Bagaimana tata cara sholat yang dilakukan dengan berbaring ketika sakit

Bagaimana tata cara sholat yang dilakukan dengan berbaring ketika sakit
Tata Cara Shalat Sambil Berbaring

BincangSyariah.Com – Ketika kita tidak mampu melaksanakan shalat berdiri dan duduk, karena sakit dan lainnya, maka kita harus melaksanakannya sambil tidur miring atau sambil berbaring. Ulama telah sepakat bahwa selama kita masih bernafas, maka kita tetap wajib melaksanakan shalat fardhu. Jika tidak berdiri, maka shalat duduk. Jika tidak mampu duduk, maka shalat dengan tidur miring atau berbaring.

Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Daruquthni dari Sayidina Ali, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

يُصَلِّي الْمَرِيضُ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ صَلَّى جَالِسًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ صَلَّى عَلَى جَنْبِهِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ صَلَّى مُسْتَلْقِيًا عَلَى قَفَاهُ وَرِجْلَاهُ إلَى الْقِبْلَةِ وَأَوْمَأَ بِطَرْفِهِ

Orang yang sakit hendaknya shalat berdiri. Jika tidak mampu, maka hendaknya dia shalat duduk. Jika tidak mampu, maka hendaknya dia shalat tidur miring dengan menghadap kiblat. Jika tidak mampu, maka hendaknya dia berbaring dan kedua kakinya menghadap kiblat dan dia memberi isyarat dengan matanya.

Adapun tata cara shalat sambil berbaring adalah sebagai berikut;

Pertama, tidur berbaring dengan kedua kaki menghadap pada kiblat. Kemudian kepalanya diangkat dan di bawahnya diberi bantal sehingga wajah bisa menghadap ke kiblat, bukan ke atas.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berikut;

أَنَّهُ يَسْتَلْقِي عَلَى قَفَاهُ وَيَجْعَلُ رِجْلَيْهِ إلَى الْقِبْلَةِ وَيَضَعُ تَحْتَ رَأْسِهِ شَيْئًا لِيَرْتَفِعَ وَيَصِيرَ وَجْهُهُ إلَى الْقِبْلَةِ لَا الي السماء

Hendaknya dia berbaring telentang dan kedua kakinya menghadap kiblat, dan di bawah kepalanya diberi ganjalan hingga wajahnya menghadap kiblat, bukan ke atas.

Kedua, bertakbir dan bersedekap seperti shalat dalam keadaan berdiri.

Ketiga, rukuk dengan menundukkan kepala sedikit sambil meluruskan kedua tangan ke arah lutut.

Keempat, sujud dengan menundukkan kepala lebih ke bawah dibanding rukuk sambil meluruskan kedua tangan ke arah lutut.

Kelima, tasyahud dengan meluruskan kedua tangan ke arah lutut, dan jari telunjuk diangkat ketika sampai pada lafadz ‘illallah’.

Keenam, mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri sebagaimana shalat pada umumnya atau berdiri.

Bagaimana tata cara sholat yang dilakukan dengan berbaring ketika sakit
ilustrasi sholat. ©2020 Merdeka.com

TRENDING | 31 Januari 2020 12:18 Reporter : Kurnia Azizah

Merdeka.com - Salatmerupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan untuk mendapat ridha Allah SWT. Tentu sebagai umat Islam tidak boleh meninggalkan salat, meski hanya satu waktu.

Di tengah kondisi sakit pun, salat masih bisa dikerjakan. Sebab Allah memberi keringanan kepada orang sakit untuk menjalankannya. Keringanan yang dimaksud ialah mengenai tata cara salatnya.

Berikut tata cara salat bagi orang sakit, yang dirangkum dari berbagai sumber:

2 dari 6 halaman

Dalam kondisi sakit terkadang membuat seseorang menjadi susah untuk berdiri hingga tidak mampu melakukan gerakan salat. Ajaran agama Islam berusaha memudahkan umatnya untuk dapat beribadah dengan tenang, tulus ikhlas, dan merasa dekat dengan Allah.

