Ilmu sejarah menyelidiki arti, tujuan sejarah, gerak sejarah, isi, bentuk, makna, tafsiran sejarah, dan sebagainya. Masalah tersebut dapat dikatakan sejarah serba teori, karena ilmu sejarah menyelidiki tentang dasar-dasar pengertian sejarah. Pemecahan masalah memang penting untuk seorang sejarawan. Bagi kita yang penting adalah masalah tempat manusia dalam sejarah, yaitu tentang kebebasan manusia atau peranan manusia dalam sejarah. Masalah yang berkaitan dengan filsafat sejarah tersebut tidak dapat dipecahkan secara absolut, artinya tidak diberi satu jawaban yang dapat diterima dan dapat memuaskan semua orang. Jawabannya bersifat relatif atau tidak absolut, di satu sisi benar, di sisi lain mungkin salah. Menganalisis sejarah (kejadian sejarah) berarti mencari hakekat dari kejadian-kejadian tersebut. Hasil analisis tersebut adalah penyusunan atau penceritaan kembali suatu cerita sejarah . Dalam analisis tersebut terdapat juga adanya gerak sejarah, hukum sejarah seperti halnya menganalisis suatu benda dalam ilmu pengetahuan alam. Analisis sejarah yang obyektif bila analisis itu didasarkan pada sumber-sumber yang ditemukan, peranan pikiran manusia yang menganalisis (subyek) hanya terbatas kepada kemampuan mencari adanya saling hubungan antara cerita yang terdapat pada sumber-sumber sejara tersebut. Sejarah manusia adalah peran sejarah hanya manusia saja, penulis sejarah manusia juga, peminat sejarah juga manusia, maka manusialah yang harus dipandang sebagai inti permasalah tersebut. Oleh kerena itu, dapatlah dimengerti bahwa munculnya masalah itu dipandang sebagai akibat pendapat manusia tentang dirinya, a) manusia bebas menentukan nasibnya sendiri, dengan istilah internasional otonom; dan b) manusia tidak bebas menentukan nasibnya, nasib manusia ditentukan kekuatan di luar kekuatan dirinya, manusia disebut heteronom. Faham bahwa manusia itu otonom dalam istilah filsafat disebut indeterminisme dan faham heteronom disebut determinisme. Pada umumnya percaya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh dirinya sendiri. Evolusi jasmaniah adalah evolusi kebendaan, evolusi duniawi, kefanaan, misalnya kemajuan teknik: kapal api, kereta api, pabrik, dan sebagainya. Gerak sejarah tidak menuju ke akhirat, tetapi ke arah kemajuan duniawi, maka dalam dunia yang seolah-olah tidak memerlukan Tuhan lagi itu, timbullah faham-faham baru yang berpedoman pada evolusi tak terbatas, diantaranya faham historical materialism atau economic determinism. a. Pandangan Sejarah Menurut Hukum Fatum Hukum fatum dalam diri manusia bersumber dari alam pikiran yunani. Manusia pada dasarnya sama dengan jagad raya, alam. Manusia disebut mikro-cosmos (alam kecil), jagad raya disebut makro-cosmos (alam raya). Baik alam raya maupun alam kecil tunduk pada suatu hukum yang dinamakan hukum alam yang telah ditetapkan yakni nasib atau fatum. Perjalanan hidup matahari, bintang, manusia dan sebagainya, tidak menyimpang dari jalan atau lingkaran yang ditentukan oleh nasib atau fatum. Pandangan sejarah menurut hukum fatum di indonesia disebut cakra-manggiling (roda berputar). Manusia menurut cakra-cakra-manggiling tidak dapat melepaskan diri dari cakram (roda) yang berputar terus menerus itu. Nasib manusia telah ditentukan , bergerak naik- turun sesuai gerak irama cakram makro-cosmos dan mikro-cosmos. Tidak perlu lagi memikirkan kejadian apa yang menimpanya karena telah dikodratkan. Masa yang sekarang perlu dinikmati sepuas-puasnya, bergembira dengan ketentuan nasib. Berikut penggambaran R. Moh Ali (1961) tentang Cakra Manggiling, yaitu cakram-berputar dan digambarkan demikian: Artinya ialah bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari cakram itu dan bahwa segala kejadian-peristiwa berlangsung dengan pasti. Nasib (kadar) adalah kekuatan tunggal yang menentukan gerak sejarah. Manusia hanyalah menjalaninya saja dan menjalankan