Apakah subsidi yang diberikan pemerintah selama ini sudah tepat sasaran

Oleh:

Antara Foto/Arif Firmansyah/nym.\\r\\n Sejumlah warga membeli minyak goreng kemasan saat operasi pasar murah minyak goreng di Blok F Trade Center, Pasar Kebon Kembang, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (31/12/2021).

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom menilai niat pemerintah memutuskan untuk memberikan subsidi guna menjamin harga minyak goreng terjangkau bagi masyarakat berpotensi tidak tepat sasaran. 

Pemerintah menyiapkan anggaran Rp3,6 triliun untuk penyediaan 1,2 miliar liter minyak goreng selama 6 bulan. Minyak goreng pun ditetapkan sebesar Rp14.000 per liter di tingkat konsumen.

Direktur Eksekutif Center of Law and Economic Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa keputusan pemerintah untuk memberikan subsidi minyak goreng patut diapresiasi, namun solusi ini lebih sifatnya temporer.

Dia menilai, meski subsidi yang diberikan lebih baik di minyak goreng kemasan daripada minyak goreng curah, tapi ada kekhawatiran penyaluran subsidi tidak tepat sasaran.

“Rumah tangga kelas atas bisa membeli harga minyak goreng kemasan murah, ini artinya terjadi migrasi dari kemasan yang mahal ke kemasan yang lebih rendah harganya,” katanya kepada Bisnis, Rabu (5/1/2022).

Di samping itu, Bhima mengatakan substitusi ini juga berisiko jika dimanfaatkan oleh pelaku usaha makanan minuman skala besar untuk membeli minyak goreng subsidi.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan kelompok konsumen menengah ke bawah agar mendapatkan hak minyak goreng dengan harga subsidi.

“Selain pengawasan, belum dipastikan juga apakah subsidi ini berlaku sampai akhir tahun, mengingat kemampuan BPDP KS [Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit] juga terbatas,” jelasnya.

Bhima mengatakan, sejauh ini, permasalahan utama yang menyebabkan mahalnya harga minyak goreng ada di hulu, yaitu bahan baku CPO yang meningkat signifikan dalam setahun terakhir.

Karenanya, imbuh dia, solusi kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) CPO jauh lebih tepat dibandingkan subsidi minyak goreng di hilir.

“Dengan DMO, ada kepastian pasokan dan harga bagi produsen minyak goreng, khususnya perusahaan yang tidak terintegrasi dengan perkebunan sawit,” kata Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini : bahan pokok, minyak goreng, harga bahan pokok

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Editor: Feni Freycinetia Fitriani



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah berupaya menjaga pemulihan ekonomi. Salah satunya dengan memberikan bantalan subsidi di tengah kenaikan harga-harga komoditas. Sayangnya, bantuan subsidi tersebut disinyalir tidak tepat sasaran. Misalnya saja, beberapa waktu lalu PT Pertamina (Persero) menyatakan, terjadi ketimpangan realisasi konsumsi antara bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan non-subsidi hingga paruh pertama tahun ini. Pertamina mensinyalir terjadi penyaluran subsidi yang tidak tepat sasaran di tengah masyarakat. Plt. Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Wahyu Utomo mengatakan, pemerintah akan terus berupaya mendorong subsidi agar tepat sasaran. Menurutnya, semua reformasi subsidi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi sosial serta keberlanjutan fiskal dan dilakukan pada momentum yang tepat. Baca Juga: Ada 60 Negara yang Ekonominya Terancam Ambruk, Bagaimana Posisi Indonesia? Wahyu mengatakan, salah satu upaya yang dilakukan agar subsidi tepat sasaran dengan mengubah subsidi berbasis penerima manfaat. Misalnya dengan mengubah dari distribusi terbuka ke distribusi tertutup. “Cuma semua itu dilakukan pada saat kondisi perekonomian kondusif,” tutur Wahyu kepada Kontan.co.id, Senin (15/6). Menurutnya, saat ini disaat harga komoditas sedang tinggi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan tetap berfungsi sebagai shock absorber untuk melindungi daya beli masyarakat dan menjaga pemulihan tetap berlanjut dan semakin menguat. Baca Juga: BKF Sebut Subsidi LPG dan BBM Mayoritas Dinikmati Masyarakat dari Golongan Mampu Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Editor: Khomarul Hidayat

  • Bbm Subsidi
  • belanja subsidi
  • Subsidi
  • subsidi BBM
  • subsidi energi

Apakah subsidi yang diberikan pemerintah selama ini sudah tepat sasaran

PEMBERIAN subsidi BBM saat ini dinilai tidak tepat sasaran, lantaran diberikan dalam bentuk barang atau komoditas. Dengan model pemberian subsidi tersebut semua orang, baik yang mampu maupun yang tidak mampu akan mudah untuk mengaksesnya.

Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof FX Sugiyanto mengatakan, dengan penerapan subsidi BBM seperti saat ini,

maka subsidi dalam APBN akan terus membengkak. Apalagi, penyaluran subsidi sejauh ini tidak ada pengaturan yang jelas.

"Pemerintah harus tegas dan segera menerapkan pengaturan pembatasan BBM
subsidi agar lebih tepat sasaran. Kalau pendekatannya cuma sekedar ajakan atau imbauan tidak akan mempan, karena tetap saja masyarakat akan memilih barang yang lebih murah," kata FX Sugiyanto.

