Bagaimana konsep keadilan sosial dapat diterapkan dilingkungan tempat tinggal anda

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.11, November 2017

Keadilan di Tempat Kerja

Mellia Ikkiu & Clara Moningka

Fakultas Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

Konsep Keadilan

Konsep keadilan kerapkali dipertanyakan. Pada dasarnya, keadilan adalah suatu kondisi tidak berat sebelah atau pun seimbang, yang sepatutnya tidak diputuskan dengan cara yang sewenang – wenang (Poerwadarminta, 2007). Keadilan selalu menjadi kebutuhan setiap manusia. Seorang anak ingin diperlakukan sama dengan saudara-saudara lainnya oleh orang tuanya. Seperti dalam hal kesempatan pendidikan, berkomunikasi internal keluarga, kesamaan dalam memiliki aset dan lain sebagainya. Pada lingkungan yang lebih luas, rakyat menuntut hak atas pelayanan kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dari pemerintah, dsb. Fenomena lain yang sering muncul adalah bagaimana keadilan dapat diterapkan di tempat kerja.

Faktor Penyebab Ketidakadilan di Lingkungan Kerja

Fenomena mendapatkan keadilan di tempat kerja merupakan hal yang umum di Indonesia. Banyak karyawan dari berbagai tempat kerja melakukan protes terhadap kebijakan perusahaan karena merasa diperlakukan dengan tidak adil. Karyawan bisa diperlakukan tidak adil dalam hal proses rekrutmen dan seleksi, kesempatan belajar, kebijakan kompensasi, dan peluang karir. Di tingkat unit, ketidakadilan yang terjadi dalam bentuk perlakuan antar individu, ketimpangan pengakuan prestasi, diskriminasi penugasan, perbedaan peluang berpendapat, bias dalam solusi konflik antar individu, dsb. Ardiyan (2012) mengemukakan berbagai faktor yang menjadi penyebab ketidakadilan di lingkungan kerja:

  1. Belum adanya budaya atau sistem nilai tentang pentingnya keadilan dalam organisasi secara eksplisit atau mungkin sudah ada namun belum diterapkan secara merata di setiap perusahaan. Kemauan dan dukungan kuat dari manajemen dalam mengembangkan budaya organisasi bisa jadi kurang maksimum.
  2. Kepemimpinan yang lemah baik di tingkat manajemen maupun di tingkat unit kerja. Hal ini ditunjukkan oleh ke tidak tegasan dalam mengambil keputusan, tidak menerima besutan para karyawan, senang dengan pujian dari karyawan, bias dalam mengatasi konflik, dan cenderung otokratis.
  3. Keterbatasan sumber daya atau aset untuk memfasilitasi proses pekerjaan dan tuntutan karyawan. Dengan demikian setiap pengambilan keputusan harus berdasarkan prioritas namun kerap membuat para karyawan diperlakukan tidak adil.
  4. Belum adanya prosedur operasional yang standar termasuk dalam hal pemberian penghargaan dan hukuman karyawan. Keputusan untuk itu lebih berdasarkan pada jastifikasi sang pimpinan yang acap bersifat subyektif.

Dampak Ketidakadilan di Lingkungan Kerja

Ketika membiarkan ketidakadilan, pada dasarnya pemimpin menciptakan lingkungan yang kurang sehat (Evita, 2011). Ketidakadilan ini, dapat menyebabkan motivasi kerja dan kinerja karyawan menjadi menurun. Hal ini tentu saja akan mengganggu aktifitas bisnis dan kinerja perusahaan. Dalam hal ini peran pimpinan perusahaan dapat memegang peran penting. Posisi kepemimpinan perlu diperkuat dalam hal pemahaman sistem nilai organisasi khususnya tentang pentingnya rasa keadilan bagi karyawan (Evita, 2011). Manajemen perusahaan pada dasarnya harus memahami dan menerapkan equity theory; kepuasan seseorang tergantung pada keadilan yang ia rasakan (equity) atau ketidak adilan (unequity) atas suatu situasi yang dialaminya (Aamodt, 2007). Menurut teori ini, seseorang akan membandingkan rasio input- hasil dirinya dengan rasio input-hasil-orang lain sebagai pembanding. Jika perbandingan itu dianggapnya cukup adil, maka ia akan merasa puas. Namun jika perbandingan itu tidak seimbang dan justru merugikan, akan menimbulkan ketidakpuasan dan menjadi motif tindakan bagi seseorang untuk menegakkan keadilan (Aamodt, 2007).