kadarnya, maka oleh sebab itu manusia Yunani hidup dengan bebas, tidak memikirkan sesuatu. Segala sesuatu berjalan dengan sendirinya. Apakah guna memusingkan hal-hal yang tidak dapat diubah atau dipengaruhi. Kadar, nasib atau fatum bagi alam Yunani merupakan kekuatan tunggal yang tak dikenal dan tak perlu dikenal. Penggerak cosmos diterima pemberiannya dengan gembira: amor pati. Oleh sebab itu cerita sejarah dari masa itu melukiskan kejadian-peristiwa dengan rasa gembira dan menyerah kepada kadar (Ali, 1961:77). b. Pandangan Sejarah Menurut Santo Augustinus Santo Agustinus menulis pandangannya tentang sejarah dalam karyanya yang tekenal Civitas Dei (Kerajaan Tuhan). Dalam bukunya mengatakan bahwa sejarah adalah epos perjuangan antara dua unsur yang saling bertentangan, yakni yang baik dan yang jahat atau civitas dei dengan civitas diaboli (diaboli=setan, iblis). Mula-mula manusia mengikuti civitas diaboli, tetapi kemudian akan mengikuti dan tegak dalam civitas dei (Kerajaan Tuhan). Paham fatum Yunani (syclis) mempengaruhi pandangan sejarah Agustinus. Terutama tentang fatum atau nasib, kadar terdapat dalam pandangannya, tetapi fatum bukanlah menjadi kekuatan tunggal yang berasal dari hukum alam, melainkan kehendak Tuhan. Faham fatum Yunani kemudian menjelma dalam agama Nasrani sebagai faham ketuhanan dengan sifat-sifat yang sama: 1) Kekuatan tunggal fatum menjadi Tuhan. 2) Serba keharusan, menurut rencana alam, menurut ketentuan faham menjadi kehendak Tuhan. 3) Sejarah sebagai wujud qadar menjadi sejarah sebagai wujud kehendak Tuhan. Kesimpulan dari penjelmaan hukum cakra manggiling, ialah bahwa manusia tidak bebas menentukan nasibnya sendiri. Ia menerima nasib dari Tuhan, apa yang diterima sebagai kehendak Tuhan. Tuhan sudah menentukan perjalanan hidup yang sudah ditentukan Tuhan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tuhan sudah menentukan perjalanan hidup manusia dan alam, manusia tidak dapat mengubah garis hidup yang sudah ditentukan. Bagi alam fikiran Yunani manusia menerima segala sesuatu dengan amor fati (gembira), bagi alam kodrat ilahi pemberian Tuhan diterima dengan fiat voluntas tua (kehendak Tuhan terlaksanalah). Santo Agustinus menghimpun suatu teori sejarah berdasarkan fiat voluntas tua itu. Gerak sejarah dunia diibaratkan riwayat hidup manusia, babakan waktu disusun menurut tingkatan hidup manusia. Tabel 1. Babakan Waktu Tingkatan Hidup Manusia No Santo Agustinus Artinya Zaman 1 Infantia Bayi Adam sampai Nuh 2 Pueritia Kanak-kanak Sem, Jafet 3 Adulescentia Pemuda Ibrahim sampai Daud 4 Inventus Kejantanan-dewasa Daud 5 Gravitas Dewasa-bijaksana Babilonia-Lahir Isa Al-Masih Sampai Akhir Zaman 6 Senectus 7 Kiamat Tua Pemilihan antara baik-jahat (Sumber: Ali, 1961:78) Gerak sejarah ialah terwujudnya Kehendak Tuhan, yaitu Civitas Dei atau Kerajaan Tuhan. Bila Civitas Dei itu akan menjadi wujud belum diketahui, yaitu sebelum dan sesudah kiamat, tetapi nyatalah bahwa Tuhan akan mengadakan pemilihan, barang siapa taat dan menerima kehendak Tuhan di terima di sorga, barang siapa menentang kehendak Tuhan akan menjadi penduduk neraka atau jahanam. Masa sejarah adalah masa percobaan, masa ujian bagi manusia. Kehendak tuhan harus diterima dengan rela dan ikhlas, manusia tidak dapat melepaskan diri dari dari kodrat ilahi. Keharusan kodrat ilahi menurut faham ini ditambah dengan ancaman di akhirat, masuk civitas Zaman lampau sebagai perwujudan kehendak Tuhan adalah cermin atau hikmah untuk mengetahui kodrat ilahi. Zaman yang akan datang adalah masa medan perjuangan untuk mendapat tempat di Civitas Dei. Maka peri kehidupan manusia ditujukan kepada Civitas Dei, kepada akhirat, kecemasan dan ketakutan meliputi seluruh alam fikiran itu. Apakah nasib yang akan diterima kelak? Fiat Voluntas tua (kehendak Tuhan terlaksanalah). Manusia menyerah kepada kehendak Tuhan, ia menerima segala