Apa saja konsep tentang baptisan dalam gereja gbkp

(1)(2)(3)

TATA GEREJA GBKP I. PEMBUKAAN [1] Allah adalah Pencipta langit dan bumi serta segala isinya, termasuk manusia yang diciptakan menurut gambarNya. Allah menciptakan segalanya baik namun dosa manusia menyebabkan langit dan bumi rusak. Karena itu, Allah sejak awal melakukan karya keselamatan-Nya agar seluruh ciptaan-Nya menjadi baik kembali. Allah melalui Yesus Kristus turun ke dunia menjadi Juru Selamat untuk menebus, membebaskan, dan memperdamaikan seluruh ciptaan-Nya. Penebusan, pembebasan, dan pendamaian Allah itu terus menerus terjadi melalui kehadiran dan kuasa Roh Kudus. Allah mempersekutukan orang-orang yang menyambut karya penyelamatan-Nya dengan iman dalam gereja yang esa, kudus, am, dan rasuli. Allah memanggil gereja untuk mengambil bagian dalam karya penyelamatan-Nya dengan menjadi teman sekerja-Nya untuk memproklamasikan Injil Kerajaan Allah sampai akhir zaman. [2] Injil mulai masuk ke

masyarakat Karo pada tanggal 18 April 1890 dengan tibanya pekabar Injil dari Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG) di Pelabuhan Belawan yang kemudian mendirikan pos pekabaran Injil di Buluhawar (sekarang terletak di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, provinsi

Sumatera Utara). Upaya pekabaran Injil itu bermuara pada pemandirian Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) pada tanggal 23 Juli 1941 dalam Sidang Sinode I di Sibolangit. Sebagai gereja yang mandiri, GBKP menerima hak dan tanggungjawab serta hak milik NZG. GBKP merupakan perwujudan dari gereja Kristen yang esa, kudus, am, dan rasuli serta sekaligus merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang turut serta mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 serta pendirian Dewan Geredja-geredja di Indonesia (DGI) pada tanggal 25 Mei 1950. GBKP dipanggil Allah untuk melaksanakan misinya dengan memproklamasikan Injil Kerajaan Allah melalui hidup yang bersekutu, bersaksi, dan melayani. [3] GBKP mengakui bahwa kedaulatan tertinggi ada pada Allah yang menyatakan diri melalui Firman dan tindakan-Nya. Dalam perspektif ekumenis, GBKP menerima kekayaan tradisi ekumenis sejak awal perjalanan sejarah gereja sampai masa kini. Secara historis, GBKP memahami dirinya sebagai gereja Protestan beraliran Calvinis. [4] GBKP hidup dan melayani dalam konteks budaya Karo, antara lain prinsip runggu (musyawarah) dan sihamathamaten (saling menghormati) dalam kekerabatan merga si lima, rakut si telu, tutur si waluh, perkade-kaden si sepuludua tambah sada (lima marga, tiga ikatan, delapan jenis hubungan, dua belas ditambah satu jenis kekerabatan). Dalam konteks tersebut, GBKP terus menerus

melakukan pergumulan teologis terhadap budaya Karo secara kritis dan dinamis sehingga GBKP dapat menyatakan dirinya sebagai gereja Kristen yang melaksanakan misinya. [5] GBKP memaknai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai perlengkapan hidup dalam dunia yang terusmenerus

mengalami perubahan dan tantangan. [6] GBKP merupakan persekutuan warga gereja. Berdasarkan prinsip imamat am semua orang percaya, warga GBKP adalah pelaku utama yang melaksanakan misi GBKP. Untuk itu, Allah memberikan kepada mereka berbagai karunia Roh yang bernilai setara untuk melaksanakan pelayanan mereka baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama. Beberapa warga GBKP dipanggil oleh Allah melalui GBKP untuk menjadi pelayan-pelayan khusus. Pelayan-pelayan khusus GBKP berkedudukan setara. Pelayan khusus GBKP adalah tetap warga GBKP yang berfungsi khusus dan memperoleh wewenang dari Allah untuk memperlengkapi seluruh warga GBKP agar mereka dapat melaksanakan misi GBKP. Hubungan antara warga dan pelayan khusus bersifat setara, fungsional, dan timbal-balik berdasarkan kasih. [7] GBKP proaktif dan responsif terhadap pergumulan warga GBKP dan masyarakat untuk mengupayakan jalan keluar dengan memberdayakan seluruh potensi yang ada pada dirinya serta dalam kerjasama dan dialog dengan seluruh denominasi gereja dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. GBKP memperdengarkan suara kenabian demi menegakkan keadilan dan kebenaran serta menjadi garam dan terang dunia. [8] GBKP membangun hubungan dengan pemerintah yaitu hubungan kemitraan yang saling menghormati, mengingatkan, melengkapi dan membantu. GBKP menerima Pancasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. [9] GBKP yang pada awalnya ditujukan untuk menjangkau masyarakat Karo, kini terbuka untuk melewati batasbatas suku, ras, golongan, dan wilayah. [10] Agar GBKP menjadi kesatuan yang utuh dan dinamis serta melaksanakan misinya secara efisien dan efektif, disusun Tata Gereja GBKP dengan ketentuan: 1. Tata Gereja GBKP

(4)

disusun dengan mengikuti sistem penataan gereja presbiterial- sinodal, dengan ciri-ciri pokok sebagai berikut: a. Basis Sistem presbiterial- sinodal berbasis pada Runggun. Semua Runggun berkedudukan setara, sehingga tidak ada hierarki kelembagaan gerejawi antar-runggun. b.

Kesatuan Internal Kesatuan internal GBKP berwujud dalam Runggun, Klasis, dan Sinode. Runggun, Klasis, dan Sinode, baik secara masing-masing maupun bersama-sama, merupakan perwujudan GBKP sebagai satu gereja yang lengkap dan utuh. c. Lembaga Kepemimpinan 1) Kepemimpinan gerejawi dilaksanakan dalam wadah lembaga kepemimpinan yang disebut sebagai majelis. 2) Majelis terdiri dari semua pelayan khusus. 3) Majelis sebagai lembaga bersifat kolektif-kolegial. 2. Tata Gereja GBKP terdiri atas tiga (3) bagian, yaitu: a. Pembukaan Pembukaan memuat dasar-dasar eklesiologis dan historis bagi seluruh peraturan dalam Tata Gereja GBKP. b. Tata Dasar Tata Dasar berupa peraturan-peraturan dasar yang bertumpu pada Pembukaan dan dirumuskan secara singkat, padat, dan tidak operasional. c. Tata Laksana Tata Laksana merupakan penjabaran dari Tata Dasar dan berisi peraturan-peraturan yang operasional dan terinci, yang secara umum memuat: 1)

Pengertian/ketentuan gerejawi. 2) Persyaratan gerejawi. 3) Prosedur gerejawi.

II. TATA DASAR Pasal 1 Hakikat GBKP merupakan perwujudan dari gereja Kristen yang esa, kudus, am, dan rasuli, yang dipanggil Allah untuk melaksanakan misinya dalam kerangka karya

penyelamatan Allah di dunia sampai akhir zaman. Pasal 2 Wujud 1. GBKP mewujud sebagai: a. Runggun Runggun adalah persekutuan dari semua warga GBKP yang melaksanakan misinya di suatu wilayah dan dipimpin oleh Majelis Runggun. Majelis Runggun diperlengkapi dengan BPMR dan unit-unit pelayanan Runggun. b. Klasis Klasis adalah persekutuan dari semua Runggun yang melaksanakan misinya di suatu wilayah dan dipimpin oleh Majelis Klasis. Majelis Klasis

diperlengkapi dengan BPMK dan unit-unit pelayanan Klasis. c. Sinode Sinode adalah persekutuan dari semua Runggun yang melaksanakan misinya dan dipimpin oleh Majelis Sinode. Majelis Sinode diperlengkapi dengan badan pekerja Majelis Sinode, yaitu Moderamen, dan unitunit pelayanan Sinode. 2. Runggun, Klasis, dan Sinode, masing-masing dan bersama-sama, merupakan perwujudan GBKP sebagai satu gereja yang lengkap dan utuh. Pasal 3 Kelembagaan 1.

2.

GBKP adalah badan hukum keagamaan sesuai dengan ketetapan Menteri Agama Republik Indonesia, No. 40 tahun 1972 tanggal 9 Desember 1972. GBKP sebagai lembaga yang berbadan hukum dapat mempunyai hak milik atas tanah, berdasarkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK.701/DJA/1986, tanggal 17 Nopember 1986. Sebagai Sinode, GBKP berkedudukan dan

berkantor di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Pasal 4 Pengakuan Iman

1. GBKP percaya kepada Allah, Pencipta langit dan bumi serta segala isinya, yang melakukan karya penyelamatan-Nya melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus. 2. GBKP percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang ditulis manusia dengan ilham Roh Kudus yang adalah juga dasar kehidupan orang Kristen, yang merupakan dasar pengajaran, nasehat, dan penuntun tingkah laku. 3. Dalam

persekutuan dengan gereja Kristen yang esa, kudus, am, dan rasuli, GBKP menerima Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, dan Pengakuan Iman Athanasius. 4. Sebagai gereja protestan yang beraliran Calvinis, GBKP menerima Katekismus Heidelberg. 5. Sebagai anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, GBKP menerima Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK). 6. Pengakuan iman GBKP yang kontekstual adalah Pengakuan Iman Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Pasal 5 Misi Misi GBKP adalah: 1. Turut serta dalam karya penyelamatan Allah di dan bagi dunia dengan melaksanakan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan. 2.

Menumbuhkembangkan spiritualitas berbasis Alkitab.

3. Menegakkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan Allah. 4. Menggali dan

(5)

jemaat dan masyarakat.