Tata cara salat bagi orang sakit, berbeda dengan gerakan salat biasanya. Sesuai yang tercantum dalam kitab suci Al-Quran, surah al-Baqarah ayat 185, Allah berfirman : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu


Sehingga menunaikan salat bagi orang sakit tetap wajib hukumnya, selama masih berakal dan sudah baligh. Seperti yang telah Rasulullah sabdakan,

Catatan amal diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal (HR. An Nasa-i no. 7307, Abu Daud no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami no. 3513).

3 dari 6 halaman

  1. Wajib bagi orang yang sakit untuk mandi, sebagai bentuk membersihkan diri dari hadats besar lalu berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil.
  2. Jika tidak mampu mengambil air wudhu karena suatu halangan atau khawatir sakitnya akan bertambah parah, maka diperbolehkan tayamum.
  3. Tata cara tayamum : membaca niat tayamum, lalu menepuk kedua tangan pada area yang suci. Kemudian mengusap wajah serta tepukan kedua untuk mengusap tangan.
  4. Apabila orang yang sakit tidak mampu melakukan tayamum dan wudhu, dapat dibantu ditayamumkan oleh orang lain. Seseorang yang menepukkan dan mengusapkan pada orang yang sakit. Begitu pula dengan cara mewudhukannya.
  5. Apabila orang yang sakit memiliki luka atau di gips, maka usapkan air cukup sekali saja sebagai ganti membasuhnya.
  6. Pastikan orang yang sakit menggunakan pakaian yang bersih ketika akan menunaikan salat. Tidak terkena najis atau kotoran yang bisa membatalkan. Jika tidak memungkinkan, maka bisa salat seadanya.
  7. Salat di tempat yang suci juga, jika ada najis sebaiknya diganti atau dibersihkan. Bisa juga menghamparkan kain bersih untuk alas salatnya.

4 dari 6 halaman

Sebaiknya salat tepat pada waktunya, karena sudah dipermudah dengan cara wudhu yang diganti tayamum serta gerakan salat yang lebih ringan.Jika orang sakit merasa kesulitan akan hal tersebut, diperbolehkan pula untuk mengerjakan salat dengan jama taqdim. Seperti menggabungkan salat Zuhur dan Ashar di waktu tanda adzan Zuhur.

Selanjutnya tata cara salat bagi orang sakit sedang dalam perawatan di luar negeri, diperbolehkan pula untuk menunaikan dengan cara menqashar salat. Sehingga bisa melakukan salat Zuhur, Ashar, dan Isya cukup 2 rakaat.

5 dari 6 halaman

  1. Kalau tidak sanggup berdiri, boleh mengerjakan sambil duduk sambil menghadap kiblat. Bisa duduk layaknya duduk di antara dua sujud atau duduk sambil meluruskan kaki. Tergantung pada sakit yang di derita.
  2. Cara mengerjakan gerakan ruku ialah dengan duduk membungkuk sedikit. Gerakan tangan sama layaknya salat biasanya.
  3. Cara mengerjakan sujud, bisa dengan cara sujud biasanya. Kecuali bagi yang salat dengan meluruskan kaki, gerakan ruku bungkuknya lebih sedikit daripada bungkuk dalam sujud.

6 dari 6 halaman

  1. Jika orang sakit tidak dapat mengerjakan salat dengan duduk, boleh menunaikannya dengan posisi tidur terlentang wajah menghadap kiblat, dan posisi bantal lebih tinggi.
  2. Cara mengerjakan ruku cukup menggerakkan kepala ke muka atau sedikit menekuk.
  3. Cara mengerjakan sujud dengan menggerakkan kepala lebih dalam ke muka atau lebih ditundukkan. Jikalau ada sakit yang menghalangi kedua gerakan tersebut, semisal leher di gips. Orang sakit bisa melakukan dengan isyarat mata yang dibuka dan ditutup sebagai ganti gerakan.
  4. Posisi tidur juga bisa dengan cara badan miring ke kanan atau ke arah kiblat. Gerakan ruku dan sujud pun sama.
  5. Jika semua cara di atas tidak memungkinkan sama sekali, orang sakit bisa menunaikan salat dalam hati, selama akal dan jiwa masih ada.

