Bagaimana hukumnya bermakmum pada imam yang bacaan Al-Fatihah dan surah nya kurang fasih?

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya bermakmum kepada imam yang rusak bacaannya? Apakah perlu mufaraqah? Lalu cara mufaraqah dalam shalat bagaimana?

Jawaban:

Shalat berjamaah merupakan anjuran yang sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW. Dalam mazhab Syafi'i dinyatakan sebagai sunah muakkadah. Dalam shalat jamaah meniscayakan adanya imam dan makmum serta ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan oleh imam dan makmum.

Diantara ketentuan tersebut adalah tidak sah shalatnya makmum yang baik bacaan Fatihah-nya (qari) mengikuti (bermakmum) dengan orang yang bacaan Fatihah-nya cacat.

Dengan demikian, ketika si makmum mengetahui bahwa bacaan Fatihah imam cacat, maka ia harus mufaraqah (niat keluar dari jamaah dan tidak mengikuti shalat imam lagi).

Hal ini banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fikih mazhab Syafi'i seperti Fathul Qarib, Fathul Mu'in, Asnal Mathalib dan lain-lain.  

Dalam Asnal-Mathalib disebutkan, “Dan tidak (sah) bermakmum dengan orang yang tidak dapat membaca surah al-Fatihah sesuai dengan makhraj atau tasydidnya karena mengendornya lidahnya, meskipun dalam shalat yang imam tidak dianjurkan mengeraskan suara karena sesungguhnya imam menjadi penanggung jawab Fatihah makmum, sementara orang ini (yang tidak mampu membaca Fatihah dengan baik) tidak layak untuk itu.”

Cara mufaraqah yang baik dan tidak membuat gejolak dalam shalat jamaah menurut hemat kami adalah dengan tetap  menjaga dan mengatur ritme shalat seperti ritme imamnya, agar nantinya gerak gerik dan bacaan tetap bersamaan dengan imam sampai selesai shalat.

Namun, yang perlu diperhatikan disini adalah jangan sampai ada jeda waktu kosong makmum yang mufaraqah dari aktivitas-aktivitas yang ditentukan dalam shalat biar tidak ada kesan menunggu imam (intidzar).

Jawaban ini mudah-mudahan bermanfaat bagi kita, sehingga dapat melaksanakan shalat jamaah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Amin. Wallahua’lam.

sumber : Bahtsul Masail NU/NU.or.id

MADANINEWS.ID, JAKARTA – Menurut Imam Syafi’i, al-Fatihah merupakan syarat sah salat. Ketika seseorang meninggalkannya sedang ia mampu membacanya, maka shalatnya tidak sah.

Beliau berpegang pada hadis riwayat Ubadah bin Shamit bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidak sah shalat seorang yang tidak membaca surat al-Fatihah.” Shahih Bukhari, Hadis nomor 714.

Dan hadis riwayat Abu Hurairah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barang siapa yang salat lalu tidak membaca Ummul Qur’an, maka shalatnya kurang -Nabi mengulanginya tiga kali-.” Shahih Muslim, Hadis nomor 598.

Kedua hadis tersebut sepakat bahwa membaca al-Fatihah dalam shalat adalah wajib. Mayoritas ulama pun berpendapat demikian.

Batalkah salat jika membaca Al-Fatihah tanpa tajwid?

Surat al-Fatihah perlu dibaca dengan tajwid dan makhorijul huruf yang benar. Syeikh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan bahwa orang yang mampu membaca al-Fatihah dengan benar, sesuai dengan kaidah tajwid dan makhorijul hurufnya, akan tetapi ia dengan sengaja mengganti satu huruf dengan huruf lainya, maka tidaklah sah salatnya.

Kesalahan bacaan al-Quran dibagi menjadi dua; Pertama, lahn al-khafiy yaitu kesalahan yang samar atau tersembunyi seperti keliru panjang pendeknya, maka hal tersebut tidak merusak salat. Kedua, lahn al-jaliy yaitu kesalahan yang jelas seperti kesalahan bacaan yang merubah maknanya hingga merusak salatnya.

Lain hal nya jika seseorang tidak mampu membaca al-Fatihah dengan baik, atau belum memiliki kesempatan untuk belajar, ataupun sudah belajar namun belum mampu melafalkannya dengan baik maka salatnya tetap sah. Keabsahan ini merupakan keringanan dalam ibadah karena ia telah berusaha namun ada hambatan yang menghalanginya.

Wajibkah kita memperbaiki bacaan al-Fatihah salat kita?

Sah tidaknya salat pun bergantung pada ada tidaknya al-Fatihah dalam salat kita. Jika kita tahu ilmu tajwidnya namun tak berusaha untuk memperbaiki bacaan kita, bisa jadi salat kita tidak sah.

