KeluargaKamis, 30 Desember 2021 Show Kamis, 30 Desember 2021Bacaan 6 Menit
Apakah hukumnya jika mantan istri meminta nafkah, sedangkan mantan istrilah yang menceraikan suami dalam keadaan sakit? Pada dasarnya, tidak tertutup kemungkinan dalam perkara cerai gugat, istri sebagai pihak penggugat menuntut nafkah idah, nafkah mut’ah, dan nafkah anak, sepanjang alasan perceraian bukan karena nusyuz. Yang dimaksud dengan nusyuz adalah perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suami (tanpa alasan) yang tidak dibenarkan oleh hukum. Namun demikian, dikabulkannya permohonan hak istri setelah menggugat cerai suami ini sifatnya kasuistik, tergantung alasan dan kondisi-kondisi yang terjadi. Termasuk kemampuan ekonomi suami yang tentu saja terdampak oleh kondisinya yang sakit. Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel berjudul Cerai karena Suami Sakit, Masihkah Istri Berhak Memperoleh Nafkah? yang dipublikasikan pertama kali pada 20 Mei 2020. Untuk membahas pertanyaan Anda, mari simak pembahasan tentang hak istri setelah menggugat cerai suami melalui paparan berikut ini. Perceraian dalam Hukum Perdata Islam Analisis hak istri setelah menggugat cerai suami tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks perceraian dalam hukum perdata Islam yang berlaku. Dalam Islam, jika suami merasa dirugikan dengan perilaku maupun kondisi istrinya, ia berhak menjatuhkan talak. Begitu pula sebaliknya, jika istri minta cerai karena tidak bahagia dan merasa dirugikan dengan perilaku dan kondisi suaminya, ia dapat melakukan rapak cerai. Cerai rapak atau rapak cerai adalah gugatan cerai yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya. Proses gugatannya dapat melalui khulu’ maupun fasakh. Klasifikasi Perceraian atas Inisiatif Pasangan Sebelum membahas hak istri setelah menggugat cerai suami, perlu diketahui terlebih dahulu jenis-jenis perceraian menurut hukum Islam di Indonesia. Dapat diringkas, perceraian dalam hukum perdata Islam dapat diklasifikasikan atas inisiatif pasangan, sebagai berikut:
Bentuknya dapat berupa:
Kategori Pembagian Nafkah Istri Setelah Perceraian Terkait nafkah atau hak istri setelah cerai menurut Islam, Rendra Widyakso dalam Tuntutan Nafkah dalam Perkara Cerai Gugat pada laman Pengadilan Agama Semarang, menerangkan bahwa ada beberapa kategori pembagian nafkah kepada mantan istri setelah perceraian:
Yaitu nafkah yang telah lampau dan tidak selalu dihubungkan dengan perkara cerai talak. Dalam hal ini, istri dapat mengajukan tuntutan nafkah madhiyah saat suaminya mengajukan perkara cerai talak dengan mengajukan gugatan rekonvensi.
Pasca putusan, mantan istri akan menjalani masa idah. Sehingga konsep nafkah idah sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dijadikan illat yang sama terhadap perkara cerai talak.
Konsepnya adalah istri yang dicerai merasa menderita karena harus berpisah dengan suaminya. Guna meminimalisasi penderitaan atau rasa sedih tersebut, maka diwajibkanlah bagi mantan suami untuk memberikan nafkah mut’ah sebagai penghilang pilu. Namun, beberapa pendapat menyatakan bahwa apabila yang mengajukan gugatan cerai adalah istri, makanafkah mut’ah dianggap tidak ada.