Ketidakadilan dapat mengacu pada tindakan diskriminasi (Lapian, 2012). Diskriminasi menurut (Fulthoni, 2009) merupakan perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kebangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokratis (Fulthoni, et.al, 2009). Secara teoritis, diskriminasi dapat dilakukan melalui kebijakan untuk mengurangi, memusnahkan, menaklukkan, memindahkan, melindungi secara legal, menciptakan pluralisme budaya dan mengasimilasi kelompok lain. (Fulthoni, et al, 2009) memaparkan jenis-jenis diskriminasi yang sering terjadi, yaitu :

  1. Diskriminasi berdasarkan suku / etnis, ras, dan agama / keyakinan
  2. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender (peran sosial karena jenis kelamin)
  3. Diskriminasi terhadap penyandang cacat
  4. Diskriminasi terhadap penderita HIV / AIDS
  5. Diskriminasi karena kasta sosial.

Ciptakanlah Ruang yang Adil di Lingkungan Kerja

Pada dasarnya, diskriminasi dan keadilan yang dirasakan dapat dihadapi dengan menunjukkan prestasi dalam tim kerja, namun ada kalanya individu menyerah dan kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Walaupun sudah ada UU ketenagakerjaan ataupun serikat buruh atau pekerja, ketidakadilan tetap akan kita jumpai, namun perlu kita ingat bahwa pada dengan menciptakan lingkungan yang dipersepsi adil dan nyaman akan meningkatkan kinerja karyawan bersangkutan. Keadilan juga memberikan kesempatan pada orang lain untuk menggunakan potensinya dan bertumbuh menjadi individu yang merasa dirinya berharga. Keadilan memang bersifat subjektif, namun kita dapat menciptakan ruang yang adil dengan berperilaku pantas dan sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan, menggunakan ukuran kompetensi dan memberikan kesempatan yang sama.

Referensi:

Aamodt, G. M. 2007. Industrial/Organizational Psychology. 6th edition

Ardiyan. 2012. Wanita Pekerja, antara Diskriminasi dalam Lingkungan Kerja dan Tanggung Jawab terhadap Rumah Tangga. Ilmiah 12, 2.

Evita. 2011. Ide-ide Feminis Sebagai Resistensi Terhadap Ketidakadilan Gender dalam Film 미인도 (The Portrait of Beauty): Kajian Kritik Sastra Feminis. Skripsi. Yogyakarta:                     Universitas Gadjah Mada.

Fulthoni, dkk. 2009. Memahami Diskriminasi: Buku Saku Kebebasan Beragama.Jakarta: ILRC.

Lapian, Gandhi. 2012. Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Poerwadarminta, W.J.S. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.Jakarta: Balai Pustaka.

Bagaimana konsep keadilan sosial dapat diterapkan dilingkungan tempat tinggal anda


Page 2

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.10, September 2017

Belajar Islam di Media Sosial

Nuri Sadida

Fakultas Psikologi, Universitas Yarsi

Media sosial hari ini dianggap dapat memenuhi banyak kebutuhan masyarakat. Mulai dari kebutuhan mencari informasi, berkomunikasi, berinteraksi, pengungkapan diri (self disclosure), bahkan hingga kebutuhan beragama. Aktivitas di media sosial yang memenuhi kebutuhan beragama seseorang adalah menelusuri (browsing) materi agama, berdiskusi tentang agama, dan juga self-disclosure seputar agama yang dituangkan dalam status tulisan, gambar, atau pun video.

Materi Agama dalam Media Sosial

Lalu lintas materi agama di lini masa media sosial masyarakat Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan isu-isu sosial-politik yang marak sejak 2014 di Indonesia yang berkaitan dengan Agama. Materi Agama yang dimaksud adalah Agama Islam dikarenakan penduduk Indonesia di dominasi pemeluk Agama Islam.Beberapa isu seputar pencalonan pemimpin kepala Negara hingga kepala Daerah tidak lepas dari pembahasan tuntunan Islam di dalamnya.Maraknya bahasan Islam ini di kemudian hari mendorong kesadaran masyarakat, baik masyarakat umum hingga pemuka agama Islam, untuk mengkaji agama Islam lebih jauh dalam forum nyata maupun forum maya di media sosial.

