Bagaimana pandangan Jeremy Bentham terkait dengan pemidanaan berdasarkan asas utilitarianisme?

Bagaimana pandangan Jeremy Bentham terkait dengan pemidanaan berdasarkan asas utilitarianisme?

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Oleh: Yusril Ihza Mahendra

Jeremy Bentham adalah seroang filsuf berkebangsaan Inggris yang terkenal dengan pemikiran Utilitarianismenya, yaitu sebuah pemikiran filsafat yang menjadikan kegunaan, manfaat, dan keuntungan sebagai tolak ukur baik dan buruknya suatu tindakan. Selain terkenal dengan pemikiran filsafat utilitarianisme, Bentham juga dikenal sebagai pemikir politik yurisprudensial. Ketika berpikir tentang permasalahan kenegaraan Bentham memiliki orientasi hukum, sehingga lebih fokus kepada teori tentang perundang-undangan konstitusional, hukuman, administrasi peradilan, pemeliharaan ketertiban, dan hukum pidana. Kedua orientasi pemikirannya ini (Utilitarianisme & Politik Yurisprudensial) kemudian memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bagaimana cara Jeremy Bentham memandang hubungan internasional.

Umat manusia hidup di bawah dua tuan yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupannya. Dua tuan ini bisa menentukan arah kehidupan manusia, bisa mendorong manusia untuk melakukan suatu hal, dan bisa mencegah manusia untuk melakukan hal lainnya. Bahkan dalam doktrin agama-pun dua tuan ini seringkali dijadikan reward and punishment bagi para pengikutnya agar tetap berada di dalam koridor-koridor absolut yang ditetapkan oleh agama. Dua tuan ini bernama ‘kesenangan’ dan ‘kesakitan’. Dalam pemikiran masyarakat modern kesenangan seringkali didefinisikan sebagai sesuatu yang subjektf atau kebahagiaan internal. Begitupun Jeremy Bentham dalam pandangan utilitarianismenya, Ia percaya bahwa kesenangan adalah serangkaian sensasi yang memuaskan batin. Kesenangan yang dimaksud-pun tergantung oleh subjek kepentingannya. Apabila yang dimaksud adalah komunitas secara umum, maka kesenangan adalah milik komunitas yang tersebut. Apabila yang dimaksud adalah individu, maka kesenangan adalah milik individu tersebut.

Utilitarianisme berpendapat bahwa sebuah tindakan dikatan benar apabila menghasilkan kebahagiaan, dan salah apabila menghasilkan penderitaan. Kebahagiaan yang dimaksud bukan hanya bagi pelaku, tetapi juga bagi orang lain yang terkena dampaknya. Utilitarianisme setuju bahwa tindakan yang baik adalah suatu tindakan yang menghasilkan manfaat (utilitas). Sebaliknya, tindakan yang tidak menghasilkan manfaat adalah tindakan yang buruk (evil). Lebih jauh, utilitarianisme menjadikan kuantitas individu yang merasakan manfaat sebagai tolak ukur baik atau buruknya suatu tindakan. Semakin banyak yang merasakan manfaatnya maka semakin baik, inilah yang dinamakan dengan konsep “The Greatest Happiness of The Greatest Number” Jeremy Bentham.

Secara fundamental utilitarianisme agak berbeda dari ethical theories, hal ini dikarenakan teori etika menjadikan maksud dan motovasi dari pelaku sebagai tolak ukur benar atau tidaknya suatu tindakan. Sedangkan  utilitarianisme lebih berfokus pada hasil dan dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Dengan kata lain, penilaian utilitarianisme lebih fokus terhadap suatu  tindakan dan tidak kepada individu yang melakukannya. Meskipun pendapat utilitarianisme yang menjadikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin individu adalah hal yang rasional, namun terkadang perspektif ini tidak mengindahkan moralitas suatu tindakan kerena lebih berfokus terhadap hasil yang dicapai melalui tindakan tersebut, khususnya kuantitas orang yang diuntungkan. Akibatnya, ada potensi pengabaian terhadap kelompok minoritas.

Bentham, J. (2000). An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Kitchener: Batoche Books.

Crimmins, J. E. (1993). Bentham’s Philosophical Politics. The Harvard Review of Philosophy.

Ni’am, H. (2008, Juni). Utilitarianism: History, Concept, and Roles. SPEKTRUM, 5(2).

Utilitarianisme juga sering disebut Utilisme. Utilitarianisme adalah aliran hukum yang menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan yang dimaksud dalam aliran ini adalah kebahagiaan (happiness). Utilitarianisme memandang baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan tersebut diupayakan agar dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (the greatest happiness for the greatest number of people).

Bagaimana pandangan Jeremy Bentham terkait dengan pemidanaan berdasarkan asas utilitarianisme?

Aliran Utilitarianisme sebenarnya dapat dikategorikan sebagai Positivisme Hukum karena paham ini akan berujung pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Hukum adalah cerminan dari perintah penguasa, bukan dari rasio semata. Beberapa tokoh pendukung aliran ini adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering.