Bagaimana tata cara sholat yang dilakukan dengan berbaring ketika sakit
2020 Merdeka.com

(mdk/kur)

Agama Islam penuh dengan kemudahan. Semua yang diperintahkan dalam Islam disesuaikan dengan kemampuan hamba. Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Termasuk dalam ibadah shalat, ibadah yang paling agung dalam Islam. Terdapat banyak kemudahan dan keringanan di dalamnya. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai kemudahan dan keringanan shalat bagi orang sakit.

Orang Yang Sakit Tetap Wajib Shalat

Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Merekalah mukallaf, orang yang terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah orang yang bukan mukallaf, yaitu anak yang belum baligh dan orang yang tidak berakal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

رُفعَ القلمُ عن ثلاثةٍ : عن النائمِ حتى يستيقظَ ، وعن الصبيِّ حتى يحتلمَ ، وعن المجنونِ حتى يعقِلَ

“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” (HR. An Nasa-i no. 7307, Abu Daud no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3513).

Demikian juga yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah wanita haid dan nifas. Ibunda ‘Aisyah radhiallahu’anha pernah ditanya,

أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ

“Apakah kami perlu mengganti shalat kami ketika sudah suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang wanita Haruriyah (Khawarij)? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk menggantinya” (HR. Al Bukhari no. 321).

Ummu Salamah radhiallahu’anha juga mengatakan:

كانت النفساء تجلس على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعين يوما

“Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam duduk (tidak shalat) selama 40 hari” (HR. Ibnu Majah no. 530, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Maka kita lihat ternyata orang sakit tidak dikecualikan. Sehingga tidak ada udzur untuk meninggalkan shalat selama ia baligh, berakal, tidak haid, dan tidak nifas.

Keringanan-Keringanan Bagi Orang Yang Sakit

1. Dibolehkan untuk tidak shalat berjamaah di masjid

Shalat berjama’ah wajib bagi lelaki. Namun dibolehkan bagi lelaki untuk tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid lalu ia shalat di rumahnya jika ada masyaqqah (kesulitan) seperti sakit, hujan, adanya angin, udara sangat dingin atau semacamnya.

Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma:

كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ‏‏: ” أَلَا صَلُّوا فِي ‏‏الرِّحَالِ ‏” فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوْ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ

“Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam sangat dingin atau hujan dalam safar” (HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

خرجنا مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في سفرٍ . فمُطِرْنا . فقال ” ليُصلِّ من شاء منكم في رَحْلِه “

“Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan. Beliau besabda: ‘bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan‘” (HR. Muslim no. 698).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

صلوا في بيوتكم إذا كان فيه مشقة على الناس من جهة المطر أو الزلق في الأسواق

“Shalatlah di rumah-rumah kalian, maksudnya jika ada masyaqqah (kesulitan) yang dirasakan orang-orang, semisal karena hujan, atau jalan yang licin.”[1]

Dan kondisi sakit terkadang  menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun ketika beliau sakit parah, beliau tidak shalat di masjid, padahal beliau yang biasa mengimami orang-orang. Beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menggantikan posisi beliau sebagai imam. ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:

أن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال في مرَضِه : ( مُروا أبا بكرٍ يصلِّي بالناسِ )

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda: perintahkan Abu Bakar untuk shalat (mengimami) orang-orang” (HR. Bukhari no. 7303).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:

لقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ

“Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (HR. Muslim no. 654).

Dalil-dalil ini menunjukkan bolehnya orang yang sakit untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.

2. Dibolehkan menjamak shalat

Menjamak shalat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan). Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu beliau mengatakan:

جمع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بين الظهرِ والعصرِ ، والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan menjamak shalat Maghrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan tidak hujan” (HR. Muslim no. 705).

