembelajaran bahasa kedua, yaitu bahasa Indonesia. Paradigma  yang membuat pemerolehan bahasa pertama anak Minangkabau salah arah. Orang tua yang merupakan penduduk asli Minangkabau dan memiliki bahasa leluhur bahasa Minangkabau tidak serta-merta dapat memberikan atau mengganti bahasa pertama anak mereka menjadi bahasa Indonesia. Orang tua belum tentu dapat menggunakan bahasa Indonesia sebagai pemerolehan bahasa pertama anak secara utuh. Justru ketika orang tua menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak, pemerolehan tersebut akan menyulitkan anak dalam pembelajaran bahasa kedua. Anak akan mudah belajar bahasa kedua jika anak memperoleh bahasa pertama dengan utuh tanpa pencampuran bahasa.

                Akibat lain yang dirasakan ketika anak tidak lagi memperoleh bahasa ibu Minangkabau yang memiliki kekhasan dari segi pragmatiknya, anak-anak di Minang saat ini tidak lagi menjujung tinggi adat-istiadat, tatakrama, dan kesantunan, khususnya dalam berkomunikasi yang sedianya telah ada dalam tata aturan yang disebut dengan kato nan ampek. Hal ini memperparah kondisi perkembangan karakter generasi di masa datang.

            Untuk itulah, dalam makalah ini dibahas bagaimana memupuk pribadi yang santun melalui penanaman nilai-nilai budaya dalam rumah tangga dan sekolah. Kesantunan tersebut dapat terbentuk dengan berdasar pada aturan tata krama di Minangkabau yang disebut dengan kato nan ampek. Tidak dapat dipungkiri bahwa barometer kesantunan dapat dilihat dari proses komunikasi verbal yang dilakukan oleh seseorang.

Kiat Berbahasa Kato nan Ampek dalam Bahasa Minangkabau

            Menurut Navis (1984:101—102), dalam bahasa Minangkabau terdapat langgam kata atau langgam kato, yaitu semacam kesantunan berbahasa atau tatakrama sehari-hari antara sesama orang Minang sesuai dengan status sosial masing-masing. Hal ini tidak berarti adanya bahasa bangsawan dan bahasa rakyat, tetapi perbedaan pemakaiannya ditentukan dengan siapa lawan berbicara. Ada empat langgam yang dipakai oleh orang Minang, yaitu kato mandaki (kata mendaki), kato malereang (kata melereng), kato manurun (kata menurun), dan kato mandata (kata mendatar).

            Kato mandaki adalah bahasa yang digunakan untuk lawan bicara yang lebih dewasa atau orang yang dihormati, seperti orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, murid kepada guru, dan bawahan kepada atasan. Pemakaian tatabahasanya lebih rapi, ungkapannya jelas, dan penggunaan kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga bersifat khusus, ambo untuk orang pertama, panggilan kehormatan untuk orang yang lebih tua: mamak, inyiak, uda, tuan, etek, amai, atau uni serta baliau untuk orang ketiga.

Selanjutnya, kato malereang merupakan bahasa yang digunakan untuk lawan bicara yang disegani dan dihormati secara adat dan budaya. Umpamanya orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, misalnya, ipar, besan, mertua, dan menantu, atau antara orang-orang yang jabatannya dihormati seperti penghulu, ulama, dan guru. Pemakaian tatabahasanya rapi, tetapi lebih banyak menggunakan peribahasa, seperti perumpaan, kiasan atau sindiran. Kata pengganti orang pertama, kedua, dan ketiga juga bersifat khusus. Wak ambo atau awak ambo untuk orang pertama, gelar dan panggilan kekerabatan yang diberikan keluarga untuk orang kedua. Baliau untuk orang ketiga.

Yang ketiga kato manurun adalah bahasa yang digunakan untuk lawan bicara yang lebih muda seperti membujuk pada anak kecil, mamak pada kemenakannya, guru kepada murid, dan atasan kepada bawahan. Pemakaian tatabahasa rapi, tetapi dengan kalimat yang lebih pendek. Kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga juga bersifat khusus. Wak den atau awak den atau wak aden (asalnya dari awak aden) untuk orang pertama. Awak ang atau wak ang untuk orang kedua laki-laki, awak kau atau wak kau untuk orang kedua perempuan. Wak nyo atau awak nyo untuk orang ketiga. Kata awak atau wak artinya sama dengan kita. Kata ini dipakai sebagai pernyataan bahwa setiap orang sama dengan kita atau di antara kita juga.

