Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Dokuritsu Junbi Chōsakai jp:独立準備調査会) yaitu sebuah badan yang diwujudkan oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini diwujudkan sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang hendak membantu babak kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.

Di luar anggota BPUPKI, diwujudkan sebuah Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (orang Jepang). Tugas dari BPUPKI sendiri yaitu mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek poplitik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang menghentikan BPUPKI dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai, dengan anggota berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan agen dari berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda[1], terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Aibku, 1 orang asal etnis Tionghoa.

Awal persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI

Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik semakin jelas, Perdana Menteri Jepang, Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia hendak diberi keleluasaan dari penjajahan kelak, sesudah tercapai kemenangan kesudahan dalam perang Asia Timur Raya. Dengan cara itu, Jepang rindu tentara Sekutu hendak disambut oleh rakyat Indonesia sebagai penyerbu negara mereka, sehingga pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan diwujudkannya suatu badan khusus yang bekerja menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang dinamakan "Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI juga untuk menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan hal-hal penting lainnya yang terkait dengan masalah tata pemerintahan guna membangun suatu negara Indonesia merdeka.

BPUPKI resmi diwujudkan pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun kaisar Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, dituding menjadi ketua BPUPKI dengan ditemani oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang). Selain menjadi ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga ditinggikan sebagai kepala kantor tata usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda Toyohiko dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggotakan 67 orang, yang terdiri dari: 60 orang anggota aktif yaitu tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari semua kawasan dan arus, serta 7 orang anggota istimewa yaitu agen pemerintah pendudukan militer Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak berada hak suara (keanggotaan mereka yaitu pasif, yang gunanya mereka hanya hadir dalam sidang BPUPKI sebagai pengamat saja).


Selama BPUPKI berdiri, telah dipersiapkan dua kali masa persidangan resmi BPUPKI, dan juga beradanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia kecil di bawah BPUPKI, yaitu yaitu sebagai berikut :

Sidang resmi pertama

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945

Pada tanggal 28 Mei 1945, dipersiapkan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang pada masa seratus tahun kolonial Belanda gedung tersebut yaitu gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga "Dewan Agen Rakyat Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda), dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang bertempat di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan BPUPKI yang pertama) dipersiapkan selama empat hari dan baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, dan berlanjut sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk membahas wujud negara Indonesia, filsafat negara "Indonesia Merdeka" serta merumuskan dasar negara Indonesia.

Upacara pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI dan juga dua orang pembesar militer jepang, yaitu: Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang menguasai Jawa serta Panglima Tentara Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano. Namun untuk selanjutnya pada masa persidangan resminya itu sendiri, yang berlanjut selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI.

Sebelumnya acara sidang diawali dengan membahas pandangan mengenai wujud negara Indonesia, yakni disepakati berwujud "Negara Kesatuan Republik Indonesia" ("NKRI"), kemudian acara sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus merumuskan dasar negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang hendak menjiwai pokok dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri, sebab Undang-Undang Dasar yaitu adalah konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Guna mendapatkan ruang lingkup dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, maka acara perkara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini yaitu mendengarkan pidato dari tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara Republik Indonesia itu yaitu sebagai berikut :

  1. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan alasan mengenai ruang lingkup lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
  2. Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan alasan mengenai ruang lingkup lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Dasar Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Mufakat dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
  3. Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan alasan mengenai ruang lingkup lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Alasan mengenai ruang lingkup lima sila dasar negara Republik Indonesia yang diberitahukan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila", sedang menurut dia bilamana diperlukan alasan mengenai ruang lingkup Pancasila ini dapat diperas menjadi "Trisila" (Tiga Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme; 2. Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Bahkan sedang menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila mau diperas kembali dinamakannya sebagai "Ekasila" (Satu Sila), yaitu yaitu sila: “Gotong-Royong”, ini yaitu adalah upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa pemikiran alasan mengenai ruang lingkup dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut yaitu berada dalam kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan sebutan detik-detik lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni ditentukan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama, setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode henti atau istirahat) selama satu bulan semakin. Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggotakan 9 orang, yang dinamakan "Panitia Sembilan" dengan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang bekerja untuk mengolah usul dari pemikiran para anggota BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia.

Masa antara sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua

Sampai kesudahan dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, sedang belum ditemukan titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, sehingga dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di atas guna menggodok berbagai masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah diberitahukan oleh para anggota BPUPKI itu. Adapun bangunan keanggotaan dari "Panitia Sembilan" ini yaitu sebagai berikut :

Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit antara 4 orang dari kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak "Islam"), maka pada tanggal 22 Juni 1945 "Panitia Sembilan" kembali berjumpa dan menghasilkan ruang lingkup dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah "Gentlement Agreement". Setelah itu sebagai ketua "Panitia Sembilan", Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang dipimpinnya kepada anggota BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan "Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut, dasar negara Republik Indonesia yaitu sebagai berikut :

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya,
  2. Kemanusiaan yang tidak sewenang-wenang dan belaku sopan,
  3. Persatuan Indonesia,
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan agen,
  5. Keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.

Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPKI yang kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.

Di antara dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlanjut pula persidangan tak resmi yang dihadiri 38 orang anggota BPUPKI. Persidangan tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan (bahasa Belanda: "Preambule") Undang-Undang Dasar 1945", yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua (10 Juli-17 Juli 1945).

Sidang resmi kedua

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945

Masa persidangan BPUPKI yang kedua berlanjut sejak tanggal 10 Juli 1945 sampai tanggal 17 Juli 1945. Acara sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang kedua ini, anggota BPUPKI dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil. Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu antara lain adalah: Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Cairan (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso), dan Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).

Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya yaitu khusus merancang pokok dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang yaitu sebagai berikut :

Pada tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya yaitu khusus merancang pokok dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang tersebut.

Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu :

  • Wilayah negara Indonesia yaitu sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang yaitu wilayah Sabah dan wilayah Serawak di negara Malaysia, serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua, Timor-Portugis (sekarang yaitu wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
  • Wujud negara Indonesia yaitu Negara Kesatuan,
  • Wujud pemerintahan Indonesia yaitu Republik,
  • Bendera nasional Indonesia yaitu Sang Saka Merah Putih,
  • Bahasa nasional Indonesia yaitu Bahasa Indonesia.

Pemikiran proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya hendak disusun dengan mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan pemikiran Undang-Undang Dasar nyaris seluruhnya diambil dari alinea keempat "Piagam Jakarta". Sementara itu, perdebatan terus berlanjut di antara peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan anggaran Islam, Syariat Islam, dalam negara Indonesia baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" pada belakangnya disetujui dengan urutan dan redaksional yang sedikit berlainan.

Persiapan kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945

Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah dapat menempatkan tugasnya dengan tidak sewenang-wenang, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar untuk negara Indonesia Merdeka, dan dialihkan dengan diwujudkannya "Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia" ("PPKI") atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.

Tugas "PPKI" ini yang pertama yaitu meresmikan pembukaan (bahasa Belanda: preambule) serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua yaitu melanjutkan hasil kerja BPUPKI, menyediakan pemindahan kekuasaan dari pihak pemerintah pendudukan militer Jepang kepada bangsa Indonesia, dan menyediakan segala sesuatu yang menyangkut masalah ketatanegaraan untuk negara Indonesia baru.