Pasal 6 Warga 1. Warga GBKP terdiri dari: a. Warga baptis, yaitu warga GBKP yang telah menerima baptisan kudus anak atau warga GBKP yang sedang dipersiapkan untuk menerima baptisan kudus. b. Warga sidi (ngawan), yaitu warga GBKP yang telah menerima pelayanan pengakuan percaya/sidi atau warga GBKP yang telah menerima baptisan kudus dewasa. 2. Warga dipanggil untuk

melaksanakan misi GBKP. Pasal 7 Pelayan Khusus 1. Pelayan khusus GBKP terdiri dari: a. Pendeta (disingkat Pdt.). b. Pertua (disingkat Pt.). c. Diaken (disingkat Dk.). 2. Pelayan khusus berfungsi untuk memperlengkapi seluruh warga GBKP agar mereka dapat melaksanakan misi GBKP. Pasal 8 Organisasi 1. Lembaga Kepemimpinan a. Runggun 1) Runggun dipimpin oleh Majelis Runggun yang terdiri dari semua pelayan khusus di Runggun tersebut. 2) Untuk melaksanakan tugas

kepemimpinan harian Majelis Runggun, Majelis Runggun memilih dan mengangkat BPMR, yang terdiri dari unsur-unsur ketua, sekretaris, dan bendahara, dan yang bertanggungjawab kepada Majelis Runggun. 3) Majelis Runggun dan BPMR bersifat kolektif-kolegial. b. Klasis 1) Klasis dipimpin oleh Majelis Klasis yang terdiri dari utusan-utusan semua Majelis Runggun di Klasis tersebut. 2) Untuk melaksanakan tugas kepemimpinan harian Majelis Klasis, Majelis Klasis memilih dan mengangkat BPMK, yang terdiri dari unsur-unsur ketua, sekretaris, dan bendahara, dan yang bertanggungjawab kepada Majelis Klasis. 3) Majelis Klasis dan BPMK bersifat kolektif-kolegial. c. Sinode 1) Sinode dipimpin oleh Majelis Sinode yang terdiri dari utusan-utusan semua Majelis Runggun. 2) Untuk melaksanakan tugas kepemimpinan harian dari Majelis Sinode, Majelis Sinode memilih dan mengangkat Moderamen, yang terdiri dari unsur-unsur ketua, sekretaris, dan

bendahara, dan yang bertanggungjawab kepada Majelis Sinode. 3) Majelis Sinode dan Moderamen bersifat kolektif-kolegial. 2. Tugas a. Runggun Majelis Runggun bertugas memperlengkapi Runggun dan setiap warga dalam Runggun tersebut agar mereka dapat melaksanakan misi GBKP di wilayah pelayanan Runggun. b. Klasis Majelis Klasis bertugas memperlengkapi semua Runggun dalam Klasis tersebut agar mereka dapat melaksanakan misi GBKP di wilayah pelayanan Klasis. c. Sinode

Majelis Sinode bertugas memperlengkapi semua Runggun dalam Sinode agar mereka dapat

melaksanakan misi GBKP di wilayah pelayanan Sinode. 3. Wewenang a. Runggun Majelis Runggun berwenang melaksanakan tugasnya. Wewenang Majelis Runggun pada hakikatnya berasal dari Allah yang memanggil pelayan-pelayan khusus, yang menjadi anggota-anggota Majelis Runggun, melalui Runggun. b. Klasis Majelis Klasis berwenang melaksanakan tugasnya. Wewenang Majelis Klasis pada hakikatnya berasal dari Allah yang memanggil pelayan-pelayan khusus, yang menjadi anggota-anggota Majelis Klasis, melalui Runggun. c. Sinode Majelis Sinode berwenang melaksanakan

tugasnya. Wewenang Majelis Sinode pada hakikatnya berasal dari Allah yang memanggil pelayan-pelayan khusus, yang menjadi anggota-anggota Majelis Sinode, melalui Runggun. 4.

Pertanggungjawaban a. Runggun Sesuai dengan wewenang yang berasal dari Allah, pada hakikatnya Majelis Runggun bertanggungjawab kepada Allah. Secara operasional,

pertanggungjawaban Majelis Runggun diwujudkan oleh Majelis Runggun melalui Sidang Majelis Runggun (SMR). b. Klasis Sesuai dengan wewenang yang berasal dari Allah, pada hakikatnya Majelis Klasis bertanggungjawab kepada Allah. Secara operasional, pertanggungjawaban Majelis Klasis diwujudkan oleh Majelis Klasis melalui Sidang Majelis Klasis (SMK). c. Sinode Sesuai dengan wewenang yang berasal dari Allah, pada hakikatnya Majelis Sinode bertanggungjawab kepada Allah. Secara operasional, pertanggungjawaban Majelis Sinode diwujudkan oleh Majelis Sinode melalui Sidang Majelis Sinode (SMS). 5. Persidangan a. Runggun 1) SMR SMR adalah sarana Majelis

Runggun dalam mengambil keputusan untuk Runggun yang dipimpinnya. SMR diikuti oleh anggota-anggota Majelis Runggun dari Runggun tersebut. Keputusan Majelis Runggun harus diterima oleh semua warga dalam Runggun tersebut. 2) Sidang BPMR Sidang BPMR adalah sarana BPMR dalam mengambil keputusan. Keputusan BPMR harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada Majelis Runggun tersebut. b. Klasis 1) SMK SMK adalah sarana Majelis Klasis dalam mengambil keputusan untuk Klasis yang dipimpinnya. SMK diikuti para pelayan khusus yang merupakan utusan

(6)

dari semua Majelis Runggun di Klasis tersebut dan BPMK. Keputusan Majelis Klasis harus diterima oleh semua Runggun dalam Klasis tersebut. 2) Sidang BPMK Sidang BPMK adalah sarana BPMK dalam mengambil keputusan. Keputusan BPMK harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada Majelis Klasis tersebut. c. Sinode 1) SMS SMS adalah sarana Majelis Sinode dalam

mengambil keputusan untuk Sinode. SMS diikuti para pelayan khusus yang merupakan utusan dari semua Majelis Runggun dan Moderamen. Keputusan Majelis Sinode harus diterima oleh semua Runggun. 2) SKMS SKMS adalah sarana Majelis Sinode dalam mengambil keputusan di antara dua (2) SMS untuk mengevaluasi kinerja pelayanan Moderamen. 3) Sidang Moderamen Sidang

Moderamen adalah sarana Moderamen dalam mengambil keputusan. Keputusan Moderamen harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada Majelis Sinode.

6. Musyawarah Warga Sidi Runggun Musyawarah Warga Sidi Runggun diikuti oleh seluruh warga sidi dalam Runggun tersebut untuk memberikan masukan kepada Majelis Runggun mengenai kehidupan dan pelayanan Runggun tersebut. 7. Unit Pelayanan a. Unit Pelayanan Runggun Untuk melaksanakan misi gereja dengan lebih fokus dan terspesialisasi, Majelis Runggun membentuk unit-unit pelayanan Runggun yang diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada Majelis Runggun

tersebut. b. Unit Pelayanan Klasis Untuk melaksanakan misi gereja dengan lebih fokus dan terspesialisasi, Majelis Klasis membentuk unitunit pelayanan Klasis yang diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada Majelis Klasis tersebut. c. Unit Pelayanan Sinode Untuk melaksanakan misi gereja dengan lebih fokus dan terspesialisasi, Majelis Sinode membentuk unitunit pelayanan Sinode yang diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada Majelis Sinode melalui Moderamen. 8. Perwakilan Majelis Runggun, BPMK, dan Moderamen dapat menunjuk wakil-wakilnya untuk urusan-urusan tertentu, yang diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada lembaga yang menunjuknya. Pasal 9 Sarana Penunjang 1. GBKP melaksanakan misinya dengan menggunakan sarana penunjang yang dimilikinya dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. 2. Sarana penunjang pelayanan GBKP antara lain pegawai dan harta milik GBKP. 3. Pegawai GBKP adalah orang-orang yang diangkat dan diberhentikan oleh Moderamen serta ditetapkan dengan Surat Keputusan Moderamen untuk

melakukan tugas-tugas administratif dan penunjang pelayanan lainnya. 4. Harta milik GBKP adalah milik Allah yang dipercayakan kepada GBKP untuk melaksanakan misinya. 5. Harta milik GBKP diperoleh, dikelola, dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan prinsip-prinsip penatalayanan berdasarkan Firman Allah. 6. Harta milik GBKP terdiri dari uang, surat berharga, barang bergerak dan tidak bergerak, serta kekayaan intelektual. Pasal 10 Tata Laksana Tata Dasar GBKP dijabarkan lebih lanjut di dalam Tata Laksana GBKP. Pasal 11 Perubahan Tata Gereja GBKP dapat diubah oleh Majelis Sinode melalui SMS. Pasal 12 Penutup Hal-hal yang belum diatur dalam Tata Dasar GBKP diputuskan oleh Majelis Runggun atau Majelis Klasis atau Majelis Sinode sejauh tidak bertentangan dengan Tata Gereja GBKP.

III. TATA LAKSANA A. WUJUD BAB I WUJUD GEREJA YANG IDEAL Pasal 1 Indikator Umum Wujud GBKP Yang Ideal Sesuai dengan hakikatnya sebagaimana yang tergambar dalam Pembukaan dan Tata Dasar maka wujud GBKP yang ideal, baik dalam wilayah pelayanan Runggun, Klasis, maupun Sinode, memiliki indikator-indikator umum antara lain: 1. Warga gereja adalah subjek dalam kehidupan bergereja. 2. Anak, remaja, dan pemuda berperan penting dalam kegiatan-kegiatan gereja baik dari sudut kualitas maupun kuantitasnya sehingga regenerasi dan kaderisasi berjalan dengan baik. 3. Gereja yang mampu memperdengarkan suara kenabian untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sekalipun hal tersebut tidak populer bagi pihak-pihak yang dikuasai roh duniawi. 4. Sebagian besar anggaran gereja baik dalam perencanaan maupun realisasinya digunakan untuk pelayanan kasih yang dilaksanakan bersama atau untuk pihak di luar gereja. 5. Transparansi keuangan gereja terlihat dalam laporan keuangan yang disusun dengan standard yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipublikasikan minimal satu (1) kali dalam satu (1) bulan. 6. Gereja yang mampu mengelola konfliknya karena semua pihak yang berbeda pendapat tetap dipersatukan oleh ketaatan terhadap Firman Allah, kepatuhan terhadap Tata Gereja GBKP, dan