Oleh karenanya, barang siapa yang merasa bacaan al-Fatihahnya belum cukup baik, hendaknya ikut salat berjamaah untuk menghindari salah bacaan yang kita perbuat. Mendengarkan bacaan imam juga melatih kita untuk memperoleh bacaan yang lebih baik.

Bagaimana jika kita makmum pada imam yang bacaannya belum fasih?

Dari Ibnu Mas’ud, berkata bahwasannya Rasulullah SAW bersabda “yang paling berhak menjadi imam suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca Al Quran. Jika mereka setara dalam bacaan Al Quran yang menjadi imam adalah yang paling mengerti tentang sunnah Nabi. Apabila mereka setingkat tentang pengetahuan mengenai sunnah Nabi maka yang paling pertama melakukan hijrah. Jika mereka sama dalam amalan hijrah yang lebih dulu masuk Islam”

Hadis di atas menyatakan bahwa kita harus selektif dalam memilih imam dan yang baik bacaannya adalah yang paling ideal untuk menjadi imam. Namun dewasa ini, kita sering menemukan imam yang menurut kita kurang baik bacaan al-Fatihah-nya. Lalu bagaimana hukumnya dan cara kita menyikapi kasus ini?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa salat dengan bermakmum pada imam yang ummi atau tidak fasih bacaannya, yang mana kesalahan bacaan itu merubah makna ayat, maka salat menjadi tidak sah.

Namun, apabila kualitas bacaan makmum setara atau lebih buruk daripada imam, maka salatnya sah. Sedangkan jika kualitas bacaan makmum lebih fasih daripada imam, maka salatnya tidak sah. Lain hal nya jika al-Fatihah imam fasih, namun bacaan surat lainnya fasih, ini diperbolehkan.

Saat makmum menemukan imam ummi dan ia yakin bahwa imam melakukan kesalahan, maka makmum harus niat mufaraqah atau keluar dari jamaah dan tidak bermakmum pada imam tersebut. Begitulah yang telah ditetapkan Imam Syafi’i. Kalaupun nantinya makmum berniat yang untuk mengoreksi bacaan imam, hendaknya ia menyampaikannya dengan cara yang santun tanpa menyakiti perasaan imam.

Sebagai Muslim, hendaknya kita selalu berusaha memperbaiki bacaan al-Quran kita terutama bacaan al-Fatihah, baik yang belum fasih maupun yang belum fasih agar kita terhindar dari cacatnya salat.

Bagaimana hukumnya bermakmum pada imam yang bacaan Al-Fatihah dan surah nya kurang fasih?


HUKUM BERMAKMUM PADA IMAM YANG TIDAK FASIH

Seperti kita tahu, dalam shalat jamaah terdapat nilai ibadah 27 kali lipat daripada shalat sendiri. Shalat jamaah merupakan salah satu ibadah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah. Dalam shalat jamaah tentunya ada yang menjadi imam dan ada yang menjadi makmum, karena itu terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh imam maupun makmum.

Salah satu ketentuan dalam shalat jamaah adalah seorang imam harus memiliki kemampuan bacaan al-Qur’an yang sesuai dengan qaidah tajwid (qâri’). Namun demikian, sering kita alami di beberapa tempat, orang yang dijadikan sebagai imam belum memiliki kemampuan baca al-Qur’an dengan baik. Yang demikian ini tentu menyisakan tanya dalam benak kita yang mengalaminya. Sahkah shalat kita ketika bermakmum dengan imam yang bacaannya tidak fasih?

Dalam ketentuan Fikih, seorang yang bagus bacaan al-Qur’annya terutama dalam bacaan surat al-Fatihah (qâri’) tidak boleh bermakmum dengan imam yang cacat bacaannya (ummi). Yang dimaksud dengan ummi atau orang yang cacat bacaannya adalah orang yang tidak tepat dalam pengucapan huruf atau orang yang menambah tasydid dalam bacaannya. Dalam kasus seorang qâri’ yang bermakmum kepada imam yang cacat bacaannya ulama memberikan rincian hukum yang berbeda-beda sesuai dengan kondisinya.

Secara umum orang yang cacat bacaannya bisa disebabkan karena dua hal; karena tidak mempelajari cara membaca al-Qur’an atau karena bawaan sejak lahir (cadel). Dua kondisi tersebut memberikan konsekwensi hukum yang berbeda.

Orang yang tidak mempelajari al-Qur’an ada dua, ada yang memang sengaja tidak belajar padahal memiliki kesempatan dan ada yang tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk belajar. Orang yang tidak bisa baca al-Qur’an karena tidak mau belajar padahal memiliki kesempatan ia dianggap sembrono dan semua ulama sepakat tidak sah menjadi imam. Untuk orang tersebut tidak ada perbedaan pendapat sama sekali. Imam Nawawi dalam Raudhatut-Thâlibîn (Juz 1, hlm; 349) menjelaskan bahwa orang tersebut wajib belajar dan jika waktu untuk shalat sudah sempit maka ia wajib melaksanakan shalat namun shalat tersebut wajib ia qadha’i ketika sudah bisa baca dengan baik.

