Ketidakadilan adalah masalah yang sering kita temui dalam konflik keluarga. Baik antara pasangan suami istri, orangtua dengan anak, hingga antar saudara bisa jadi merasa diperlakukan tidak adil. “Aku sudah memberikan semuanya untuk dia, tapi hal sederhana saja dia tidak mau bantu” atau mungkin anak kita mengeluh seperti ini “Mama papa tidak adil! Lebih sayang adik daripada aku”. Ketidakadilan dalam memberikan dan menerima perhatian serta pengertian dalam relasi seringkali berdampak pada kesehatan mental individu (Boszormenyi-Nagy et al., 1991). Berbicara mengenai keadilan, kita tentu menggunakan standar ukur yang kita miliki untuk jadi “timbangan”. Sadar maupun tidak sadar, kita memberikan bobot pada apa yang kita berikan dan dapatkan, membuat kita merasa tidak adil jika memberi banyak dan mendapatkan sedikit. Memberi dan mendapat tidak harus dalam bentuk material. Hal ini juga bisa dirasakan dalam bentuk kurang apresiasi. Sebagai contoh, suami yang bekerja seharian untuk keluarga, ditambah dengan stress kerja, mungkin mengharapkan istri untuk menyiapkannya teh hangat dan menemani makan malam. Tapi ketika sampai di rumah, istri malah tertidur dengan cucian dapur yang menumpuk. Kejadian ini dapat membuat suami jengkel dan marah-marah kepada istri. Suami merasa sudah bekerja keras hingga lelah, namun istri kok malah enak-enak tidur dan tidak melakukan tanggung jawab sebagai istri dan ibu rumah tangga. Perasaan tidak adil seringkali dianggap sebagai masalah sepele. Pada kasus di atas, kita bisa saja berpikir bahwa sang istri memang tidak bertanggungjawab. Istri layak untuk ditegur, dan masalah sudah selesai. Namun apa yang terjadi jika pada saat itu istri sedang sakit? Ia terbangun dengan suara suami yang sudah marah-marah dan menuduhnya tidak bertanggung jawab. Istri merasa bahwa marah suami berlebihan dan tidak seharusnya ia diperlakukan seperti itu (perasaan tidak adil). Walaupun perasaan ketidakadilan dimulai dari konflik sederhana, ketidakadilan adalah sumber masalah yang dapat berbuntut panjang. Boszormenyi-Nagy dan Krasner (1986) mengatakan bahwa pada masa kanak-kanak, kita menuntut perhatian lebih dari pengasuh kita. Sebagai orangtua, anak kita tentu menuntut perhatian lebih banyak dari kita dibandingkan dari nenek atau om tante mereka. Kurangnya perhatian pada masa awal-awal pertumbuhan akan mengembangkan relasi tidak adil yang dibawa hingga anak membentuk keluarga baru. Anak bisa menjadi individu yang terlalu banyak memberi hingga tidak mempedulikan kesehatan diri sendiri, atau terlalu banyak menuntut (Gangamma et al., 2019). Menurut Ducommun-Nagy (2002), ada lima dimensi saling terkait yang dapat digunakan untuk menilai keadilan dalam relasi pernikahan dan keluarga: Fakta berbicara mengenai kejadian yang terjadi dalam kehidupan individu. Kejadian-kejadian ini biasanya mempengaruhi status/ identitas individu, seperti kelahiran, kematian, pernikahan, perceraian, dll (Gangamma et al., 2019). Di beberapa daerah, dilahirkan sebagai perempuan mungkin membuat kita tidak mendapat hak yang sama dengan laki-laki. Demikian juga dengan ras maupun agama yang dianut. Fakta mempengaruhi persepsi individu terhadap keadilan dalam relasi.