(7)

penghargaan terhadap adat-budaya. 7. Gereja yang senantiasa terbuka terhadap kreatifitas

bersekutu, bersaksi, dan melayani berdasarkan Firman Allah sehingga menunjukkan pertumbuhan kualitas dan kuantitas. BAB II RUNGGUN Pasal 2 Tahapan Untuk Pelembagaan Runggun Runggun dilembagakan setelah melalui dua tahap yaitu Perminggun dan Perpulungen. Pasal 3 Perminggun 1. Perminggun adalah wadah kegiatan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan jemaat di suatu wilayah pelayanan tertentu yang dipersiapkan untuk menjadi Perpulungen. 2. Syarat a. Ada sekurang-kurangnya lima belas (15) warga sidi. b. Telah menyelenggarakan kebaktian secara teratur

sekurang-kurangnya sekali seminggu. c. Ada sekurang-kurangnya tiga (3) warga sidi yang bersedia menjadi anggota Badan Pengurus Perminggun, yang satu dengan lainnya tidak mempunyai

hubungan suami-istri dan saudara sekandung. d. Mampu mengatur administrasinya sendiri. 3. Prosedur a. Majelis Runggun mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Klasis untuk mendirikan sebuah Perminggun dengan tembusan kepada Majelis Sinode. Permohonan tersebut harus disertai dengan keterangan mengenai terpenuhinya syarat-syarat Perminggun pada Tata Laksana Pasal 3:2. b. BPMK yang terkait melakukan perkunjungan pastoral kepada calon Perminggun dan Runggun tersebut. c. Berdasarkan perkunjungan tersebut BPMK yang terkait menyusun laporan perkunjungan dan rekomendasi tentang rencana pendirian Perminggun tersebut untuk disampaikan kepada Majelis Klasis dalam SMK yang terdekat.

d. Majelis Klasis tersebut dalam sidangnya mempertimbangkan laporan perkunjungan dan rekomendasi BPMK yang terkait untuk mengambil keputusan mengabulkan atau menolak

permohonan Majelis Runggun tersebut. e. BPMK yang terkait menyampaikan keputusan tersebut kepada Majelis Runggun pemohon dengan tembusan kepada Majelis Sinode. f. Jika Majelis Klasis mengabulkan permohonan Majelis Runggun tersebut, Majelis Runggun yang bersangkutan

menyelenggarakan kebaktian peresmian Perminggun, dengan menggunakan liturgi yang ditetapkan oleh Majelis Sinode, termasuk pelantikan Badan Pengurus Perminggun, selambat-lambatnya tiga (3) bulan sejak permohonan dikabulkan. Kebaktian peresmian Perminggun dilayani oleh pendeta. g. Majelis Runggun melaporkan peresmian Perminggun yang baru tersebut kepada Majelis Klasis dengan tembusan kepada Majelis Sinode. 4. Tugas a. Melaksanakan kebaktian minggu. b. Mengupayakan pelaksanaan PJJ, PA, retreat, kebaktian rumah tangga, dan kebaktian-kebaktian lainnya. c. Melaksanakan pelayanan diakonia. d. Melaksanakan perkunjungan rumah tangga. e. Mengadakan tugas Pekabaran Injil. f. Mengembangkan sarana peningkatan iman jemaat. g. Menggerakkan dan mendampingi unit-unit pelayanan. h. Melaksanakan keputusan-keputusan Majelis Runggun. i. Merencanakan dan melaksanakan program mengacu dan terikat kepada keputusan Majelis Runggun. j. Mempersiapkan calon-calon pelayan gereja. Pasal 4 Perpulungen 1. Perpulungen adalah bagian dari Runggun yang merupakan pengembangan dari Perminggun dan yang dipersiapkan untuk menjadi Runggun. 2. Syarat a. Adasekurang-kurangnya lima puluh (50) warga sidi dari Runggun yang membentuknya yang bersedia terlibat dalam kegiatan pelayanan di Perpulungen yang akan dibentuk. b. Tersedia tempat kebaktian yang tetap. c. Telah

menyelenggarakan kebaktian minggu setiap hari minggu dan kegiatan-kegiatan lain dalam bidang persekutuan, kesaksian, dan pelayanan secara teratur. d. Ada sekurang-kurangnya lima (5) warga sidi yang dinilai mampu dan bersedia menjadi Badan Pengurus Perpulungen, yang satu dengan lainnya tidak mempunyai hubungan suami-istri dan saudara sekandung. e. Persembahan yang terkumpul dalam Perminggun yang akan dijadikan Perpulungen dalam tahun pelayanan terakhir sekurang-kurangnya mencapai empat puluh persen (40%) dari pengeluaran Perminggun tersebut pada tahun berjalan. f. Mampu memilih pelayan khusus sesuai dengan kebutuhannya. 3. Prosedur a. Majelis Runggun mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Klasis untuk meningkatkan status Perminggun menjadi Perpulungen dengan tembusan kepada Majelis Sinode. Permohonan tersebut harus disertai keterangan mengenai terpenuhinya syarat-syarat menjadi Perpulungen pada Tata Laksana Pasal 4:2. b. BPMK tersebut melakukan perkunjungan pastoral terhadap Perminggun dan Runggun tersebut. c. BPMK menyusun laporan perkunjungan dan rekomendasi tentang rencana peningkatan status Perminggun menjadi Perpulungen untuk disampaikan dalam SMK yang terdekat.

(8)

d. Majelis Klasis dalam sidangnya mempertimbangkan laporan perkunjungan dan rekomendasi BPMK yang terkait untuk mengambil keputusan mengabulkan atau menolak permohonan Majelis Runggun tersebut. e. BPMK menyampaikan keputusan tersebut kepada Majelis Runggun pemohon dengan tembusan kepada Majelis Sinode. f. Jika Majelis Klasis mengabulkan permohonan Majelis Runggun tersebut, Majelis Runggun menyelenggarakan kebaktian peresmian Perpulungen, dengan menggunakan liturgi peresmian Perpulungen, termasuk pelantikan Badan Pengurus Perpulungen, selambat-lambatnya tiga (3) bulan sejak persetujuan ditetapkan. Kebaktian peresmian Perpulungen dilayani oleh pendeta.

g. Majelis Runggun melaporkan peresmian Perpulungen yang baru tersebut kepada Majelis Klasis dengan tembusan kepada Majelis Sinode. 4. Tugas a. Menyelenggarakan kebaktian minggu dan kebaktian hari-hari besar lainnya. b. Melaksanakan PJJ, PA, retreat dan mendorong kebaktian rumah tangga. c. Melaksanakan pelayanan diakonia d. Melaksanakan perkunjungan rumah tangga secara rutin. e. Mengadakan penggembalaan sesuai dengan kebutuhan. f. Ikut ambil bagian dalam tugas Pekabaran Injil. g. Menggerakkan dan mendampingi unit-unit pelayanan. h. Melaksanakan

keputusan-keputusan Majelis Runggun. i. Mempersiapkan calon-calon pelayan gereja. j.

Merencanakan dan melaksanakan program yang mengacu dan terikat kepada keputusan Majelis Runggun. k. Menetapkan dan memilih pengurus Perpulungen dari unsur pertua dan/atau diaken. Pasal 5 Perubahan Status Perpulungen Menjadi Perminggun Perpulungen dapat diubah statusnya menjadi Perminggun dengan persetujuan Majelis Klasis, apabila tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai Perpulungen seperti yang tercantum dalam Tata Laksana Pasal 4:2 sekalipun telah

dilakukan usaha-usaha yang optimal oleh Majelis Runggun yang bersangkutan. Majelis Runggun yang bersangkutan melaporkannya kepada Majelis Klasis yang terkait dengan tembusan kepada Majelis Sinode. Pasal 6 Runggun 1. Syarat a. Ada sekurang-kurangnya seratus lima puluh (150) warga sidi dari Runggun yang melembagakan, yang bersedia menjadi warga Runggun yang akan dilembagakan itu. b. Tersedia tempat kebaktian yang tetap. c. Mampu mewujudkan persekutuan serta melaksanakan kesaksian dan pelayanan berdasarkan kesadaran warganya akan panggilan Kristus. d. Mampu mengatur diri sendiri berdasarkan potensi kepemimpinan yang ada pada warganya. e. Mampu membiayai keperluan-keperluannya berdasarkan kesadaran tentang

penatalayanan dari warganya. f. Ada sekurang-kurangnya sembilan (9) orang warga sidi yang akan diteguhkan sebagai pertua dan diaken. g. Mampu membiayai satu (1) orang tenaga pendeta dan menyediakan rumah pendeta serta fasilitas pendukung lainnya. Rumah Dinas beserta dengan kelengkapannya disiapkan oleh Runggun yang bersangkutan agar layak dihuni oleh pendeta/vikaris dan keluarganya. Biaya air, listrik dan telepon dibiayai oleh Runggun yang bersangkutan sesuai aturan yang ditetapkan. 2. Prosedur a. Majelis Runggun mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Klasis dengan tembusan kepada Majelis Sinode untuk melembagakan sebuah

Perpulungennya menjadi Runggun. Permohonan tersebut harus disertai keterangan mengenai terpenuhinya syarat pelembagaan Runggun yang tercantum dalam Pasal 6:1. b. BPMK melakukan perkunjungan pastoral ke Runggun yang bersangkutan. c. BPMK menyusun laporan perkunjungan dan rekomendasi tentang rencana pelembagaan Perpulungen menjadi Runggun untuk disampaikan dalam SMK yang terdekat. d. Majelis Klasis dalam sidangnya mempertimbangkan laporan

perkunjungan dan rekomendasi BPMK untuk mengambil keputusan mengabulkan atau menolak permohonan Majelis Runggun tersebut. e. BPMK menyampaikan keputusan tersebut kepada Majelis Runggun pemohon dengan tembusan kepada Majelis Sinode. f. Jika Majelis Klasis mengabulkan permohonan Majelis Runggun tersebut maka BPMK menyelenggarakan kebaktian pelembagaan Runggun, termasuk pelantikan BPMR dengan menggunakan liturgi pelembagaan

Runggun, selambat-lambatnya enam (6) bulan sejak permohonan dikabulkan. Kebaktian

pelembagaan Runggun dilayankan oleh pendeta. g. BPMK melaporkan pelembagaan Runggun yang baru tersebut kepada Majelis Klasis dalam SMK yang terdekat. h. BPMK melaporkan pelembagaan Runggun yang baru tersebut kepada Moderamen. Pasal 7 Perubahan Status Runggun Menjadi