Anggota "PPKI" sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, sebagai upaya untuk mencerminkan agen dari berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda, terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Aibku, 1 orang asal etnis Tionghoa. "PPKI" ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai wakilnya yaitu Drs. Mohammad Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya dituding Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Kemudian, anggota "PPKI" ditambah lagi sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, Iwa Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.

Secara simbolik "PPKI" dilantik oleh Jendral Terauchi, pada tanggal 9 Agustus 1945, dengan mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat ke "Kota Ho Chi Minh" atau dalam bahasa Vietnam: Thành phố Hồ Chí Minh (dahulu bernama: Saigon), yaitu kota terbesar di negara Vietnam dan terletak tidak jauh delta Sungai Mekong.

Pada saat "PPKI" terbentuk, hasrat rakyat Indonesia untuk merdeka semakin memuncak. Memuncaknya hasrat itu terbukti dengan beradanya tekad yang bulat dari semua golongan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Golongan muda kala itu menghendaki supaya kemerdekaan diproklamasikan tanpa kerjasama dengan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang sama sekali, termasuk proklamasi kemerdekaan dalam sidang "PPKI". Pada saat itu berada anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI" ini yaitu hanya yaitu sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang. Di lain pihak "PPKI" yaitu sebuah badan yang berada waktu itu guna menyediakan hal-hal yang perlu untuk terbentuknya suatu negara Indonesia baru.

Tetapi cepat atau lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah pendudukan militer Jepang yaitu tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari "PPKI". Jendral Terauchi kemudian belakangnya menyampaikan keputusan pemerintah pendudukan militer Jepang bahwa kemerdekaan Indonesia hendak diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada "PPKI". Dalam suasana mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah "PPKI" harus melakukan pekerjaan keras guna meyakinkan dan mewujud-nyatakan hasrat atau cita-cita agung seluruh rakyat Indonesia, yang sangat haus dan rindu hendak sebuah kehidupan kebangsaan yang bebas sama sekali, yang merdeka, bersatu, berdaulat, tidak sewenang-wenang dan makmur.

Sementara itu dalam sidang "PPKI" pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik dari pihak kaum keagamaan yang beragama non-Muslim serta pihak kaum keagamaan yang menganut ajaran kebatinan, yang kemudian disertai oleh pihak kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") guna melunakkan hati pihak tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna dibubarkannya "tujuh kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter".

Setelah itu Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI" dan membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik tersebut. Hasil perubahan yang kemudian disepakati sebagai "pembukaan (bahasa Belanda: "preambule") dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945", yang saat ini biasa disebut dengan hanya UUD '45 adalah :

  • Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, ditukar dengan kata “Pembukaan”.
  • Kedua, anak kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ditukar dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
  • Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, ditukar dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
  • Keempat, terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula berbunyi: “Negara berlandaskan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya” ditukar menjadi berbunyi: “Negara berlandaskan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

"PPKI" sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun kumpulan muda kala itu hanya menganggap "PPKI" sebagai sebuah lembaga hasil pekerjaan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang, namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta perbuatan yang berfaedah badan ini sama sekali tak boleh kita remehkan dan abaikan, lebih-lebih kita lupakan. Anggota "PPKI" telah bekerja yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya, sampai pada belakangnya "PPKI" dapat menaruh dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat untuk negara Indonesia yang saat itu baru saja berdiri.

Rujukan

Catatan kaki

  1. ^

    Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 PPKI berfungsi dan berperan secara ex officio:a. Sebagai representasi agen seluruh rakyat Indonesiab. Sebagai lembaga resmi yang berada kewenangan untuk mengesahkan UUD Negarac. Sebagai lembaga yang dapat menentukan dan mengangkat presiden dan wakil presidend. Sebagai lembaga pendiri negara Republik Indonesiae. Sebagai lembaga tertinggi dalam Negara Republik Indonesia.

    Lihat:

    - Yunarti, Dorothea Rini (2003). BPUPKI, PPKI, proklamasi kemerdekaan RI. University of Michigan Press. ISBN 9797090779, 9789797090777. 
    - Amini, Aisyah (2004). Pasang surut peran DPR-MPR, 1945-2004. University of Michigan Press. ISBN 9799825245, 9789799825247. 

Daftar pustaka
  • Achmad Soebardjo.(1970). Lahirnja Republik Indonesia. Jakarta Times. Jakarta.
  • Genzo Oku. Tranlated.(1973). Achmad Soebardjo. Indonesia No Dokuritsu To Kakumei. Ryukeishosha. Tokyo.

Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ilmuwan.web.id, p2k.andrafarm.com, dsb-nya.


Page 2

Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Dokuritsu Junbi Chōsakai jp:独立準備調査会) yaitu sebuah badan yang diwujudkan oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini diwujudkan sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggota 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.

Di luar babak BPUPKI, diwujudkan sebuah Badan Kelola Usaha (semacam sekretariat) yang beranggota 60 orang. Badan Kelola Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (orang Jepang). Tugas dari BPUPKI sendiri yaitu mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek poplitik, ekonomi, kelola pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai, dengan babak berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari beragam etnis di wilayah Hindia-Belanda[1], terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa.

Awal persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI

Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik semakin jelas, Perdana Menteri Jepang, Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan dilepaskan dari penjajahan kelak, sesudah tercapai kemenangan kesudahan dalam perang Asia Timur Raya. Beracara itu, Jepang berkeinginan tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai penyerbu negara mereka, sehingga pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan diwujudkannya suatu badan khusus yang bertugas menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang dinamakan "Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI juga untuk menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan hal-hal penting selisihnya yang terkait dengan masalah kelola pemerintahan guna membangun suatu negara Indonesia merdeka.

BPUPKI resmi diwujudkan pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun kaisar Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, dituding menjadi ketua BPUPKI dengan ditemani oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang). Selain menjadi ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga diangkatkan sebagai kepala kantor kelola usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda Toyohiko dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggota 67 orang, yang terdiri dari: 60 orang babak aktif yaitu tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari semua kawasan dan arus, serta 7 orang babak istimewa yaitu perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara (keanggotaan mereka yaitu pasif, yang berarti mereka hanya telah tersedia dalam sidang BPUPKI sebagai pengamat saja).


Selama BPUPKI berdiri, telah disediakan dua kali masa persidangan resmi BPUPKI, dan juga demikianlah keadaanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia kecil di bawah BPUPKI, yaitu yaitu sebagai berikut :

Sidang resmi pertama

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945

Pada tanggal 28 Mei 1945, disediakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang pada masa waktu masa seratus tahun kolonial Belanda gedung tersebut yaitu gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga "Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda), dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang bertempat di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan BPUPKI yang pertama) disediakan selama empat hari dan baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, dan berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara "Indonesia Merdeka" serta merumuskan dasar negara Indonesia.

Upacara pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dihadiri oleh seluruh babak BPUPKI dan juga dua orang pembesar militer jepang, yaitu: Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang menguasai Jawa serta Panglima Tentara Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano. Namun untuk selanjutnya pada masa persidangan resminya itu sendiri, yang berlangsung selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh babak BPUPKI.

