Bagaimana mengukur ketimpangan pendapatan

Bagaimana mengukur ketimpangan pendapatan
Salah satu indikator standard ketimpangan ekonomi adalah koefisien Gini. Nilainya antara 0 dan 1, semakin mendekati 1 semakin timpang dan sebaliknya. Baru-baru ini BPS merilis data koefisien Gini untuk tahun 2011 sebesar 0.41. Sepanjang sejarah ini pertama kalinya koefisien Gini kita menembus angka 0.4. Tentunya ini sesuatu yang serius dan kita perlu sikapi dengan langkah-langkah serius pula. Salah satu isu penting adalah bahwa bahkan koefisien Gini ini pun belum tentu mencerminkan tingkat ketimpangan di Indonesia yang sebenarnya. Berikut saya sampaikan artikel saya yang pernah dimuat di Kompas beberapa tahun lalu yang membahas tentang hal ini. Ketimpangan terkait erat dengan kemiskinan karena secara mendasar adalah indikator kemiskinan relatif, yaitu kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Rendahnya ketimpangan, atau semakin meratanya distribusi pendapatan, tentunya merupakan salah satu agenda penting pembangunan ekonomi.

Tidak banyak mungkin yang menyadari bahwa, berdasarkan angka koefisien Gini (indikator standar untuk mengukur ketimpangan), Indonesia ternyata termasuk ke dalam 30 negara yang paling merata sedunia (diperingkat dari data Bank Dunia, World Development Indicator 2002). Dengan angka koefisien Gini sebesar 0,32 (peringkat ke 26), Indonesia berarti sejajar dengan negara-negara bekas komunis (seperti Slowakia, Belarusia, dan Hongaria), negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia), atau negara-negara yang menerapkan sistem welfare-state (Belanda, Belgia). Rendahnya ketimpangan di negara-negara tersebut tentunya terkait dengan desain sistem ekonominya. Pertanyaannya, apa betul dari segi distribusi pendapatan, Indonesia layak disejajarkan dengan mereka?

Betulkah tingkat ketimpangan di Indonesia “baik-baik saja”? Begitulah memang yang dinyatakan oleh indikator koefisien Gini. Namun mungkin di mata orang awam, dan mereka yang selalu mengikuti berita-berita di media masa, kesannya akan lain. Fakta- fakta berikut tentunya akan mengundang tanda tanya besar.

Indonesia (salah satu negara dengan harga mobil termahal di dunia) adalah satu dari berbagai negara di Asia, tempat pasar mobil-mobil mewah tumbuh dengan sangat pesat. Data dari Gaikindo, misalnya, mencatat mobil-mobil sport mewah laku bak kacang goreng. Bulan November 2002, 12 mobil Jaguar terjual, begitu juga bulan-bulan berikutnya. Membeli mobil mewah built-up sudah menjadi tren populer di kalangan orang-orang kaya di Indonesia, terutama di Jakarta.

Di sisi ekstrem lain, rawan pangan atau busung lapar di kalangan anak balita juga merupakan cerita-cerita biasa. Busung lapar, misalnya, menyebabkan kematian 26 bayi di Jawa Tengah hanya dalam tenggang waktu satu bulan. Bahkan, rawan pangan ternyata bukan hanya langganan daerah-daerah terpencil yang susah dijangkau, seperti di Papua, tetapi juga terjadi di ibu kota negara.

Bisakah angka koefisien Gini tidak tepat dalam merepresentasikan tingkat ketimpangan di Indonesia yang sebenarnya? Tentu saja. Penyebab pertama, angka ketimpangan di Indonesia diukur dari angka pengeluaran rumah tangga, bukan angka pendapatan. Karena tingkat tabungannya lebih tinggi, tingkat kekayaan kelompok pendapatan tinggi akan tercatat lebih rendah jika yang dicatat adalah pengeluarannya. Otomatis, ketimpangan akan terkalkulasi lebih rendah.

Penyebab yang kedua adalah jika data yang digunakan untuk menghitung ketimpangan tidak akurat dalam merepresentasikan golongan kaya. Hal ini bisa disebabkan budaya orang Indonesia yang “low profile” sehingga melaporkan pengeluaran lebih kecil dari yang sebenarnya. Under-reporting seperti ini, sangat logis, akan lebih besar di golongan kaya. Penyebab yang lain adalah jika sampel data survei rumah tangga (Susenas) kurang mewakili golongan pendapatan tinggi.

