Apa yang ditugaskan oleh guru Drona kepada Bima

Apa yang ditugaskan oleh guru Drona kepada Bima
Sumber : disini

Tubuhnya besar dan gempal. Dia mempunyai brewok yang lebat. Kalau berbicara tidak bisa halus kepada siapa saja. Orangnya tulus, pemberani dan sakti. Adik dari Puntadewa. Dia adalah sang Bima yang perkasa.  Bima adalah anak kedua dari Pandawa Lima

Bima atau Werkudara hanya berbicara halus kepada seorang saja yaitu Dewa Ruci. Dewa Ruci adalah guru sejati bagi Werkudara. Resi Drona saat itu sedang menggunakan akal liciknya untuk menyingkir Werkudara. Maka, Werkudara ditugaskan mencari Tirta Prawitasari ke dasar Samudra.

Tirta Prawitasari atau Air Kehidupan sebenarnya ada di dasar hati manusia. Karena bujukan Sengkuni atas Drona maka Bima ditugaskan mencari Tirta Prawitasari. Sengkuni berharap jika Bima masuk ke dalam samudra maka dia akan mati terbunuh oleh makhluk dasar laut.

Karena Werkudara itu tulus dan patuh kepada gurunya. Werkudara mengerjakan dengan sepenuh hati tanpa dia pikir panjang. Perintah Gurunya maka Sami’na Wa Atho’na ( Kami mendengar dan Kami Taati). Rantai komando harus ditaati tanpa bantahan. Werkudara masuk ke dalam dasar samudra.

Bima menyelam ke dalam samudra bertemu dengan dua Raksasa yaitu Rukmaka dan Rukmakala. Dua raksasa tersebut dihajar sampai tewas. Ternyata, Dua raksasa itu adalah jelmaan Batara Bayu dan Batara Indra yang disumpah oleh Batara Guru jadi Raksasa. Karena Dua Raksasa itu telah mati maka dua batara yang disumpah naik ke Kahyangan.

Werkudara bertemu dengan Naga bernama Nemburnawa maka sang Naga dihajar habis. Kuku Pancanaka yang dipakai werkudara telah merobek sang Naga. Sang Naga tewas dengan mengenaskan. Selesai berkelahi, Werkudara duduk termenung.

Werkudara bingung kemana lagi harus mencari Tirta Prawitasari. Sengkuni dan kroni mungkin baru terkekeh-kekeh membicarakan ketololan Werkudara. Tetapi, Kalau Sengkuni tau keadaan Bima saat itu. Maka siapakah yang tolol ? Sengkuni atau Werkudara? Werkudara semakin kuat dan berpengalaman berkelahi.

Dia mungkin sudah menyumpah serapahi dirinya sendiri. “Mengapa gue jadi tolol gini? “,Gumamnya.”Sial, gue dikerjain sang guru”, tambahnya dalam hati.  Dia tidak sadar melakukan dua hal besar yaitu membunuh dua raksasa dan seekor naga. Kalau Sengkuni mendengar itu, saya yakin dia akan kencing di celana saking takutnya.

Setelah itu Werkudara duduk terdiam di atas samudra. Di sini,Werkudara bertemu dengan gurunya atau dewanya yang sejati yaitu Dewa Ruci. Werkudara diminta masuk kedalam lubang telinga dewa kerdil itu atau Dewa Ruci. Werkudara masuk dan mendapat wejangan tentang makna kehidupan.

Werkudara juga melihat suatu daerah yang damai, aman, dan tenteram. Setelah itu, Werkudara menjadi seorang pendeta bergelar Begawan Bima Suci dan mengajarkan apa yang telah ia peroleh dari Dewa Ruci. Ksatria yang menjadi Begawan.