Sebelumnya pokok isi kerangan sidang diawali dengan membahas pandangan mengenai bentuk negara Indonesia, yakni disepakati berwujud "Negara Kesatuan Republik Indonesia" ("NKRI"), kemudian pokok isi kerangan sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus merumuskan dasar negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang akan menjiwai isi dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri, sebab Undang-Undang Dasar yaitu adalah konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Guna mendapatkan definisi dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, maka pokok isi kerangan perkara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini yaitu mendengarkan pidato dari tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara Republik Indonesia itu yaitu sebagai berikut :

  1. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan gagasan mengenai definisi lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
  2. Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan gagasan mengenai definisi lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Dasar Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Mufakat dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
  3. Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai definisi lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Gagasan mengenai definisi lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dituturkan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila", sedang menurut dia bilamana diperlukan gagasan mengenai definisi Pancasila ini dapat diperas menjadi "Trisila" (Tiga Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme; 2. Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Bahkan sedang menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila akan diperas kembali dinamakannya sebagai "Ekasila" (Satu Sila), yaitu yaitu sila: “Gotong-Royong”, ini yaitu adalah upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa pemikiran gagasan mengenai definisi dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut yaitu telah tersedia dalam kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu dengan selisihnya. Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan sebutan detik-detik lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni diputuskan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama, setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda atau istirahat) selama satu bulan semakin. Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggota 9 orang, yang dinamakan "Panitia Sembilan" dengan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang bertugas untuk mengolah usul dari pemikiran para babak BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia.

Masa sela sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua

Sampai kesudahan dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, sedang belum ditemukan titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, sehingga dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di atas guna menggodok beragam masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dituturkan oleh para babak BPUPKI itu. Adapun susunan keanggotaan dari "Panitia Sembilan" ini yaitu sebagai berikut :

Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit sela 4 orang dari kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak "Islam"), maka pada tanggal 22 Juni 1945 "Panitia Sembilan" kembali berjumpa dan menghasilkan definisi dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah "Gentlement Agreement". Setelah itu sebagai ketua "Panitia Sembilan", Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang dipimpinnya kepada babak BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan "Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut, dasar negara Republik Indonesia yaitu sebagai berikut :

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya,
  2. Kemanusiaan yang tidak sewenang-wenang dan mempunyai budi bahasa yang baik,
  3. Persatuan Indonesia,
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
  5. Keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.

Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPKI yang kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.

Di sela dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung pula persidangan tak resmi yang dihadiri 38 orang babak BPUPKI. Persidangan tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan (bahasa Belanda: "Preambule") Undang-Undang Dasar 1945", yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua (10 Juli-17 Juli 1945).

Sidang resmi kedua

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945

Masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 sampai tanggal 17 Juli 1945. Pokok isi kerangan sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang kedua ini, babak BPUPKI dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil. Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu sela selisih adalah: Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso), dan Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).

Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya yaitu khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggota 7 orang yaitu sebagai berikut :

Pada tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya yaitu khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggota 7 orang tersebut.

Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu :

  • Wilayah negara Indonesia yaitu sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang yaitu wilayah Sabah dan wilayah Serawak di negara Malaysia, serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua, Timor-Portugis (sekarang yaitu wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
  • Bentuk negara Indonesia yaitu Negara Kesatuan,
  • Bentuk pemerintahan Indonesia yaitu Republik,
  • Bendera nasional Indonesia yaitu Sang Saka Merah Putih,
  • Bahasa nasional Indonesia yaitu Bahasa Indonesia.

Pemikiran proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun dengan mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan pemikiran Undang-Undang Dasar nyaris seluruhnya diambil dari alinea keempat "Piagam Jakarta". Sementara itu, perdebatan terus berlangsung di sela peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan anggaran Islam, Syariat Islam, dalam negara Indonesia baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" pada akhir-akhirnya disetujui dengan urutan dan redaksional yang sedikit beda.

Persiapan kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945

Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dihentikan karena dianggap telah dapat menyelesaikan tugasnya dengan patut, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar untuk negara Indonesia Merdeka, dan digantikan dengan diwujudkannya "Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia" ("PPKI") atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.

Tugas "PPKI" ini yang pertama yaitu meresmikan pembukaan (bahasa Belanda: preambule) serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua yaitu melanjutkan hasil kerja BPUPKI, menyediakan pemindahan kekuasaan dari pihak pemerintah pendudukan militer Jepang kepada bangsa Indonesia, dan menyediakan segala sesuatu yang menyangkut masalah ketatanegaraan untuk negara Indonesia baru.

Babak "PPKI" sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari beragam etnis di wilayah Hindia-Belanda, terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa. "PPKI" ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai wakilnya yaitu Drs. Mohammad Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya dituding Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Kemudian, babak "PPKI" ditambah lagi sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, Iwa Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.

Secara simbolik "PPKI" dilantik oleh Jendral Terauchi, pada tanggal 9 Agustus 1945, dengan mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat ke "Kota Ho Chi Minh" atau dalam bahasa Vietnam: Thành phố Hồ Chí Minh (dahulu bernama: Saigon), yaitu kota terbesar di negara Vietnam dan terletak dekat delta Sungai Mekong.

Pada saat "PPKI" terbentuk, hasrat rakyat Indonesia untuk merdeka semakin memuncak. Memuncaknya hasrat itu terbukti dengan demikianlah keadaanya tekad yang bulat dari semua golongan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Golongan muda kala itu menghendaki supaya kemerdekaan diproklamasikan tanpa kerjasama dengan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang sama sekali, termasuk proklamasi kemerdekaan dalam sidang "PPKI". Pada saat itu telah tersedia anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI" ini yaitu hanya yaitu sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang. Di selisih pihak "PPKI" yaitu sebuah badan yang telah tersedia waktu itu guna menyediakan hal-hal yang perlu untuk terbentuknya suatu negara Indonesia baru.

Tetapi cepat atau lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah pendudukan militer Jepang yaitu tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari "PPKI". Jendral Terauchi kemudian akhir-akhirnya menyampaikan keputusan pemerintah pendudukan militer Jepang bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada "PPKI". Dalam suasana mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah "PPKI" harus melakukan pekerjaan keras guna meyakinkan dan mewujud-nyatakan hasrat atau cita-cita luhur seluruh rakyat Indonesia, yang sangat haus dan berharap akan sebuah kehidupan kebangsaan yang tidak terikat, yang merdeka, bersatu, berdaulat, tidak sewenang-wenang dan makmur.

Sementara itu dalam sidang "PPKI" pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik dari pihak kaum keagamaan yang beragama non-Muslim serta pihak kaum keagamaan yang menganut petuah kebatinan, yang kemudian didampingi oleh pihak kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") guna melunakkan hati pihak tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna ditiadakannya "tujuh kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter".

Setelah itu Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI" dan membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik tersebut. Hasil perubahan yang kemudian disepakati sebagai "pembukaan (bahasa Belanda: "preambule") dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945", yang saat ini biasa disebut dengan hanya UUD '45 adalah :

  • Pertama, kata “Mukaddimah” yang bermula dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”.
  • Kedua, anak kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, diganti dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
  • Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
  • Keempat, terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

"PPKI" sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun himpunan muda kala itu hanya menganggap "PPKI" sebagai sebuah lembaga hasil pekerjaan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang, namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta perbuatan yang berguna badan ini sama sekali tak boleh kita remehkan dan abaikan, apalagi kita lupakan. Babak "PPKI" telah bertugas yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya, sampai pada akhir-akhirnya "PPKI" dapat meletak dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat untuk negara Indonesia yang saat itu baru saja berdiri.