(9)

Perpulungen 1. Jika sebuah Runggun tidak dapat lagi memenuhi syarat sebagai Runggun seperti yang tercantum dalam Tata Laksana Pasal 6:1 sekalipun telah dilakukan usaha-usaha yang optimal oleh Majelis Runggun yang bersangkutan maupun oleh Majelis Klasis yang terkait, statusnya dapat diubah menjadi Perpulungen. 2. Prosedur a. BPMK menyampaikan penjelasan lengkap mengenai kondisi Runggun tersebut kepada Majelis Klasis dalam SMK dan mengusulkan perubahan status Runggun tersebut menjadi Perpulungen. b. Majelis Klasis dalam sidangnya mempertimbangkan penjelasan dan usulan BPMK untuk mengambil keputusan mengabulkan atau menolak usulan tersebut. c. Jika Majelis Klasis mengabulkan permohonan perubahan status Runggun tersebut maka Majelis Klasis menunjuk salah satu Runggun dalam Klasis yang terkait untuk menerima Runggun yang diubah statusnya tersebut sebagai Perpulungen dari Runggun tersebut. d. Majelis Runggun yang ditunjuk memfasilitasi penyesuaian administratif Perpulungen tersebut selambatlambatnya enam (6) bulan sejak permohonan perubahan status Runggun dikabulkan. e. Majelis Runggun

melaporkan perubahan status Perpulungen tersebut kepada Majelis Klasis dengan tembusan kepada Majelis Sinode. Pasal 8 Perpulungen Jabu-Jabu (PJJ) 1. PJJ adalah persekutuan warga gereja yang terdiri atas keluarga-keluarga dengan jumlah minimal dua puluh lima (25) keluarga dan maksimal lima puluh (50) keluarga yang dilayani oleh pertua dan diaken. 2. Jika jumlah keluarga telah melampaui lima puluh (50), Majelis Runggun memekarkannya menjadi dua (2) PJJ. 3. PJJ memiliki badan pengurus yang berasal dari warga GBKP yang bukan pelayan khusus. 4. Pelayan khusus di PJJ tersebut berfungsi sebagai pendamping Badan Pengurus PJJ. 5. Badan Pengurus PJJ menyusun program pelayanan di PJJ tersebut. 6. Tugas PJJ: a. Melaksanakan PJJ, PA, Retreat, kebaktian rumah tangga, dan kebaktian-kebaktian lainnya. b. Melaksanakan pelayanan diakonia c. Melaksanakan perkunjungan rumah tangga secara rutin. d. Mengadakan penggembalaan sesuai dengan kebutuhan. e. Melaksanakan tugas pekabaran Injil. f. Mengembangkan sarana peningkatan iman jemaat. g. Menggerakkan dan mendampingi unit-unit pelayanan. h. Melaksanakan keputusan-keputusan Majelis Runggun. i. Merencanakan dan melaksanakan program mengacu dan terikat kepada keputusan Majelis Runggun. j. Mempersiapkan calon-calon pelayan gereja. BAB III KLASIS Pasal 9 Penataan Klasis 1. Syarat Syarat berdirinya sebuah Klasis adalah: a. Jumlah Runggun sekurang-kurangnya dua puluh (20) dengan jumlah warga sidi minimal tiga ribu (3.000) orang.

b. Adanya keseimbangan daya dan dana yang menunjukkan kemampuan untuk membiayai seluruh operasional Klasis. c. Runggun-runggun yang membentuk Klasis berdekatan secara geografis sehingga mengefektifkan pelayanan. 2. Prosedur a. Usul penataan Klasis diajukan Majelis Klasis kepada Moderamen dengan syarat sudah dilakukan studi kelayakan oleh BPMK tersebut bersama Moderamen. b. Jika penataan Klasis itu menyangkut Runggun-runggun lintas Klasis, penataan dilakukan bersama BPMKBPMK tersebut dengan Moderamen. c. Pengajuan penataan Klasis dilaksanakan oleh Moderamen kepada Majelis Sinode dalam SMS terdekat.

B. KELEMBAGAAN BAB IV LOGO Pasal 10 Logo Sebagai tanda yang secara simbolis menggambarkan hakikat GBKP maka logo GBKP adalah sebagai berikut:

Pasal 11 Makna Logo GBKP Makna logo GBKP sebagaimana tergambar dalam Pasal 10 di atas adalah sebagai berikut: 1. Rumah adat Karo: melambangkan masyarakat suku Karo dengan adat dan budayanya. 2. Bulatan pertama berwarna biru dan lingkaran luar juga berwarna biru :

melambangkan dunia yang diciptakan/dikasihi Allah Bapa dengan segala isinya termasuk di dalamnya suku Karo. 3. Salib berwarna putih: melambangkan Kristus serta kekudusanNya yang berkenan mentransformasi adat dan budaya suku Karo. 4. Lingkaran garis merah: menggambarkan kasih Kristus dan penebusan-Nya. 5. Lingkaran berwarna kuning emas yang di dalamnya tertulis "Gereja Batak Karo Protestan – GBKP": melambangkan GBKP sebagai gereja Tuhan menyatakan hadirnya kemuliaan Tuhan melalui persekutuan, kesaksian, dan pelayanan yang membawa kesejahteraan secara spiritual dan material. 6. Alkitab: dasar dari persekutuan, kesaksian, dan pelayanan GBKP di dunia ini.

(10)

BAB V NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN

Pasal 12 Nama Runggun 1. Nama Runggun dituliskan dengan format: GBKP Runggun ... (diisi dengan nama jalan atau nama wilayah). 2. Nama Perpulungen dituliskan dengan format : GBKP Runggun ... (diisi dengan nama Runggun) Perpulungen ... (diisi dengan nama jalan atau nama wilayah). 3. Nama Perminggun dituliskan dengan format : GBKP Runggun ... (diisi dengan nama Runggun) Perminggun ... (diisi dengan nama jalan atau nama wilayah). Pasal 13 Nama Klasis Nama Klasis dituliskan dalam format: GBKP Klasis ... (diisi dengan nama

wilayah). Pasal 14 Tempat Kedudukan Runggun Tempat kedudukan Runggun adalah alamat gedung gerejanya atau alamat sekretariatnya. Pasal 15 Tempat Kedudukan Klasis Tempat kedudukan Klasis adalah alamat sekretariatnya.

C. PENGAJARAN BAB VI PENGAJARAN Pasal 16 Prinsip Pengajaran 1. Dasar utama pengajaran GBKP adalah Alkitab. 2. Pengajaran GBKP bertujuan mendidik warga gereja agar mampu menjadi manusia yang dewasa secara iman sehingga dapat menjadi garam dan terang dunia dalam praktik hidup sehari-hari. 3. Pengajaran GBKP senantiasa mempertimbangkan aspek perkembangan manusia seutuhnya, yang mengacu kepada filosofi pengajaran GBKP. 4. Pengajaran GBKP

senantiasa memperhatikan keseimbangan teori dan praktik serta latihan. Pasal 17 Bahan Pengajaran 1. Bahan utama pengajaran GBKP adalah Alkitab. 2. Berdasarkan Alkitab, bahan-bahan pengajaran lainnya adalah Pengakuan Iman GBKP, Buku Katekisasi GBKP, Institutio, Katekismus Heidelberg dan dokumen-dokumen lainnya dalam Tradisi Calvinis, pengelayasi/modulmodul pengajaran, buku seri pembinaan warga gereja “Setialah”, bahan PJJ, bahan PA badan pelayanan kategorial,

bimbingan pekan-pekan, buku pedoman KAKR dan bimbingan khotbah. Pasal 18 Bentuk Pengajaran Pengajaran GBKP disampaikan dalam bentuk kebaktian (liturgi), khotbah, katekisasi, PA,

perkunjungan pastoral, nyanyian jemaat, dan yang lain sejenisnya.

D. PERSEKUTUAN BAB VII KEBAKTIAN Pasal 19 Pengertian Kebaktian Kebaktian adalah kegiatan sebagai wujud persekutuan dengan Tuhan dan sesama untuk memuliakan Tuhan dan mendewasakan iman warga. Pasal 20 Jenis Kebaktian Jenis-jenis kebaktian di GBKP yaitu: 1. Kebaktian minggu 2. Kebaktian hari raya gerejawi, yaitu Advent, malam Natal, Natal, Epiphanias, Passion, Jumat Agung, Paskah, kenaikan Tuhan Yesus ke Surga, Pentakosta, Trinitatis, akhir tahun gereja. 3. Kebaktian sakramen. 4. Kebaktian peneguhan sidi. 5. Kebaktian pemberkatan perkawinan. 6. Kebaktian pekan-pekan. 7. Kebaktian penguburan. 8. Kebaktian penahbisan pelayan khusus. 9. Kebaktian

pengukuhan pelayan khusus. 10. Kebaktian peresmian gedung gereja. 11. Kebaktian pelembagaan. 12. Kebaktian pelantikan. 13. Kebaktian memasuki rumah baru. 14. Kebaktian unit pelayanan. 15. Kebaktian keluarga. 16. Kebaktian pengucapan syukur. 17. Kebaktian-kebaktian lain yang

ditetapkan Majelis Sinode berdasarkan kebutuhan dalam rangka kehidupan bergereja dan

bernegara, antara lain: tutup tahun, tahun baru, hari ulang tahun GBKP, hari kemerdekaan Republik Indonesia. Pasal 21 Penanggung Jawab dan Penyelenggara Kebaktian 1. Runggun a. Majelis

Runggun adalah penanggung jawab dan penyelenggara atas seluruh kebaktian yang

diselenggarakan dalam Runggunnya. b. Majelis Runggun dalam rangka pelaksanaan kebaktian dapat memanggil pendeta atau tenaga pelayanan dari denominasi gereja yang seajaran dengan GBKP. Daftar gereja yang seajaran dengan GBKP ditetapkan oleh Moderamen. c. Majelis Runggun dapat mengadakan pertukaran pelayan kebaktian dengan denominasi gereja yang seajaran dengan GBKP. d. Majelis Runggun mendorong setiap keluarga warga GBKP melaksanakan kebaktian keluarga secara rutin. e. Kebaktian keluarga yang melibatkan orang di luar keluarganya dilaksanakan setelah berkonsultasi dengan Majelis Runggunnya. f. Unit pelayanan Runggun dapat menyelenggarakan kebaktian yang berhubungan dengan tugas pelayanannya. 2. Klasis a. Majelis Klasis

menyelenggarakan kebaktian dalam rangka persidangan-persidangan gerejawi. b. Unit pelayanan Klasis dapat menyelenggarakan kebaktian dalam rangka pelaksanaan tugas pelayanannya.