Kesetian Werkudara atas gurunya diganjar dengan gelar Begawan Bima Suci. Ini terkait dengan niat dan cara yang baik. Barangsiapa yang berniat baik maka akan mendapat kebaikan. Asal dilakukan dengan cara yang baik pula. Niat dan cara yang baik akan memberi keberkahan dan keberuntungan. Maka, marilah kita berniat baik dan menggunakan cara yang baik

Hahahahaha…….

Published May 9, 2017May 9, 2017

Cerita singkat Panca Pandawa dan Seratus Korawa berguru kepada Resi Drona. Dalam hal berguru sikap Panca Pandawa selalu jujur berani dan benar, taat dan patuh serta selalu hormat kepada perintah guru (Guru Susrusa), sehingga apa yang diharapkan dalam belajar dapat dicapai terutama dalam Ilmu Danur Dara (ilmu menggunakan panah), sopan santun, sikap susila dan etika. 

Apa yang ditugaskan oleh guru Drona kepada Bima


Panca Pandawa akhirnya  menjadi keluarga panutan terutama sekali dalam menjalankan ajaran  Panca Satya yaitu:  Satya Hradaya, Satya Wacana, Satya Laksana, Satya Mitra dan Satya Semaya. Satya Hredaya artinya setia pada pikiran, Satya Wacana artinya setia pada kata-kata, Satya Laksana artinya setia pada perbuatan, Satya Mitra artinya setia  pada saudara/ teman, Satya Semaya artinya  setia pada janji. Sedangkan Seratus Korawa yang bersifat egois dan angkuh selalu ingin menang  sendiri dengan tidak punya sikap sopan-santun akibatnya selalu dikalahkan oleh  Panca Pandawa dalam hal kualitas pendidikan. Oleh karena itu, lalu mereka memikirkan niat-niat jahatnya untuk menaklukan Panca pandawa. Terutama Sang Bima yang dianggap paling kuat agar bisa ditaklukkan oleh Duryodana. Duryodana minta kepada Resi Drona agar memerintahkan Bima untuk mencari Tirta Kamandalu  di dalam lautan dengan tujuan agar sang Bima mati terseret arus gelombang laut. 

Resi Drona pun memerintahkan Sang Bima mencari Tirta Kamandaluke dalam laut. Sebelum berangkat Sang Bima tidak lupa minta restu pada ibunya Dewi Kunti, kakanda Yudhistira, serta adik-adiknya. Setelah mendapat restu barulah Sang Bima berangkat. Mendengar keberangkatan Bima tersebut Korawa merasa senang  karena yang paling ditakuti tersebut sudah pasti akan mati. Oleh karena Sang Bima menghormati perintah guru dan menjalankan ajaran Satya Laksana sedikitpun tidak  punya perasaan curiga selalu tulus menjalankan perintah Guru.

Pertama, Bima disuruh mencari Tirta Kamandalu di dalam Sumur Sidurangga. Namun yang ada di sana dua  ekor Naga Besar yang melilit Sang Bima tapi dapat dipotong lehernya kemudian menjelma menjadi Widyadara dan Widyadari. Kepala naga itu dibawa pulang. 

Kedua, Bima disuruh pergi ke sebuah tempat berupa ladang yang dijaga oleh Raksasa Indrabapu yang ingin mencelakai Bima,namun berkat kesigapan Bima, Indrabapu  dipotong lehernya dan dibawa ke Hastina. Seisi kerajaan merasa takut melihat kepala  Raksasa Indrabapu yang menyeramkan. Bima disuruh membuang kepala raksasa  itu oleh Resi Drona. 

Ketiga, Bima disuruh mencari Tirta Kamandaluke tengah laut  dan tidak boleh memakai perahu. Baik kalau begitu akan saya lakukan, atas dasar kebenaran menjalankan ajaran satya dan guru susrusa. Bima menceburkan dirinya  ke laut. Ombak yang begitu besar menyeretnya namun Sang Bima tetap konsentrasi mencari di mana Tirta Kamandalu itu berada. Dalam keadaan setengah sadar akhirnya Bima mendapat anugrah dari Sang Hyang Nawa Ruci sehingga Bima bangkit kembali. Tak lama kemudian setelah dilihat tidak sadarkan diri lagi akhirnya Bima diberi  anugrah lagi dan diberitahu bahwa dia telah ditipu oleh Resi Drona dan Duryodana. 

