Bagaimana mekanisme perdagangan emisi tersebut

Oleh : itsmis | | Source : -

Ir Dicky Edwin Hindarto befoto bersama dosen ITS lainnya

Kampus ITS, ITS News – Bumi semakin panas karena tingginya emisi karbon. Salah satu upaya pengurangan emisi karbon perlu untuk dilakukan dengan mekanisme berbasis pasar. Berangkat dari hal tersebut, Departemen Manajemen Bisnis Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mendatangkan Koordinator Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon dan Negosiator Utama Indonesia untuk UNFCCC, Ir Dicky Edwin Hindarto sebagai pemateri dalam seminar di Auditorium Pascasarjana ITS pada Selasa (9/10).

Seminar bertajuk Implementasi Kegiatan Rendah Karbon dan Peluangnya di Indonesia ini adalah salah satu bentuk pemahaman terhadap mitigasi perubahan iklim yang cepat dan berkelanjutan, dengan mekanisme berbasis pasar.

Dalam proposal National Determined Contribution (NDC), Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon hingga tujuh puluh persen sebelum 2030. “Sebanyak 29 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan bantuan pihak asing,” tutur pria yang akrab disapa Dicky ini.

Alumni SMAN 3 Malang ini mengungkapkan, pertumbuhan tingkat emisi karbon di Indonesia sangat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, luas wilayah, dan juga populasi penduduk. “Populasi penduduk suatu negara berbanding lurus dengan konsumsi energi dan juga emisi karbon yang dihasilkan negara tersebut,” terang pria yang bekerja sebagai penasehat untuk Indonesia Joint Crediting Mechanism (JCM) ini.

Menurut Dicky, dari berbagai mekanisme yang diusulkan untuk menekan emisi karbon, mekanisme berbasis pasar merupakan yang paling diminati. Adapun jenis mekanisme berbasir pasar sendiri terbagi menjadi tiga macam yaitu crediting, cap and trade, serta carbon tax. “Mekanisme ini menggunakan beberapa variabel ekonomi untuk menekan emisi karbon bagi para pelaku industri,” ujar alumni Teknik Fisika ITS tersebut.

Dalam metode crediting, sambungnya, pasar akan mentransaksikan hasil pengurangan emisi yang telah disertifikasi dalam bentuk kredit karbon. Satu unit kredit karbon tersebut biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton karbon dioksida.

Adapun pada metode cap and trade, pembatasan emisi gas rumah kaca dilakukan pada satu entitas tertentu baik di tingkat instansi ataupun organisasi. Dengan metode ini, pengurangan emisi karbon dapat dihitung dengan mudah.

Metode terakhir yaitu dengan pajak karbon (carbon tax). Pada metode ini, pelaku industri akan dikenai pajak yang besar dan batasannya ditentukan oleh pengambil kebijakan. Serupa dengan metode crediting, biasanya pajak yang dikenakan dihitung per satu ton emisi karbon. “Metode pajak karbon akan memacu perusahaan untuk menjadi lebih bersih dan lebih rendah emisi,” pungkasnya. (ion15/qi)

Ir Dicky Edwin Hindarto sedang menyampaikan materinya

Btari Nadine, Girta Yoga

Perdagangan karbon (carbon trading) merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan. Kredit karbon (carbon credit) adalah representasi dari ‘hak’ bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2). 

Kredit karbon yang dijual umumnya berasal dari proyek-proyek hijau. Lembaga verifikasi seperti Verra, akan menghitung kemampuan penyerapan karbon oleh lahan hutan pada proyek tertentu dan menerbitkan kredit karbon yang berbentuk sertifikat. Kredit karbon juga dapat berasal dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas yang ditetapkan pada industrinya. 

Pemerintah setempat biasanya akan mengisukan kredit tersebut hingga batasan tertentu. Jika perusahaan menghasilkan emisi kurang dari kredit yang dimiliki, maka perusahaan tersebut bisa menjual kredit tersebut di pasar karbon.

Namun, jika emisi yang dihasilkan melebihi kredit yang dimiliki, maka perusahaan harus membayar denda atau membeli kredit di pasar karbon. Dengan demikian, negara-negara di dunia dapat mengontrol jumlah emisi karbon yang dihasilkan dan mengurangi dampak gas rumah kaca secara signifikan.

Kenapa Ada Perdagangan Karbon?

Perdagangan karbon berasal dari komitmen dunia dalam menangani pemanasan global. Mari kita lihat bagaimana perkembangan dunia dalam penanganan pemanasan global hingga muncul skema perdagangan karbon sebagai salah satu solusinya.

Stockholm, 1972

PBB mengadakan Konferensi tentang Lingkungan Hidup Manusia. Pada konferensi ini, perwakilan dari berbagai negara bertemu untuk pertama kalinya dan membahas situasi lingkungan hidup secara global. 

Rio de Janeiro, 1992

PBB mengadakan Konferensi Bumi, di mana pada konferensi ini terbentuk konvensi kerja yang disebut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan utama UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada di tingkat aman. 

Kyoto, 1997

UNFCCC mengatur ketentuan stabilitas konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dalam Protokol Kyoto. Protokol ini disahkan pada 11 Desember 1997 dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Periode komitmen pertama dimulai pada tahun 2008 dan berakhir pada tahun 2012, di mana 38 negara-negara industri dan masyarakat Eropa dituntut untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar rata-rata 5% di bawah tingkat emisi di tahun 1990.