Yang terakhir  kato mandata, yaitu bahasa yang digunakan dalam komunikasi biasa dan dengan lawan bicara yang seusia dan sederajat. Selain itu, kato mandata ini juga digunakan oleh orang yang status sosialnya sama dan memiliki hubungan yang akrab. Pemakaian bahasanya yang lazim adalah bahasa slank. Tatabahasanya lebih cenderung memakai suku kata terakhir atau kata-katanya tidak lengkap dan kalimatnya pendek-pendek. Kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga juga bersifat khusus, yaitu aden atau den untuk orang pertama. Ang untuk orang kedua laki-laki. Kau untuk orang kedua perempuan. Inyo atau anyo untuk orang ketiga.

Dari uraian di atas tampak bahwa perbedaan status sosial dan situasi yang berbeda menunjukkan adanya aturan tata krama yang jelas dalam bahasa Minangkabau. Hal ini diperjelas dengan pendapat Moussay (1981) bahwa penggunaan “acuan persona” bahasa Minangkabau berbeda dengan bahasa lain. Penggunaan tersebut sangat beragam karena diujarkan dalam situasi yang berbeda.

Dalam bahasa Minangkabau, kategori persona tidak hanya dikaitkan dengan bentuk khusus. Penutur Minang juga memiliki sederet kata yang dipinjam dari berbagai kosakata, seperti kekerabatan dan status sosial. Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat ujaran-ujaran berikut ini.

Den indak dapek pai jo ang

Uni indak dapek pai jo adiak

Ambo indak dapek pai jo angku

Awak indak dapek pai jo uda

Keempat ujaran itu dapat bermakna ‘saya tidak dapat pergi dengan kamu’. Namun, dalam bahasa Minangkabau bentuk yang digunakan untuk menunjuk diri sendiri atau orang lain beragam karena diujarkan di dalam situasi yang berbeda.

Pada kalimat pertama, kata-kata ditujukan oleh seorang anak muda kepada temannya yang seumur. Ia menggunakan bentuk khusus den ‘saya’ dan ang ‘kamu’ yang berkonotasi keakraban. Kalimat seperti ini disebut juga dengan kato mandata.

Pada kalimat kedua, seorang perempuan berbicara kepada adik laki-lakinya. Ia menggunakan istilah kekerabatan: uni ‘kakak’ dan adiak ‘adik’. Kalimat tersebut dapat kita sebut sebagai kato manurun karena dituturkan dari yang lebih tua kepada yang lebih muda.

Pada kalimat ketiga, seseorang berbicara kepada penghulunya, yaitu orang yang disegani. Ia menggunakan istilah penghormatan angku ‘engku’ yang dalam sapaan Minangkabau khusus ditujukan pada penghulu atau pemimpin suku. Kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai kato malereang karena dituturkan kepada orang yang disegani.

Pada kalimat keempat, seorang istri berbicara kepada suaminya, ia menggunakan kata awak ‘badan’ untuk menunjuk dirinya sendiri, sedangkan istilah kekerabatan uda ‘kakak laki-laki’ untuk menunjuk suaminya. Gabungan kata uda dan awak berkonotasi keakraban. Karena pembicaraan ini dilakukan oleh orang yang status sosialnya lebih rendah dari lawan bicaranya, ini disebut kato mandaki.

Jelaslah bahwa penggunaan acuan persona dalam berbicara harus sesuai dengan konteks pembicaraan, yaitu mempertimbangkan siapa penutur dan mitra tutur. Seorang anak tidak boleh menggunakan persona den kepada orang tuanya karena itu dianggap tidak santun. Den hanya digunakan pada lawan bicara yang sebaya dan yang lebih muda. Begitu juga halnya kepada orang yang disegani penggunaan persona den juga dianggap tidak santun. Yang lebih santun digunakan adalah persona ambo atau awak.