Rujukan

Catatan kaki

  1. ^

    Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 PPKI berfungsi dan berperan secara ex officio:a. Sebagai representasi perwakilan seluruh rakyat Indonesiab. Sebagai lembaga resmi yang mempunyai kewenangan untuk mengesahkan UUD Negarac. Sebagai lembaga yang dapat menentukan dan mengangkat presiden dan wakil presidend. Sebagai lembaga pendiri negara Republik Indonesiae. Sebagai lembaga tertinggi dalam Negara Republik Indonesia.

    Lihat:

    - Yunarti, Dorothea Rini (2003). BPUPKI, PPKI, proklamasi kemerdekaan RI. University of Michigan Press. ISBN 9797090779, 9789797090777. 
    - Amini, Aisyah (2004). Pasang surut peran DPR-MPR, 1945-2004. University of Michigan Press. ISBN 9799825245, 9789799825247. 

Daftar pustaka
  • Achmad Soebardjo.(1970). Lahirnja Republik Indonesia. Jakarta Times. Jakarta.
  • Genzo Oku. Tranlated.(1973). Achmad Soebardjo. Indonesia No Dokuritsu To Kakumei. Ryukeishosha. Tokyo.

Sumber :
diskusi.biz, p2k.gilland-group.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.


Page 3

Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Dokuritsu Junbi Chōsakai jp:独立準備調査会) yaitu sebuah badan yang diwujudkan oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini diwujudkan sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggota 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.

Di luar babak BPUPKI, diwujudkan sebuah Badan Kelola Usaha (semacam sekretariat) yang beranggota 60 orang. Badan Kelola Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (orang Jepang). Tugas dari BPUPKI sendiri yaitu mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek poplitik, ekonomi, kelola pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai, dengan babak berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari beragam etnis di wilayah Hindia-Belanda[1], terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa.

Awal persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI

Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik semakin jelas, Perdana Menteri Jepang, Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan dilepaskan dari penjajahan kelak, sesudah tercapai kemenangan kesudahan dalam perang Asia Timur Raya. Beracara itu, Jepang berkeinginan tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai penyerbu negara mereka, sehingga pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan diwujudkannya suatu badan khusus yang bertugas menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang dinamakan "Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI juga untuk menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan hal-hal penting selisihnya yang terkait dengan masalah kelola pemerintahan guna membangun suatu negara Indonesia merdeka.

BPUPKI resmi diwujudkan pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun kaisar Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, dituding menjadi ketua BPUPKI dengan ditemani oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang). Selain menjadi ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga diangkatkan sebagai kepala kantor kelola usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda Toyohiko dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggota 67 orang, yang terdiri dari: 60 orang babak aktif yaitu tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari semua kawasan dan arus, serta 7 orang babak istimewa yaitu perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara (keanggotaan mereka yaitu pasif, yang berarti mereka hanya telah tersedia dalam sidang BPUPKI sebagai pengamat saja).


Selama BPUPKI berdiri, telah disediakan dua kali masa persidangan resmi BPUPKI, dan juga demikianlah keadaanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia kecil di bawah BPUPKI, yaitu yaitu sebagai berikut :

Sidang resmi pertama

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945

Pada tanggal 28 Mei 1945, disediakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang pada masa waktu masa seratus tahun kolonial Belanda gedung tersebut yaitu gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga "Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda), dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang bertempat di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan BPUPKI yang pertama) disediakan selama empat hari dan baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, dan berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara "Indonesia Merdeka" serta merumuskan dasar negara Indonesia.

Upacara pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dihadiri oleh seluruh babak BPUPKI dan juga dua orang pembesar militer jepang, yaitu: Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang menguasai Jawa serta Panglima Tentara Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano. Namun untuk selanjutnya pada masa persidangan resminya itu sendiri, yang berlangsung selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh babak BPUPKI.

Sebelumnya pokok isi kerangan sidang diawali dengan membahas pandangan mengenai bentuk negara Indonesia, yakni disepakati berwujud "Negara Kesatuan Republik Indonesia" ("NKRI"), kemudian pokok isi kerangan sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus merumuskan dasar negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang akan menjiwai isi dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri, sebab Undang-Undang Dasar yaitu adalah konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Guna mendapatkan definisi dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, maka pokok isi kerangan perkara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini yaitu mendengarkan pidato dari tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara Republik Indonesia itu yaitu sebagai berikut :

  1. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan gagasan mengenai definisi lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
  2. Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan gagasan mengenai definisi lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Dasar Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Mufakat dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
  3. Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai definisi lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Gagasan mengenai definisi lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dituturkan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila", sedang menurut dia bilamana diperlukan gagasan mengenai definisi Pancasila ini dapat diperas menjadi "Trisila" (Tiga Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme; 2. Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Bahkan sedang menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila akan diperas kembali dinamakannya sebagai "Ekasila" (Satu Sila), yaitu yaitu sila: “Gotong-Royong”, ini yaitu adalah upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa pemikiran gagasan mengenai definisi dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut yaitu telah tersedia dalam kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu dengan selisihnya. Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan sebutan detik-detik lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni diputuskan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama, setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda atau istirahat) selama satu bulan semakin. Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggota 9 orang, yang dinamakan "Panitia Sembilan" dengan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang bertugas untuk mengolah usul dari pemikiran para babak BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia.

Masa sela sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua

Sampai kesudahan dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, sedang belum ditemukan titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, sehingga dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di atas guna menggodok beragam masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dituturkan oleh para babak BPUPKI itu. Adapun susunan keanggotaan dari "Panitia Sembilan" ini yaitu sebagai berikut :

Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit sela 4 orang dari kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak "Islam"), maka pada tanggal 22 Juni 1945 "Panitia Sembilan" kembali berjumpa dan menghasilkan definisi dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah "Gentlement Agreement". Setelah itu sebagai ketua "Panitia Sembilan", Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang dipimpinnya kepada babak BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan "Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut, dasar negara Republik Indonesia yaitu sebagai berikut :

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya,
  2. Kemanusiaan yang tidak sewenang-wenang dan mempunyai budi bahasa yang baik,
  3. Persatuan Indonesia,
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
  5. Keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.

Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPKI yang kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.

Di sela dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung pula persidangan tak resmi yang dihadiri 38 orang babak BPUPKI. Persidangan tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan (bahasa Belanda: "Preambule") Undang-Undang Dasar 1945", yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua (10 Juli-17 Juli 1945).

Sidang resmi kedua

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945

Masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 sampai tanggal 17 Juli 1945. Pokok isi kerangan sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang kedua ini, babak BPUPKI dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil. Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu sela selisih adalah: Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso), dan Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).

Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya yaitu khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggota 7 orang yaitu sebagai berikut :

Pada tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya yaitu khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggota 7 orang tersebut.

Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu :

  • Wilayah negara Indonesia yaitu sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang yaitu wilayah Sabah dan wilayah Serawak di negara Malaysia, serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua, Timor-Portugis (sekarang yaitu wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
  • Bentuk negara Indonesia yaitu Negara Kesatuan,
  • Bentuk pemerintahan Indonesia yaitu Republik,
  • Bendera nasional Indonesia yaitu Sang Saka Merah Putih,
  • Bahasa nasional Indonesia yaitu Bahasa Indonesia.