(11)

3. Sinode a. Majelis Sinode menyelenggarakan kebaktian dalam rangka kegiatan-kegiatan sinodal. b. Unit pelayanan Sinode dapat menyelenggarakan kebaktian dalam rangka pelaksanaan tugas

pelayanannya. Pasal 22 Penyelenggaraan Kebaktian 1. 2. 3. 4. 5.

Kebaktian dapat diselenggarakan di tempat tertutup maupun terbuka pada waktu yang telah ditentukan oleh Majelis, setelah diwartakan kepada jemaat. Bahasa yang dapat dipakai dalam kebaktian yaitu Bahasa Karo, Bahasa Indonesia, dan bahasa lainnya sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Kebaktian dilayani oleh pendeta, pertua, diaken dan orang yang ditunjuk oleh Majelis. Kebaktian dapat diselenggarakan dengan menggunakan alat-alat musik. Dalam kebaktian dapat diadakan persembahan ucapan syukur kepada Tuhan (kolekte). Pasal 23 Liturgi/Tata Ibadah Majelis Sinode menetapkan Liturgi GBKP, yang terdiri dari: 1. Liturgi minggu 2. Liturgi hari raya gerejawi, yaitu Advent, malam Natal, Natal, Epiphanias, Passion, Jumat Agung, Paskah, kenaikan Tuhan Yesus ke Surga, Pentakosta, Trinitatis, akhir tahun gereja. 3. Liturgi sakramen. 4. Liturgi peneguhan sidi. 5. Liturgi pemberkatan perkawinan. 6. Liturgi pekan-pekan. 7. Liturgi penguburan. 8. Liturgi penahbisan pelayan khusus. 9. Liturgi pengukuhan pelayan khusus. 10. Liturgi penahbisan gedung gereja. 11. Liturgi pelembagaan. 12. Liturgi pelantikan. 13. Liturgi penerimaan. 14. Liturgi memasuki rumah baru. 15. Liturgi unit pelayanan 16. Liturgi keluarga. 17. Liturgi pengucapan syukur. 18. Liturgi-liturgi lain yang ditetapkan Majelis Sinode berdasarkan kebutuhan dalam rangka kehidupan bergereja dan bernegara, antara lain: tutup tahun, tahun baru, hari ulang tahun GBKP, hari kemerdekaan Republik Indonesia. Pasal 24 Buku Nyanyian 1. Majelis Sinode menetapkan buku nyanyian untuk kebaktian-kebaktian yang liturginya ditetapkan oleh Majelis Sinode. 2. Buku

nyanyian tersebut terdiri dari Kitab Ende-Enden, Penambahen Ende-Enden, Suplemen Ende-Enden, Kidung Jemaat, Pelengkap Kidung Jemaat, Kidung Ceria, Dua Sahabat Lama dan Nyanyikanlah Kidung Baru. 3. Di luar butir 2 di atas, Majelis Runggun bertanggungjawab untuk menyeleksi nyanyian-nyanyian yang dipakai dalam kegiatan-kegiatan lain sesuai dengan ajaran GBKP dan mengawasi pemakaiannya. 4. Majelis Runggun bertanggungjawab menjaga keselarasan dan keseimbangan nyanyian-nyanyian yang dipakai dalam kebaktian. Pasal 25 Pakaian Liturgis 1. Pakaian liturgis terdiri atas pakaian liturgis pendeta, pertua dan diaken. 2. Pakaian liturgis pendeta terdiri dari: a. Toga yaitu jubah berwarna hitam dengan perlengkapan dasi dan stola. b. Toga mini yaitu kemeja hitam dengan perlengkapan collar berwarna putih. 3. Pakaian liturgis pertua dan diaken terdiri dari: Toga yaitu jubah berwarna hitam yang bagian tengah depan (sisi kancing) berwarna putih dengan kelengkapan stola. 4. Kelengkapan a. Stola Stola adalah kelengkapan yang berbentuk kain merah panjang yang di dalamnya terdapat 2 buah logo GBKP yang letaknya simetris di tengah dan pada kedua ujungnya dihiasi dengan rumbai-rumbai berwarna kuning. b. Dasi Pendeta Dasi pendeta berbentuk huruf V terbalik yang sisi atasnya dilingkarkan pada leher pendeta. c. Collar Pendeta Collar pendeta adalah perlengkapan kemeja yang berwarna putih di kerah pendeta. Pasal 26 Warna Liturgis Untuk mencirikan tahun gerejawi dan peristiwa-peristiwa lain, warna liturgis diatur lebih lanjut oleh Moderamen. BAB VIII SAKRAMEN Pasal 27 Pengertian Sakramen Sakramen adalah tanda nyata yang dipakai Allah dalam Kristus oleh kuasa Roh Kudus melalui gereja untuk menyatakan bahwa keselamatan dari Allah dan kehidupan baru di dalam Allah telah terwujud. Pasal 28 Jenis Sakramen 1. Sakramen yang diakui dan dilaksanakan oleh GBKP adalah: a) Baptisan kudus, yaitu baptisan kudus dewasa dan baptisan kudus anak. b) Perjamuan kudus. 2. GBKP tidak mengenal sakramen darurat. Pasal 29 Baptisan Kudus Dewasa 1. Baptisan kudus dewasa adalah baptisan kudus yang dilayankan kepada orang yang mengaku imannya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat. 2. Syarat a. Telah berusia lima belas (15) tahun. b. Kelakuan dan/atau paham

pengajarannya sesuai dengan Firman Allah dan ajaran GBKP. c. Telah menyelesaikan katekisasi. Jika ada orang yang telah menyelesaikan katekisasi di gereja lain yang mempunyai perbedaan ajaran dengan GBKP, ia perlu diperlengkapi dengan penjelasan tentang pokokpokok ajaran yang berbeda itu dan pengenalan tentang GBKP. d. Ditetapkan layak oleh Majelis Runggun setelah mengikuti

(12)

percakapan pastoral yang diselenggarakan oleh Majelis Runggun berkenaan dengan pemahaman dan penghayatan imannya. e. Jika calon baptisan berasal dari agama lain dan secara hukum belum dewasa, ia harus mendapat izin tertulis dari kedua orang tua atau walinya. Yang dimaksudkan dengan “belum dewasa” adalah usia di bawah delapan belas (18) tahun (UU RI Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1.1.)

3. Prosedur a. Calon baptisan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Runggun. b. Majelis Runggun melakukan percakapan pastoral yang meliputi pemahaman dan penghayatan calon

baptisan tentang: 1) Dasar dan motivasi calon baptisan kudus dewasa. 2) Pokok-pokok iman Kristen terutama mengenai Allah, manusia, dosa, keselamatan, hidup baru, gereja, Alkitab, Kerajaan Allah. 3) Tanggung jawab dan hak sebagai warga. 4) Hal-hal lain yang dianggap perlu. c. Jika Majelis Runggun memandang calon baptisan layak untuk menerima pelayanan baptisan, Majelis Runggun mewartakan nama dan alamat calon baptisan dalam warta jemaat selama dua (2) hari kebaktian Minggu berturut-turut untuk memberikan kesempatan kepada warga ikut mendoakan dan mempertimbangkannya. d. Jika masa pewartaan dua (2) hari kebaktian Minggu telah selesai dan tidak ada keberatan yang sah dari warga sidi, Majelis Runggun melaksanakan pelayanan baptisan kudus dewasa dalam kebaktian Minggu atau kebaktian hari raya gerejawi dengan menggunakan liturgi Baptisan Kudus dewasa dan dilayankan oleh pendeta. e. Keberatan dinyatakan sah jika: 1) Diajukan tertulis secara pribadi dengan mencantumkan nama dan alamat yang jelas serta dibubuhi tanda tangan atau cap ibu jari dari warga yang mengajukan keberatan tersebut dan tidak

merupakan duplikasi dari surat keberatan yang lain mengenai hal yang sama. 2) Isinya mengenai tidak terpenuhinya syarat baptisan kudus dewasa. 3) Isinya terbukti benar sesuai dengan hasil penyelidikan Majelis Runggun. f. Jika ada keberatan yang sah, Majelis Runggun menangguhkan pelaksanaan pelayanan baptisan kudus dewasa bagi calon baptisan yang bersangkutan sampai persoalannya selesai atau membatalkan pelaksanaannya. Jika Majelis Runggun pada akhirnya membatalkan pelaksanaan pelayanan baptisan kudus dewasa bagi calon baptisan yang

bersangkutan, Majelis Runggun mewartakan hal tersebut dalam warta jemaat. g. Majelis Runggun memberitahukan keputusan atas keberatan yang diajukan kepada yang mengajukan. h. Baptisan dilaksanakan dengan percikan air dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus. i. Majelis Runggun memberikan surat Baptisan Kudus dewasa kepada yang dibaptiskan dan mencatatkan namanya dalam Sistem Informasi Warga GBKP. 4. Baptisan Kudus Dewasa dapat dilaksanakan atas permohonan Runggun atau gereja lainnya. a. Majelis Runggun dapat melaksanakan pelayanan baptisan kudus dewasa atas permohonan dari Runggun atau gereja lain. b. Prosedur 1) Majelis Runggun menerima surat permohonan dari majelis/pimpinan Runggun/gereja pemohon. 2) Majelis Runggun melaksanakan pelayanan baptisan kudus dewasa dengan mengikuti ketentuan

sebagaimana tercantum dalam Tata Laksana Pasal 29:3.a-h. Khusus bagi Majelis Runggun GBKP, Majelis Runggun pemohon juga melaksanakan Tata Laksana Pasal 29:3.a-g. Percakapan pastoral dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara Majelis Runggun pelaksana dan majelis/pimpinan Runggun pemohon. 3) Majelis Runggun memberikan surat Baptisan Kudus dewasa tanpa mencatat nama yang dibaptis dalam Sistem Informasi Warga GBKP. Nomor induk kewargaan dicatat oleh Runggun pemohon. 4) Majelis Runggun memberitahukan secara tertulis kepada majelis atau pimpinan Runggun atau gereja pemohon tentang pelaksanaan baptisan kudus dewasa tersebut. Pasal 30 Baptisan Kudus Anak 1. Baptisan kudus anak adalah baptisan kudus yang dilayankan kepada anak berdasarkan perjanjian anugerah Allah dalam Tuhan Yesus Kristus dan pengakuan iman orang tua/walinya yang sah secara hukum. Yang dimaksudkan dengan wali adalah: a. Orang yang ditetapkan secara hukum sebagai wali anak tersebut, atau b. Orang yang mendapatkan persetujuan tertulis dari orang tua anak yang bersangkutan yang disetujui Majelis Runggun untuk mewakilinya, atau

c. Orang yang bertanggungjawab atas pemeliharaan anak yatim piatu Kristen. 2. Syarat a. Calon berusia di bawah lima belas (15) tahun. b. Kedua atau salah satu orang tua/walinya adalah warga