Dengan adanya aturan-aturan tata krama seperti ini, kesantunan berbahasa dapat dibiasakan mulai dari cara menyapa seseorang. Komunikator dapat membedakan acuan persona ini sesuai dengan konteks dan situasi yang berbeda. Jika orang tua memberikan contoh yang baik kepada anak, anak akan merekamnya karena seperti yang diketahui bahwa pemerolehan itu didapatkan secara tidak sadar oleh anak. Dari apa yang mereka dengar, semua itu tersimpan dalam nurani dan akan muncul ketika mereka mulai dapat mengucapkan kata.

Kesantunan Berbahasa di Mulai dari Rumah Tangga

            Kesantunan dapat dikatakan sebagai suatu keinginan yang tulus berbuat baik kepada orang lain (Thomas, 1995:150; Oktavianus, 2008:98). Keinginan yang tulus itu dapat berwujud tindakan verbal (bahasa) dan non verbal (perilaku sehari-hari). Kesantunan merupakan salah satu variabel penting dalam sebuah peristiwa bahasa. Ketika berbicara atau bertutur, kesantunan menjadi pertimbangan pertama dalam memilih bentuk kebahasaan di samping kejelasan maksud. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Lakoff (1973) dalam Bonvillain (2003) bahwa kejelasan dan kesantunan adalah dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam komunikasi verbal. Namun, adakalanya kedua aspek ini bertentangan karena agar tuturan dapat dipahami oleh mitra tutur, penutur lazimnya mempertimbangkan secara saksama faktor-faktor pragmatik yang mungkin terlibat dalam proses komunikasi.

            Kesantunan dalam berkomunikasi ada kaitannya dengan tindak tutur seperti yang dikatakan oleh Austin (1978). Austin melihat bahwa semua ujaran dalam tindak komunikasi selalu mengandung tiga unsur, yaitu (1) tindak lokusi berupa ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur, (2) tindak illokusi berupa maksud yang terkandung dalam ujaran, dan (3) tidak perlokusi berupa efek yang ditimbulkan oleh ujaran. Sejalan dengan pendapat tersebut, Searle (1979) menyatakan bahwa dalam satu tindak tutur sekaligus terkandung tiga macam tindakan, yaitu (1) pengujaran berupa kata atau kalimat, (2) tindak proporsional berupa acuan dan prediksi, dan (3) tindak ilokusi dapat berupa pernyataan, pertanyaan, janji, perintah, dan sebagainya. Efek komunikatif itulah yang kadang-kadang memiliki dampak terhadap perilaku seseorang.

Rumah tangga merupakan tempat pertama anak melakukan komunikasi. Rumah tangga juga merupakan aspek utama pembinaan pribadi yang santun terhadap karakter anak. Orang tua memiliki tanggung jawab penuh untuk memberikan contoh yang sesuai dengan aturan-aturan komunikasi yang ada di daerahnya. Tidak bisa dipungkiri ketika bahasa daerah menjadi bahasa pertama yang diperoleh anak, bahasa tersebut seharusnya diterima secara utuh tanpa adanya pencampuran dengan bahasa lain. Jika terjadi pencampuran tersebut, bahasa daerah kehilangan makna dari sisi pragmatiknya. Akibatnya, bahasa daerah tersebut tidak lagi dapat dipakai dengan baik oleh penuturnya.  

            Di nusantara ini beragam bahasa daerah memiliki kekhasan dan memiliki aturan tata krama yang sudah diatur sesuai dengan tradisi dan adat istiadat. Bahasa Minangkabau salah satu di antara bahasa daerah yang mempunyai aturan tata krama tersebut. Aturan-aturan tersebut menjadi sebuah pengikat antara masyarakat penggunanya dengan budaya atau tradisi yang sudah ada. Budaya dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai pijakan pembentuk kepribadian. Santun atau tidaknya seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakan sebagai media komunikasi karena tidak dapat disangkal bahwa bahasa dengan budaya adalah dua hal yang tidak terpisahkan.