Pemikiran proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun dengan mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan pemikiran Undang-Undang Dasar nyaris seluruhnya diambil dari alinea keempat "Piagam Jakarta". Sementara itu, perdebatan terus berlangsung di sela peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan anggaran Islam, Syariat Islam, dalam negara Indonesia baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" pada akhir-akhirnya disetujui dengan urutan dan redaksional yang sedikit beda.

Persiapan kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945

Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dihentikan karena dianggap telah dapat menyelesaikan tugasnya dengan patut, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar untuk negara Indonesia Merdeka, dan digantikan dengan diwujudkannya "Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia" ("PPKI") atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.

Tugas "PPKI" ini yang pertama yaitu meresmikan pembukaan (bahasa Belanda: preambule) serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua yaitu melanjutkan hasil kerja BPUPKI, menyediakan pemindahan kekuasaan dari pihak pemerintah pendudukan militer Jepang kepada bangsa Indonesia, dan menyediakan segala sesuatu yang menyangkut masalah ketatanegaraan untuk negara Indonesia baru.

Babak "PPKI" sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari beragam etnis di wilayah Hindia-Belanda, terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa. "PPKI" ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai wakilnya yaitu Drs. Mohammad Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya dituding Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Kemudian, babak "PPKI" ditambah lagi sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, Iwa Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.

Secara simbolik "PPKI" dilantik oleh Jendral Terauchi, pada tanggal 9 Agustus 1945, dengan mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat ke "Kota Ho Chi Minh" atau dalam bahasa Vietnam: Thành phố Hồ Chí Minh (dahulu bernama: Saigon), yaitu kota terbesar di negara Vietnam dan terletak dekat delta Sungai Mekong.

Pada saat "PPKI" terbentuk, hasrat rakyat Indonesia untuk merdeka semakin memuncak. Memuncaknya hasrat itu terbukti dengan demikianlah keadaanya tekad yang bulat dari semua golongan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Golongan muda kala itu menghendaki supaya kemerdekaan diproklamasikan tanpa kerjasama dengan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang sama sekali, termasuk proklamasi kemerdekaan dalam sidang "PPKI". Pada saat itu telah tersedia anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI" ini yaitu hanya yaitu sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang. Di selisih pihak "PPKI" yaitu sebuah badan yang telah tersedia waktu itu guna menyediakan hal-hal yang perlu untuk terbentuknya suatu negara Indonesia baru.

Tetapi cepat atau lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah pendudukan militer Jepang yaitu tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari "PPKI". Jendral Terauchi kemudian akhir-akhirnya menyampaikan keputusan pemerintah pendudukan militer Jepang bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada "PPKI". Dalam suasana mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah "PPKI" harus melakukan pekerjaan keras guna meyakinkan dan mewujud-nyatakan hasrat atau cita-cita luhur seluruh rakyat Indonesia, yang sangat haus dan berharap akan sebuah kehidupan kebangsaan yang tidak terikat, yang merdeka, bersatu, berdaulat, tidak sewenang-wenang dan makmur.

Sementara itu dalam sidang "PPKI" pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik dari pihak kaum keagamaan yang beragama non-Muslim serta pihak kaum keagamaan yang menganut petuah kebatinan, yang kemudian didampingi oleh pihak kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") guna melunakkan hati pihak tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna ditiadakannya "tujuh kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter".

Setelah itu Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI" dan membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik tersebut. Hasil perubahan yang kemudian disepakati sebagai "pembukaan (bahasa Belanda: "preambule") dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945", yang saat ini biasa disebut dengan hanya UUD '45 adalah :

  • Pertama, kata “Mukaddimah” yang bermula dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”.
  • Kedua, anak kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, diganti dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
  • Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
  • Keempat, terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

"PPKI" sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun himpunan muda kala itu hanya menganggap "PPKI" sebagai sebuah lembaga hasil pekerjaan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang, namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta perbuatan yang berguna badan ini sama sekali tak boleh kita remehkan dan abaikan, apalagi kita lupakan. Babak "PPKI" telah bertugas yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya, sampai pada akhir-akhirnya "PPKI" dapat meletak dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat untuk negara Indonesia yang saat itu baru saja berdiri.

Rujukan

Catatan kaki

  1. ^

    Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 PPKI berfungsi dan berperan secara ex officio:a. Sebagai representasi perwakilan seluruh rakyat Indonesiab. Sebagai lembaga resmi yang mempunyai kewenangan untuk mengesahkan UUD Negarac. Sebagai lembaga yang dapat menentukan dan mengangkat presiden dan wakil presidend. Sebagai lembaga pendiri negara Republik Indonesiae. Sebagai lembaga tertinggi dalam Negara Republik Indonesia.

    Lihat:

    - Yunarti, Dorothea Rini (2003). BPUPKI, PPKI, proklamasi kemerdekaan RI. University of Michigan Press. ISBN 9797090779, 9789797090777. 
    - Amini, Aisyah (2004). Pasang surut peran DPR-MPR, 1945-2004. University of Michigan Press. ISBN 9799825245, 9789799825247. 

Daftar pustaka
  • Achmad Soebardjo.(1970). Lahirnja Republik Indonesia. Jakarta Times. Jakarta.
  • Genzo Oku. Tranlated.(1973). Achmad Soebardjo. Indonesia No Dokuritsu To Kakumei. Ryukeishosha. Tokyo.

Sumber :
diskusi.biz, p2k.gilland-group.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.


Page 4

Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Dokuritsu Junbi Chōsakai jp:独立準備調査会) yaitu sebuah badan yang diwujudkan oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini diwujudkan sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggota 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.

Di luar babak BPUPKI, diwujudkan sebuah Badan Kelola Usaha (semacam sekretariat) yang beranggota 60 orang. Badan Kelola Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (orang Jepang). Tugas dari BPUPKI sendiri yaitu mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek poplitik, ekonomi, kelola pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai, dengan babak berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari beragam etnis di wilayah Hindia-Belanda[1], terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Keliruku, 1 orang asal etnis Tionghoa.

Awal persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI

Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik semakin jelas, Perdana Menteri Jepang, Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan dilepaskan dari penjajahan kelak, sesudah tercapai kemenangan kesudahan dalam perang Asia Timur Raya. Memakai agenda itu, Jepang berkeinginan tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai penyerbu negara mereka, sehingga pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan diwujudkannya suatu badan khusus yang bertugas menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang dinamakan "Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI juga untuk menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan hal-hal penting selisihnya yang terkait dengan masalah kelola pemerintahan guna membangun suatu negara Indonesia merdeka.

BPUPKI resmi diwujudkan pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun kaisar Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, dituding menjadi ketua BPUPKI dengan ditemani oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang). Selain menjadi ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga diangkatkan sebagai kepala kantor kelola usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda Toyohiko dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggota 67 orang, yang terdiri dari: 60 orang babak aktif yaitu tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari semua kawasan dan arus, serta 7 orang babak istimewa yaitu perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara (keanggotaan mereka yaitu pasif, yang berfaedah mereka hanya telah tersedia dalam sidang BPUPKI sebagai pengamat saja).


