Bagaimana sebaiknya posisi dan tindakan Indonesia dalam menyikapi konflik Laut China Selatan?

Bagaimana sebaiknya posisi dan tindakan Indonesia dalam menyikapi konflik Laut China Selatan?
Bagaimana sebaiknya posisi dan tindakan Indonesia dalam menyikapi konflik Laut China Selatan?

Kapal induk Amerika Serikat di Laut China Selatan. Ist

ASIATODAY.ID, JAKARTA – Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana memandang, Indonesia memainkan peran penting dalam konflik antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan.

Menurut Hikmahanto, militerisasi bukanlah langkah yang tepat.

“Menggunakan cara ini dapat diinterpretasi sebagai penggunaan kekerasan atau perang,” ujar dia dalam keterangan yang diterima, Jumat (17/7/2020) .

Hikmahanto memandang, ada 4 sikap yang harus ditegaskan Indonesia dalam menghadapi situasi di Laut China Selatan.

Permata, tidak ada klaim. Indonesia perlu menyampaikan ke dunia bahwa Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan, baik laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen.

Ketegasan ini perlu disampaikan karena Indonesia tidak pernah mengakui adanya klaim sepihak dari China terkait sembilan garis putus. Klaim tersebut dinegasikan oleh Indonesia dengan melakukan penangkapan terhadap kapal-kapal nelayan berbendera China yang memasuki wilayah ZEE Indonesia.

Kedua, Hindari kekerasan. Indonesia punya perhatian besar agar ketegangan antara dua negara besar Amerika dan China di Laut China Selatan tidak berubah menjadi perang antar dua negara besar.

China tidak seharusnya menggunakan kekerasan untuk menegaskan klaimnya karena hukum internasional tidak mengakui penggunaan kekerasan untuk perolehan wilayah.

AS juga tidak seharusnya menggunakan kekerasan karena sebagai negara, AS tidak berada di kawasan. Jangan sampai kawasan Laut China Selatan sebagai battle ground AS di luar kawasan. Ketiga, Juru damai. Indonesia menyampaikan kesediaan untuk menjadi honest peace broker/juru damai yang tidak memiliki kepentingan. Indonesia pantas untuk menjadi juru damai karena Indonesia adalah negara anggota ASEAN yang besar dan tidak mempunyai konflik baik dengan China maupun AS.

Keempat, Pesan untuk China. Indonesia harus dapat menyampaikan kepada China agar tidak memanfaatkan kondisi Pandemi covid-19 untuk meraih keuntungan dalam klaimnya di Laut China Selatan, bahkan hingga menutup jalur pelayaran internasional.

“Bila China memanfaatkan suasana pandemi ini maka mereka tidak hanya berhadapan dengan negara-negara yang bersengketa dengannya, seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina, tetapi berhadapan dengan AS dan sekutunya,” jelasnya.

Indonesia juga harus menyampaikan kepada AS untuk dapat menahan diri dalam penggunaan kekerasan terhadap China karena penggunaan kekerasan tidak akan memberi keuntungan apapun kepada negara-negara di kawasan. (ATN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, mengatakan Indonesia ingin kawasan Laut China Selatan (LCS) yang damai dan stabil.

Hal itu diungkapkan Retno dalam Press Briefing di Jakarta pada Sabtu (12/9/2020), di tengah meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dengan China di kawasan tersebut.

"Indonesia sampaikan bahwa Indonesia ingin melihat Kawasan LCS damai dan stabil, dimana prinsip-prinsip internasional yang diakui secara internasional ditegakkan termasuk UNCLOS 1982."


Selain kembali menegaskan fungsi UNCLOS 1982 sebagai kerangka hukum internasional untuk semua aktivitas di perairan dan laut, Retno juga membahas soal kode etik (Code of Conduct) yang masih dalam tahap penyelesaian.

Retno mengatakan bahwa The Code of Conduct in the South China Sea harus konsisten dengan hukum internasional termasuk UNCLOS 1982.

"Indonesia juga sampaikan bahwa UNCLOS 1982 adalah satu-satunya basis untuk penentuan maritime entitlements, kedaulatan dan hak berdaulat, juridiksi dan legitimate interest di perairan dan laut." tegasnya.

Sebelumnya pada pekan lalu Indonesia dan negara ASEAN lainnya, serta China, telah mengadakan pertemuan untuk membahas soal penyelesaian Code of Conduct. Dalam pertemuan secara online yang dihadiri para menteri luar negeri negara itu, China mengatakan negaranya ingin menyelesaikan pembentukan kode etik soal Laut China Selatan. Tujuannya adalah demi menghindari bentrokan di kawasan yang diperebutkannya dengan sejumlah negara tersebut.

"China harus menyelesaikan kode etik dengan negara-negara ASEAN secepat mungkin untuk menciptakan seperangkat aturan yang mencerminkan karakteristik kawasan itu," kata Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, Kamis.

Pernyataan itu disampaikan saat AS-China makin meningkatkan kehadiran di kawasan yang merupakan jalur penting bagi perdagangan internasional itu.

Sebagaimana diketahui, China terus memperluas klaimnya di kawasan dalam beberapa bulan terakhir. Ada sekitar 90% kawasan Laut China Selatan yang diklaim China. Negara itu bahkan telah membangun pulau-pulau buatan dengan infrastruktur militer.