(13)

sidi dari Runggun yang bersangkutan dan tidak berada di bawah penggembalaan khusus. Jika salah satu orang tua/walinya belum warga sidi, orang tua/wali yang bersangkutan sebaiknya menyatakan persetujuan tertulis yang formulasinya ditetapkan Majelis Runggun. c. Orang tua/walinya ditetapkan layak oleh Majelis Runggun setelah mengikuti percakapan pastoral yang diselenggarakan oleh Majelis Runggun berkenaan dengan pemahaman dan penghayatan imannya. 3. Prosedur a. Orang tua/walinya mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Runggun dengan menggunakan formulir yang disediakan. b. Majelis Runggun melakukan percakapan pastoral yang meliputi pemahaman dan penghayatan iman orang tua/wali tentang: 1) Dasar dan motivasi pengajuan

permohonan baptisan kudus anak. 2) Makna baptisan kudus anak. 3) Tanggung jawab sebagai orang tua/wali yang membawa anaknya untuk dibaptiskan agar mendidik anaknya dalam iman Kristen dan mendorong anaknya untuk mengaku percaya/sidi. 4) Hal-hal lain yang dianggap perlu. c. Jika Majelis Runggun memandang orang tua/wali dari calon baptisan layak untuk membawa anaknya agar

dibaptiskan, Majelis Runggun mewartakan nama dan alamat calon baptisan serta nama dan alamat orang tua/walinya dalam warta jemaat selama dua (2) hari kebaktian Minggu berturut-turut untuk memberikan kesempatan kepada warga ikut mendoakan dan mempertimbangkannya. d. Jika masa pewartaan dua (2) hari kebaktian Minggu telah selesai dan tidak ada keberatan yang sah dari warga sidi, Majelis Runggun melaksanakan pelayanan baptisan kudus anak dalam Kebaktian Minggu atau kebaktian hari raya gerejawi dengan menggunakan liturgi Baptisan Kudus anak dan dilayankan oleh pendeta. e. Keberatan dinyatakan sah jika: 1) Diajukan tertulis secara pribadi dengan

mencantumkan nama dan alamat yang jelas serta dibubuhi tanda tangan atau cap ibu jari dari warga yang mengajukan keberatan tersebut dan tidak merupakan duplikasi dari surat keberatan yang lain mengenai hal yang sama. 2) Isinya mengenai tidak terpenuhinya syarat baptisan kudus anak. 3) Isinya terbukti benar sesuai dengan hasil penyelidikan Majelis Runggun. f. Jika ada keberatan yang sah, Majelis Runggun menangguhkan pelaksanaan pelayanan baptisan kudus anak bagi calon baptisan yang bersangkutan sampai persoalannya selesai atau membatalkan pelaksanaannya. Jika Majelis Runggun pada akhirnya membatalkan pelaksanaan pelayanan baptisan kudus anak bagi calon baptisan yang bersangkutan, Majelis Runggun mewartakan hal tersebut dalam warta jemaat. g. Majelis Runggun memberitahukan keputusan atas keberatan yang diajukan kepada yang

mengajukan. h. Baptisan dilaksanakan dengan percikan air dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus. i. Majelis Runggun memberikan surat Baptisan Kudus anak kepada orang tua/wali dari anak yang dibaptiskan dan mencatat namanya dalam Sistem Informasi Warga GBKP. 4. Baptisan Kudus Anak atas Permohonan Runggun atau Gereja Lain a. Majelis Runggun dapat melaksanakan pelayanan baptisan kudus anak atas permohonan dari Runggun atau gereja lain. b. Prosedur 1) Majelis Runggun pelaksana mendapat surat permohonan dari Majelis Runggun atau pimpinan Runggun gereja lain. 2) Majelis Runggun melaksanakan pelayanan baptisan kudus anak atas permohonan itu dengan mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum dalam Tata Laksana Pasal 30:3.a-h. Dalam lingkup GBKP, Majelis Runggun pemohon juga melaksanakan Tata Laksana Pasal 30:3.a-g. Percakapan pastoral dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara Majelis Runggun pelaksana dan majelis/pimpinan Runggun pemohon. 3) Setelah pelaksanaan baptisan, Majelis Runggun

pelaksana memberitahukan secara tertulis kepada Majelis Runggun atau pimpinan gereja pemohon tentang pelaksanaan baptisan kudus anak tersebut.

Pasal 31 Pengakuan Percaya/Sidi 1. Pengakuan percaya/sidi (ngawanken) adalah pengakuan percaya secara mandiri oleh warga gereja yang sebelumnya telah menerima baptisan kudus anak. 2. Syarat: a. Telah berusia lima belas (15) tahun. b. Telah menerima baptisan kudus anak. c. Tidak berada di bawah penggembalaan khusus. d. Telah menyelesaikan katekisasi. Jika ada orang yang katekisasinya diselesaikan di gereja lain yang mempunyai perbedaan ajaran dengan GBKP, ia perlu diperlengkapi dengan penjelasan tentang pokokpokok ajaran yang berbeda itu dan pengenalan tentang GBKP. e. Ditetapkan layak oleh Majelis Runggun setelah mengikuti percakapan pastoral yang

diselenggarakan oleh Majelis Runggun berkenaan dengan pemahaman dan penghayatan imannya. 3. Prosedur a. Calon yang akan mengaku percaya/sidi mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis

(14)

Runggun dengan menggunakan formulir yang disediakan. b. Majelis Runggun melakukan

percakapan pastoral yang meliputi pemahaman dan penghayatan iman calon tentang: 1) Dasar dan motivasi pengajuan permohonan pelayanan pengakuan percaya/sidi. 2) Pokok-pokok iman Kristen terutama mengenai Allah, manusia, dosa, keselamatan, hidup baru, gereja, Alkitab, kerajaan Allah. 3) Tanggung jawab dan hak sebagai warga. 4) Hal-hal lain yang dianggap perlu. c. Jika Majelis Runggun memandang calon layak untuk mengaku percaya/sidi, Majelis Runggun mewartakan nama dan alamat calon yang akan mengaku percaya/sidi dalam warta jemaat selama dua (2) hari

kebaktian Minggu berturut-turut untuk memberikan kesempatan kepada warga untuk ikut mendoakan dan mempertimbangkannya. d. Jika masa pewartaan dua (2) hari kebaktian Minggu telah selesai dan tidak ada keberatan yang sah dari warga sidi, Majelis Runggun melaksanakan pelayanan pengakuan percaya/sidi dalam Kebaktian Minggu atau kebaktian hari raya gerejawi dengan menggunakan liturgi Pengakuan Percaya/Sidi dan dilayankan oleh pendeta. e. Keberatan dinyatakan sah jika: 1) Diajukan tertulis secara pribadi dengan mencantumkan nama dan alamat yang jelas serta dibubuhi tanda tangan atau cap ibu jari dari warga yang mengajukan keberatan tersebut dan tidak merupakan duplikasi dari surat keberatan yang lain mengenai hal yang sama. 2) Isinya mengenai tidak terpenuhinya syarat pengakuan percaya/sidi. 3) Isinya terbukti benar sesuai dengan hasil penyelidikan Majelis Runggun. f. Jika ada keberatan yang sah, Majelis Runggun

menangguhkan pelaksanaan pengakuan percaya/sidi calon yang bersangkutan sampai persoalannya selesai, atau Majelis Runggun dapat membatalkan pelaksanaannya. Jika Majelis Runggun pada akhirnya membatalkan pelaksanaan pelayanan pengakuan percaya/sidi bagi calon yang

bersangkutan, Majelis Runggun mewartakan hal tersebut dalam warta jemaat. g. Majelis Runggun memberitahukan keputusan atas keberatan yang diajukan kepada yang mengajukan. h. Pengakuan percaya/sidi dilaksanakan dengan jabat tangan oleh pendeta. i. Majelis Runggun memberikan surat Pengakuan Percaya/Sidi kepada yang diteguhkan dan mencatat namanya dalam Sistem Informasi Warga GBKP. 4. Pengakuan Percaya/Sidi atas Permohonan Runggun atau Gereja Lain a. Majelis Runggun dapat melaksanakan pelayanan pengakuan percaya/sidi atas permohonan dari Runggun atau gereja lain. b. Prosedur 1) Majelis Runggun menerima surat permohonan dari majelis/pimpinan Runggun/gereja pemohon. 2) Majelis Runggun melaksanakan pelayanan pengakuan percaya/sidi dengan mengikuti ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam Tata Laksana Pasal 31:3.a-h. Khusus bagi Majelis Runggun GBKP, Majelis Runggun pemohon juga melaksanakan Tata Laksana Pasal 31:3 a-g. Percakapan pastoral

dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara Majelis Runggun pelaksana dan majelis/pimpinan Runggun pemohon. 3) Setelah pelaksanaan sidi, Majelis Runggun memberitahukan secara tertulis kepada majelis/ pimpinan Runggun/gereja pemohon tentang pelaksanaan pengakuan percaya/sidi tersebut. 5. Bagi calon yang adalah warga baptis dari Runggun/gereja lain dan ingin menjadi Warga dari Runggun pelaksana, pengakuan percaya/sidinya dapat dilaksanakan setelah yang bersangkutan menempuh proses perpindahan kewargaan. Pasal 32 Perjamuan Kudus 1. Perjamuan kudus harus dirayakan di Runggun sekurang-kurangnya empat (4) kali dalam setahun. 2. Yang diperkenankan ikut mengambil bagian dalam perjamuan kudus adalah warga sidi dan warga sidi gereja lain sebagai tamu, yang tidak berada di bawah penggembalaan khusus. 3. Majelis Runggun mempersiapkan perayaan perjamuan kudus agar warga memahami dan menghayati arti perjamuan kudus serta melakukan pemeriksaan diri (sensura morum), dengan: a. Mewartakan perayaan perjamuan kudus tersebut selama dua (2) hari kebaktian Minggu berturut-turut. b. Melaksanakan persiapan

perjamuan kudus sebelum perayaan perjamuan tersebut. 4. Majelis Runggun melaksanakan pelayanan perjamuan kudus dalam kebaktian minggu dan/atau kebaktian hari raya gerejawi serta kebaktian penutupan Pekan Penatalayanan, Pekan Keluarga, Pekan Doa, SMS, SKMS, dan Konpen Pendeta menggunakan liturgi Perjamuan Kudus dan dilayankan oleh pendeta. 5. Perjamuan kudus menggunakan roti dan air anggur. Bagi warga yang tidak bisa minum air anggur disediakan teh atau air. 6. Dalam rangka perayaan perjamuan kudus terjadwal, Majelis Runggun dapat melaksanakan pelayanan perjamuan kudus di rumah atau di rumah sakit pada hari yang ditetapkan, yang

(15)

dilayankan oleh pendeta dengan menggunakan liturgi Perjamuan Kudus yang disesuaikan, bagi: a. Warga yang sudah uzur tetapi masih mampu memahami dan menghayati arti perjamuan kudus, dan yang tidak dapat mengikuti perjamuan kudus di tempat kebaktian. b. Warga yang sakit tetapi masih mampu memahami dan menghayati arti perjamuan kudus, yang tidak dapat mengikuti kebaktian minggu dalam waktu yang lama. BAB IX KATEKISASI Pasal 33 Pengertian Katekisasi Katekisasi adalah pendidikan iman dan ajaran tentang pokok-pokok iman Kristen untuk mempersiapkan katekisan menjadi warga sidi yang memahami dan melaksanakan tugas panggilannya dalam

kehidupannya secara utuh. Pasal 34 Jenis Katekisasi 1. Katekisasi baptis dewasa. 2. Katekisasi sidi. 3. Katekisasi khusus.

Pasal 35 Katekisasi Baptis Dewasa 1. Katekisasi baptis dewasa adalah katekisasi yang ditujukan bagi orang yang belum Kristen dan ingin menjadi Kristen serta menjadi warga GBKP. 2. Syarat: a. Calon katekisan telah berusia lima belas (15) tahun ketika baptisan dewasa dilaksanakan.

b. Jika calon katekisan berasal dari agama lain dan secara hukum belum dewasa, ia harus

mempersiapkan izin tertulis dari kedua orang tua atau walinya. Yang dimaksudkan dengan “belum dewasa” adalah usia di bawah delapan belas (18) tahun (UU RI Nomor 23/2002 tentang

Perlindungan Anak Pasal 1.1.). 3. Prosedur: a. Calon katekisan mendaftarkan diri kepada Majelis Runggun dengan memakai formulir pendaftaran. b. Katekisasi baptis dewasa diselenggarakan

selama enam (6) sampai dua belas (12) bulan dengan menggunakan buku katekisasi yang disebutkan dalam Tata Laksana Pasal 17. c. Katekisasi dilaksanakan oleh Majelis Runggun dan dilayankan oleh pendeta atau orang yang ditunjuk oleh Majelis Runggun. Pasal 36 Katekisasi Sidi 1. Katekisasi sidi adalah katekisasi yang ditujukan bagi orang yang sudah menerima baptis anak dan ingin

menyatakan pengakuan percaya/sidi dan menjadi warga sidi GBKP. 2. Syarat: Calon katekisan telah berusia lima belas (15) tahun ketika pengakuan percaya/sidi dilaksanakan. 3. Prosedur: a. Calon katekisan mendaftarkan diri kepada Majelis Runggun dengan memakai formulir pendaftaran. b. Katekisasi sidi diselenggarakan selama enam (6) sampai dua belas (12) bulan dengan menggunakan buku katekisasi yang disebutkan dalam Tata Laksana Pasal 17. c. Katekisasi dilaksanakan oleh Majelis Runggun dan dilayankan oleh pendeta atau orang yang ditunjuk oleh Majelis Runggun. Pasal 37 Katekisasi Khusus 1. Katekisasi khusus, yaitu katekisasi yang ditujukan kepada warga atau calon warga yang menghadapi persoalan tertentu atau keterbatasan dan dilaksanakan dalam waktu yang tertentu sesuai dengan keputusan Majelis Runggun. 2. Syarat: Calon katekisan telah berusia lima belas (15) tahun ketika pengakuan percaya/sidi dilaksanakan. 3. Prosedur: a. Calon katekisan atau keluarganya mendaftarkan diri kepada Majelis Runggun dengan memakai formulir pendaftaran. b. Katekisasi dilaksanakan oleh Majelis Runggun dan dilayankan oleh pendeta atau orang yang ditunjuk oleh Majelis Runggun. c. Katekisan bisu, buta, atau pekak dapat mengikuti katekisasi dengan cara-cara yang khusus. BAB X PEMBINAAN WARGA GEREJA (PWG) Pasal 38 Pengertian PWG PWG adalah upaya yang terencana dan berkesinambungan untuk memperlengkapi warga gereja dan pelayan khusus dengan nilai-nilai, sikap, pengetahuan dan keterampilan dalam dunia yang terus-menerus mengalami dinamika perubahan. Pasal 39 Tujuan PWG PWG bertujuan agar warga gereja dan pelayan khusus dapat menjadi garam dan terang bagi dunia dalam hidupnya sehari-hari sehingga menjadi saksi Kristus yang hidup di bawah pimpinan Roh Kudus.

Pasal 40 Pelaksanaan PWG 1. PWG dilaksanakan di wilayah pelayanan Runggun, Klasis dan Sinode dalam program-program antara lain: a) Pelatihan/training b) Lokakarya/workshop c) Seminar d) Pengadaan unit-unit diklat/training center di Klasis atau gabungan Klasis untuk meningkatkan pelayanan gereja. 2. Kebijakan umum ditetapkan secara sinodal sedangkan penjabarannya ke dalam kurikulum, silabus, dan materi-materi pembinaan dilaksanakan oleh Runggun dan/atau Klasis sesuai dengan konteks dan kebutuhan mereka dengan pendampingan PPWG. BAB XI PERKAWINAN

GEREJAWI Pasal 41 Pengertian Perkawinan 1. Perkawinan gerejawi adalah pemberkatan secara gerejawi bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menjadi pasangan suami-istri dalam

(16)

ikatan perjanjian seumur hidup yang bersifat monogamis dan yang tidak dapat dipisahkan,

berdasarkan kasih dan kesetiaan mereka di hadapan Allah dan gereja-Nya. 2. Perkawinan gerejawi dilaksanakan dalam kebaktian pemberkatan perkawinan. Pasal 42 Syarat 1. Kedua atau salah satu calon mempelai adalah warga sidi, kecuali yang diatur dalam peraturan mengenai perkawinan gerejawi dengan ketentuan khusus, yang tidak berada di bawah penggembalaan khusus. 2. Calon mempelai telah mengikuti pembinaan pra-perkawinan yang bahannya ditetapkan secara sinodal. 3. Calon mempelai memiliki surat keterangan tidak dalam status menikah dari kepala desa/kelurahan. 4. Calon mempelai telah mendapatkan surat keterangan atau bukti pendaftaran dari Kantor Catatan Sipil yang menyatakan bahwa pasangan tersebut memenuhi syarat untuk dicatat perkawinannya, atau calon mempelai telah membuat surat pernyataan tentang kesediaannya untuk mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil. 5. Calon mempelai wajib menjaga kesucian hubungan mereka dari perzinahan sebelum pelaksanaan pemberkatan perkawinan. Apabila calon mempelai melakukan perzinahan sebelum pelaksanaan pemberkatan perkawinan, mereka wajib membuat pengakuan dan penyesalan di dalam SMR sebelum pemberkatan tersebut dilangsungkan. 6.