Bima disuruh masuk ke perutnya untuk mengetahui kehidupan manusia. Akhirnya Bima diantarkan ke tempat Sang Hyang Semara. Sang Hyang Semara memberitahu bahwa Tirta Kamandalu adalah untuk menjaga kehidupan Para Dewata, tetapi dapat  diambil oleh Bima. Akhirnya diketahui oleh para Dewata, kemudian Bima direbut dan mati lagi, dan dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Nawa Ruci.

Bima diganti namanya menjadi Sang Wirota, dia rebut kembali Tirta Kamandalu dari Sang Hyang Bayu dan dibawa pulang ke Astina. Astina menyangkal bahwa yang dibawa Bima bukan Tirta Kamandalu. Resi Drona tidak menghargai jerih payah muridnya akhirnya dikutuk agar diseret oleh air laut. Tidak lama kemudian ada angin ribut menyeret Resi Drona hingga jatuh di laut dan diseret gelombang besar.

Melihat kejadian seperti Itu Bima tidak sampai hati membiarkan gurunya terombang ambing oleh ombak. Bima kembali menolong gurunya Resi Drona. Bima tidak memiliki rasa dendam terhadap gurunya. Resi Drona tertolong lagi oleh Bima sekalipun dia telah menipu dan membunuh secara halus. Sifat Bima adalah ksama artinya memaafkan.

Drona (Dewanagari: द्रोण; ,IAST: Droṇa, द्रोण) atau Dronacarya (Dewanagari: द्रोणाचार्य; ,IAST: Droṇācārya,; arti harfiah: "Guru Drona") adalah salah satu tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan seorang brahmana (ahli agama), suami Krepi, dan ayah Aswatama. Ia dikisahkan sebagai guru keraton Hastinapura yang mendidik para pangeran Dinasti Kuru, yang terdiri dari seratus Korawa dan lima Pandawa. Sebagai guru para pangeran, ia merupakan ahli seni pertempuran, termasuk pengendalian dewāstra (senjata sakti). Di antara para pangeran Kuru, Arjuna adalah murid kesayangannya.

Apa yang ditugaskan oleh guru Drona kepada Bima
Dronaद्रोण

Lukisan Drona menaiki kereta perang.

Tokoh MahabharataNamaDronaEjaan Dewanagariद्रोणEjaan IASTDroṇaNama lainVersi pewayangan:
Durna; Bambang KumbayanaGelaracarya, resiKitab referensiMahabharataKastabrahmanaProfesiguru keratonAyahBharadwajaSaudaraKrepa (ipar)IstriKrepiAnakAswatama

Saat konflik antara Korawa dan Pandawa tak dapat didamaikan, mereka memutuskan untuk berperang, dengan lapangan Kurukshetra sebagai medannya. Dalam perang Kurukshetra, Drona berpihak kepada Korawa, yang telah memberinya nafkah dan tempat bernaung. Setelah Panglima Bisma kalah, ia menjabat sebagai panglima pada hari ke-11 sampai ke-15. Pada hari ke-15, ia mendengar kabar palsu tentang kematian putranya, sehingga semangat bertarungnya pupus dan memutuskan untuk bermeditasi. Dalam kondisi tersebut, kepalanya dipenggal oleh Drestadyumna, panglima laskar Pandawa.[1]