sesuatu, menyerahkan nasib kepada gereja. Demikianlah pandangan sejarah Eropa di masa abad pertengahan (midlle ages), manusia hanya menanti-nantikan kedatangan Civitas Dei. Gerak sejarah bermata air kodrat ilahi dan bermuara pada Civitas Dei. Augustinus merupakan orang pertama di Eropa yang merefleksikan hakikat sejarah dari sudut teologis. Titik pusat yang menguasai segala-galanya di dalam sejarah adalah kedatangan mesias yang dapat memberi arti dan makna bagi setiap kejadian sejarah masa lampau dan akan datang (Purnomo, 2000:173). Menurut Purnomo (2003), ada dua hal yang ditekankan dalam pemikiran Augustinus. Pertama, berusaha memperkenalkan teori sejarah yang linear. Bagi Ausgustinus gerak sejarah bercorak teologis, punya tujuan akhir. Augustinus menolak pandangan sejarah yang siklus karena tidak sesuai dengan kitab suci. Kedua, menekankan bahwa kegagalan manusia dalam sejarah lebih disebabkan oleh peccatum ordinale, yang berarti desa asal, bukan oleh Humartia yang merupakan pelarian dari dari kesalahan moril (escapisme moril). Augustinus berusaha untuk memperkenalkan pengertian desa asal, walaupun pengertian tersebut sudah ada dalam kitab suci. Baginya, sejarah keselamatan adalah peristiwa jatuh bangunnya bangsa Yahudi terus-menerus dari dosa dan pengampunan yang kemudian berakhir pada penebusan. Masa diantara kebangkitan sampai kedatangan Kristus kembali adalah masa percobaan pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Masa diantara kebangkitan sampai kedatangan Kristus kembali adalah masa percobaan, pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Sejarah keselamatan akan berlangsung sampai akhir zaman dan hanya kerajaan abadi dari Tuhan yang akan menggantikannya. Augustinus menganggap sejarah profan sebagai suatu pertentangan universal antara Civitate Dei (kerajaan Tuhan) dan Civitate Terena adalah Vaonitas (kesia-siaan), hawa nafsu dan kecongkakan. Augustinus adalah seorang penulis yang sangat produktif, terutama mengenai masalah-masalah teologi. Beberapa karya tulisnya yang kontroversial berkaitan dengan persoalan masa itu, dan tak mengandung perhatian yang lebih jauh kecuali dengan kaum pelagian, bisa dibilang tetap berpengaruh hingga zaman modern. Banyak karyanya sangat berpengaruh dan terkenal hingga kini diantaranya yaitu: 1) Confessiones, pengakuan (semacam riwayat hidup). 2) De Trinitate, tentang Allah Tri Tunggal. 3) De Natura et Gratia, tentang kodrat dan rahmat. 4) De civitate dei, tentang negeri Allah (sebuah buku mengenai masyarakat kristiani yang ideal dan hubungan antara negara dan agama, besar pengaruhnya pada abad pertengahan). 5) De quantitate Animae, tentang mutu jiwa. Selain karya-karya diatas, Augustinus juga menghasilkan karya-karya lainnya seperti De Beate Vita (on the happy life), De ordine (on order), De limortalite Animae (on the liner tolity of the soul), Soliluques (monoloque), de Magistra (concerning the teacher), De vera religion (on true religion), De libero arbitria (on free will), dan lain-lain. c. Teori Progresif-Linear Menurut Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun, nama lengkapnya adalah Abu Zaid Abdurrachman Ibnu Muhammad Ibnu Khaldun Wali Addin at tunisi al Hadrami al Syilbi. Buku Ibnu Khaldun yang terkenal adalah “Mukkahdimah”, Ia mendefinisikan sejarah adalah catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia; tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat itu, seperti kelahiran, keramah-tamahan dan solidaritas golongan, tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan lain, akibatnya timbul kerajaan-kerajaan dan negara dengan tingkat bermacam-macam kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya, berbagai macam cabang ilmu pengetahuan dan pertukangan, dan pada umumnya tentang segala macam perubahan yang terjadi di dalam masyarakat karena watak masyarakat itu sendiri (Tamburaka, 2002:10). Kalau