Lantas siapa yang dimaksud dengan orang yang tidak memiliki kesempatan untuk belajar? Menurut para ulama orang tersebut hanya ada dua, yaitu orang yang baru masuk Islam dan orang yang hidup jauh dari para ulama atau orang yang bisa mengajarinya membaca al-Qur’an. Selain dua orang tersebut maka termasuk pada kategori orang yang memiliki kesempatan untuk belajar. Saat ini kategori kedua mungkin sulit kita temukan karena mudahnya akses informasi dan transportasi untuk pergi ke tempat orang-orang yang bisa mengajarkan membaca al-Qur’an.

Mengenai orang yang cacat bacaannya karena tidak ada kesempatan untuk belajar ulama memberikan rincian hukum yang berbeda-beda. Imam an-Nawawi dalam kitab Raudhatut-Thâlibîn (Juz 1, hlm; 349) menuturkan ada 3 perbedaan ulama. Pertama, dalam qaul jadid orang tersebut mutlak tidak sah dijadikan sebagai imam. Kedua, menurut qaul qadim ia sah jadi imam dalam shalat sirriah (shalat yang sunat menyemarkan bacaan), tidak dalam shalat jahriah (shalat yang sunat mengeraskan bacaan). Pendapat ketiga mengatakan ia sah jadi imam secara mutlak. Namun pendapat yang ketiga ini diingkari oleh beberapa ulama. Adapun pendapat yang kuat menurut imam al-Ghazali adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa orang tersebut tidak sah menjadi imam. Munurut Imam Abu Hamid perbedaan pendapat tersebut tidak membedakan antara tahu atau tidaknya makmum bahwa imamnya bacaannya cacat.

Lantas bagaimana hukumnya ketika antara imam dan makmum sama-sama cacat bacaannya? Dalam kondisi ini jika cacat bacaannya pada kategori huruf yang sama maka masing-masing sah menjadi imam bagi satunya. Jika cacat bacaannya berbeda maka masing-masing tidak boleh menjadi imam bagi yang lain. Semua rincian khilafiah di atas juga berlaku kepada orang yang cacat bacaannya dikarenakan cedal.

Rincian ketentuan di atas adalah pada orang yang cacat bacaannya dalam membaca surat al-Fatihah. Apabila ia bagus dalam membaca surat al-Fatihah akan tetapi cacat dalam membaca surat lain maka ulama sepakat sah dijadikan sebagai imam dan ia tidak boleh membaca surat lain yang ia cacat dalam membacanya. (Dikutip dari FB Pondok Pesantren Sidogiri)
Berkenaan tentang shalat berjamaah ini, Buya Yahya memberikan jawaban yang lebih moderat.

Syarat menjadi imam adalah pertama: asalkan shalatnya sendiri sudah sah menurut dirinya sendiri dan kedua ; sah menurut makmum, maka dia bisa jadi imam untuk orang lain.

Adapun jika shalatnya sah menurut Imam dan tidak sah menurut makmum, maka dalam Mazhab Syafi’i ada dua pendapat yang keduanya bisa diambil:

Pendapat pertama: (Al’ibrah bi’tiqadil makmum), maksudnya jika shalat imam menurut makmum tidak sah seperti jika bacaan imam tidak fasih atau imam tidak membaca bismillah dalam fatihah, maka bagi makmum yang fasih atau biasa dengan bismillah tidak sah shalatnya jika bermakmum dengan imam tersebut.

Pendapatkedua: (Al’ibrahbi’tiqadilimam), maksudnya jika imam sudah sah menurut imam, maka siapapun boleh bermakmum dengannya, maka shalat makmum tetap sah biarpun dia biasa membaca bismillah dan imamnya ternyata tidak membacanya. Pendapat yang kedua inilah yang lebih layak dihadirkan saat ini untuk meredam perdebatan.

Ada beberapa tatakrama jadi imam yang harus diperhatikan diantaranya adalah tahu diri. Jika bacaan Anda tidak bagus sementara ada orang yang lebih bagus atau anda ikut pendapat Imam Malik yang mengatakan bismillah tidak wajib dibaca sementara makmum ikut pendapat yang mewajibkan bismillah, maka janganlah Anda memaksakan diri jadi imam, sebab hal itu hanya membuat gundah para makmum yang kebanyakan orang awam. Sebaliknya jika anda menemukan imam yang tidak bijak, maka anda jangan ikut- ikut tidak bijak, ambillah pendapat kedua dan sahlah shalat anda. Anak muda boleh jadi imamnya orang yang sudah tua, asalkan jangan wanita jadi imamnya orang laki-laki.