Jika pembatasan BBM subsidi tidak segera dilakukan, lanjutnya, beban APBN akan semakin berat. Padahal, sejauh ini anggaran untuk subsidi BBM telah mencapai Rp500 triliun lebih atau sekitar 18% dari total APBN.

"Subsidi BBM di APBN ini sudah sangat berat, bisa jadi nanti batasan
defisit 4% akan terlampaui," ujarnya.

FX Sugiyanto menambahkan, pemerintah bisa mengambil langkah dengan
menaikkan harga BBM untuk meringankan beban APBN. Meski akan berpengaruh pada kenaikan inflasi, tapi bisa menjaga APBN tidak jebol.

"Kalau mau mengamankan APBN supaya tidak jebol, ya harus menaikkan harga BBM," tegasnya.

Dewan setuju

Sekretaris Komisi B DPRD Jawa Tengah, Muhammad Ngainirrichadl mengaku, setuju jika pemberian subsidi harus diberikan kepada orang yang berhak.

Namun demikian, sebelumnya harus dilakukan perbaikan data, serta pengawasan dan evaluasi, agar tidak terjadi penyimpangan dalam pemberian subsidi.

"Selama ini kan sering terjadi, dari data yang ada, orang yang berhak dapat subsidi malah tidak dapat. Tapi sebaliknya, yang tidak berhak malah dapat bantuan. Untuk itu, perlu ada pengawasan dan evaluasi," tukas Richard.

Dia setuju dengan pembatasan pembelian Pertalite bagi mobil mewah,
sebagai langkah untuk menekan subsidi yang tidak tepat sasaran. Namun, dia mengingatkan agar ada aturan teknis yang jelas di lapangan, agar tidak menimbulkan persoalan baru di SPBU.

"Yang paling tepat menurut saya pembatasan dengan menggunakan kapasitas
mesin kendaraan. Misalnya, kendaraaan dengan kapasitas mesin di atas 2.500 atau 3.000, sehingga petugas SPBU akan lebih mudah membedakan," ujarnya.

Senada, Ketua Ombudsman Jawa Tengah, Siti Farida mengatakan, pengawasan dalam penerapan pemberian subsidi sangat penting, agar tidak

terjadi penyimpangan. Selama ini belum semua instansi mau menerima dan terbuka menerima pengawasan dari Ombudsman dan rekomendasinya.

"Pihak yang mendapatkan mandat nantinya untuk memberikan subsidi harus
terbuka dalam pengawasan, dan menerima masukan termasuk dari ombudsman," jelasnya.

Siti Farida menuturkan, baik subsidi dengan mekanisme melalui barang maupun orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika subsidi diberikan kepada barang seperti saat ini, maka tidak terlalu prosedural, namun rawan terjadi spekulasi dan tidak tepat sasaran. Sementara jika subsidi diberikan ke orang, maka harus ada verifikasi, ada indikator-indikator.

Untuk itu, Siti Farida meminta masyarakat juga terlibat aktif dalam melakukan pengawasan penyaluran BBM bersubsidi di lapangan. Hal ini

mengingat keterbatasan Ombudsman dalam melihat langsung implementasi sebuah kebijakan.

"Karena jangkauan kami cukup luas. Kami bisa menindaklanjuti dengan
koordinasi, dan kalau itu laporan maka dengan pemeriksaan," pungkasnya. (N-2)

Apakah subsidi yang diberikan pemerintah selama ini sudah tepat sasaran

Senin, 11 Juli 2011 - Dibaca 2847 kali

JAKARTA - Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, Jarman mengungkapkan, subsidi listrik bagi masyarakat yang selama ini diberikan pemerintah sudah tepat sasaran karena menurut Jarman, tahun 2010, Rp 29,17 triliun (52%) subsidi listrik diterima 88% pelanggan PLN dari kelompok rumah tangga tidak mampu."Subsidi yang terbesar sudah tepat sasaran. Pelanggan Rumah Tangga Kecil ('tidak mampu') merupakan pelanggan dominan (88%) PT.PLN dan berkontribusi 25,6% terhadap pendapatan PT.PLN, mereka merupakan penerima subsidi listrik terbesar (50,2%)," ujar Jarman dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Jumat (8/7/2011).Dijelaskannya, total subsidi listrik tahun 2010 adalah Rp 58,11 triliun, subsidi pelanggan rumah tangga Rp 33,21 T (57,1%) dan subsidi pelanggan rumah tangga yang tidak mampu (golongan pelanggan 450-1300 VA) Rp 29,17 T (50,2%).Total pelanggan golongan rumah tangga PLN adalah sebanyak 42,18 juta dengan perincian pelanggan rumah tangga 39,10 JUTA (92,7%), dan pelanggan rumah tangga tidak mampu (golongan pelanggan 450-1300 VA) 37,12 JUTA (88,0%). Total pendapatan tahun 2010 adalah Rp. 101,26 trilun dengan perincian, pendapatan dari pelanggan rumah tangga Rp. 36,08 trilun (35,6%), pendapatan dari pelanggan rumah tangga yang tidak mampu adalah Rp. 25,93 T (25,6% ).Pemerintah bersama Komisi VII DPR-RI menyepakati penetapan subsidi listrik untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2011 sebesar 66,33 Triliun meningkat dari sebelumnya (APBN 2011) Rp 40,71 triliun. (SF)

Bagikan Ini!