pandangan sejarah menurut Santo Agustinus berdasarkan kehendak Tuhan, maka menurut Ibnu khaldun bahwa sejarah adalah berdasarkan pada kenyataan. Dan tujuan sejarah adalah agar manusia sadar akan perubahan masyarakat. Menurut Ibnu Khaldun, bahwa seluruh peristiwa dalam panggung sejarah kemanusiaan itu adalah suatu garis menaik dan meningkat ke arah kemajuan dan kesempurnaan. Pencetus teori progresif-linear ini memandang, bahwa sejarah berlangsung dalam suatu garis linear yang menuju ke progres dan profeksi, dengan indikatornya adalah peristiwa atau fakta-fakta sejarah sebagai hasil perbuatan manusia yang mengandung nilai-nilai kesejarahan. Sedangkan teorinya tentang Ashabyah atau perasaan cinta golongan atau perasaan bermasyarakat, menurutnya bahwa solidaritas sosial muncul karena mengutamakan sebagai akhlak atau moral dan menempatkan orang pada peranan yang tepat serta pengaruh faktor geneologis atau keturunan. Ibnu Khaldun, adalah seorang sarjana Arab yang ternama, ialah yang dapat dipandang sebagai ahli sejarah yang paling pertama. Teorinya didasarkan pada kehendak Tuhan sebagai pangkal gerak sejarah seperti Santo Agustinus, akan tetapi Ibnu Khaldun tidak memusatkan perhatiannya kepada akhirat. Baginya sejarah adalah ilmu berdasarkan kenyataan, tujuan sejarah ialah agar manusia sadar akan perubahan masyarakat sebagai usaha penyempurnaan peri kehidupannya. Pendapat Ibnu Khaldun tertuang dalam bukunya An Arab Philosophy of history translated and arranged dalam Charles Issawi (halaman 26-30): Sejarah ialah kisah masyarakat manusia atau kisah kebudayaan dunia, yaitu kisah perubahan-perubahan yang terjadi karena kodrat masyarakat itu seperti masa kebiadaban, masa saling membantu terus ke masa persatuan golongan, kisah revolusi, pemberontakan yang timbul antara bangsa dengan bangsa dan kisah kerajaan-kerajaan dan negara-negara yang timbul karena revolusi dan pemberontakan itu, kisah kegiatan dan pekerjaan manusia, yaitu pekerjaan untuk mendapatkan nafkah, atau kegiatan dalam macam-macam ilmu dan usaha, dan umumnya kisah dari perubahan yang terjadi karena kodrat manusia. Keadaan dunia dan keadaan negara-negara dan adat lembaganya serta cara-cara penghidupannya (produksi) tidak tinggal tetap dan bersifat kekal (tak berubah) akan tetapi terus berubah sepanjang masa dan berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Demikian halnya manusia, waktu, kota-kota mengalami perubahan, maka iklim, masa, daerah dan negara juga akan mengalami perubahan itulah hukum yang telah ditentukan oleh Allah untuk para mukmin (Ali, 1963: 72). Dengan tegas Ibnu Khaldun menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat karena qadar Tuhan, yang terdapat dalam masyarakat adalah “naluri” untuk berubah. Justru perubahan-perubahan itu berupa revolusi, pemberontakan, pergantian lembaga, dsb, maka masyarakat dan negara akan mengalami kemajuan. Manusia dan semua lembaga-lembaga yang diciptakannya dapat maju karena perubahan. Ibnu Kholdun dengan tegas menyatakan perubahan sebagai dasar kemajuan dan itulah yang kemudian belakangan disebut teori evolusi (teori kemajuan) yang dicetuskan oleh Charles Darwin. Perbedaan antara teori Santo Agustinus dan Ibnu Khaldun tampak dari akhir tujuan terakhir. Agustinus mengakhiri sejarah dengan dwitunggal sorga-neraka, bagi Ibnu Khaldun sejarah menuju ke arah timbulnya beraneka warna masyarakat, negara dengan manusianya menuju ke arah kesempurnaan hidup. Teori Agustinus menciptakan manusia menyerah. Teori Ibnu Khaldun mendidik manusia menjadi pejuang yang tak kenal mundur. Puncak gerak sejarah ialah umat manusia bahagia dengan beraneka ragam masyarakat, negara, kesatuan hidup lainnya yang sempurna. 1) Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun Filsafat sejarah menurut Ibn Khaldun yaitu mengkaji fenomena-fenomena sosial secara lebih umum, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, mengkajinya dari segi tujuan yang ingin dicapai, serta hukum mutlak yang mengendalikannya sepanjang sejarah. Dalam pandangannya masyarakat merupakan mahluk histories yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum khusus, yang berkenaan dengannya. Hukum itu dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena sosial. Ibnu Khaldun berpendapat sesungguhnya ‘ashabiyah merupakan asas berdirinya suatu negara, dan faktor ekonomis yang merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat. Dari pendapat itu, Khaldun dapat dianggap sebagai tokoh pelopor materialisme sejarah, jauh sebelum Karl Marx. Dengan karyanya terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle Theory of History, yaitu satu teori Filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan di dunia Timur dan Barat tentang kematangannya. Ibnu Khaldun dengan teorinya berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah satu siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban. Ia mengalami masa lahirnya, masa berkembang, masa puncaknya kemudian masa menurun dan akhirnya masa kehancuran. Khaldun mengistilahkan siklus ini dengan tiga tangga peradaban. Dalam buku Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, Toto Suharto menambahkan bahwa masa lahir, masa berkembang hingga masa kehancuran tersebut akan mengalami suatu proses siklus menuju evolusi dan proses sehingga membentuk spiral. 2) Konsep Gerak Sejarah Ibnu Khaldun Konsep gerak sejarah Ibn Khaldun mengikut pada tiga aliran Filsafat sejarah. Pertama, aliran sejarah sosial. Aliran ini berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat ditafsirkan dan teori-teorinya dapat diuraikan dari fakta-fakta sejarah. Kedua, aliran ekonomi. Aliran ini menafsirkan sejarah secara materialis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis. Setiap perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomenanya merujuk pada faktor ekonomi. Karl Marx adalah tokoh yang mengembangkan aliran Filsafat sejarah ini dikemudian hari. Gerak sejarah Ketiga, aliran geografis. Aliran ini memandang manusia sebagai putra lingkungan alam, dan kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Oleh karena itu dalam pensejarahannya, seseorang, masyarakat dan tradisi-tradisinya dibentuk oleh lingkungan dan alam dimana ia berada. Alam dan lingkungan memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat, walaupun manusia sendiri juga bisa mempengaruhi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Ibnu Khaldun fenomena-fenomena sosial tunduk pada hukum perkembangan. Demikian juga dengan gerak sejarah, ia mengalami perkembangan, yaitu mempunyai corak dialektis. Selanjutnya dalam pandangan Ibn Khaldun ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi dan mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu. Pertama, faktor ekonomi. Menurut Ibn Khaldun kegiatan ekonomi menentukan bentuk kehidupan. Perbedaan agama seseorang bisa lahir karena penghidupan, keadaan dan waktu. Kegiatan ekonomi menjadi salah satu yang terpenting dalam mengendalikan kehidupan sosial, politik, moral masyarakat dan pikiran mereka. Kedua, faktor geografis, lingkungan dan iklim. Pengaruh geografi misalnya orang yang menempati kawasan yang kaya hasil bumi, biasanya cenderung malas-malasan dan pengaruhnya mereka akan malas serta lamban dalam berpikir. Sedangkan orang yang menempati kawasan yang miskin hasil bumi, cenderung rajin dalam bekerja karena makanannya terbatas tetapi pemikiran mereka lebih tajam. Ketiga, faktor agama. Ibn Khaldun meyakini adanya pengaruh dan pengarahan Tuhan terhadap segala yang terjadi. Ia berkesimpulan bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia wujud pada setiap ruang dan masa. Alam dan seisinya dibagikan kepada manusia sebagai khalifah-Nya. Sisi inilah yang membuktikan bahwa Ibn Khaldun merupakan seorang pemikir dan