Selama BPUPKI berdiri, telah disediakan dua kali masa persidangan resmi BPUPKI, dan juga demikianlah keadaanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia kecil di bawah BPUPKI, yaitu yaitu sebagai berikut :

Sidang resmi pertama

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945

Pada tanggal 28 Mei 1945, disediakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang pada masa waktu masa seratus tahun kolonial Belanda gedung tersebut yaitu gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga "Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda), dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang bertempat di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan BPUPKI yang pertama) disediakan selama empat hari dan baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, dan berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara "Indonesia Merdeka" serta merumuskan dasar negara Indonesia.

Upacara pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dihadiri oleh seluruh babak BPUPKI dan juga dua orang pembesar militer jepang, yaitu: Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang menguasai Jawa serta Panglima Tentara Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano. Namun untuk selanjutnya pada masa persidangan resminya itu sendiri, yang berlangsung selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh babak BPUPKI.

Sebelumnya pokok isi kerangan sidang diawali dengan membahas pandangan mengenai bentuk negara Indonesia, yakni disepakati berwujud "Negara Kesatuan Republik Indonesia" ("NKRI"), kemudian pokok isi kerangan sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus merumuskan dasar negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang akan menjiwai inti dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri, sebab Undang-Undang Dasar yaitu adalah konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Guna mendapatkan ciri utama dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, maka pokok isi kerangan perkara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini yaitu mendengarkan pidato dari tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara Republik Indonesia itu yaitu sebagai berikut :

  1. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan gagasan mengenai ciri utama lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
  2. Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan gagasan mengenai ciri utama lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Dasar Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Mufakat dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
  3. Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai ciri utama lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Gagasan mengenai ciri utama lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dituturkan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila", sedang menurut dia bilamana diperlukan gagasan mengenai ciri utama Pancasila ini dapat diperas menjadi "Trisila" (Tiga Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme; 2. Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Bahkan sedang menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila ingin diperas kembali dinamakannya sebagai "Ekasila" (Satu Sila), yaitu yaitu sila: “Gotong-Royong”, ini yaitu adalah upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa pemikiran gagasan mengenai ciri utama dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut yaitu telah tersedia dalam kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu dengan selisihnya. Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan sebutan detik-detik lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni diputuskan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama, setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda atau istirahat) selama satu bulan semakin. Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggota 9 orang, yang dinamakan "Panitia Sembilan" dengan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang bertugas untuk mengolah usul dari pemikiran para babak BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia.

Masa sela sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua

Sampai kesudahan dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, sedang belum ditemukan titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, sehingga dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di atas guna menggodok beragam masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dituturkan oleh para babak BPUPKI itu. Adapun bangun keanggotaan dari "Panitia Sembilan" ini yaitu sebagai berikut :

Sesudah memainkan perundingan yang cukup sulit sela 4 orang dari kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak "Islam"), maka pada tanggal 22 Juni 1945 "Panitia Sembilan" kembali berjumpa dan menghasilkan ciri utama dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah "Gentlement Agreement". Setelah itu sebagai ketua "Panitia Sembilan", Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang dipimpinnya kepada babak BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan "Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut, dasar negara Republik Indonesia yaitu sebagai berikut :

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya,
  2. Kemanusiaan yang tidak sewenang-wenang dan mempunyai budi bahasa yang baik,
  3. Persatuan Indonesia,
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
  5. Keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.

Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPKI yang kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.

Di sela dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung pula persidangan tak resmi yang dihadiri 38 orang babak BPUPKI. Persidangan tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan (bahasa Belanda: "Preambule") Undang-Undang Dasar 1945", yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua (10 Juli-17 Juli 1945).

Sidang resmi kedua

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945

Masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 sampai tanggal 17 Juli 1945. Pokok isi kerangan sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang kedua ini, babak BPUPKI dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil. Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu sela selisih adalah: Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso), dan Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).

Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya yaitu khusus merancang inti dari Undang-Undang Dasar, yang beranggota 7 orang yaitu sebagai berikut :

Pada tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya yaitu khusus merancang inti dari Undang-Undang Dasar, yang beranggota 7 orang tersebut.

Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu :

  • Wilayah negara Indonesia yaitu sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang yaitu wilayah Sabah dan wilayah Serawak di negara Malaysia, serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua, Timor-Portugis (sekarang yaitu wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
  • Bentuk negara Indonesia yaitu Negara Kesatuan,
  • Bentuk pemerintahan Indonesia yaitu Republik,
  • Bendera nasional Indonesia yaitu Sang Saka Merah Putih,
  • Bahasa nasional Indonesia yaitu Bahasa Indonesia.

Pemikiran proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun dengan mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan pemikiran Undang-Undang Dasar nyaris seluruhnya diambil dari alinea keempat "Piagam Jakarta". Sementara itu, perdebatan terus berlangsung di sela peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan anggaran Islam, Syariat Islam, dalam negara Indonesia baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" pada akhir-akhirnya disetujui dengan urutan dan redaksional yang sedikit pautan.

Persiapan kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945

Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dihentikan karena dianggap telah dapat menyelesaikan tugasnya dengan adil, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar untuk negara Indonesia Merdeka, dan digantikan dengan diwujudkannya "Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia" ("PPKI") atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.

Tugas "PPKI" ini yang pertama yaitu meresmikan pembukaan (bahasa Belanda: preambule) serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua yaitu melanjutkan hasil kerja BPUPKI, menyediakan pemindahan kekuasaan dari pihak pemerintah pendudukan militer Jepang kepada bangsa Indonesia, dan menyediakan segala sesuatu yang menyangkut masalah ketatanegaraan untuk negara Indonesia baru.

Babak "PPKI" sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari beragam etnis di wilayah Hindia-Belanda, terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Keliruku, 1 orang asal etnis Tionghoa. "PPKI" ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai wakilnya yaitu Drs. Mohammad Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya dituding Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Kemudian, babak "PPKI" ditambah lagi sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, Iwa Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.

Secara simbolik "PPKI" dilantik oleh Jendral Terauchi, pada tanggal 9 Agustus 1945, dengan mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat ke "Kota Ho Chi Minh" atau dalam bahasa Vietnam: Thành phố Hồ Chí Minh (dahulu bernama: Saigon), yaitu kota terbesar di negara Vietnam dan terletak dekat delta Sungai Mekong.

Pada saat "PPKI" terbentuk, hasrat rakyat Indonesia untuk merdeka semakin memuncak. Memuncaknya hasrat itu terbukti dengan demikianlah keadaanya tekad yang bulat dari semua golongan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Golongan muda kala itu menghendaki supaya kemerdekaan diproklamasikan tanpa kerjasama dengan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang sama sekali, termasuk proklamasi kemerdekaan dalam sidang "PPKI". Pada saat itu telah tersedia anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI" ini yaitu hanya yaitu sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang. Di selisih pihak "PPKI" yaitu sebuah badan yang telah tersedia waktu itu guna menyediakan hal-hal yang perlu untuk terbentuknya suatu negara Indonesia baru.

Tetapi cepat atau lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah pendudukan militer Jepang yaitu tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari "PPKI". Jendral Terauchi kemudian akhir-akhirnya menyampaikan keputusan pemerintah pendudukan militer Jepang bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada "PPKI". Dalam suasana mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah "PPKI" harus memainkan pekerjaan keras guna meyakinkan dan mewujud-nyatakan hasrat atau cita-cita agung seluruh rakyat Indonesia, yang sangat haus dan berharap akan sebuah kehidupan kebangsaan yang tidak terikat, yang merdeka, bersatu, berdaulat, tidak sewenang-wenang dan makmur.