Tentunya jatuh pada saat setelah terjadinya peristiwa cerai. Tidak menutup kemungkinan dibolehkan dalam perkara cerai gugat untuk mengajukan tuntutan atas nafkah anak. Persoalan kewajiban ayah pada anak setelah bercerai menurut islam sebagaimana diatur dalam KHI wajib dipenuhi sesuai kemampuan ayahnya hingga anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri. [2] Selanjutnya, secara spesifik, Pasal 149 KHI mengatur bahwa: Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
Namun, bagaimana jika perceraian terjadi karena gugatan dari pihak istri? Penting untuk diketahui bahwa KHI tidak menyebutkan hak istri setelah menggugat cerai suami secara eksplisit. Namun, yang jelas, KHI menyatakan hak istri setelah menggugat cerai suami adalah mendapat nafkah idah dari bekas suaminya, kecuali ia nusyuz.[3] Menurut KBBI, yang dimaksud dengan nusyuz adalah perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suami (tanpa alasan) yang tidak dibenarkan oleh hukum. Lebih lanjut, KHI menerangkan bahwa istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban utama,[4] yakni berbakti lahir dan batin kepada suaminya di dalam batas-batas yang dibenarkan hukum Islam.[5] Kemudian, apabila terjadi lian, maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.[6] Arti lian menurut KBBI adalah sumpah seorang suami dengan tuduhan bahwa istrinya berzina, sebaliknya istrinya juga bersumpah dengan tuduhan bahwa suaminya bohong. Masing-masing mengucapkannya empat kali, sedangkan yang kelima mereka berikrar bersedia mendapat laknat Allah jika berdusta. Akibatnya, suami istri itu bercerai dan haram menikah kembali seumur hidup. Nafkah ketika Istri Menggugat Cerai dalam Praktiknya Kendati demikian, dalam praktik peradilan agama, gugatan akan nafkah atau hak istri setelah menggugat cerai suaminya disertakan saat gugatan cerai. Sehubungan dengan hal ini, tidak sedikit dalam kasus gugatan cerai, gugatan tersebut dikabulkan oleh hakim. Contoh kasus dikabulkannya gugatan hak istri setelah menggugat cerai suami dapat ditemukan pada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 2615/Pdt.G/2011/PA.JS, sebagaimana diuraikan oleh Erwin Hikmatiar dalam Nafkah Iddah pada Perkara Cerai Gugat. Dalam kasus cerai gugat ini, hakim menjatuhkan putusan bahwa mantan suami sebagai tergugat wajib memberikan nafkah kepada mantan istrinya sebagai penggugat. Bentuk hak istri setelah menggugat cerai suami dalam kasus ini, antara lain (hal. 165):
Hak istri setelah menggugat cerai suami berupa nafkah idah ini dianggap sebagai kewajiban dari mantan suami kepada istri yang telah diceraikan. Hal ini merupakan suatu sikap yang sepatutnya dilakukan oleh suami karena nafkah idah bisa sedikit meringankan beban hidup ketika menjalani masa idah dan bisa menjadi pelipur lara bagi istri. Hal ini dikonfirmasi pula oleh Mahkamah Agung dalam Lampiran SEMA 3/2018, di mana hak istri setelah menggugat cerai suami dapat berupa nafkah idah dan nafkah mut’ah sepanjang tidak nusyuz (hal. 15). Namun, hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah idah, nafkah mut’ah, dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup istri dan/atau anak (hal. 14). Berdasarkan putusan dan edaran tersebut, tidak tertutup kemungkinan dalam perkara cerai gugat, pihak penggugat (istri) dapat mengajukan hak istri setelah menggugat cerai suami berupa nafkah nafkah idah, nafkah mut’ah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz. Namun menurut hemat kami, dikabulkannya permohonan hak istri setelah menggugat cerai suami ini sifatnya kasuistik, tergantung alasan dan kondisi-kondisi yang terjadi. Termasuk kemampuan ekonomi suami yang tentu saja terdampak oleh kondisinya yang sakit. Demikian jawaban kami terkait hak istri setelah menggugat cerai suami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum:
Referensi:
[1] Pasal 1 huruf i Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) [2] Pasal 156 huruf d KHI [3] Pasal 152 KHI [4] Pasal 84 ayat (1) KHI [5] Pasal 83 ayat (1) KHI [6] Pasal 162 KHI Tags: Apa hukum nya jika istri selalu minta cerai?Namun, hukum istri meminta cerai adalah haram jika tanpa alasan syar'i. Sebab, dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja perempuan yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas perempuan tersebut,” (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Istri minta cerai karena suami menikah lagi?"Dan dibolehkan bagi seorang wanita untuk meminta cerai karena suaminya telah menikah dengan wanita lain," tutur dia seperti dilansir Elbalad, Ahad (5/6/2022). Syekh Al-Jundi juga menjelaskan, seorang wali bisa membatasi apa yang dibolehkan, yang dalam hal ini ialah poligami.
Bolehkah seorang istri mengajukan cerai kepada suaminya?Berdasarkan UU Perkawinan dan PP 9/1975, gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami atau juga istri atau dapat diwakili kuasanya. Itu artinya istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai terhadap suami.
Apakah bisa terjadi perceraian jika salah satu pihak bersikeras tidak mau bercerai?Solusi ketika salah satu pihak tidak ingin bercerai adalah dengan tetap mengajukan gugatan cerai pada pengadilan. Tetap mengajukan perceraian ke Pengadilan yang berwenang adalah hak Anda sebagai istri, apabila suami tidak sepakat hal tersebut nantinya dapat dirundingkan di Pengadilan.
|