Para ulama mengatakan alasan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak karena ada masyaqqah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

والقصر سببه السفر خاصة ، لا يجوز في غير السفر. وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر

“Dibolehkannya men-qashar shalat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada selain safar. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan udzur” (Majmu’ Al Fatawa, 22/293).

Maka, orang yang sakit jika sakitnya membuat ia kesulitan untuk shalat pada waktunya masing-masing, dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.

3. Dibolehkan shalat sambil duduk jika tidak mampu berdiri

4. Dibolehkan shalat sambil berbaring jika tidak mampu duduk

Jika orang yang sakit masih sanggup berdiri tanpa kesulitan, maka waijb baginya untuk berdiri. Karena berdiri adalah rukun shalat. Shalat menjadi tidak sah jika ditinggalkan. Dalil bahwa berdiri adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat Nabi bersabda kepadanya:

ارجِعْ فَصَلِّ فإنك لم تُصلِّ

“Ulangi lagi, karena engkau belum shalat”

Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah menunaikan shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan bersabda:

إذا قُمتَ إلى الصَّلاةِ فأسْبِغ الوُضُوءَ، ثم اسْتقبل القِبْلةَ فكبِّر…

“Jika engkau berdiri untuk shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397).

Namun jika orang yang sakit kesulitan untuk berdiri dibolehkan baginya untuk shalat sambil duduk, dan jika kesulitan untuk duduk maka sambil berbaring. Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كانتْ بي بَواسيرُ ، فسأَلتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عنِ الصلاةِ ، فقال : صَلِّ قائمًا ، فإن لم تستَطِع فقاعدًا ، فإن لم تستَطِعْ فعلى جَنبٍ

“Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda: shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring menyamping” (HR. Al Bukhari, no. 1117).

Dalam riwayat lain disebutkan tambahan:

فإن لم تستطع فمستلقياً

“Jika tidak mampu maka berbaring telentang”

Tambahan riwayat ini dinisbatkan para ulama kepada An-Nasa`i namun tidak terdapat dalam Sunan An-Nasa`i. Namun para ulama mengamalkan tambahan ini, yaitu ketika orang sakit tidak mampu berbaring menyamping maka boleh berbaring terlentang.

5. Dibolehkan shalat semampunya jika kemampuan terbatas

Jika orang yang sakit sangat terbatas kemampuannya, seperti orang sakit yang hanya bisa berbaring tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya, namun masih berisyarat dengan kepala, maka ia shalat dengan sekedar gerakan kepala.

Dari Jabir radhiallahu’anhu beliau berkata:

عاد صلى اللهُ عليهِ وسلَّمَ مريضًا فرآه يصلي على وسادةٍ ، فأخذها فرمى بها ، فأخذ عودًا ليصلي عليه ، فأخذه فرمى به ، وقال : صلِّ على الأرضِ إن استطعت ، وإلا فأوم إيماءً ، واجعل سجودَك أخفضَ من ركوعِك

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut lalu mengambil kayu dan shalat di atas kayu tersebut. Kemudian Nabi mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya. Lalu Nabi bersabda: shalatlah di atas tanah jika kamu mampu, jika tidak mampu maka shalatlah dengan imaa` (isyarat kepala). Jadikan kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/306, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 78).

Makna al-imaa` dalam Lisanul Arab disebutkan:

الإيماءُ: الإشارة بالأَعْضاء كالرأْس واليد والعين والحاجب

“Al-Imaa` artinya berisyarat dengan anggota tubuh seperti kepala, tangan, mata, dan alis.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin mengatakan:

فإن كان لا يستطيع الإيماء برأسه في الركوع والسجود أشار في السجود بعينه، فيغمض قليلاً للركوع، ويغمض تغميضاً للسجود

“Jika orang yang sakit tidak sanggup berisyarat dengan kepala untuk rukuk dan sujud maka ia berisyarat dengan matanya. Ia mengedipkan matanya sedikit ketika rukuk dan mengedipkan lebih banyak ketika sujud.” [2]

6. Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang membantu

Menghadap kiblat adalah syarat shalat. Orang yang sakit hendaknya berusaha tetap menghadap kiblat sebisa mungkin. Atau ia meminta bantuan orang yang ada disekitarnya untuk menghadapkan ia ke kiblat. Jika semua ini tidak memungkinkan, maka ada kelonggaran baginya untuk tidak menghadap kiblat. Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan:

والمريض إذا كان على السرير فإنه يجب أن يتجه إلى القبلة إما بنفسه إذا كان يستطيع أو بأن يوجهه أحد إلى القبلة، فإذا لم يستطع استقبال القبلة وليس عنده من يعينه على التوجه إلى القبلة، يخشى من خروج وقت الصلاة فإنه يصلي على حسب حاله

“Orang yang sakit jika ia berada di atas tempat tidur, maka ia tetap wajib menghadap kiblat. Baik menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh orang lain. Jika ia tidak mampu menghadap kiblat, dan tidak ada orang yang membantunya untuk menghadap kiblat, dan ia khawatir waktu shalat akan habis, maka hendaknya ia shalat sebagaimana sesuai keadaannya”[3]

Tata Cara Shalat Bagi Orang Sakit

Orang yang sakit tentunya memiliki keadaan yang beragam dan bervariasi, sehingga tidak memungkinkan kami merinci tata cara shalat untuk semua keadaan yang mungkin terjadi pada orang sakit. Namun prinsip dasar dalam memahami tata cara orang sakit adalah hendaknya orang sakit berusaha sebisa mungkin menepati tata cara shalat dalam keadaan sempurna, jika tidak mungkin maka mendekati sempurna. Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

سدِّدوا وقارِبوا

“Berbuat luruslah, (atau jika tidak mampu maka) mendekati lurus” (HR. Bukhari no. 6467).

Kaidah fikih yang disepakati ulama:

ما لا يدرك كله لا يترك كله

“Sesuatu yang tidak bisa digapai semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya”

Berikut ini tata cara shalat bagi orang yang kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Sa’ad bin Turki Al-Khatslan[4] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [5]:

1. Tata cara shalat orang yang tidak mampu berdiri

Orang yang tidak mampu berdiri, maka shalatnya sambil duduk. Dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak memungkinkan, maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan.
  • Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.
  • Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika rukuk.
  • Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti biasa.

2. Tata cara shalat orang yang tidak mampu duduk

Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil berbaring. Shalat sambil berbaring ada dua macam:

a. ‘ala janbin (berbaring menyamping)

Ini yang lebih utama jika memungkinkan. Tata caranya:

  • Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak bisa menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.

b. mustalqiyan (telentang)

Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:

  • Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
  • Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan diangkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
  • Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
  • Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat.

3. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya (lumpuh total)

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya namun bisa menggerakkan mata, maka shalatnya dengan gerakan mata. Karena ini masih termasuk makna al-imaa`. Ia kedipkan matanya sedikit ketika takbir dan rukuk, dan ia kedipkan banyak untuk sujud. Disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih sadar, maka shalatnya dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam hatinya gerakan-gerakan shalat yang ia kerjakan disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.

Demikian, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan ‘afiyah dan salamah kepada pembaca sekalian, dan semoga Allah senantiasa menolong kita untuk tetap dapat beribadah dalam kondisi sakit. Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.

Baca juga:

Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki

[1] https://www.binbaz.org.sa/noor/5631 [2] Majmu Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (15/229), Asy Syamilah [3] https://ar.islamway.net/fatwa/10406 [4] Video youtube: https://www.youtube.com/watch?v=dFcK3IQ_D_E [5] Majmu Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (15/229), Asy Syamilah

🔍 Mubah, Kenapa Indonesia Tidak Memakai Hukum Islam, Hadits Qudsi Al Fatihah, Apa Itu Gerhana Bulan Menurut Islam, Nasehat Ayah Untuk Anak Laki Laki