Salah satu indikasi kurang terwakilinya golongan berpendapatan tinggi tampak kalau kita membandingkan data national-account (misalnya tabel input-output), dan data Susenas. Pengeluaran rumah tangga dari tabel Input-Output 2003, misalnya, angkanya jauh lebih tinggi daripada angka yang dihitung dari Susenas. Selanjutnya, inkonsistensi atau deviasi di antara dua sumber data tersebut jauh lebih tinggi untuk pengeluaran bukan makanan daripada pengeluaran untuk makanan. Logikanya, karena pengeluaran bukan makanan itu lebih banyak dikeluarkan oleh golongan pendapatan tinggi, hal ini menjadi indikasi kuat bahwa Susenas kurang akurat dalam merepresentasikan golongan kaya.

Hasil kalkulasi penulis menggunakan data Susenas 2002 tetapi juga memperhitungkan inkonsistensi dengan data national- account (yang dipresentasikan pada The Indonesian Regional Science Association/IRSA International Conference, baru-baru ini di Malang) menunjukkan bahwa bisa jadi ketimpangan di Indonesia itu jauh lebih tinggi daripada yang terpikir oleh banyak orang.

Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa angka koefisien Gini di pedesaan sudah relatif akurat, tetapi angka koefisien Gini di perkotaan sangat under- estimated. Hal ini masuk akal, mengingat golongan sangat kaya di pedesaan tentunya hampir tidak ada jika dibandingkan dengan golongan sangat kaya yang tidak terwakili di perkotaan.

Untuk tahun 2002, misalnya, angka koefisien Gini di perkotaan hampir mencapai angka 0,6, jauh lebih tinggi daripada yang tercatat saat ini, yaitu 0,35. Menariknya lagi, hasil perhitungan penulis juga menunjukkan bahwa sumbangan ketidakterwakilan golongan kaya di Jakarta ternyata sangat dominan.
Jika dengan memasukkan Jakarta, koefisien Gini Indonesia terhitung sebesar 0,59, koefisien Gini Indonesia tanpa memasukkan Jakarta terhitung sebesar 0,42.

Keduanya tetap saja menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi daripada angka yang biasa dihitung oleh BPS dengan data Susenas, yaitu sebesar 0,33. Ini tentunya mengindikasikan bahwa ketimpangan di Ibu Kota sudah sedemikian parahnya dan ini tidak tertangkap oleh angka-angka ketimpangan standar. Dan ini juga memberikan kontribusi dominan terhadap terlalu rendahnya hasil perhitungan ketimpangan secara nasional.

Tingkat ketimpangan di Indonesia, bisa jadi, jauh lebih besar daripada yang terukur dengan menggunakan indikator-indikator standar selama ini. Hal ini mempunyai implikasi yang besar, misalnya bisa saja menjelaskan semakin maraknya berbagai kerusuhan dan ketegangan sosial di berbagai daerah di Indonesia. Namun, yang pasti, sepertinya Indonesia tidak layak disejajarkan dengan negara-negara paling merata sedunia

Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan, yaitu kurva lorenz dan koefisien gini. Koefisien gini biasanya diperlihatkan oleh kurva yang disebut kurva lorenz.

Kurva lorenz adalah kurva yang memperlihatkan hubungan kuantitatif antara persentase jumlah penduduk dan persentase pendapatan yang diperoleh selama kurun waktu tertentu, biasanya setahun.
Semakin jauh jarak garis kurva lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya . Sebaliknya, semakin dekat jarak kurva lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat pemerataan distribusi pendapatannya.

Distribusi pendapatan semakin merata jika nilai koefisien gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan semakin tidak merata jika nilai koefisien gini makin mendekati satu.  

Ketimpangan Pendapatan (Ukuran Bank Dunia)

Copyright © 2022 Badan Pusat Statistik. All Rights Reserved.

Bagaimana mengukur ketimpangan pendapatan
Bagaimana mengukur ketimpangan pendapatan
  • Mengukur ketimpangan ekonomi
  • Penyebab ketimpangan ekonomi

Apa itu: ketimpangan ekonomi (economic inequality) adalah ketidakmerataan distribusi pendapatan dan peluang ekonomi antara berbagai kelompok di dalam masyarakat. Ketimpangan adalah masalah universal. Anda dapat melihat, itu terjadi di semua negara.

Tingkat pengangguran yang akut dan rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan membuat orang memiliki sedikit kesempatan untuk naik tangga sosial. Akhirnya, mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan “mewariskannya” ke generasi berikutnya.

Tapi, terlahir dari keluarga miskin, tidak otomatis membuat orang tetap miskin. Mereka dapat mengatasinya, baik dengan tekad kuat atau dengan bantuan eksternal. 