Dalam kitab Adiparwa dikisahkan bahwa Drona dilahirkan dalam keluarga brahmana (kaum pendeta Hindu). Ia merupakan putra dari pendeta Bharadwaja. Kisah kelahiran Drona diceritakan secara dramatis dalam Mahabharata.[2] Dikisahkan bahwa Bharadwaja pergi ke sungai Gangga untuk melakukan penyucian diri. Di sana ia melihat bidadari Gretaci yang sangat cantik sedang mandi. Menyaksikan pemandangan tersebut, sang pendeta dikuasai nafsu, sampai mengeluarkan air mani yang sangat banyak. Ia menampung air mani tersebut di dalam sebuah bejana. Dari cairan tersebut, tumbuhlah sebuah janin, yang kian berkembang hingga membentuk seorang bayi. Bayi tersebut kemudian dibesarkan dan diberi nama Drona.[3][1]

Menurut Mahabharata, Drona menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan, tetapi ia belajar agama dan militer bersama pangeran dari Kerajaan Panchala bernama Drupada. Drupada dan Drona pun menjadi teman dekat. Demikian akrabnya perteman mereka hingga Drupada berjanji untuk memberikan setengah kerajaannya kepada Drona, apabila ia sudah menggantikan ayahnya sebagai Raja Panchala.

Mengetahui bahwa Parasurama mau memberi pengetahuan yang dimilikinya kepada para brahmana, Drona pun mendatanginya. Namun pada saat Drona datang, Parasurama telah memberikan segala miliknya kepada brahmana yang lain. Karena tersentuh oleh kesanggupan hati Drona, Parasurama memutuskan untuk memberikan pengetahuannya tentang ilmu peperangan kepada Drona.[2][4]

Drona menikahi Krepi, adik Krepa, guru di keraton Hastinapura. Krepi dan Drona memiliki putra bernama Aswatama. Kitab Adiparwa mendeskripsikan bahwa mereka bertiga hidup dalam kemiskinan. Teringat akan janji yang diucapkan oleh Pangeran Drupada dari Panchala, maka Drona segera menemuinya untuk meminta bantuan. Setibanya di keraton Panchala, Drona mendapati bahwa Drupada telah menjadi raja. Setelah Drona menyatakan maksud kedatangannya dan mengungkit kembali masa lalu mereka, Drupada menolak untuk mengakui Drona sebagai teman, dan mengatakan bahwa seseorang yang tidak sederajat tidaklah pantas menjadi teman seorang raja.[5]

Dalam Adiparwa, Drupada memberi penjelasan bahwa persahabatan memungkinkan untuk terjalin apabila terjadi di antara dua orang dengan derajat hidup yang sama. Dia berkata bahwa saat mereka masih anak-anak, pertemanan antara Drupada dengan Drona adalah hal yang layak, karena pada masa itu mereka berada pada derajat yang sama. Namun derajat tersebut sudah berubah, ketika Drupada sudah menjabat sebagai raja, sementara Drona masih berada dalam kemiskinan. Dalam keadaan seperti ini, persahabatan adalah hal yang mustahil. Namun Drupada berkata bahwa ia akan memuaskan hati Drona apabila Drona mau meminta sedekah selayaknya para brahmana daripada mengaku sebagai seorang teman. Drupada pun menasihati Drona supaya tidak memikirkan masalah itu lagi. Akhirnya Drona pergi meninggalkan istana Drupada, tetapi di dalam hatinya ia bersumpah akan membalas dendam.[6]

 

Sebuah lukisan dari India, tentang adegan saat Ekalawya mempersembahkan ibu jarinya kepada Drona.

Setelah mendapat penolakan dari Drupada, Drona pergi ke Hastinapura, tempat iparnya bekerja sebagai pendeta istana. Drona berharap dapat mencari nafkah di sana dengan cara mengajar para pangeran Dinasti Kuru. Dalam perjalanan ke sana, Drona mendapati bahwa bola para pangeran terjatuh ke dalam sumur. Dropa pun menunjukkan keahliannya dalam mengangkat bola tersebut, yang membuat para pangeran sangat terkesima. Akhirnya para pangeran mengajak Drona ke istana dan melaporkan kejadian tersebut kepada Bisma, kakek mereka. Bisma segera mengenalinya sebagai Drona, ipar Krepa. Ia pun menawarkan agar Drona bersedia menjadi guru bagi para pangeran Kuru dan mengajari mereka seni peperangan. Drona pun menyanggupi tawaran tersebut, lalu seluruh pangeran Kuru belajar ilmu militer di bawah bimbingannya.[7]