ahli Filsafat sejarah Islam. Ia mampu menghubungkan antara ekonomi, alam dan hukum determinisme dalam sejarah. Berkaitan dengan hukum determinisme sejarah, Ibnu Khaldun menguraikannya dalam tiga hukum Pertama, Hukum Sebab-Akibat (Legal Causality) yaitu hukum determinisme yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kealaman pada asal mulanya. Khaldun menerapkan dan menjadikan hukum ini sebagai salah satu diantara dua prinsip filsafatnya. Ia meyakini adanya hubungan sebab-akibat antara realitas dengan fenomena. Ia berasumsi bahwa semua realitas di alam ini dapat dicari hukum kausalitasnya. Kecuali mukjizat para nabi dan karomah para wali. Kedua, Hukum Peniruan (Legal Copying). Menurut Khaldun peniruan itu sendiri merupakan satu hukum yang umum. Peniruan bisa menyebabkan kesamaan sosial. Ia menguraikan bahwa kelompok yang kalah selalu meniru kelompok yang menang dalam pakaian, tanda-tanda kebesaran, aqidah dan adat. Ketiga, Hukum Perbedaan (Legal Differences). Hukum ini juga diasumsikan sebagai salah satu hukum determinisme sejarah. Masyarakat menurut Ibnu Khaldun tidaklah sama secara mutlak, tetapi terdapat perbedaan-perbedaan yang harus diketahui oleh sejarawan. Lebih jauh Ibnu Khaldun menghubungkan bahwa perbedaan-perbedaan semakin membesar karena faktor geografis, fisik, ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi dan agama. Selain itu menurut Ibnu Khaldun, sumber (rujukan) memainkan peranan menjadikan sebuah karya itu berwenang atau sebaliknya. Sumber bisa dibagi dua jenis yaitu sumber pertama yang disebut sebagai sumber primer dan sumber kedua yang disebut sebagai sumber sekunder. Sumber pertama adalah sumber yang berada dalam keadaan asli atau sebelum ditafsirkan. Sedangkan sumber kedua ialah merupakan hasil ataupun karya yang ditulis seseorang terhadap sesuatu peristiwa atau perkara yang didasarkan kepada sumber pertama. Ibnu Khaldun telah menggunakan pendekatan atau kaidah ilmu haditsh dalam menilainya terhadap sumber yang mengandung informasi berkaitan dengan syariat Islam. Kaidah ilmu haditsh yang dimaksudkan disini dengan jalan mengkaji dari sudut periwayatan dari seorang individu kepada individu yang lain hingga sampai ke Nabi Muhammad SAW. d. Pandangan Sejarah Menurut Giambattista Vico (1668-1744 M) Giovanni Battista (Giambattista) Vico atau Vigo (23 Juni 1668–23 Januari 1744) adalah seorang filsuf politik Italia, ahli pidato, sejarawan, dan ahli hukum. Seorang kritikus rasionalisme modern dan apologis kuno klasik Vico magnum opus adalah Principi di Scienza Nuova d’Natura intorno alla Comune delle Nazioni, sering diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai Ilmu Baru, yang dapat harfiah diterjemahkan sebagai “Prinsip atau Asal Usul Baru atau Pembaruan ilmu Tentang atau Sekitarnya Sifat umum dari Bangsa“. Karya ini secara eksplisit disajikan sebagai “ilmu penalaran” (Scienza di ragionare), dan termasuk dialektika antara aksioma (maksim otoritatif) dan sering diklaim sebagai filosof yang memiliki filsafat sejarah modern, meskipun istilah ini tidak ditemukan dalam teks (Vico berbicara tentang suatu “sejarah filsafat diriwayatkan filosofis”). Vico lahir dari penjual buku dan putri seorang pembuat kereta di Naples, Italia, Vico menghadiri serangkaian sekolah tata bahasa, tapi sakit dan ketidak puasan dengan skolastik Yesuit menyebabkan ia sekolah di rumah. Setelah serangan tifus pada 1686, Vico menerima posisi les di Vatolla (sebuah Frazione dari pemerintah ataupun dari Perdifumo), selatan Salerno, yang berlangsung selama sembilan tahun. Pada 1699, ia menikah dengan teman masa kecil, Teresa Destito, kemudian duduk dalam retorika di Universitas Naples. Pada 1734, ia diangkat penulis sejarah kerajaan oleh Charles III, raja Naples, dan diberikan gaji yang jauh melebihi yang dari jabatan profesor. Vico mempertahankan kursi retorika sampai sakit, ia pensiun pada |