Dampak Positif dan Negatif Materi Agama di Media Sosial

Pada survey tidak terstruktur yang penulis lakukan di media sosial Facebook, beberapa pengguna media sosial merasa dengan maraknya materi Islam yang mereka baca di lini masa media sosial, membuat mereka semakin tertarik mempelajari Islam, merasa memiliki pemahaman yang semakin baik tentang Islam, dan merasa perilaku sehari-hari mereka menjadi lebih sesuai dengan tuntunan Islam.Materi-materi Islam di media sosial juga dianggap membantu bagi mereka yang merasa memiliki keterbatasan waktu untuk hadir di forum kajian.Tentu hal ini menjadi hal yang positif dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Namun di sisi lain, muncul juga kekhawatiran sebagian masyarakat lain akan tumbuhnya ekstrimisme agama yang terkait dengan meningkatnya terror atas nama Agama di Indonesia, maraknya ujaran kebencian, hingga berita bohong di media sosial. Kekhawatiran tersebut juga menjadi perhatian pemerintah yang kemudian berujung pada keluarnya aturan tentang ujaran kebencian, hingga yang terbaru muncul wacana pengawasan aktivitas beragama di sekolah dan ormas-ormas Islam.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah materi-materi Agama Islam yang masyarakat pelajari di media sosial lebih banyak berdampak positif atau negatif? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mempelajari dahulu dampak dari penggunaan media sosial terhadap perilaku sehari-hari. Menurut Lin &Utz (2005) dalam studinya tentang pengaruh penggunaan media sosial Facebook pada emosi, pada dasarnya pengguna Facebook lebih merasakan emosi positif ketika berselancar di Facebook, terutama ketika pengguna membaca status terbaru yang bersifat positif. Hanya saja, menurut studi yang sama, apabila seseorang terlalu intens menelusuri Facebook, dampaknya justru akan menyebabkan seseorang menjadi lebih mudah sedih dan depresi. Pusat riset PEW Global pada tahun 2015 jugamenyatakan bahwa masyarakat di Negara berkembang merasakan bahwa pengaruh penggunaan Internet lebih membawa dampak positif pada pengetahuan, namun membawa dampak negatif terhadap pembentukan moral.

Perlunya Sikap Bijaksana dalam Membaca Materi di Media Sosial

Beberapa studi tersebut membuat kita menyimpulkan bahwa timbulnya dampak positif atau negatif pada diri kita setelah mempelajari materi-materi di media sosial, dalam hal ini salah satunya materi Agama Islam, bergantung pada situasi dan kebiasaan seseorang dalam menggunakan media sosial. Pengaruh positif mempelajari  Islam timbul ketika seseorang berinteraksi dengan materi positif oleh lingkaran dekatnya di media sosial, khususnya ketika lingkaran dekatnya di media sosial bersifat homogeny dan religius (Bobkowski& Pearce, 2011). Akan tetapi dampak negatif dapat timbul ketika pengguna media sosial terpapar oleh materi negatif dari jejaring sosial yang tidak dekat, khususnya ketika terpapar dalam waktu yang intensif (Lin &Utz, 2005).

Agar pengguna media sosial dapat lebih meningkatkan manfaat mempelajari Islam, ada baiknya pengguna memahami kebiasaan para ilmuwan Muslim dalam mempelajari dan memahami ilmu baru. Menurut Azhari (2017) selaku ilmuwan sejarah Islam yang mengutip dari kitab Al Majruhin karya Ibnu Hibban, ulama besar seperti Yahya bin Ma'inberkata "Kalau kami belum menulis Hadits dari 30 jalur, maka kami belum memahaminya". Masih menurut Azhari (2017), dari Kitab Fathul Mughits karya As Sakhowi, ulama Abu Hatim ArRazi berkata “Kalau kami belum menulis Hadits dari 60 jalur riwayat, maka kami belum memahaminya”. Hal ini mencerminkan pentingnya kehati-hatian dalam mempelajari Islam. Kehati-hatian dalam menyerap ilmu pada akhirnya akan bermanfaat menekan kebiasaan negatif yang berkembang seperti maraknya ujaran kebencian atau berita-berita bohong.

Dengan demikian walaupun media sosial hari ini dipandang sebagai salah satu media yang efektif untuk mempelajari Islam, namun media sosial tidak dapat dijadikan sebagai media yang utama untuk memenuhi seluruh aspek kebutuhan beragama seseorang. Agar pengguna media sosial mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh, lebih utama masyarakat mempelajari Islam secara langsung pada pemuka agama, mengikuti kelas-kelas formal, dan literature teks dari ulama terpercaya.

Referensi :

Ashari, B. (2017). Beginilah Kami Diajarkan Dalam Ilmu Hadits (1). Diakses 11 Juli 2017

dari fan page facebook Budi Ashari.

Bobkowski, P. S. & Pearce, L. D. (2011).Baring Their Souls in Online Profiles or

Not? Religious Self-Disclosure in Sosial Media. Journal for the Scientific Study of Religion. Vol. 50, No. 4, pp. 744-762.

Lin, R. &Utz, S. (2015). The emotional responses of browsing Facebook: Happiness,

envy, and the role of tie strength. Journal Computers in Human Behavior 52 (2015) 29–38.

PEW Global (2015).Influence of Internet in Emerging and Developing Nations.Diakses

Dari http://www.pewglobal.org/2015/03/19/3-influence-of-internet-in-emerging-and-developing-nations/


Page 3

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.10, Oktober 2017

Pentingnya K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) Dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja 

Selviana

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI

Pendahuluan

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi produktivitas karyawan. Resiko kecelakaan serta penyakit akibat kerja sering terjadi karena program K3 tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat berdampak pada tingkat produktivitas karyawan. Pada umumnya kecelakaan kerja disebabkan oleh dua faktor yaitu manusia dan lingkungan. Faktor manusia yaitu tindakan tidak aman dari manusia seperti sengaja melanggar peraturan keselamatan kerja yang diwajibkan atau kurang terampilnya pekerja itu sendiri. Sedangkan faktor lingkungan yaitu keadaan tidak aman dari lingkungan kerja yang menyangkut antara lain peralatan atau mesin­mesin.

Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang benar­benar menjaga keselamatan dan kesehatan karyawannya dengan membuat aturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang dilaksanakan oleh seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan. Perlindungan tenaga kerja dari bahaya dan penyakit akibat kerja atau akibat dari lingkungan kerja sangat dibutuhkan oleh karyawan agar karyawan merasa aman dan nyaman dalam menyelesaikan pekerjaannya. Tenaga kerja yang sehat akan bekerja produktif, sehingga diharapkan produktivitas kerja karyawan meningkat. Memperhatikan hal tersebut, maka program K3 dan produktivitas kerja karyawan menjadi penting untuk dikaji, dalam tujuannya mencapai visi dan misi perusahaan. Ravianto (1990) menyatakan bahwa produktivitas sebagai efisiensi dari pengembangan sumber daya untuk menghasilkan keluaran. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa produktivitas merupakan rasio yang berhubungan dengan keluaran (output) terhadap satu atau lebih dari keluaran tersebut. Lebih spesifik, produktivitas adalah volume barang dan jasa yang sebenarnya digunakan secara fisik pula.

Keselamatan kerja menunjukkan pada kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan atau kerugian di tempat kerja (Mangkunegara, 2000). Sedangkan menurut Suma’mur (1996) keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, alat kerja, proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungan serta cara­cara melakukan pekerjaan. Dalam hal ini, keselamatan kerja menyangkut peralatan yang dipakai oleh karyawan dalam bekerja, guna melindunginya dari resiko-resiko tertentu agar terhindar dari kecelakaan kerja.

Menurut Mangkunegara (2000) Program kesehatan kerja menunjukkan pada kondisi yang bebas dari gangguan fisik, mental, emosi atau rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan. Resiko kesehatan merupakan faktor­faktor dalam lingkungan kerja yang bekerja melebihi periode waktu yang ditentukan. Lebih lanjut, Suma’mur (1996) menerangkan bahwa kesehatan kerja bertujuan guna mewujudkan tenaga kerja sehat, produktif dalam bekerja, berada dalam keseimbangan yang mantap antara kapasitas kerja, beban kerja dan keadaan lingkungan kerja, serta terlindungi dari penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan kajian yang penting agar dapat meningkatkan produktifias kerja karyawan. Bila perusahaan secara khusus memperhatikan K3 maka, karyawan dapat bekerja dengan aman, tentram dan produktif dalam bekerja.

Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Tujuan Penerapan K3 pada dasarnya adalah untuk mencari dan mengungkapkan kelemahan yang memungkinkan terjadinya kecelakaan. Fungsi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkapkan sebab-akibat suatu kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian secara cermat dilakukan atau tidak.  

Menurut Mangkunegara (2000), tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut: 

a.    Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.

b.    Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin.

c.    Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.

d.    Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.

e.    Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.

f.     Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja.

g.    Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja. 

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam meningkatkan Produktivitas Kerja