Kondisi psikologis individu mengacu pada kognisi, perasaan, persepsi, dan pengalaman individu yang berbeda satu sama lain (Gangamma et al., 2019). Sebagai contoh, ketika pasangan sedang menghadapi masalah, suami dan istri bisa saja memiliki cara penyelesaian yang berbeda. Suami memilih untuk tidak membahas, sedangkan istri meminta harus dibahas sampai tuntas. Perbedaan ini bisa memunculkan rasa tidak adil. Sang istri bisa saja merasa bahwa dirinya lebih berusaha menyelesaikan masalah dan ini dinilai tidak adil. Pola dalam relasi membahas mengenai hirarki, struktur keluarga, batasan, peran dan hal-hal lain yang mempengaruhi bagaimana individu berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain. Pola interaksi dalam keluarga dapat menumbuhkan perasaan tidak adil ketika ada individu yang mengganggu keseimbangan pola interaksi. Contoh, ayah dan ibu sedang bertengkar, ayah dan ibu meminta anak untuk menjadi mediator dalam pertengkaran tersebut. Dalam hal ini, resolusi konflik pasangan merupakan tanggung jawab pasangan. Anak sebaiknya tidak dibebankan tanggung jawab untuk menjadi kunci penyelesaian masalah. Beban tanggungjawab ini bisa dinilai tidak adil, dimana anak merasa orangtuanya sendiri tidak berusaha sekeras dirinya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Etika dalam relasi membahas mengenai kepercayaan dan kesetiaan. Relasi yang dapat dipercaya dan adanya kepedulian dari pengasuh akan memampukan individu untuk percaya dan kemudian membangun relasi dengan orang lain (Gangamma et al., 2019). Ketika kepercayaan itu dilanggar, maka individu akan kesulitan untuk percaya, bahkan pada pasangan dan keluarganya kelak. Ketidakadilan timbul bukan karena keinginan untuk menyakiti orang lain, tapi karena individu tersebut tidak mampu memberikan apa yang tidak ia dapatkan sebelumnya. Rasa tidak percaya menghalanginya untuk memberikan yang terbaik untuk orang lain. Contoh: istri menolak melakukan pekerjaan rumah tangga. Istri merasa lebih aman bekerja jika suatu saat suaminya meminta bercerai. Ketidakadilan timbul ketika sang suami merasa bahwa istri tidak dapat memenuhi kebutuhannya di rumah, dan istri merasa bahwa suami memaksanya melakukan apa yang tidak dia inginkan.
Keutuhan individu dalam relasi membahas mengenai bagaimana pasangan dan keluarga dapat saling melihat keotentikan diri masing-masing. Dalam hal ini, masing-masing anggota keluarga melihat anggota yang lain sebagai diri mereka sendiri, dan bukan proyeksi dari orang lain. Dalam beberapa kasus, istri yang pernah disakiti oleh sosok ayahnya bisa jadi memroyeksikan sosok ayah pada suami. Hal ini membuat istri menjadi sensitive, sulit memaafkan, serta cenderung lebih takut pada suami. Hal yang sama bisa terjadi pada anak ketika kita memproyeksikan anak orang lain/ ideal pada anak kita. Contoh, anak ideal bagi kita adalah bisa menguasai 5 bahasa, bermain setidaknya 2 alat music, dan mendapat nilai A di setiap semester. Kita memaksakan sosok tersebut pada anak tanpa mempertimbangkan kelebihan kekurangan dan minat mereka, menjadikan mereka orang yang bukan diri mereka sendiri. Hal ini tentu tidak adil bagi mereka yang dibayang-bayangi sosok orang lain tersebut. Apa yang dapat kita lakukan?Kebutuhan tidak terpenuhi di masa kanak-kanak membuat kita menumbuhkan kebutuhan lain ketika sudah dewasa. Seringkali kita tidak menyadari bahwa kesulitan kita terbuka pada pasangan didasari pada rasa kurang percaya pada pasangan. Pasangan mungkin adalah orang yang baik dan setia, dan kita kesulitan mendeteksi kenapa kita tidak bisa sepenuhnya percaya padanya. Ketidakmampuan untuk percaya bisa jadi akibat dari luka lama ketika masa kecil. Contoh, ayah dulu menuntut individu untuk tidak boleh menangis, selalu kuat, dan tidak boleh terlihat lemah. Setiap kali individu mengeluh, ayah memberikan hukuman yang berat. Pengalaman tersebut membuat bercerita tentang masalah pada pasangan menjadi sulit. Menyadari perlakuan tidak adil yang dialami individu ketika masa anak-anak akan menjadi langkah pertama yang harus dilakukan. Termasuk perlakuan tidak adil yang kita berikan pada anak. Langkah kedua adalah meruntut bagaimana perlakuan tidak adil di masa kanak-kanak membuat kita merasa tidak adil juga. Hal ini membantu kita untuk lebih menyadari dampak dari ketidakadilan di masa lalu, dan bagaimana itu mengubah cara pandang kita pada relasi yang sekarang. Ketiga, bagikan ini dengan pasangan. Kita perlu mengajak pasangan untuk memahami apa yang kita alami dan bagaimana itu membuat kita menjadi tidak adil dalam relasi. Hal ini akan membantu pasangan mencari solusi yang efektif bagi permasalahan tersebut. Referensi
Ditulis oleh: AmandaTeonata, S.Psi.
Memperjuangkan Keadilan
Bagaimana pandangan Kristiani tentang keadilan?
Memperjuangkan Kejujuran
Dukung website ini dengan subscribe Channel YouTube Aendy Da Saint: |