Apakah upacara adat seperti kasada harus dilestarikan jelaskan

Memegang gelar jumlah penduduk terbanyak di seluruh Indonesia, masyarakat suku Jawa mempunyai tradisi dan budaya yang beragam. Selain memiliki budaya yang mendunia seperti tarian dan kebaya, masyarakatnya juga terus melestarikan tradisi seperti upacara adat di era modern ini.

Berikut beberapa tradisi Jawa berupa acara dan upacara adat yang masih eksis hingga kini:

Upacara Sekaten berasal dari kota Surakarta dan Yogyakarta, diadakan mulai dari tanggal 5 sampai 11 Rabi’ul Awal sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Nama ‘Sekaten’ berasal dari kata serapan bahasa Arab ‘Syahadatain’. Upacara Sekaten dilakukan dengan melepas dua perangkat gamelan dari Keraton yaitu gamelan Kyai Guntursari dan gamelan Kyai Gunturmadu yang nantinya akan ditempatkan di Masjid Agung Surakarta.

Hal ini didasari dengan sejarah bahwa penyebaran agama Islam di tanah Jawa dilakukan melalui kesenian gamelan. Upacara sekaten tersebut berakhir pada tanggal 12 Rabi’ul Awal, ditandai dengan Grebeg Maulud yang diadakan oleh Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta.

Puncak acara sekaten adalah Grebeg Maulud, yang identik dengan gunungan yang berisi buah-buahan serta hasil bumi terbaik. Susunan makanan yang menyerupai gunung ini dibawa ke keraton dan masjid agung untuk didoakan. Setelah didoakan, maka hasil bumi terbaik ini akan dibagikan kepada masyarakat, yang melambangkan keberkahan dan rezeki bagi seluruh masyarakat.

Tumpeng Sewu atau tumpeng seribu merupakan tradisi turun-temurun suku asli Banyuwangi yang bernama suku Osing di Desa Kemiren. Upacara tahunan ini diselenggarakan seminggu sebelum Hari Raya Idul Adha sebagai bentuk syukur masyarakat kepada Tuhan. Namun tak hanya masyarakat desa setempat, tak jarang warga dari luar kota bahkan luar negeri datang untuk mengikuti upacara ini.

Sebelum makan tumpeng bersama-sama, biasanya masyarakat setempat melakukan mepe kasur (menjemur kasur) di halaman rumah pada pagi hari secara massal. Setelah itu, dilakukan pembacaan doa dan ritual. Tak hanya menikmati tumpeng dan membaca doa, pada upacara ini juga terdapat pertunjukan seni.

Satu lagi upacara tradisi yang berasal dari Banyuwangi, yaitu Kebo-keboan. Meskipun memiliki nama kebo atau kerbau, dalam upacara tradisi kebo-keboan tidak ada hewan kerbau. Bukan hewan, melainkan kerbau jadi-jadian yaitu masyarakat yang berdandan seperti kerbau lalu berkeliling kampung. Mereka akan berjalan seperti kerbau dengan memikul kayu, dan hal ini dilakukan untuk menghalau penyakit maupun bala.

Tradisi Karapan Sapi tentu sudah tidak asing lagi. Karapan sapi yang berasal dari Madura, Provinsi Jawa Timur ini pernah diabadikan menjadi ukiran di dalam koin logam emas Rp100. Tradisi karapan sapi adalah adu kecepatan dua sapi yang dipasangkan untuk menarik kereta dari kayu, di mana joki berdiri untuk mengendalikan sapi. Awalnya, karapan sapi dilakukan untuk mencari sapi yang kuat untuk membajak sawah. Namun seiring berjalannya waktu, cara ini dijadikan perlombaan bahkan berhadiah piala bergilir pada ajang Piala Presiden (sekarang dikenal dengan nama Piala Gubernur). Acara ini biasanya diselenggarakan pada bulan Agustus-Oktober.