Setelah diangkat sebagai guru istana, Drona bertekad untuk mengajar hanya kepada putranya dan para pangeran Kuru saja. Karna putra Adirata ingin belajar ilmu perang di bawah bimbingan Drona, tetapi ia ditolak dengan alasan bahwa Karna tidak berasal dari golongan kesatria, melainkan suta (kusir kereta). Akhirnya Karna berguru kepada ahli perang lainnya, yang bernama Bagawan Parasurama.

Ekalawya, seorang pangeran muda dari suku Nishadha, juga memohon untuk berguru kepada Drona. Namun Drona tidak mau menerimanya karena ia tidak berasal dari golongan kesatria. Akhirnya Ekalawya belajar dan berlatih sendirian di dalam hutan, dengan ditemani sebuah patung tanah liat menyerupai Drona. Ia membayangkan bahwa patung tersebut adalah gurunya. Secara otodidak, Ekalawya menjadi terampil dalam memanah, bahkan setara dengan Arjuna. Pada suatu hari, anjing milik pangeran Kuru menggonggong saat ia melakukan latihan. Ekalawya menancapkan panahnya ke mulut anjing tersebut, hingga akhirnya si anjing lari kembali ke pemiliknya. Drona dan para pangeran Kuru melihat kondisi anjing tersebut dan penasaran dengan pelakunya. Mereka pun menelusuri jejak si anjing, yang akhirnya tertuju kepada Ekalawya. Saat diinterogasi, Ekalawya mengaku bahwa ia adalah murid Drona. Ekalawya menjelaskan bahwa setiap hari ia belajar sendiri, dengan patung mirip Drona yang ia anggap sebagai guru. Merasa prestasi Arjuna akan tersaingi, Drona meminta agar Ekalawya mempersembahkan daksina (pembayaran jasa guru) sebagai tanda bahwa pelajarannya telah selesai. Adapun daksina yang diminta Drona adalah ibu jari Ekalawya. Ekalawya pun memotong jarinya sendiri sehingga ia tidak bisa lagi menggunakan senjata panah.[8]

Saat para Korawa dan Pandawa hampir menyelesaikan pendidikannya, Drona menyuruh agar mereka menangkap Raja Drupada yang memerintah Kerajaan Panchala dalam keadaan hidup-hidup.[9] Duryodana, Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu mengerahkan tentara Hastinapura untuk menggempur Kerajaan Panchala, sementara Pandawa pergi ke Kerajaan Panchala tanpa angkatan perang. Arjuna menangkap Drupada dan membawanya ke hadapan Drona. Drona mengambil separuh dari wilayah kekuasaan Drupada, dan separuhnya lagi dikembalikan kepada Drupada. Sejak saat itu, Drona menganggap bahwa dendamnya telah terbalas, dan permusuhannya dengan Drupada telah berakhir.

Dalam kitab Adiparwa dikisahkan bahwa semenjak dikalahkan oleh Drona, maka timbul dendam kesumat di hati Drupada. Ia tidak mengakui Drona sebagai teman, sekalipun Drona menganggap bahwa permusuhan mereka telah berakhir. Diliputi dendam, Drupada melaksanakan upacara untuk memohon anugerah berupa seorang putra yang akan membunuh Drona, dan seorang putri yang akan menikahi Arjuna. Maka, lahirlah Drestadyumna, pembunuh Drona dalam Bharatayuddha, dan Dropadi, yang menikahi Arjuna dan para Pandawa.[10]

 

Kematian guru Drona

Menurut kitab Mahabharata, Drona adalah orang yang disegani oleh para raja dan kesatria di kedua belah pihak dalam perang Kurukshetra. Drona tidak setuju akan perlakuan Duryodana yang mengasingkan para Pandawa, demikian pula penindasan yang dilakukan oleh para Korawa. Namun, karena mengabdi kepada pemerintah Hastinapura, Drona terikat akan kewajibannya untuk berpihak kepada Korawa, dan terpaksa melawan para Pandawa yang lebih disayanginya. Setelah kalahnya Panglima Bisma pada pertempuran hari ke-10, maka Drona diangkat sebagai panglima laskar Korawa pada hari ke-11.[11] Duyodana meminta agar Drona segera mengakhiri perang dengan cara menangkap Yudistira. Meskipun ia telah membunuh ribuan prajurit Pandawa, Drona selalu gagal menangkap Yudistira pada hari ke-11 dan ke-12, karena serangannya selalu ditangkis oleh Arjuna.[12][13]

Gugurnya Abimanyu

Pada pertempuran hari ke-13, Drona menggunakan formasi perang melingkar yang disebut Cakrabyuha untuk menangkap Yudistira. Dalam kitab Mahabharata dikisahkan hanya Arjuna dan Kresna yang mengetahui cara membobol formasi tersebut. Namun, prajurit Trigarta disiagakan oleh pihak Korawa untuk menyibukkan Arjuna dan Kresna, sehingga formasi tersebut aman dari serangan kesatria Pandawa lainnya.

Abimanyu, putra Arjuna mengaku tahu cara menembus formasi tersebut, tetapi ia tidak mengetahui cara untuk keluar dari sana. Atas permohonan Yudistira, Abimanyu memimpin laskar Pandawa untuk menembus formasi tersebut. Namun ia terjebak di tengah formasi setelah Jayadrata (Raja Sindhu) menghadang para kesatria Pandawa yang mengikuti Abimanyu dari belakang. Abimanyu tidak mengetahui cara keluar dari sana, sehingga ia bertahan sekuat tenaga, melawan segala serangan yang mengarah kepadanya. Drona pun terkesima akan ketangkasan Abimanyu, sehingga Duryodana menjadi jengkel. Melihat pasukannya mulai berkurang setelah menghadapi Abimanyu, ditambah lagi dengan cibiran Duryodana kepadanya, maka Drona memerintahkan para kesatria Korawa untuk melakukan serangan serentak ke arah Abimanyu. Pertama-tama, mereka membunuh kuda dan kusir Abimanyu, lalu merusakkan keretanya. Akhirnya, Abimanyu bertarung tanpa kereta, dengan senjata berupa roda kereta. Setelah mendapat serangan bertubi-tubi dari pihak Korawa, Abimanyu pun gugur.

Kematian

Sebelum perang, Bagawan Drona pernah berkata, "Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya". Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putra Bagawan Drona. Bima berhasil membunuh gajah tersebut lalau berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, "Aswatama mati". Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata, "naro va, kunjaro va" — "entah gajah atau manusia"). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha.

 

Drona dalam pewayangan Jawa

Riwayat hidup Drona dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sanskerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama. Perlu digarisbawahi juga, bahwa kepribadian Drona dalam Mahabharata berbeda dengan versi pewayangan. Dalam pewayangan, Resi Drona diceritakan sebagai orang yang berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar biasa serta sangat mahir dalam berperang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Korawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Keris Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).

Riwayat

Bhagawan Drona atau Dorna (dibaca Durna) waktu muda bernama Bambang Kumbayana, putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan, dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Dalam perjalanannya mencari Sucitra (Drupada), ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditolong oleh seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan itu akan berakhir apabila ada seorang kesatria mencintainya dengan tulus. Karena pertolongannya, maka sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda betina itu. Namun karena terbawa nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda Wilutama hingga mengandung, dan kelak melahirkan seorang putra berwajah tampan tetapi mempunyai kaki seperti kuda (bersepatu kuda), yang kemudian diberi nama Bambang Aswatama.

Setelah bertemu Sucitra yang telah menjadi raja dan bergelar Prabu Drupada, ia tidak diakui sebagai saudara seperguruannya. Kumbayana marah merasa dihina, kemudian balik menghina Raja Drupada. Namun Mahapatih Gandamana (dulu adalah patih di Hastinapura saat pemerintahan Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperangan yang tidak seimbang. Meskipun Kumbayana sakti, ternyata kesaktiannya masih jauh di bawah Gandamana yang memiliki kekuatan setara dengan seribu gajah (ajian ini diturunkan pada murid tercintanya, Raden Bratasena). Kumbayana menjadi bulan-bulanan sehingga wajahnya rusak. Namun dia tidak mati dan ditolong oleh Sangkuni yang bernasib sama (baca sempalan Mahabharata yang berjudul Gandamana Luweng). Akhirnya ia diterima di Hastinapura dan dipercaya mendidik anak-anak keturunan Sentanu (Pandawa dan Korawa).

Dalam perang Bharatayuddha, Resi Drona diangkat menjadi Senapati Agung Korawa, setelah gugurnya Bisma. Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan formasi perang. Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumna, putra Prabu Drupada. Menurut cerita pewayangan, kematian Resi Drona diakibatkan oleh dendam Prabu Ekalaya, raja negara Parangggelung yang arwahnya merasuki tubuh Drestadyumena. Namun menurut Mahabharata, kejadian itu disebabkan oleh taktik perang yang dilancarkan oleh pihak Pandawa dengan tipu muslihat karena kerepotan menghadapi kesaktian dan kedigjayaan sang resi.

  • Perang Kurukshetra
  • Dronaparwa

  1. ^ a b Chakravarti 2007.
  2. ^ a b Mahabharata, Buku I: Adiparwa; Sambhawaparwa, Bagian CXXXI.
  3. ^ Vishnu Purana -Drauni or Asvathama as Next saptarishi Retrieved 2015-02-15
  4. ^ Ganguly The Mahabharata Retrieved 2015-02-15
  5. ^ "The story of Drona - Teacher of Kauravas and Pandavas". Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 July 2011.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  6. ^ Mahabharata, Buku I: Adiparwa, Sambhawaparwa, Bagian CXXXII.
  7. ^ Mahabharata, Buku I: Adiparwa, Sambhawaparwa, Bagian CXXXIII.
  8. ^ Srivastava, Diwaker Ikshit (2017-12-11). Decoding the Metaphor Mahabharata (dalam bahasa Inggris). One Point Six Technology Pvt Ltd. ISBN 978-93-5201-000-4. 
  9. ^ Mahabharata, Book I: Ādi Parva, Sambhava Parva, Section CXL
  10. ^ Mahabharata, Book I: Ādi Parva, Chaitraratha Parva, Section CLXIX
  11. ^ The Mystery of the Mahabharata: Vol. V: The Explanation of the Epic Part II (dalam bahasa Inggris). India Research Press. 
  12. ^ "18 Days of The Mahabharata War - Summary of the War". VedicFeed (dalam bahasa Inggris). 2018-06-27. Diakses tanggal 2020-09-01. 
  13. ^ The Mahabharata, Book 7: Drona Parva: Abhimanyu-vadha Parva: Section XLVI

  • Chakravarti, Bishnupada (2007-11-13). Penguin Companion to the Mahabharata (dalam bahasa Inggris). Penguin UK. ISBN 978-93-5214-170-8. 
  • The Story of Drona - the Teacher of Kauravas and Pandavas
  • Supereme Court of India on Dronacharya: http://articles.timesofindia.indiatimes.com/2011-01-06/india/28378711_1_tribals-sc-bench-dronacharya Diarsipkan 2013-11-22 di Wayback Machine.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Drona&oldid=18832399"