Jeremy Bentham

Ajaran Jeremy Bentham didasarkan pada aliran hedonistic utilitarianism. Bentham berpendapat bahwa hukum bertugas untuk memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Pemidanaan harus bersifat spesifik untuk setiap kejahatan. Seberapa kerasnya suatu pidana tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan menurut Bentham hanya bisa diterima apabila pemidanaan tersebut mampu mencegah terjadinya kejahatan yang lebih besar.

Bentham menginginkan agar hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu, bukan langsung kepada masyarakat secara keseluruhan. Meskipun demikian Bentham tetap mengakui bahwa kepentingan masyarakat juga harus diperhatikan sehingga tidak terjadi bentrokan antara kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain. Oleh karena itu kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya perlu dibatasi agar tidak terjadi apa yang disebut homo homini lupus atau manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain.

Untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, Bentham berpendapat bahwa diperlukan simpati dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian titik berat perhatian tersebut harus tetap pada kepentingan individu karena ketika setiap individu telah memperoleh kebahagiaannya, maka dengan sendirinya kesejahteraan atau kebahagiaan masyakarat akan tercipta secara simultan.

Friedmann berpendapat bahwa pemikiran Bentham memiliki dua kekurangan. Kekurangan yang pertama adalah Bentham tidak melihat individu sebagai suatu keseluruhan yang kompleks. Ia hanya memandang secara abstrak dan doktriner sehingga Bentham terlalu melebih-lebihkan kekuasaan pembuat undang-undang dan meremehkan perlunya individualisasi kebijakan serta keluwesan dalam penerapan hukum. Kelemahan pemikiran Bentham yang kedua adalah ia tidak mampu menjelaskan konsepsinya sendiri mengenai keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

John Stuart Mill

Pemikiran John Stuart Mill sangat dipengaruhi oleh pemikiran Positivisme dari Auguste Comte, namun Mill tidak setuju dengan Comte yang berpendapat bahwa psikologi bukanlah ilmu. Pemikiran Mill banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan, dimana kebahagiaan tersebut diperoleh melalui hal-hal yang membangkitkan nafsu manusia. Sehingga apa yang ingin dicapai oleh manusia bukanlah benda atau sesuatu hal tertentu, tetapi kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.

Mill memandang psikologi sebagai ilmu yang paling fundamental. Melalui psikologi kita dapat mempelajari penginderaan-pengindraan (sensations) dan cara susunannya. Susunan penginderaan tersebut terjadi menurut asosiasi, dalam hal inilah psikologi berperan untuk memperlihatkan bagaimana asosiasi antara penginderaan yang satu dengan penginderaan yang lain diadakan menurut hukum-hukum yang tetap. Itulah sebabnya Mill berpendapat bahwa psikologi adalah dasar bagi semua ilmu lain, termasuk logika.

Mill berperan penting dalam menyelidiki hubungan antara keadilan, kegunaan, kepentingan individu dan kepentingan umum. Ia menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada intinya perasaan individu mengenai keadilan akan membuat individu tersebut menyesal dan ingin membalas dendam kepada hal-hal yang tidak menyenangkannya. Rasa sesal dan keinginannya tersebut dapat diperbaiki dengan perasaan sosial. Sehingga orang-orang yang baik akan menyesalkan tindakannya yang tidak baik terhadap masyarakat, meskipun hal itu tidak berkaitan dengan dirinya sendiri. Orang-orang yang baik juga tidak akan menyesalkan perbuatan tidak baik terhadap dirinya, sekalipun hal tersebut menimbulkan rasa sakit, kecuali apabila masyarakat bermaksud menindasnya. Hal inilah yang digambarkan sebagai ungkapan dari rasa adil.

Rudolf von Jhering

Ajaran Rudolf von Jhering merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Positivisme Hukum yang diajarkan oleh John Austin. Teori yang diajarkan oleh Jhering ini merupakan ajaran yang bersifat sosial.

Pada awalnya Jhering menganut Mazhab Sejarah yang dikembangkan oleh Friedrich Karl von Savigny dan Puchta, namun lama kelamaan ia memiliki pandangan yang berlawanan dengan Savigny. Seluruh hukum Romawi menurut Savigny merupakan pernyataan jiwa bangsa Romawi, sehingga merupakan hukum nasional. Pendapat tersebut kemudian dibantah oleh Jhering dengan mengemukakan bahwa seperti dalam hidup sebagai perkembangan biologis yang senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya, demikian pula dalam bidang kebudayaan dimana melalui pergaulan antar bangsa terdapat asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan.

Menurut Jhering lapisan tertua hukum Romawi memang bersifat nasional, tetapi pada perkembangannya hukum Romawi mendapat ciri-ciri universal melalui asimilasi dengan hukum lain, sehingga hukum Romawi yang pada awalnya bersifat nasional kemudian berkembang menjadi hukum universal. Ia memiliki pandangan bahwa hukum Romawi dapat digunakan sebagai dasar bagi hukum jerman karena hukum Romawi dalam perkembangannya sudah berhadapan dengan banyak aturan hidup lain. Jhering juga memandang bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang berupa mengejar kesenangan dan menghindari penderitaan. Dalam hal ini kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.

Referensi:

  1. C.S.T. Kansil, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Balai Pustaka.
  2. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  3. Dewa Gede Sudika Mangku, 2020, Pengantar Ilmu Hukum, Klaten: Lakeisha.