Tradisi larung sesaji dilakukan oleh masyarakat yang hidup di sekitar Telaga Sarangan di Magetan, Jawa Timur. Telaga yang dianggap sacral ini dikelilingi oleh pasar sarangan ini terletak di lereng Gunung Lawu. Tradisi melarung sajian dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas keselamatan yang telah diberikan dan atas hasil tangkapan ikan. Sajiannya berukuran besar dan berat, bahkan untuk membawa masing-masing sesaji perlu dipikul hingga 4 orang, dan biasanya masyarakat berjalan iring-iringan menuju ke telaga.

Upacara Sukasada atau Kasada adalah hari raya adat suku Tengger yang tinggal di sekitar Gunung Bromo. Upacara ini diadakan sesuai dengan kalender Jawa, setiap hari ke-14 pada bulan Kasada. Tradisi ini dilakukan dengan cara melempar berbagai sajian atau sesajen seperti produk ternak, sayuran, buah-buahan, bahkan uang ke kawah Gunung Bromo. Hal ini adalah bentuk persembahan bagi Sang Hyang Widhi dan leluhur. Selain itu, juga sebagai peringatan pengorbanan legenda Raden Kesuma, anak Jaka Seger-Lara Anteng, yang merelakan dirinya untuk terjun ke Gunung Bromo. Tak hanya dihadiri oleh masyarakat setempat, Upacara Kasada juga dihadiri oleh wisatawan.

Demikian enam upacara tradisi Jawa yang masih eksis hingga saat ini. Sangat unik dan menarik ya! Maka itu, kita perlu terus melestarikan budaya yang kita miliki agar tradisi bisa berlanjut hingga ke generasi selanjutnya.

Dari upacara di atas, manakah yang paling membuatmu penasaran? Kalau kamu ingin mengikuti langsung proses upacara tradisi Jawa, buat rencana perjalananmu dari jauh hari agar tidak salah perhitungan.

Tentunya, rencanakan perjalananmu bersama Traveloka yang punya berbagai promo menarik dan layanan yang bisa memudahkan liburanmu. Mulai dari tiket pesawat, tiket kereta, hotel dan penginapan. Di masa new normal, Traveloka tetap memberikan pengalaman menginap terbaik dan aman untuk kamu. Cari saja badgeTraveloka CleanAccomodation yang menandakan bahwa suatu akomodasi yang sudah memiliki sertifikat standar kebersihan dan telah melakukan

rekomendasi kebersihan sesuai standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

Mumpung kamu berada di Jawa, jangan sampai lewatkan kulineran dengan promo di Traveloka Eats dan eksplor kegiatan seru lainnya dengan harga terbaik di Traveloka Xperience!

Jadi, tunggu apalagi? Download aplikasi Traveloka sekarang!

Selain menyimpan keindahan tiada duanya, Bromo juga memiliki daya tarik budaya yakni Upacara Kasada sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhur. Tak sedikit wisatawan yang datang ke Bromo untuk menyaksikan upacara ini.

Upacara Kasada adalah hari raya adat Suku Tengger yang digelar setiap hari ke-14 di bulan Kasada dalam penanggalan Jawa. Dalam Upacara Kasada, suku Tengger melempar aneka sesajen berupa sayuran, buah-buahan, hasil ternak bahkan uang ke kawah Gunung Bromo.

Apakah upacara adat seperti kasada harus dilestarikan jelaskan

foto : travel.detik.com

Suku Tengger sendiri adalah pemeluk agama Hindu lama. Tidak seperti umat Hindu lainnya yang beribadah di candi-candi, Suku Tengger justru melakukan peribadatan di punden, danyang dan poten. Nah poten inilah yang menjadi tempat diselenggarakannya Upacara Kasada. Poten merupakan sebidang tanah di lautan pasir di kaki Gunung Bromo dan terdisi dari beberapa bangunan dan ditata dalam suatu komposisi.