            Pentingnya mambentuk pribadi yang santun perlu berpijak pada budaya masyarakat. Hal ini disebabkan oleh: (1) perhimpunan masyarakat adalah perhimpunan individu dalam arti personality atau ego, dan (2) perhimpunan bangsa adalah perhimpunan etnis atau multicultural (Dikti, 2001:35)

             Pertama, yang terhimpun dalam suatu masyarakat adalah individu-individu yang dimulai dari pribadi-pribadi dalam keluarga. Pada komponen pribadi atau keluarga inilah berhimpun karakter-karakter tersebut yang akhirnya membentuk karakter etnis secara lebih luas yang akhirnya membentuk karakter bangsa. Kedua, tidak dapat dibantah bahwa Indonesia merupakan wilayah multikultural yang memiliki 370 suku bangsa dan 706 bahasa daerah. Jadi, untuk membentuk kepribadian dalam diri seseorang, budaya menempati pengaruh utama yang didalamnya dimediatori oleh bahasa.

            Dapat disimpulkan bahwa kesantunan merupakan hal terpenting dalam sebuah peristiwa bahasa. Peristiwa bahasa tersebut didapatkan anak pertama kalinya di rumah tangga. Ketika anak memperoleh bahasa, sebaiknya orang tua memberikan contoh dalam berkomunikasi dengan sesama anggota keluarga dengan bahasa yang santun. Dengan adanya contoh yang baik tersebut, anak akan memperoleh proses komunikasi yang baik pula sehingga dengan bahasa, pribadi yang santun itu akan terbentuk.

Pembelajaran Budaya Alam Minangkabau sebagai “pendobrak” Karakter Generasi

            Sumatera barat merupakan satu-satunya daerah di nusantara ini yang menetapkan pembelajaran muatan lokal (selanjutnya disebut mulok) budaya, yaitu Budaya Alam Minangkabau (BAM) sebagai pilihan utama. Berbeda dengan daerah di provinsi lain yang umumnya menetapkan bahasa daerah, kesenian, atau spesifikasi daerah masing-masing sebagai mata pelajaran mulok. Mata pelajaran mulok BAM ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan adat istiadat bagi generasi sekarang yang sekaligus dapat berpengaruh pada kepribadian peserta didik sesuai dengan aturan dan norma adat yang berlaku.

            Berdasarkan SK Kakanwil Dikbud Sumbar Nomor 011.08.C.1994/1995, mata pelajaran ini diajarkan secara wajib pada tingkat pendidikan dasar, yaitu SD/ MI dan SMP/ MTs, sedangkan pada tingkat pendidikan menengah seperti SMA/MA/SMK deberlakukan secara pilihan. Hal ini menjadi dilandasi bahwa pembelajaran BAM merupakan dasar dalam pembentukan dan penanaman nilai budaya bagi masyarakat, khususnya generasi muda secara formal. Kebijakan pemerintah daerah tersebut sangatlah tepat karena sasaran pembelajaran BAM adalah generasi muda atau generasi baru Minangkabau yang tidak lagi hidup dalam konteks budaya adat istiadat Minangkabau secara utuh. Secara normatif tujuannya adalah supaya generasi muda Minangkabau dapat menjadi penerus tradisi, adat-istiadat, dan budaya Minangkabau ke depannya.

            Secara formal, tujuan pembelajaran BAM dapat dilihat dari dua dimensi yang berbeda: (1) mengembangkan kekokohan identitas kultural individu, dan (2) mengembangkan kekokohan orientasi individu. Kedua dimensi itu sama pentingnya dan saling terkait; ibarat memandang mata uang dari dua sisi yang berbeda (Agustina, 2005). Dimensi pertama bertujuan mengembangkan jati diri individu yang tangguh, tanggap dan tanggon. Tangguh artinya kokoh, memiliki akar pijakan kultural yang jelas. Tanggap artinya memiliki kearifan dan kepedulian tinggi terhadap lingkungan dan masyarakat budaya di sekitarnya. Tanggon artinya tidak mudah diombang-ambingkan suasana, keadaan, atau perkembangan masa. Dimensi kedua dimaksudkan untuk mengembangkan kejelasan dan kekokohan orientasi kultural individu sebagai arah yang akan dituju individu, yaitu sebagai manusia yang memahami apa, siapa dirinya, mau ke mana, dan harus bagaimana dalam berpikir, berbuat, serta bersikap yang sesuai dengan budaya Minangkabau dalam tatanan nilai-nilai lokal, regional, nasional, maupun tatanan nilai-nilai universal (Nursaid, 2010:27).