Sementara itu dalam sidang "PPKI" pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik dari pihak kaum keagamaan yang beragama non-Muslim serta pihak kaum keagamaan yang menganut petuah kebatinan, yang kemudian didampingi oleh pihak kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") guna melunakkan hati pihak tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna dibubarkannya "tujuh kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter".

Setelah itu Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI" dan membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik tersebut. Hasil perubahan yang kemudian disepakati sebagai "pembukaan (bahasa Belanda: "preambule") dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945", yang saat ini biasa disebut dengan hanya UUD '45 adalah :

  • Pertama, kata “Mukaddimah” yang bermula dari bahasa Arab, muqaddimah, ditukar dengan kata “Pembukaan”.
  • Kedua, anak kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ditukar dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
  • Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, ditukar dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
  • Keempat, terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya” ditukar menjadi berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

"PPKI" sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun himpunan muda kala itu hanya menganggap "PPKI" sebagai sebuah lembaga hasil pekerjaan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang, namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta perbuatan yang berguna badan ini sama sekali tak boleh kita remehkan dan abaikan, apalagi kita lupakan. Babak "PPKI" telah bertugas yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya, sampai pada akhir-akhirnya "PPKI" dapat meletak dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat untuk negara Indonesia yang saat itu baru saja berdiri.

Rujukan

Catatan kaki

  1. ^

    Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 PPKI berfungsi dan berperan secara ex officio:a. Sebagai representasi perwakilan seluruh rakyat Indonesiab. Sebagai lembaga resmi yang mempunyai kewenangan untuk mengesahkan UUD Negarac. Sebagai lembaga yang dapat menentukan dan mengangkat presiden dan wakil presidend. Sebagai lembaga pendiri negara Republik Indonesiae. Sebagai lembaga tertinggi dalam Negara Republik Indonesia.

    Lihat:

    - Yunarti, Dorothea Rini (2003). BPUPKI, PPKI, proklamasi kemerdekaan RI. University of Michigan Press. ISBN 9797090779, 9789797090777. 
    - Amini, Aisyah (2004). Pasang surut peran DPR-MPR, 1945-2004. University of Michigan Press. ISBN 9799825245, 9789799825247. 

Daftar pustaka
  • Achmad Soebardjo.(1970). Lahirnja Republik Indonesia. Jakarta Times. Jakarta.
  • Genzo Oku. Tranlated.(1973). Achmad Soebardjo. Indonesia No Dokuritsu To Kakumei. Ryukeishosha. Tokyo.

Sumber :
diskusi.biz, p2k.gilland-group.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.


Page 5

Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Dokuritsu Junbi Chōsakai jp:独立準備調査会) yaitu sebuah badan yang diwujudkan oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini diwujudkan sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggota 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.

Di luar babak BPUPKI, diwujudkan sebuah Badan Kelola Usaha (semacam sekretariat) yang beranggota 60 orang. Badan Kelola Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (orang Jepang). Tugas dari BPUPKI sendiri yaitu mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek poplitik, ekonomi, kelola pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai, dengan babak berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari beragam etnis di wilayah Hindia-Belanda[1], terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Keliruku, 1 orang asal etnis Tionghoa.

Awal persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI

Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik semakin jelas, Perdana Menteri Jepang, Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan dilepaskan dari penjajahan kelak, sesudah tercapai kemenangan kesudahan dalam perang Asia Timur Raya. Memakai agenda itu, Jepang berkeinginan tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai penyerbu negara mereka, sehingga pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan diwujudkannya suatu badan khusus yang bertugas menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang dinamakan "Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI juga untuk menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan hal-hal penting selisihnya yang terkait dengan masalah kelola pemerintahan guna membangun suatu negara Indonesia merdeka.

BPUPKI resmi diwujudkan pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan ulang tahun kaisar Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, dituding menjadi ketua BPUPKI dengan ditemani oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang). Selain menjadi ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga diangkatkan sebagai kepala kantor kelola usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda Toyohiko dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggota 67 orang, yang terdiri dari: 60 orang babak aktif yaitu tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari semua kawasan dan arus, serta 7 orang babak istimewa yaitu perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara (keanggotaan mereka yaitu pasif, yang berfaedah mereka hanya telah tersedia dalam sidang BPUPKI sebagai pengamat saja).


Selama BPUPKI berdiri, telah disediakan dua kali masa persidangan resmi BPUPKI, dan juga demikianlah keadaanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia kecil di bawah BPUPKI, yaitu yaitu sebagai berikut :

Sidang resmi pertama

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945

Pada tanggal 28 Mei 1945, disediakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang pada masa waktu masa seratus tahun kolonial Belanda gedung tersebut yaitu gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga "Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda" di masa penjajahan Belanda), dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang bertempat di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan BPUPKI yang pertama) disediakan selama empat hari dan baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945, dan berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara "Indonesia Merdeka" serta merumuskan dasar negara Indonesia.

Upacara pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dihadiri oleh seluruh babak BPUPKI dan juga dua orang pembesar militer jepang, yaitu: Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang menguasai Jawa serta Panglima Tentara Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano. Namun untuk selanjutnya pada masa persidangan resminya itu sendiri, yang berlangsung selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh babak BPUPKI.

Sebelumnya pokok isi kerangan sidang diawali dengan membahas pandangan mengenai bentuk negara Indonesia, yakni disepakati berwujud "Negara Kesatuan Republik Indonesia" ("NKRI"), kemudian pokok isi kerangan sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus merumuskan dasar negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang akan menjiwai inti dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri, sebab Undang-Undang Dasar yaitu adalah konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Guna mendapatkan ciri utama dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, maka pokok isi kerangan perkara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini yaitu mendengarkan pidato dari tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara Republik Indonesia itu yaitu sebagai berikut :

  1. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan gagasan mengenai ciri utama lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
  2. Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan gagasan mengenai ciri utama lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Dasar Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Mufakat dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
  3. Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai ciri utama lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Gagasan mengenai ciri utama lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dituturkan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila", sedang menurut dia bilamana diperlukan gagasan mengenai ciri utama Pancasila ini dapat diperas menjadi "Trisila" (Tiga Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme; 2. Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Bahkan sedang menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila ingin diperas kembali dinamakannya sebagai "Ekasila" (Satu Sila), yaitu yaitu sila: “Gotong-Royong”, ini yaitu adalah upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa pemikiran gagasan mengenai ciri utama dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut yaitu telah tersedia dalam kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu dengan selisihnya. Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan sebutan detik-detik lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni diputuskan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama, setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda atau istirahat) selama satu bulan semakin. Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggota 9 orang, yang dinamakan "Panitia Sembilan" dengan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang bertugas untuk mengolah usul dari pemikiran para babak BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia.

Masa sela sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua

Sampai kesudahan dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, sedang belum ditemukan titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, sehingga dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di atas guna menggodok beragam masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dituturkan oleh para babak BPUPKI itu. Adapun bangun keanggotaan dari "Panitia Sembilan" ini yaitu sebagai berikut :

Sesudah memainkan perundingan yang cukup sulit sela 4 orang dari kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak "Islam"), maka pada tanggal 22 Juni 1945 "Panitia Sembilan" kembali berjumpa dan menghasilkan ciri utama dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah "Gentlement Agreement". Setelah itu sebagai ketua "Panitia Sembilan", Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang dipimpinnya kepada babak BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan "Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut, dasar negara Republik Indonesia yaitu sebagai berikut :

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya,
  2. Kemanusiaan yang tidak sewenang-wenang dan mempunyai budi bahasa yang baik,
  3. Persatuan Indonesia,
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
  5. Keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.

Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPKI yang kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.

Di sela dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung pula persidangan tak resmi yang dihadiri 38 orang babak BPUPKI. Persidangan tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan (bahasa Belanda: "Preambule") Undang-Undang Dasar 1945", yang kemudian dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua (10 Juli-17 Juli 1945).

Sidang resmi kedua

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945

Masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 sampai tanggal 17 Juli 1945. Pokok isi kerangan sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang kedua ini, babak BPUPKI dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil. Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu sela selisih adalah: Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso), dan Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).

Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya yaitu khusus merancang inti dari Undang-Undang Dasar, yang beranggota 7 orang yaitu sebagai berikut :

Pada tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya yaitu khusus merancang inti dari Undang-Undang Dasar, yang beranggota 7 orang tersebut.

Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu :

  • Wilayah negara Indonesia yaitu sama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang yaitu wilayah Sabah dan wilayah Serawak di negara Malaysia, serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua, Timor-Portugis (sekarang yaitu wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
  • Bentuk negara Indonesia yaitu Negara Kesatuan,
  • Bentuk pemerintahan Indonesia yaitu Republik,
  • Bendera nasional Indonesia yaitu Sang Saka Merah Putih,
  • Bahasa nasional Indonesia yaitu Bahasa Indonesia.

Pemikiran proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun dengan mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan pemikiran Undang-Undang Dasar nyaris seluruhnya diambil dari alinea keempat "Piagam Jakarta". Sementara itu, perdebatan terus berlangsung di sela peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan anggaran Islam, Syariat Islam, dalam negara Indonesia baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter" pada akhir-akhirnya disetujui dengan urutan dan redaksional yang sedikit pautan.

Persiapan kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI

Badan penyelidik usaha usaha persiapan kemerdekaan indonesia diketuai oleh

Persidangan resmi PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945

Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dihentikan karena dianggap telah dapat menyelesaikan tugasnya dengan adil, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar untuk negara Indonesia Merdeka, dan digantikan dengan diwujudkannya "Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia" ("PPKI") atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.

Tugas "PPKI" ini yang pertama yaitu meresmikan pembukaan (bahasa Belanda: preambule) serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua yaitu melanjutkan hasil kerja BPUPKI, menyediakan pemindahan kekuasaan dari pihak pemerintah pendudukan militer Jepang kepada bangsa Indonesia, dan menyediakan segala sesuatu yang menyangkut masalah ketatanegaraan untuk negara Indonesia baru.

Babak "PPKI" sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari beragam etnis di wilayah Hindia-Belanda, terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Keliruku, 1 orang asal etnis Tionghoa. "PPKI" ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai wakilnya yaitu Drs. Mohammad Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya dituding Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Kemudian, babak "PPKI" ditambah lagi sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Mohamad Ibnu Sayuti Melik, Iwa Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.

Secara simbolik "PPKI" dilantik oleh Jendral Terauchi, pada tanggal 9 Agustus 1945, dengan mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat ke "Kota Ho Chi Minh" atau dalam bahasa Vietnam: Thành phố Hồ Chí Minh (dahulu bernama: Saigon), yaitu kota terbesar di negara Vietnam dan terletak dekat delta Sungai Mekong.

Pada saat "PPKI" terbentuk, hasrat rakyat Indonesia untuk merdeka semakin memuncak. Memuncaknya hasrat itu terbukti dengan demikianlah keadaanya tekad yang bulat dari semua golongan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Golongan muda kala itu menghendaki supaya kemerdekaan diproklamasikan tanpa kerjasama dengan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang sama sekali, termasuk proklamasi kemerdekaan dalam sidang "PPKI". Pada saat itu telah tersedia anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI" ini yaitu hanya yaitu sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang. Di selisih pihak "PPKI" yaitu sebuah badan yang telah tersedia waktu itu guna menyediakan hal-hal yang perlu untuk terbentuknya suatu negara Indonesia baru.

Tetapi cepat atau lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah pendudukan militer Jepang yaitu tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari "PPKI". Jendral Terauchi kemudian akhir-akhirnya menyampaikan keputusan pemerintah pendudukan militer Jepang bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada "PPKI". Dalam suasana mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah "PPKI" harus memainkan pekerjaan keras guna meyakinkan dan mewujud-nyatakan hasrat atau cita-cita agung seluruh rakyat Indonesia, yang sangat haus dan berharap akan sebuah kehidupan kebangsaan yang tidak terikat, yang merdeka, bersatu, berdaulat, tidak sewenang-wenang dan makmur.

Sementara itu dalam sidang "PPKI" pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam hitungan kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik dari pihak kaum keagamaan yang beragama non-Muslim serta pihak kaum keagamaan yang menganut petuah kebatinan, yang kemudian didampingi oleh pihak kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") guna melunakkan hati pihak tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna dibubarkannya "tujuh kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta Charter".

Setelah itu Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI" dan membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi politik tersebut. Hasil perubahan yang kemudian disepakati sebagai "pembukaan (bahasa Belanda: "preambule") dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945", yang saat ini biasa disebut dengan hanya UUD '45 adalah :

  • Pertama, kata “Mukaddimah” yang bermula dari bahasa Arab, muqaddimah, ditukar dengan kata “Pembukaan”.
  • Kedua, anak kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ditukar dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
  • Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, ditukar dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
  • Keempat, terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya” ditukar menjadi berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

"PPKI" sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun himpunan muda kala itu hanya menganggap "PPKI" sebagai sebuah lembaga hasil pekerjaan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang, namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta perbuatan yang berguna badan ini sama sekali tak boleh kita remehkan dan abaikan, apalagi kita lupakan. Babak "PPKI" telah bertugas yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya, sampai pada akhir-akhirnya "PPKI" dapat meletak dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat untuk negara Indonesia yang saat itu baru saja berdiri.

Rujukan

Catatan kaki

  1. ^

    Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 PPKI berfungsi dan berperan secara ex officio:a. Sebagai representasi perwakilan seluruh rakyat Indonesiab. Sebagai lembaga resmi yang mempunyai kewenangan untuk mengesahkan UUD Negarac. Sebagai lembaga yang dapat menentukan dan mengangkat presiden dan wakil presidend. Sebagai lembaga pendiri negara Republik Indonesiae. Sebagai lembaga tertinggi dalam Negara Republik Indonesia.

    Lihat:

    - Yunarti, Dorothea Rini (2003). BPUPKI, PPKI, proklamasi kemerdekaan RI. University of Michigan Press. ISBN 9797090779, 9789797090777. 
    - Amini, Aisyah (2004). Pasang surut peran DPR-MPR, 1945-2004. University of Michigan Press. ISBN 9799825245, 9789799825247. 

Daftar pustaka
  • Achmad Soebardjo.(1970). Lahirnja Republik Indonesia. Jakarta Times. Jakarta.
  • Genzo Oku. Tranlated.(1973). Achmad Soebardjo. Indonesia No Dokuritsu To Kakumei. Ryukeishosha. Tokyo.

Sumber :
diskusi.biz, p2k.gilland-group.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.