Langkah itu tidak hanya menarik amarah dari negara-negara yang memperebutkan kawasan (Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam), tapi juga AS, yang memiliki militer terbesar di dunia.

AS menganggap langkah China itu bisa membahayakan kawasan, dan atas dasar itu AS telah meningkatkan kehadirannya di perairan. Pada Juli, AS bahkan dengan tegas menyebut klaim China melanggar hukum internasional.

Namun, kegiatan AS itu justru membuat China marah. Hingga kini kedua negara terus saling memperkuat posisi militer mereka di perairan, memicu ketakutan di antara negara-negara kawasan akan terjadinya perang senjata.


[Gambas:Video CNBC]

(dob/dob)

Situasi di Laut China Selatan kembali tegang setelah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo menyampaikan dua pernyataan sengit pekan ini. Dia mengatakan China tidak berhak mengklaim wilayah di Laut China Selatan dan Amerika akan melakukan segala upaya untuk mencegah China menguasai Laut China Selatan.

Menanggapi perkembangan tersebut, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan Indonesia sangat prihatin terhadap meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan.

"Situasi Laut China Selatan yang stabil dan damai adalah harapan dari setiap negara. Menghormati hukum internasional, termasuk Hukum Laut Internasional 1982, merupakan kunci untuk membuat keadaan di Laut China Selatan stabil dan damai," kata Retno.

Menlu RI Retno Marsudi pada pertemuan khusus Menlu ASEAN-Australia yang dilakukan secara virtual Selasa (30/6). (foto: Kemlu RI)

Retno menekankan posisi Indonesia di Laut China Selatan sangat jelas dan konsisten. Ditambahkannya bahwa hak Indonesia atas Zona Ekonomi Eksklusif ZEE) di Laut China Selatan juga sangat jelas dan konsisten, dan hal ini sejalan dengan Hukum Laut Internasional 1982. Sikap Indonesia atas ZEE itu juga didukung oleh putusan mahkamah internasional pada tahun 2016.

Indonesia menegaskan semua negara harus berkontribusi untuk memelihara kestabilan dan perdamaian di Laut China Selatan. Indonesia meminta semua pihak menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang dapat menaikkan ketegangan di kawasan Laut China Selatan.

BACA JUGA: RI Berharap Negara-Negara Besar Tak Picu Ketegangan Baru di Laut Cina Selatan

Pengamat : Indonesia Bisa Jadi Mediator dalam Konflik di Laut China Selatan

Diwawancarai melalui telpon, Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, mengatakan Indonesia perlu menyampaikan pada dunia bahwa Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan, baik laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.

Pakar hukum internasional UI, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana (Foto: Courtesy).

“Ketegasan ini perlu disampaikan karena Indonesia tidak pernah mengakui adanya klaim sepihak dari China terkait sembilan garis putus. Klaim tersebut dinegasikan oleh Indonesia dengan melakukan penangkapan terhadap kapal-kapal nelayan berbendera China yang memasuki wilayah ZEE Indonesia,” tegas Hikmahanto.

Indonesia harus mempunyai perhatian besar agar ketegangan antara dua negara besar di Laut China Selatan tidak berubah menjadi perang antar dua negara besar, tambahnya.

Hikmahanto menegaskan China seharusnya tidak menggunakan kekerasan untuk menegaskan klaimnya karena hukum internasional tidak mengakui penggunaan kekerasan untuk perolehan wilayah. Disisi lain, ujarnya, “Amerika juga tidak sepatutnya menggunakan kekerasan karena berada di luar kawasan. Jangan sampai Laut China Selatan menjadi medan pertempuran Amerika.”

BACA JUGA: AS: Klaim China di Laut China Selatan ‘Sepenuhnya Melanggar Hukum’

Hikmahanto juga mengatakan Indonesia harus menyampaikan kesediaan untuk menjadi juru damai yang tidak memiliki kepentingan. “Indonesia pantas menjadi mediator karena Indonesia adalah negara anggota ASEAN yang besar dan tidak mempunyai konflik dengan China dan Amerika,” paparnya.

Lebih jauh Rektor Universitas Achmad Yani itu mengatakan Indonesia harus dapat menyampaikan kepada China agar tidak memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 untuk meraih keuntungan dalam klaimnya di Laut China Selatan, bahkan hingga menutup jalur pelayaran internasional.

“Bila China memanfaatkan pandemi ini,” lanjut Hikmahanto, “maka China tidak hanya berhadapan dengan negara-negara yang bersengketa dengannya, seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina, tetapi berhadapan dengan Amerika dan sekutunya.”

Pesawat tempur F-16 milik TNI AU terbang melintas di atas kapal perang TNI AL dalam operasi di Natuna, di dekat Laut China Selatan, Indonesia, 10 Januari 2020. (Foto: Risyal Hidayat/Antara via Reuters)

Sedikitnya Enam Negara Saling Klaim di Laut China Selatan

Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.

Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan ekploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut China Selatan.

Peta Laut China Selatan. (Foto: VOA)

Nilai komoditas perdagangan melewati Laut China Selatan setiap tahun mencapai US$ 3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia. Sekitar 80 persen dari impor energi China dan 39,5 persen dari total perdagangan mereka melewati Laut China Selatan.

Sejak tahun 2013 China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan ini memicu kecaman internasional. Sejak tahun 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut China Selatan. [fw/em]