Apa sebutan untuk jokowi dalam bahasa jawa ksatria p

Semarang – Jika biasanya dalam acara resmi komunikasinya menggunakan Bahasa Indonesia, tidak demikian saat menyambut Presiden RI Joko Widodo ketika berkumpul dengan seluruh kepala dan pendamping desa se-Jawa Tengah. Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP yang menyambut orang nomor satu di Indonesia itu justru menggunakan bahasa Jawa.

Bersama ribuan pemuka desa se Jateng itu, Gubernur Ganjar Pranowo dan Presiden Jokowi melakukan Sarasehan Pengelolaan Dana Fesa di Merapi Ball Room PRPP Semarang, Kamis (22/11). Setelah menunggu sekitar satu jam, peserta akhirnya riuh menyambut kedatangan dua pemimpin mereka itu sekitar pukul 14.30 dan acara langsung dimulai.

Gubernur Ganjar Pranowo mendapat kesempatan menyampaikan sambutan selamat datang kepada presiden Jokowi yang didampingi ibu negara Iriana Jokowi, Mendagri RI Tjahjo Kumolo, Mendes PDTT RI Eko Putro Sandjojo, dan Seskab Pramono Anung. Tidak sebagaimana yang biasa dilakukan Ganjar, kali ini dia menyapa menggunakan bahasa Jawa.

“Punika kanca-kanca Kepala Desa, perangkat lan pendamping desa. Sedaya sami bingah kerawuhan bapak (ini teman-teman kepala desa, perangkat dan pendamping desa. Semuanya gembira atas kehadiran bapak),” kata Ganjar yang dilanjut dengan pemaparan pemanfaatan dana desa di Jawa Tengah serta beragam inovasinya.

Bukan tanpa alasan Ganjar memilih bahasa Jawa dalam penyambutan tersebut. Setiap Kamis Ganjar memang menerapkan penggunaan bahasa Jawa dilingkungan Pemprov Jateng sebagai upaya menjaga dan memelihara kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa.

Hal itu tertuang melalui Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 430/9525 tanggal 7 Oktober 2014 tentang Penggunaan Bahasa Jawa untuk komunikasi lisan di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah.

Masih menggunakan Bahasa Jawa, Ganjar juga menyampaikan terima kasih karena dari tahun ke tahun dana desa yang diterima di Jawa Tengah terus meningkat. Hal itu menurut Ganjar bukti dari keseriusan Presiden Jokowi untuk melakukan pembangunan negara dari pinggiran.

“(Sebanyak) Rp2,22 triliun tahun 2015, Rp5,00 triliun tahun 2016, Rp6,3 triliun tahun 2017 lan Rp6,74 triliun tahun 2018. Konsep Pak Jokowi mbangun Indonesia saking pinggir wonten ning astane panjenengan sedaya,” katanya.

Menyimak sambutan dari Ganjar tersebut, mungkin karena terpancing Presiden Jokowi juga tak mau ketinggalan dan akhirnya ikut menggunakan bahasa Jawa. Meski sejak 2012 telah bermukim di Jakarta, bagaimanapun Jokowi tetaplah orang Solo yang pemahamannya terhadap kebudayaan Jawa cukup tinggi.

“Pripun kabare bapak-bapak lan ibu? Sami sehat to (Bagaimana kabarnya, bapak-bapak dan ibu-ibu, sehat kan)?” ujar Jokowi yang langsung dapat jawaban riuh dari hadirin, bahkan ada yang jawab dengan yel-yel.

“Kula niki ya sami kalih panjenengan sedaya, asli wong ndesa,” kata Jokowi.

Jokowi kemudian menjabarkan kemajuan-kemajuan desa berkat stimulan dana desa khususnya pada sektor infrastruktur. Tercatat telah dibangun jalan desa sepanjang 123 ribu km, 11.500 posyandu, 18.000 PAUD, 6500 pasar desa, 791 ribu meter jembatan, 28 ribu unit irigasi, 1.900 embung dan 26.700 BUMDes.

Hal tersebut menurut Jokowi tidak terlepas dari terus ditingkatkannya besaran dana desa sejak kali pertama diluncurkan tahun 2015. Besarannya Rp 20 triliun pada 2015, Rp47 triliun tahun 2016, Rp60 triliun tahun 2017, Rp60 triliun 2018 dan Rp 70 triliun pada tahun 2019 mendatang.

“Kula nitip, kades harus kompak agar dana desa benar-benar bermanfaat bagi masyarakat,” tandasnya.

Penulis : Ib, Humas Jateng

Editor : Ul, Diskominfo Jateng

Foto : Humas Jateng

Liputan6.com, Jakarta Pada 21 Juni 1961, tepat hari ini, 60 tahun yang lalu, sebuah momen istimewa terjadi di Rumah Sakit Brayat Minulya, Jalan Setiabudi No.106, Manahan, Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Hari itu, wanita bernama Sudjiatmmi melahirkan anak pertamanya di rumah sakit tersebut.

Ia mengerang, menahan sakit dan penuh harap didampingi suaminya, Widjianto Notomihardjo. Saat proses persalinan, Sudjiatmi harus menahan kesakitan dan kecemasan. Sebab saat itu usianya masih 18 tahun. Noto dan Sudjiatmi memang memilih menikah muda kala itu.

Perasaan sakit dan harap-harap cemas itu menjelma jadi kelegaan tatkala seorang bayi laki-laki keluar dari rahim Sujiatmi. Saat itu, anak laki-laki tersebut diberi nama Mulyono. Namun, akhirnya berganti nama menjadi Joko Widodo. Joko bermakna laki-laki dan Widodo berarti selamet atau selamat.

Mengutip dari buku berjudul Jokowi Menuju Cahaya yang ditulis oleh Alberthiene Endah, kedua orang tuanya mengganti nama Mulyono menjadi Joko Widodo karena sering sakit. Menurut kepercayaan orang Jawa, anak kecil yang sering sakit, namanya harus diganti.

"Nama itu tak terlalu lama saya miliki karena orang tua saya segera mencarikan nama baru ketika saya berulang kali sakit. Boleh tidak percaya, saya kemudian tumbuh sehat. Itu misteri," katanya dalam buku yang diluncurkan pada 13 Desember 2018 itu.

Sudjiatmi sama sekali tak kepikiran bila anak yang ia lahirkan kelak bakal jadi orang besar. Seperti dicatat Francisca Ria Susanti dalam Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi (2014), Sudjiatmi baru punya firasat itu tatkala 4 tahun kemudian ayahnya, Wiroredjo, berceletuk soal kepala Joko Widodo.

Saat memandangi cucunya bermain, sambil tersenyum Wiroredjo bergumam, "Bocah berkepala besar seperti itu, pasti nanti jadi orang (sukses)." Wiroredjo bukan peramal, tapi toh prediksinya jadi kenyataan.

Berasal dari keluarga yang sangat sederhana membuat Jokowi merasakan hidup yang sulit dan keras pada masa kecilnya. Pada saat ia duduk di Sekolah Dasar Negeri 111 Tirtoyoso, Surakarta, Jokowi telah menjadi seorang kuli panggul, ojek payung dan pedagang. Hal tersebut ia lakukan hanya untuk membiayai kebutuhan sekolahnya hingga makan sehari-hari.

Pada usia 12 tahun, dia memutuskan untuk bekerja di perusahaan kayu sebagai tukang gergaji. Keahlian tersebut didapatnya dari ayahnya yaitu Noto Mihardjo yang juga berprofesi sebagai tukang kayu.

Di masa kecilnya Joko Widodo juga telah merasakan pahitnya penggusuran, ketika rumahnya tiga kali terkena penggusuran. Setelah lulus Sekolah Dasar, ia masuk di SMP Negeri 1 Surakarta kemudian melanjutkan sekolahnya di SMA Negeri 6 Surakarta.

Usai menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Kota Solo, dia memilih untuk belajar di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM). Di sana ia belajar sangat giat mengenai kayu, teknologi pengolahannya serta pemanfaatnnya.

Setelah menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1985 Jokowi akhirnya menikahi pujaan hatinya, Iriana pada 24 Desember 1986 di Kota Solo yang kemudian memberinya tiga orang anak bernama Gibran Rakabuming, Kaesang Pangarep dan Kahiyang Ayu.

Di tahun yang sama, Jokowi pun merantau ke Aceh untuk mencari pekerjaan. Di sana ia bekerja di salah satu BUMN, PT Kertas Kraft Aceh. Namun karena merasa tidak betah, akhirnya ia memilih mengundurkan diri dan mencoba untuk berbisnis kayu di Solo sembari menunggu kelahiran anak pertamanya.

Sebelum memulai usahanya sendiri, Jokowi bekerja di perusahaan milik pamannya, di CV Roda Jati, Solo. Setelah banyak pengalaman yang ia dapat dari sana, Jokowi memberanikan diri untuk membuka usaha mebel kayu sendiri pada tahun 1988 dengan membuat badan usaha yang bernama CV. Rakabu yang terinspirasi dari nama anak pertamanya, yaitu Gibran Rakabuming.

Bisnis kayu Jokowi dibawah naungan CV. Rakabu mengalami pasang surut bahkan hampir bangkrut. Namun pada tahun 1990 berkat pinjaman dana sebesar Rp 30 juta dari ibunya, Jokowi kemudian mencoba bangkit kembali. Setelah bisnisnya mulai bangkit, Jokowi memulai perjalanannya untuk keliling Eropa, Amerika, dan Timur Tengah. Alhasil, Jokowi sukses menjadi pengusaha ekspor mebel.

Dia pun makin dikenal dengan panggilan Jokowi, yakni nama pendek dari Joko Widodo. Sebutan itu didapatkannya dari mitra bisnis mebelnya dari Prancis bernama Bernard Chene.

Hal tersebut pernah disampaikan Jokowi melakukan unggahan YouTube Presiden Joko Widodo pada 12 April 2019.

"Saya bertemu dengan pembeli mebel dari Prancis bernama Bernard Chene. Dia yang memberi sebutan Jokowi untuk saya, untuk membedakan Joko Widodo dengan Joko-Joko lainnya yang banyak Beliau kenal. Sejak saat itu orang-orang lingkungan pengusaha mebel memanggil saya Jokowi," kata Jokowi.

Karier politiknya dimulai dengan menjadi Wali Kota Surakarta pada tahun 2005. Namanya mulai dikenal setelah dianggap berhasil mengubah wajah Kota Surakarta menjadi kota pariwisata, kota budaya, dan kota batik.

Jokowi, begitu ia kemudian biasa disapa, punya popularitas mencengangkan di kota kelahirannya. Ia hampir saja mengakhiri dua periode kepemimpinan seandainya pada pertengahan Oktober 2012 PDIP tak menawarinya maju sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta.

Kendati bukan orang Betawi, Jokowi sukses merengkuh jabatan orang nomor satu di Ibu Kota. Popularitasnya terus naik hingga pada 20 Oktober 2014, 2 tahun setelah jadi gubernur, namanya keluar sebagai pemenang pemilihan presiden (pilpres). Bersama Jusuf Kalla sebagai cawapres, ia mengalahkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dengan beroleh suara 69,58 persen.

Lima tahun kemudian ia kembali mengalahkan Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno. Kali ini didampingi oleh Ma'ruf Amin sebagai Wapres. Jokowi pun jadi orang kedua sepanjang sejarah yang berhasil memenangkan dua pilpres secara langsung di Indonesia, setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kesuksesan Jokowi itu tidak datang dari ruang kosong. Ia sukses menyita perhatian publik dari satu pilkada ke pilkada lain, dari satu pemilu ke pemilu lain berkat citranya sebagai orang sederhana. Citra itu didapat Jokowi karena sejak kecil hidupnya memang serba apa adanya.

"Joko bersama adik-adiknya itu nrimo (mau menerima keadaan). Mereka tak pernah ini itu. Joko itu orangnya memang ngemong adik-adiknya," papar Sujiatmi seperti dicatat Yon Thayrun dalam Jokowi: Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker (2012).

Scroll down untuk melanjutkan membaca