            Dalam ruang lingkup pembelajaran BAM, muatan materi tentang bahasa merupakan bagian dari budaya itu sendiri. Penjabaran Langgam Kato nan Ampek adalah salah satu cara memberikan pemahaman budaya dengan tujuan akhir pembentukan karakter dengan pribadi yang santun. Santun dalam komunikasi verbal adalah wujud dan implementasi dari pembelajaran BAM yang didapatkan peserta didik. Menanamkan nilai-nilai moral secara formal tentulah berawal dari tingkat pendidikan dasar ketika anak mulai mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.   

            Ironisnya, pembelajaran Budaya Alam Minangkabau sebagai mata pelajaran mulok akan terpinggirkan dengan adanya penghapusan pembelajaran budaya dan bahasa daerah dalam kurikulum 2013. Sangat memprihatinkan ketika budaya daerah tidak lagi mendapat tempat dalam pendidikan formal, padahal budaya daerah merupakan kearifan lokal yang dapat mencerminkan identitas budaya bangsa. Bagaimana penanaman karakter akan terlaksana ketika identitas budaya bangsa tidak lagi dikenal oleh generasinya?

Penutup

            Demikianlah secara ringkas paparan makalah ini dengan beberapa catatan berikut (1) kesantunan berbahasa terkait dengan perilaku verbal dan nonverbal yang terkandung dalam aturan tata krama di Minangkabau yang disebut dengan kato nan ampek, (2) dalam tata bahasa Minangkabau terdapat kekhususan penyebutan acuan persona yang berbeda dengan daerah lain, (3) penggunaan acuan persona dalam berbicara harus sesuai dengan konteks pembicaraan, yaitu mempertimbangkan siapa penutur dan mitra tutur sehingga hal ini akan berdampak terhadap kesantunan, (4) rumah tangga dan sekolah merupakan tempat proses komunikasi berlangsung yang dapat menanamkan nilai-nilai kesantunan sesuai dengan aturan tata krama dan adat-istiadat yang berlaku di Minangkabau.

                                                Anjalai tumbuah di munggu,

                                                Sugi-sugi di rumpun padi

                                                Supayo pandai rajin baguru

                                                Supayo tinggi naikkan budi.

                                                ‘Pengetahuan hanya diperoleh dengan berguru,

                                                kemuliaan hanya didapat dengan budi yang tinggi’.

Daftar Pustaka

Agustina. 2005. “Bahasa Minangkabau: Khasanah BAM yang Terlupakan”, dalam Menuju Pembelajaran BAM yang Berkualitas. Padang: Sukabina Offset.

Austin, J.L. 1978. How to Do Things with Words. Cambridge: Harvards University Press.

Dikti. 2011. Naskah Akademik Pendidikan Karakter (Pendikar). Jakarta: Dikti Kemendiknas RI

Jufrizal. 2007. “’Nasib’ Bahasa Minangkabau Ragam Adat dalam Perubahan Sosial-Budaya Masyarakat di Kota Padang”, dalam Minangkabau di Persimpangan Generasi. Padang: Pusat Studi Humaniora dan Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.

Moussay, Gerard. 1981. La Langue Minangkabau. Paris: University of Leiden.

Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang jadi Guru. Jakarta: PT Grafiti Pers.

Nursaid. 2005. “Pemikiran Awal tentang Rekonstruksi Gradasi Abstraksi dalam Pembelajaran BAM”, dalam Menuju Pembelajaran BAM yang Berkualitas. Padang: Sukabina Offset.

Oktavianus dan Ike Ravita. 2010. “Kesantunan dalam Bahasa Minangkabau”. (online), http://www.lp unand.ac.id/portal penelitian. Diakses 7 Januari 2013.

Searle, J.R. 1987. Speech acts: An Eassey in the Philoshophy og Language. Cambridge: Harvards University Press.


Page 2

Pada Tahun 2012 Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di SMA Negeri 1 Sutera, sesuai dengan agenda prodi berikut ini tampilan foto foto pengabdian masyarakat Prodi Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia.

Bahasa menurun adalah bahasa yang digunakan terhadap orang

Bahasa menurun adalah bahasa yang digunakan terhadap orang

Bahasa menurun adalah bahasa yang digunakan terhadap orang

Bahasa menurun adalah bahasa yang digunakan terhadap orang

Bahasa menurun adalah bahasa yang digunakan terhadap orang

Bahasa menurun adalah bahasa yang digunakan terhadap orang