Suatu perusahaan dituntut untuk mampu meningkatkan produktivitas sumber daya manusia yang ada. Produktivitas sumber daya manusia ditentukan oleh sejauh mana sistem yang ada di perusahaan mampu menunjang dan memuaskan keinginan seluruh pihak. Apabila suatu perusahaan peduli dengan keberadaan dan kesejahteraan karyawan, maka karyawan akan meningkatkan produktivitas kerjanya terhadap perusahaan. Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas karyawan adalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Menurut Hariandja (2007), K3 merupakan aspek yang penting dalam usaha meningkatkan kesejahteraan serta produktivitas karyawan. Apabila tingkat keselamatan kerja tinggi, maka kecelakaan yang menyebabkan sakit, cacat, dan kematian dapat ditekan sekecil mungkin. Apabila keselamatan kerja rendah, maka hal tersebut akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan sehingga berakibat pada produktivitas yang menurun. Penelitian Busyairini, Tosungku dan Oktaviani (2014) membuktikan bahwa terdapat pengaruh positif keselamatan dan kesehatan kerja terhadap produktivita kerja karyawan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin lengkapnya fasilitas dan perhatian yang serius akan keselamatan dan kesehatan kerja, maka akan semakin mempengaruhi produktivitas kerja karyawan.  Penelitian lain juga diperkuat oleh Moniaga, Sompie dan Timboeleng (2012) mengenai analisis faktor yang mempengaruhi produktivitas dari tinjauan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di perusahaan kontraktor.

Hasil penelitiannya menunjukkan hubungan faktor variabel keselamatan kerja berpengaruh langsung dan kesehatan kerja tidak berpengaruh langsung terhadap produktivitas kerja. Hubungan lingkungan kerja dari segi fisik berpengaruh langsung terhadap kesehatan kerja, namun tidak berpengaruh pada keselamatan kerja, dan berpengaruh tidak langsung terhadap produktivitas melalui keselamatan  kerja. Hubungan lingkungan kerja dari segi psikologi dan sosial, berpengaruh langsung terhadap keselamatan kerja, namun tidak berpengaruh terhadap kesehatan kerja, dan tidak berpengaruh langsung terhadap produktivitas melalui kesehatan kerja.  

Penelitian Ukishia, Astuti dan Hidayat (2013) menunjukkan hasil pengujian hipotesis bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan antara keselamatan kerja terhadap produktivitas karyawan. Penelitian oleh Kaligis et al. (2013) menunjukkan hasil yang serupa bahwa secara parsial tidak terdapat pengaruh signifikan antara keselamatan kerja terhadap produktivitas. Berdasarkan hasil kuisioner dan pengamatan di perusahaan, 8.33% karyawan bagian instalasi mengungkapkan bahwa keselamatan kerja berpengaruh signifikan terhadap produktivitas mereka. Keselamatan kerja membuat beberapa karyawan dapat bekerja lebih cepat dan tepat waktu. Kesadaran karyawan tersebut terhadap keselamatan kerja ditunjukkan dengan penggunaan alat pelindung diri saat bekerja. Sebanyak 41.67% karyawan menyatakan hal yang berbeda bahwa keselamatan kerja tidak berpengaruh terhadap produktivitas. Beberapa karyawan baru juga terlihat jarang menggunakan alat pelindung diri saat bekerja karena karyawan merasa tidak nyaman/terganggu ketika bekerja dengan menggunakan alat pelindung diri. Selajutnya, penelitian yang dilakukan oleh Taiwo (2009) mengenai pengaruh lingkungan kerja terhadap produktivitas karyawan memberikan hasil bahwa lingkungan kerja yang kondusif dapat merangsang kreativitas dan meningkatkan produktivitas karyawan.

Mengacu pada pendapat dan hasil-hasil penelitian di atas, dapat menguatkan kesimpulan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan salah satu faktor kunci yang dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan.

Referensi:

Busyairi1, Tosungku, L., & Oktaviani, Ayu. (2014). Pengaruh keselamatan kerja dan kesehatan kerja terhadap produktivitas kerja. Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol. 13, 112-124.

Hariandja. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia. PT Grasindo: Jakarta.

Kaligis R. S. V., Sompie, B. F., Tjakra, J., & Walangitan, D. R. O. (2013). Pengaruh implementasi program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) terhadap Produktivitas Kerja. Jurnal Sipil Statik Vol 1, 219-225.

Mangkunegara, P. (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Cetakan Keenam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moniaga, Fenny., Sompie, Bonny., & Timboeleng, James. (2012). Analisis faktor yang mempengaruhi produktivitas dari tinjauan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di perusahaan kontraktor. Jurnal Ilmiah Media Engineering, Vol. 2, 143-152.  

Ravianto, J. (1990). Produktivitas dan Pengukuran. Jakarta: Lembaga Sarana Informasi.

Suma’mur. (1996). Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. 

Taiwo, A. S. (2009). The Influence of Work Environment on Workers Productivity (A Case of Selected Oil and Gas Industry in Lagos, Nigeria). African Journal of Business Management Vol 4, 299-307.

Ukhisia, Bella., Astuti, Retno., & Hidayat, Arif. (2013). Analisis pengaruh keselamatan dan kesehatan kerja terhadap produktivitas karyawan dengan metode partial least squares. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 14, 95-104.