Upacara Kasada dilakukan Suku Tengger sebagai bentuk rasa syukur atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah, memohon agar dijauhkan dari malapetaka, serta yang utama adalah sebagai peringatan pengorbanan Raden Kesuma, anak Jaka Seger dan Lara Anteng, penguasa Suku Tengger di zaman dulu.

Dalam upacara Kasada, masyarakat Suku Tengger berkumpul dengan membawa hasil bumi dan peternakan yang ditata di tempat bernama ongkek. Mereka berbondong-bondong membawa sesajen ini ke kawah Gunung Bromo untuk kemudian dilemparkan ke dalamnya.

Uniknya, acara Upacara Kasada ini juga dimanfaatkan pengemis dan warga suku Tengger yang tinggal di pedalaman untuk berebut mendapatkan ongkek yang berisi sesajen tadi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sengaja datang jauh-jauh hari dan membuat tempat tinggal sementara di Gunung Bromo.

Terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui warga Suku Tengger supaya Upacara Kasada ini berlangsung khikmad. Upacara Kasada dimulai dengan pengukuhan sesepuh Tengger. Lalu ada pula pagelaran sendratari yang mengisahkan kehidupan Rara Anteng dan Jaka Seger di Desa Ngadisari.

Upacara Sukasada juga menjadi salah satu tes yang harus dilalui calon dukun. Jika calon dukun ini melakukan kesalahan dalam prosesi Upacara Kasada, maka ia akan gagal ditunjuk sebagai dukun.

Upacara Sukasada dilanjutkan tepat tengah malam, dimana pelantikan dukun dan pemberkatan masyarakat di padang pasir Gunung Bromo. Seorang dukun sangat dihormati di kalangan suku Tengger karena merupakan pemimpin keagamaan. Maka dari itu, seorang dukun harus lulus ujian menghafal mantra-mantra sebelum dilantik.

Setelah itu, barulah ongkek tersebut dikorbankan di Puden Cemara Lawan dan dilempar ke kawah Gunung Bromo yang menandai puncak Upacara Kasada.

Sejarah Upacara Kasada

Upacara Kasada sebenarnya sudah digelar sejak zaman kerajaan Majapahit. Suku Tengger sendiri diyakini merupakan keturunan Rara Anteng (putri Raja Majapahit) dan Jaka Seger (putra Brahmana), sehingga penggabungan dua nama tersebut menjadi asal mula nama suku ini.

Asal mula upacara Kasada pun tak lepas dari kehidupan keluarga Rara Anteng dan Jaka Seger. Setelah bertahun-tahun menikah, mereka belum juga dikaruniai anak. Rara Anteng dan Jaka Seger kemudian memutuskan bertapa di Gunung Bromo memohon diberikan keturunan.

Di tengah pertaapaan tersebut, mereka mendapat petunjuk akan dikabulkan keinginan untuk memiliki keturunan dengan syarat anak bungsu mereka harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Pasangan ini menyetujui syarat tersebut dan dikaruniai 25 orang anak, dengan Kesuma sebagai si bungsu.

Tahun demi tahun dilalui, kesediaan mereka mengorbankan anak bungsu ke kawah Gunung Bromo pun ditagih. Namun mereka tidak tega sehingga terjadi malapetaka dan membuat bumi gelap gulita.

Setelah tahu janji yang diucap kedua orang, Kesuma si anak bungsu pun bersedia dikorbankan demi menyelamatkan negeri sehingga dunia kembali tenang.

Guna menghormati pengorbanan tersebut, warga Suku Tengger setiap tahunnya menggelar Upacara Kasada dengan melempar sesaji ke Kawah Bromo. Masyarakat Suku Tengger dikenal sangat taat kepada adat, tak heran Upacara Kasada ini tetap dilestarikan sampai sekarang.

Upacara Kasada pun membawa banyak manfaat bagi masyarakat suku Tengger itu sendiri. Selain sebagai ajang meminta keselamatan, Upacara Kasada juga mampu menyedot atensi wisatawan untuk datang menyaksikannya.

Comments