Program-program kesejahteraan pemerintah adalah salah satu solusi. Perbaikan akses pendidikan, keterampilan, dan pelatihan adalah diantara cara mengatasinya.

Mengukur ketimpangan ekonomi

Ketimpangan ekonomi terkait erat dengan kesenjangan dalam kekayaan dan pendapatan di dalam perekonomian. Mereka yang kaya menjadi semakin kaya dan menguasai perekonomian. Sedangkan, orang miskin harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan esensial mereka. 

Seringkali, akses ekonomi lebih mementingkan orang kaya daripada orang miskin. Itu pada akhirnya membuat ketimpangan menjadi semakin akut.

Pemerintah seringkali menggunakan beberapa metrik untuk mengukur ketimpangan ekonomi. Rasio Gini (atau indeks Gini) yang paling banyak digunakan. Selain itu, ada Inequality-adjusted Human Development Index (IHDI), yang mana mengukur pembangunan ekonomi dengan mempertimbangkan distribusinya diantara masyarakat.

Koefisien Gini

Koefisien Gini membandingkan dua area Kurva Lorenz, yang mana menghubungkan populasi dengan penguasaan pendapatan (kekayaan) diantara masyarakat.

Kurva Lorenz menyatakan bahwa ketika pendapatan orang meningkat, bagian relatif dari kekayaan mereka meningkat secara tidak proporsional. Oleh karena itu, jumlah kekayaan yang dimiliki oleh 10% orang terkaya akan jauh lebih besar daripada kekayaan yang dimiliki oleh 10% terbawah. Berikut adalah contoh kurva Lorenz:

Bagaimana mengukur ketimpangan pendapatan
Kurva Lorenz

Secara matematis, rumus indeks Gini adalah dengan membandingkan antara luas area A dengan luas area segitiga.

Indeks Gini = Area A / (Area A + Area B)

Indeks Gini berkisar antara 0 hingga 1 (100%). Indeks gini 0 menunjukkan kesetaraan sempurna. Semakin tinggi indeks, semakin tinggi ketimpangan ekonomi. Nilai 100% menunjukkan ketimpangan sempurna dan memberitahu anda satu orang menguasai semua pendapatan atau kekayaan di dalam perekonomian.

Penyebab ketimpangan ekonomi

Faktor penyebab ketimpangan ekonomi beragam antar negara. Berikut adalah beberapa alasannya:

Tingkat pengangguran tinggi. Itu menunjukkan ke anda banyak orang tidak memperoleh pekerjaan dan pendapatan. Peningkatan tingkat pengangguran memperlemah permintaan terhadap barang dan jasa. Itu mengakibatkan aktivitas produksi lesu. Bisnis mengurangi pekerja. Itu mengarah pada lebih banyak pengangguran dan semakin sedikit pendapatan bagi rumah tangga.

Kondisi pekerjaan yang buruk. Upah di bawah standar internasional atau nasional masih terjadi. Itu membuat orang tidak bisa memperoleh pendapatan yang layak. Sehingga, mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau mengakses layanan penting seperti pendidikan dan kesehatan. 

Pendidikan dan keterampilan rendah. Itu membatasi orang untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih layak. Orang miskin sulit untuk mengakses pendidikan atau pelatihan karena mereka tidak memiliki uang. Jadi, memberikan lebih banyak akses terhadap fasilitas semacam itu adalah salah satu solusi untuk keluar dari kemiskinan.

Diskriminasi ekonomi. Menjadi minoritas atau imigran seringkali membuat orang mendapat perlakuan tidak adil ketika mereka mengejar kesempatan ekonomi atau mengakses layanan penting.

Infrastruktur yang buruk. Orang yang tinggal di daerah terpencil sulit untuk mengakses barang esensial dari daerah lain. Selain itu, buruknya infrastruktur meningkatkan biaya logistik dan harga barang, membuat daya beli orang miskin semakin jatuh. Orang juga tidak mudah berpindah ke wilayah lain untuk mengejar kesempatan ekonomi yang lebih baik.

Ukuran keluarga. Lebih banyak anggota keluarga, lebih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Jika hanya mengandalkan kepala keluarga untuk mencari nafkah, pendapatan seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Konsentrasi kekayaan. Orang kaya memiliki sumber daya yang lebih baik daripada orang miskin. Mereka menguasai sebagian besar dari perekonomian. Jika mereka harus bersaing, sebagaimana pasar bebas anjurkan, orang miskin berada pada posisi yang tidak unggul. Mereka sulit berhadapan dengan orang kaya. Hasilnya, orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin.