Apa tujuan sebuah negara menganut paham konstitusionalisme

Konstitusi modern dimulai sejak adanya pengundangan dalam bentuk UUD yang tertulis, yaitu UUD Amerika Serikat (1787) dan deklarasi Prancis tentang hak-hak asasi manusia dan warga negara (1789). Kedua naskah tersebut memberikan dampak yang cukup besar terhadap negara-negara lainnya. Diundangkannya UUD tertulis banyak memengaruhi dan memberikan wawasan tentang perlunya UUD sebagai konstitusi yang harus dimiliki oleh setiap negara didunia. Akan tetapi, ada sebagian kecil negara yang tidak memiliki UUD secara tertulis, seperti Inggris. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa Inggris tidak memiliki konstitusi karena sesuai dengan zaman modern konstitusi biasa lahir dari adanya kebiasaan yang timbul dari praktik ketatanegaraan.

Secara luas, konstitusi berarti keseluruhan hukum dasar, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat penyelenggaraan ketatanegaraan dalam suatu negara. Pada dasarnya konstitusi modern menganut pokok-pokok berikut:

  1. Jaminan hak-hak asasi manusia;
  2. Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar;
  3. Pembagian pada pembatasan kekuasaan. Konstitusi dibuat oleh lembaga khusus dan tinggi kekuasaannya.

Konstitusi juga sebagai sumber hukum tertinggi sehingga dijadikan patokan untuk menentukan undang-undang, membuat kebijakan, serta membatasi kewenangan penguasa dalam suatu negara. Dari sifat konstitusi yang flexible dan rigid (kaku), konstitusi pada perkembangan modern dapat menyesuaikan keadaan dalam suatu negara yang berhubungan dengan masyarakat sehingga lebih menjamin hak-hak asasi masyarakat suatu negara. Ketatanegaraan dituangkan sebagai bentuk kaidah hukum yang dapat digunakan untuk membatasi kekuasaan yang di dalamnya mengandung prinsip negara hukurn, pembatasan kekuasaan, demokrasi, dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam bentuk konstitusi. Pembatasan kekuasaan dapat dilakukan melalui suprastruktur politik ataupun infrastruktur politik.

Dengan keberadaan konstitusi, rakyat dapat mengontrol kekuasaan penguasa dan lebih berperan dalam keikutsertaannya dalam suatu lembaga negara. Secara ringkas, konstitusi merupakan tujuan dan cita-cita suatu negara sampai saat ini.

Menurut William G. Andrews, tiga konsensus yang menjamin prinsip dasar tegaknya konstitusionalisme pada zaman modern adalah sebagai berikut:

  1. The general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government (kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama);
  2. The basis of government (kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara);
  3. The form of institutions and procedures (kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan).

Dalam konteks Indonesia, Soedjatmoko, salah seorang anggota dewan konstituante mengemukakan bahwa ciri-ciri dasar negara konstitusional adalah sebagai berikut: "Fungsi konstitusi dalam masyarakat adalah menentukan batas-batas daripada kekuasaan politik terhadap kebebasan anggota masyarakat itu. Fungsi konstitusi dalam suatu masyarakat yang bebas adalah menentukan prosedur serta alat-alatnya untuk menyalurkan dan menyesuaikan pertentangan politik serta pertentangan kepentingan yang terdapat dalam tubuh rnasyarakat.

Jimly Ashiddiqie menguraikan bahwa di Indonesia konsensus yang menjaga tegaknya konstitusionalisme adalah lima prinsip dasar Pancasila, yang berfungsi sebagai landasan filosofis-ideologis dalam mencapai dan mewujudkan empat tujuan negara. Kelima prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Perrnusyawaratan Perwakilan.
  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Keempat tujuan negara yang harus dicapai meliputi:

  1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
  2. Meningkatkan kesejahteraan umum;
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
  4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dari konsensus yang berfungsi sebagai landasan filosofis-ideologis itulah, selanjutnya disusun konstitusi Indonesia, yang materi muatannya merupakan cerminan dari paham konstitusionalisme yang dianut Indonesia.

Referensi: Kadir Herman (2019) Dosen mata kuliah PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM. FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ESA UNGGUL

Oleh : Bachtiar, SH.MH.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang

Anggota Pokja Komisi Kejaksaan RI

Konstitusionalisme: Suatu Keniscayaan Bagi Negara-Negara Modern

Bagi negara-negara modern, keinginan untuk menjamin hak-hak politik warga negara secara efektif dan mengatur penyelenggaraan kekuasaan negara secara tertib telah mendorong setiap negara untuk menganut paham konstitusionalisme. Diyakini bahwa cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan konstitusi, sehingga konstitusionalisme bagi negara-negara modern sebagai suatu keniscayaan.

Keniscayaan bagi negara-negara modern untuk menganut paham konstitusionalisme didasarkan pada pemahaman bahwa konstitusi dianggap sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil yang dikemukakan oleh John Adams “government by law, not by men”.[1] Juga konstitusi itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum”.[2]

Sesungguhnya konstitusionalisme adalah suatu paham yang sudah sangat tua, yang hadir sebelum lahirnya gagasan tentang konstitusi. Terbukti konstitusionalisme sudah menjadi anutan semenjak pemerintahan polis—negara kota jaman Yunani Kuno, masa Romawi Kuno, dan sejarah kekhalifahan Islam, sebagaimana terungkap dalam Piagam Madinah. Sederhananya konstitusionalisme dihadirkan dengan tujuan untuk menjaga berjalannya pemerintahan secara tertib. Hal ini seperti diutarakan Walton H. Hamilton, bahwa constitutionalism is the name given to the trust which men respose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order. [3]

Meskipun telah tua usianya, akan tetapi konstitusionalisme masih menjadi satu paham yang paling efektif untuk mengelola kekuasaan pada masa modern saat ini. Seperti dikatakan pemikir politik kontemporer Gabriel A. Almond, yang menyatakan bahwa bentuk pemerintahan terbaik yang bisa diwujudkan adalah pemerintahan campuran atau pemerintahan konstitusional, yang membatasi kebebasan dengan aturan hukum dan juga membatasi kedaulatan rakyat dengan institusi-institusi negara yang menghasilkan ketertiban dan stabilitas.[4] Demikian pula menurut Richard S. Kay, “constitusionalism implements the rule of law; It brings about predictability and security in the relations of individuals and the government by defining in advance the powers and limits of that government”.[5] Jadi, konstitusionalisme menghadirkan situasi yang dapat memupuk rasa aman, karena adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah yang telah ditentukan lebih dahulu.

Paham Konstitusionalisme Memuat Esensi Pembatasan Kekuasaan

Walaupun paham konstitusionalisme diturunkan (derive) dari konstitusi, dan dalam perkembangannya bahkan mendorong keberadaan constitutional state namun esensi konstitusionalisme mengagas pembatasan kekuasaan dalam negara.

Hal ini terlihat dari argumentasi yang dikemukakan oleh Michael Allen dan Brian Thompson bahwa “…the principle of constitutionalism rest on this idea of restraining the government in its exercise of power; Constitutionalism therefore, is to be set in contradiction to arbitrary power”.[6] Pendapat senada ditegaskan pula oleh Carl J. Frederich bahwa “constitutionalism is an institutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental action”.[7]

Dikemukakan pula oleh Charles Howard McIlwain bahwa “…constitutionalism has one essential quality: it is a legal limitation on government; it is the antithesis of arbitrary rule; its opposite is despotic government, the government of will instead of law”.[8] Pendapat tersebut di atas sesungguhnya merujuk pada konsep dasar bahwa konstitusionalisme dalam arti yang umum adalah “…a complex of ideas, attitudes, and patterns of behavior elaborating the principle that the authority of government derives from and is limited by a body of fundamental law” kata Don E. Fehrenbacher.[9]

Dengan demikian, paham konstitusionalisme memuat esensi pembatasan kekuasaan dan kekuasaan itu sendiri dibatasi oleh konstitusi sebagai norma hukum tertinggi. Persoalan yang dianggap terpenting dalam paham konstitusional adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan. Paham Konstitusionalisme mengemban the limited state, agar penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak sewenang-wenang dan hal dimaksud dinyatakan serta diatur secara tegas dalam pasal-pasal konstitusi. Dalam hal ini Andrew Vincent menegaskan bahwa “constitutionalists have placed their primary emphasis on limitating and diversifying authority and power”.[10]

Oleh karena itu, pada pokoknya paham konstitusionalisme modern sebenarnya menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip limited government. Artinya, dalam paham konstitusionalisme, kekuasaan melarang dan prosedur ditentukan, sehingga kekuasaan pemerintah menjamin pemerintah yang tidak sewenang-wenang dan pemerintah yang bertanggung jawab. Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara ilamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespon perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Basis Pokok dari Paham Konstitusionalisme adalah Kesepakatan Umum

Paham konstitusionalisme pada hakikatnya berbasis pokok pada adanya kesepakatan umum (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.

Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan di mana organisasi negara itu diperlukan oleh warga negara agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dari apa yang dinamakan negara, sebagaimana yang ditegaskan oleh William George Andrews bahwa “The members of a political commu­nity have, definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of the compulsory political mechanisms we call the State”.[11] Jadi kata kuncinya di sini adalah konsensus atau general agreement. Lebih lanjut jelaskannya bahwa konsensus atau general agreement itu meliputi : “(a) the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government; (b) the rule of law the basis of government; and (c) the reform of institutiions and procedures”.[12]

Ketiga elemen ini sangat menentukan tegaknya paham konstitusionalisme di suatu negara. Menurut Jimly Asshiddiqie, “jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuhlah pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi”.[13] Hal ini semisal tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun di Indonesia pada tahun 1998, serta yang masih terhangat revolusi yang terjadi di Irak tahun 2008 dan di Mesir tahun 2013. Kesemuanya diakibatkan karena di antara warga negara tidak tercapai konsensus terkait bangunan negara yang diidealkan.

Selanjutnya dikatakan pula oleh Jimly bahwa :

“Dengan adanya kesepakatan itu, maka konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi. Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama”.[14]

Dengan kerangka yang demikian, maka konstitusi dalam paham konstitusionalisme pada akhirnya dipahami sebagai hukum tertinggi karena ia merupakan wujud perjanjian sosial tertinggi dari seluruh rakyat yang berdaulat dalam suatu negara melalui suatu permusyawaratan (deliberasi) publik. Dalam konstitusi terdapat berbagai dokumen hukum, politik dan ekonomi yang berfungsi sebagai ”mercusuar” yang memberikan pedoman, arah, dan petunjuk bagi suatu negara untuk menata dirinya, sebagai hasil kompromi berbagai kekuatan disaat konstitusi itu dirumuskan dan dibentuk. Ini sejalan dengan pendapat K.C. Wheare,“a constitution is indeed the resultant of parallelogram of forces political, economic, and social-which operate at the time of its adoption“.[15]

Paham Konstitusionalisme Sebagai Komponen Intergral Dari Pemerintahan Demokratis

Paham konstitusionalisme merupakan komponen integral dari pemerintahan yang demokratis. Tanpa memberlakukan konstitusionalisme pada dirinya, pemerintahan demokratis tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu negara yang demokratis haruslah menerapkan dan menjalankan konstitusionalisme dalam jiwa bangsanya sehingga pemerintahan yang demoratis dapat terwujud.

Argumentasi yang demikian didasarkan pada suatu suatu prinsip bahwa pemerintahan yang demokratis hanya dapat tercipta manakala konsep demokrasi yang dibangun adalah konsep demokrasi yang berdasar atas hukum atau demokrasi konstitusional. Menurut Miriam Budiarjo, “ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, sehingga sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi”.[16] Bahkan bekerjanya demokrasi konstitusional membutuhkan seperangkat institusi politik sebagaimana dikemukakan oleh Janos Kis “Constitutional democracy usually refers to a set of political institutions”.[17] Institusi politik yang direpresentasikan oleh pemerintah inilah yang menjalankan mandat dari masyarakat politik untuk menjamin hak-hak asasi dan kesejahteraannya.

Hal demikian menunjukkan bahwa dalam pemerintahan demokratis, konstitusi menempati posisi yang sentral. Di bawah konstitisi, pemerintahan demokratis dituntut menjalankan kekuasaannya menurut batas-batas yang ditentukan konstitusi. Hal ini sesuai pendapat H.W.R. Wade yang menyatakan bahwa “Government under the rule of law demands proper legal limits on the exercise of power”.[18] Sejalan dengan hal tersebut, Thomas Paine menegaskan bahwa “A constitution is not an act of a government, but of a people constituting a government.[19] Hal yang sama juga dikemukakan oleh McIlwain bahwa A constitution is not the act of a government, but of a people constituting a government; and government without a constitution, is power without a right.[20]

Dengan demikian, corak dari pemerintahan demokratis adalah bahwa tindakan pemerintah harus senantiasa didasarkan pada kehendak konstitusi sebagai esensi dari paham konstitusionalisme. Demokrasi yang diidealkan harus diletakkan dalam koridor hukum. Tanpa hukum, demokrasi justru dapat berkembang ke arah yang keliru karena hukum dapat ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa atas nama demokrasi. Pada sisi inilah paham konstitusionalisme memposisikan konstitusi sebagai komponen intergral dari pemerintahan demokratis.

Paham Konstitusionalisme Menghendaki Pelaksanaan Kekuasaan

Dalam paham konstitusionalisme, pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasan merupakan suatu keharusan konstitusional sebagaimana kekuasaan itu diperoleh serta lingkup kekuasaan itu digunakan. Dalam sistem pembagian kekuasaan berlaku prinsip bahwa setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan.

Menurut C.F. Strong, “…a system of government in which the majority of the grown members of political community participate through a method of representation which secures that the government is ultimately responsible for its actions to that majority”.[21] Jadi dalam sistem pemerintahan yang dibentuk berdasarkan kehendak mayoritas masyarakat politik menghendaki bahwa pemerintah bertanggung jawab atas tindakan kepada mayoritas itu. A.D. Belinfante mengatakan “no one can exercise authority without responsibility or assume liability without supervision”,[22] jadi tidak seorangpun dapat melaksanakan kewenangan tanpa memikul kewajiban tanggung jawab atau tanpa ada pelaksanaan pengawasan. Menurut Ridwan HR., “…dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip umum ‘tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban’ ”.[23]

Sementara itu, konstitusi itu sendiri meletakkan banyak tugas, baik positif maupun negatif, pada berbagai organ pemerintah negara, seperti yang ditegaskan oleh Edward Samuel Corwin…the constitution itself lays many duties, both positive and negative, upon the different organs of state government…” .[24] Searah dengan pendapat tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa :

“keberadaan lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana kekuasaan serta seluruh elemen kekuasaan, legitimasinya bertumpu pada konstitusi sebagai sumber sekaligus pengatur kekuasaan. Kekuasaan yang ada dalam organisasi negara merupakan jabatan yang dijalankan oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Pertanggungjawaban terhadapnya merupakan suatu keharusan konstitusional sebagaimana kekuasaan itu diperoleh serta lingkup kekuasaan itu digunakan”.[25]

Dengan makna yang demikian, maka konstitusi dengan sendirinya menjadi lingkup pertanggungjawaban yang mengikat penguasa atas segala bentuk penggunaan kekuasaan. Dengan kata lain penggunaan kekuasaan itu kemudian oleh pejabat dalam lingkungan lembaga-lembaga negara harus mempertanggung-jawabkan sesuai dengan apa yang diamanahkan dalam konstitusi. Karena itu, paham konstitusionalisme jelas-jelas menghendaki pelaksanaan kekuasaan tersebut dipertanggungjawabkan, sehingga dalam sistem pembagian kekuasaan berlaku prinsip bahwa setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan.

Referensi/Rujukan :

Andrew Vincent, Theories of The State, Basil Blackwell Inc., New York, 1987.

A.D. Belinfante, et.al., Beginselen van Nederlandse Staatsrecht, Samson Uitgeverij, Alphen aan den Rijn, 1983.

Carl J. Frederich, Man and His Government, McGraw-Hill, New York, 1963.

C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, First American Edition, G.P. Putnam’s Sons, New York, 1963.

Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, Cornell University Press, New York, 1947.

Don E. Fehrenbacher, Constitutions and Constitutionalism in the Slaveholding South,  University of Georgia Press, Georgia, 1989.

Edward S. Corwin, The Constitution and What it Means Today, 13th ed, Princeton University Press, New York, 1973.

Gabriel A. Almond, “Political Science: The History of the Discipline”, dalam Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann (eds), A New Handbook of Political Science, Oxford University Press, Oxford, 1996.

H.W.R. Wade, Administrative Law, Third Edition, Clarendon Press-Oxford, London, 1971.

Janos Kis, Constitutional Democracy, traslated by Zoltan Miklosi, Central European University Press, Budapest, New York, 2003.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

K.C. Wheare, Modern Constitution, Second Edition, Oxford University Press, London, New York, 1966.

Larry Alexander (ed), Constitutionalism: Philosopical Foundations, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm. 4.

Michael Allen dan Brian Thompson, 7th Edition, Cases & Materials on Constitutional & Administrative Law, Oxford University Press, London, 2002.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.

Richard Samuelson “John Adams and the Republic of Law” dalam Bryan-Paul Frost and Jeffrey Sikkenga (eds), History of American Political Thought, Lexington Books, Maryland, 2003.

Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

Walter F. Murphy, Constitutional Democracy: Creating and Maintaining a Just Political Order, The Johns Hopkins University Press, Maryland, 1929.

Walton H. Hamilton, “Constitutionalism”, dalam Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson (eds), Encyclopedia of the Social Sciences, Macmillian, New York, 1931).

William George Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3rd ed., Van Nostrand Company, New Jersey, 1968.

[1]     Richard Samuelson “John Adams and the Republic of Law” dalam Bryan-Paul Frost and Jeffrey Sikkenga (eds), History of American Political Thought, (Maryland: Lexington Books, 2003), hlm. 118.

[2]     Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 112.

[3]     Walton H. Hamilton, “Constitutionalism”, dalam Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson (eds), Encyclopedia of the Social Sciences, (New York: Macmillian, 1931), hlm. 255.

[4]     Disarikan dari tulisan Gabriel A. Almond, “Political Science: The History of the Discipline”, dalam Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann (eds), A New Handbook of Political Science, (Oxford: Oxford University Press, 1996), hlm. 53-61.

[5]     Richard S. Kay, “American Constitusionalism” dalam Larry Alexander (ed), Constitutionalism: Philosopical Foundations, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm. 4.

[6]     Michael Allen dan Brian Thompson, 7th Edition, Cases & Materials on Constitutional & Administrative Law, (London: Oxford University Press, 2002), hlm. 14.

[7]     Carl J. Frederich, Man and His Government, (New York: McGraw-Hill, 1963), hlm. 217.

[8]     Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (New York: Cornell University Press, 1947), hlm. 24.

[9]     Andrew Vincent, Theories of The State, (New York: Basil Blackwell Inc., 1987), hlm. 91.

[10]    Don E. Fehrenbacher, Constitutions and Constitutionalism in the Slaveholding South, (Georgia: University of Georgia Press, 1989), hlm. 1.

[11]    William George Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3rd ed., (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hlm. 9.

[12]    Ibid., hlm. 12-13.

[13]    Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 21.

[14]    Ibid., hlm. 23.

[15]    K.C. Wheare, Modern Constitution, Second Edition, (London, New York: Oxford University Press, 1966), hlm. 67.

[16]    Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 107.

[17]    H.W.R. Wade, Administrative Law, Third Edition, (London: Clarendon Press-Oxford, 1971), hlm. 46.

[18]    Janos Kis, Constitutional Democracy, traslated by Zoltan Miklosi, (New York: Central European University Press, 2003), hlm. ix.

[19]    Walter F. Murphy, Constitutional Democracy: Creating and Maintaining a Just Political Order, (Maryland: The Johns Hopkins University Press, 1929), hlm. 185.

[20]    Charles Howard McIlwain, op.cit., hlm. 23.

[21]    C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, First American Edition, (New York: G.P. Putnam’s Sons, 1963), hlm. 13.

[22]    A.D. Belinfante, et.al., Beginselen van Nederlandse Staatsrecht, English Traslated Edition, (Alphen aan den Rijn: Samson Uitgeverij, 1983), hlm. 21.

[23]    Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 352.

[24]    Edward S. Corwin, The Constitution and What it Means Today, 13th ed, (New York: Princeton University Press, 1973), hlm. 149.

[25]    Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: FH UII Press, 1999), hlm. 74.

Sumber : https://tiar73.wordpress.com/2015/05/15/memahami-konstitusionalisme-sebagai-suatu-paham-dalam-sistem-ketatanegaraan/