Pada periode komitmen kedua (2013-2020), target pengurangan emisi sebesar 18% di bawah tingkat emisi tahun 1990. Meski Protokol Kyoto mampu menekan emisi di negara-negara terikat (27% dari emisi karbon global pada periode pertama, dan 15% pada periode kedua), namun emisi karbon global juga meningkat sebesar 2.6% di tahun 2012 atau sekitar 58% lebih tinggi dari tingkat emisi tahun 1990. 

Paris, 2015

Bertindak dari Protokol Kyoto, sebanyak 195 pemerintah dari berbagai negara menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 12 Desember 2015. Perjanjian Paris sepenuhnya bersifat sukarela. Negara-negara tersebut berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2˚C (3.6˚F), serta menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1.5˚C (2.7˚F).

Perjanjian Paris ini mulai berlaku efektif pada 4 November 2016. Negara-negara yang menyepakati Perjanjian Paris diharuskan untuk menyerahkan Nationally Determined Contributions (NDCs)–rencana pengurangan emisi dan strategi penerapannya setiap lima tahun sekali. Setiap NDC baru harus lebih ambisius dari rencana sebelumnya, terutama dalam peningkatan target emisi yang dikurangi. 

Manfaat Perdagangan Karbon

Dari sisi pemerintah dan regulasi, perdagangan karbon lebih memungkinkan dan lebih mudah untuk diimplementasikan daripada regulasi yang langsung membatasi dan mengenakan pajak pada emisi karbon. Regulasi langsung akan lebih mahal dari segi anggaran dan membatasi ruang gerak pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh industri. 

Melalui perdagangan karbon, pemerintah juga dapat memantau jumlah emisi karbon yang dihasilkan di negaranya dengan lebih terorganisasi. Sebab, jumlah emisi dan potensi penyerapan terukur dengan standar yang telah ditetapkan. Jumlah kredit karbon yang beredar di pasar karbon tentunya akan membantu dalam mengontrol besarnya emisi karbon yang dilepas ke atmosfer.

Selain itu, perdagangan karbon juga akan membuka peluang ekonomi baru bagi negara-negara yang berpartisipasi. Sebagai salah satu paru-paru dunia, Indonesia diperkirakan menyumbang 75-80% kredit karbon dunia. Sehingga, perdagangan karbon ini dapat memberikan kontribusi hingga lebih dari USD150 miliar bagi perekonomian Indonesia.

Cara Kerja Perdagangan Karbon

Secara garis besar, emisi karbon saat ini diperdagangkan secara sukarela (voluntary carbon market) dan wajib (mandatory carbon market). Jika dilihat dari mekanisme perdagangannya, pasar karbon dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:

Skema Perdagangan Emisi (Emissions Trading Scheme/ETS)

Dikenal juga dengan sistem cap-and-trade. Skema ini umumnya diterapkan pada pasar karbon yang bersifat wajib karena emisi karbon yang diperdagangkan dibatasi jumlahnya oleh pemerintah. Dalam skema ini, emisi yang diperdagangkan adalah untuk emisi yang akan dihasilkan di masa yang akan datang. Peserta dalam mekanisme pasar ini terdiri dari organisasi, perusahaan, dan bahkan negara. 

Kewajiban pengurangan atau pembatasan emisi diterapkan dalam bentuk pengalokasian kuota (allowance) di awal periode. Peserta yang terkena pembatasan emisi wajib melaporkan emisi yang dihasilkan secara berkala (umumnya tahunan) kepada lembaga yang ditunjuk. 

Pada akhir periode peserta yang melewati batas dapat membeli tambahan allowance dari peserta yang memiliki kuota yang tidak terpakai (emisi yang dihasilkan lebih rendah dari batasan yang ditetapkan), dan sebaliknya. 

Skema Perdagangan Kredit Karbon

Dikenal juga dengan sistem baseline-and-crediting atau carbon offset. Skema ini tidak membutuhkan kuota (allowances) di awal periode, karena yang dijadikan sebagai komoditi (disebut sebagai kredit karbon) adalah hasil sertifikasi penurunan emisi karbon akibat pelaksanaan atas proyek yang mereduksi emisi karbon. Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton CO2. 

Pada skema kredit karbon, nilai kredit didapatkan di akhir suatu periode (ex-post) yang dapat dijual dan digunakan oleh peserta untuk memenuhi target penurunan emisi atau menjadikan posisi peserta menjadi carbon neutral atau zero emission.

Sedangkan untuk skema ETS, nilai kredit sudah ditentukan di awal (ex-ante), sehingga kredit baru dapat diperjualbelikan tergantung pada aktivitas usaha yang dilakukan oleh penghasil emisi.

“Pemanasan global dan perubahan iklim yang terus menjadi sorotan dunia, menunjukkan bahwa isu ini sudah seharusnya menjadi bagian dari agenda keberlanjutan seluruh pihak. Sejak awal berdiri, ICDX berkomitmen untuk memajukan Indonesia khususnya pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Salah satu komitmen tersebut adalah melalui partisipasi ICDX sebagai bursa komoditi dalam mewujudkan pasar perdagangan karbon yang adil dan transparan. Kredit karbon sendiri secara internasional diakui sebagai komoditas,” ujar CEO ICDX, Lamon Rutten dalam webinar Katadata SAFE 2021 yang diselenggarakan secara virtual (23/8).