Perkawinan kawin sumbang (semarga) yang dilarang adat, tidak dapat diberkati dalam GBKP. Pasal 43 Prosedur 1. Calon mempelai mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Runggun selambat-lambatnya satu (1) bulan sebelum perkawinan gerejawinya dilaksanakan. 2. Majelis Runggun

melakukan percakapan pastoral dengan calon mempelai. 3. Jika Majelis Runggun memandang calon mempelai layak untuk menerima pemberkatan perkawinan, Majelis Runggun mewartakan nama dan alamat calon mempelai dalam warta jemaat selama dua (2) hari kebaktian Minggu berturut-turut untuk memberikan kesempatan kepada warga agar ikut mendoakan dan mempertimbangkannya. 4. Jika masa pewartaan dua (2) hari kebaktian Minggu telah usai dan tidak ada keberatan yang sah dari warga sidi, Majelis Runggun melaksanakan pelayanan perkawinan gerejawi dengan

menggunakan liturgi pemberkatan perkawinan dan dilayankan oleh pendeta. 5. Keberatan dinyatakan sah jika:

6. 7. 8. 9. 10.

a. Diajukan tertulis secara pribadi dengan mencantumkan nama dan alamat yang jelas serta

dibubuhi tanda tangan atau cap ibu jari dari warga yang mengajukan keberatan tersebut dan tidak merupakan duplikasi dari surat keberatan yang lain mengenai hal yang sama. b. Isinya mengenai tidak terpenuhinya syarat perkawinan gerejawi. c. Isinya terbukti benar sesuai dengan hasil penyelidikan Majelis Runggun. Jika ada keberatan yang sah, Majelis Runggun menangguhkan pelaksanaan perkawinan gerejawi itu sampai persoalannya selesai atau membatalkan

pelaksanaannya. Jika Majelis Runggun pada akhirnya membatalkan pelaksanaan perkawinan gerejawi itu, Majelis Runggun mewartakan hal tersebut dalam warta jemaat. Majelis Runggun memberitahukan keputusan atas keberatan yang diajukan kepada yang mengajukan. Majelis Runggun memberikan surat perkawinan gerejawi kepada kedua mempelai dan mencatat perkawinannya dalam Sistem Informasi Warga GBKP. Bagi calon mempelai yang salah satunya bukan warga sidi berlaku ketentuan tambahan sebagai berikut: a. Jika salah seorang dari calon mempelai adalah warga dari Runggun atau gereja lain, ia terlebih dahulu meminta surat persetujuan dari Majelis Runggun atau pimpinan gerejanya. b. Jika ia tidak berhasil memperoleh surat tersebut, Majelis Runggun mengirim surat kepada Majelis Runggun atau pimpinan gereja asalnya untuk meminta surat persetujuan. c. Jika Majelis Runggun dalam waktu empat (4) minggu tidak

memperoleh surat persetujuan, calon dapat menunjukkan surat baptisan/surat pengakuan percaya, atau surat keterangan lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Perkawinan Gerejawi atas

(17)

pelayanan perkawinan gerejawi atas permohonan tertulis dari Runggun atau gereja lain dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. b. Pembinaan pra-perkawinan dan percakapan pastoral dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara Majelis Runggun dengan pimpinan Runggun/gereja pemohon. c. Pewartaan harus dilaksanakan oleh Majelis Runggun dan majelis/pimpinan gereja pemohon. d. Surat perkawinan gerejawi diberikan kepada mempelai oleh Majelis Runggun. e. Majelis Runggun memberitahukan secara tertulis kepada Majelis Runggun atau pimpinan

Runggun/gereja pemohon tentang pelaksanaan perkawinan gerejawi tersebut Pasal 44 Perceraian 1. 2.

3. 4.

Perceraian bertentangan dengan iman Kristen. Warga GBKP yang menjadi pelaku perceraian akan dikenakan penggembalaan khusus, kecuali yang melakukan perceraian karena pasangannya terbukti melakukan perzinahan dan/atau kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku perzinahan dan/atau

kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi sumber masalah tuntutan perceraian akan dikenakan penggembalaan khusus. Pelaku perceraian yang telah mendapatkan penggembalaan khusus dan bertobat dapat diterima kembali secara penuh setelah menunjukkan ketaatan terhadap bimbingan pastoral Majelis Runggun minimal selama tiga (3) tahun. BAB XII PENGGEMBALAAN Pasal 45 Pengertian

Penggembalaan adalah pelayanan yang dilakukan di dalam kasih terhadap warga dan/atau pelayan khusus baik secara individual maupun komunal, serta terhadap lembaga gerejawi, untuk

mendukung, membimbing, menilik, menegur, menyembuhkan, dan mendamaikan agar ia atau mereka hidup taat kepada Allah, dalam damai sejahtera dengan Allah, sesama, dan seluruh ciptaan Allah. Pasal 46 Pelaksana

Penggembalaan dilaksanakan oleh warga dan/atau pelayan khusus dan/atau lembaga gerejawi. Pasal 47 Tahapan Penggembalaan 1. Penggembalaan umum. 2. Penilikan 3. Penggembalaan khusus. Pasal 48 Penggembalaan Umum 1. Penggembalaan umum terhadap warga, pelayan khusus, dan lembaga gerejawi adalah penggembalaan yang dilakukan terus menerus melalui berbagai kegiatan baik secara individual maupun kelompok, dengan menggunakan berbagai bentuk seperti kebaktian, pembinaan, diakonia, perkunjungan dan/atau percakapan pastoral, surat penggembalaan, atau bentuk-bentuk penggembalaan lainnya. 2. Penggembalaan dalam hubungan dengan alam ciptaan Allah dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan untuk menjaga dan memelihara sumber-sumber alam dan lingkungan hidup agar dapat tetap lestari dan terhindar dari berbagai kerusakan yang ada. 3. Penggembalaan dalam hubungan dengan masyarakat dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan yang mendatangkan damai sejahtera, kebenaran, dan keadilan dalam masyarakat. Dalam melakukan tugas ini, gereja terpanggil untuk memberikan perhatian khusus kepada korban-korban

ketidakadilan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia, serta orang-orang miskin yang tertekan dan tertindas. Pasal 49 Penilikan Penilikan adalah tindak lanjut dari pelaksanaan

penggembalaan umum untuk memastikan bahwa penggembalaan umum tersebut telah terlaksana dengan baik dan benar. Penilikan merupakan tindakan check and recheck terhadap penggembalaan umum yang telah dilaksanakan kepada warga, pelayan khusus, dan lembaga gerejawi. Pasal 50 Penggembalaan Khusus 1. Penggembalaan khusus terhadap warga adalah penggembalaan yang dilakukan terhadap warga yang: a. kelakuannya bertentangan dengan Firman Allah dan/atau b. paham pengajarannya bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran GBKP, sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain, agar ia bertobat. 2. Penggembalaan khusus terhadap pelayan khusus adalah penggembalaan khusus kepada pendeta, diaken, dan pertua yang: a. kelakuannya

bertentangan dengan Firman Allah dan/atau b. menganut serta mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran GBKP, termasuk menyalahgunakan dan/atau

(18)

mengingkari jabatannya sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain, agar ia bertobat. 3. Penggembalaan khusus terhadap lembaga gerejawi adalah penggembalaan khusus yang

dilaksanakan kepada Majelis Runggun yang: a. mengambil keputusan dan/atau b. melakukan praktik bergereja, yang bertentangan dengan Firman Allah dan/atau Tata Gereja GBKP dan/atau ajaran GBKP dan/atau keputusan-keputusan dari Majelis Klasis dan/atau Majelis Sinode, sehingga

mengancam keutuhan Runggun dan keutuhan GBKP secara menyeluruh, menyebabkan meluasnya ajaran yang bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran GBKP, dan menyebabkan meluasnya praktik bergereja yang tidak sesuai dengan Tata Gereja GBKP, agar Majelis Runggun bertobat. Pasal 51 Prosedur Penggembalaan Umum dan Penilikan 1. Terhadap Warga a. Jika ada seorang warga dari sebuah Runggun, yang diduga kelakuannya bertentangan dengan Firman Allah dan/atau paham pengajarannya bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran GBKP, sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain, terhadapnya dapat ditempuh langkah-langkah penggembalaan umum yang dapat menjadi dasar bagi pelaksanaan penggembalaan khusus bagi yang bersangkutan. b. Langkah-langkah itu harus didasarkan pada: 1) Informasi dari: a) Warga dari Runggun tersebut, b) Warga atau pertua atau diaken atau pendeta dari Runggun lain, yang diterima oleh pertua dan/atau diaken dan/atau pendeta dari Runggun tersebut. Informasi tersebut disampaikan secara lisan

dan/atau tertulis yang dapat disertai dengan bukti-bukti awal. Laporan tersebut belum dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus. 2) Informasi dari pertua dan/atau diaken dan/atau pendeta dari Runggun tersebut. Informasi itu belum dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus. c. Bertolak dari informasi tersebut, pertua dan/atau diaken dan/atau pendeta tersebut melakukan klarifikasi, termasuk kepada terlapor, untuk mengetahui kebenaran informasi tersebut. Jika terlapor adalah warga baptisan, maka orang tua/walinya diikutsertakan. d. Jika informasi tersebut tidak benar, pertua dan/atau diaken dan/atau pendeta tersebut memutuskan bahwa kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada pelapor. Pertua dan/atau diaken dan/atau pendeta tersebut dapat melakukan langkah-langkah penggembalaan umum terhadap pelapor. e. Jika informasi tersebut diakui benar oleh terlapor, pertua dan/atau diaken dan/atau pendeta itu melakukan peneguran dan memberikan nasihat kepada terlapor dalam kasih agar ia bertobat. Jika terlapor bertobat, penggembalaan umum terhadapnya dianggap selesai dan hal ini tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus. f. Jika informasi tersebut disangkal oleh terlapor, sedangkan pertua dan/atau diaken

dan/atau pendeta itu berpendapat bahwa informasi tersebut benar, atau jika informasi tersebut diakui benar oleh terlapor tetapi ia tidak bertobat, pertua dan/atau diaken dan/atau pendeta itu melaporkan hal itu kepada Majelis Runggun secara lisan dan/atau tertulis. g. Berdasarkan laporan dari pertua dan/atau diaken dan/atau pendeta itu, Majelis Runggun melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai kebenaran laporan itu. 1) Jika Majelis Runggun menyimpulkan bahwa laporan tersebut tidak benar, Majelis Runggun memutuskan bahwa kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada warga atau pertua atau diaken atau pendeta yang melaporkan. 2) Jika Majelis Runggun menyimpulkan bahwa laporan tersebut benar, Majelis Runggun melakukan penilikan dengan mengadakan percakapan pastoral secara optimal dengan terlapor agar ia bertobat. Jika terlapor bertobat, Majelis Runggun memutuskan bahwa penggembalaan umum terhadapnya dianggap selesai dan hal ini tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus. 3) Jika penilikan telah dilaksanakan dan terlapor yang merupakan warga baptis tetap tidak bertobat, proses dilanjutkan ke Tata Laksana Pasal 52. 4) Jika penilikan telah dilaksanakan dan terlapor yang merupakan warga sidi tetap tidak bertobat, proses dilanjutkan ke Tata Laksana Pasal 53. 2. Terhadap pertua atau diaken a. Jika ada seorang pertua atau diaken, baik yang aktif maupun yang sudah emeritus, yang melayani di sebuah Runggun, yang diduga kelakuannya bertentangan dengan Firman Allah dan/atau menganut dan mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan

Firman Allah dan ajaran GBKP, termasuk menyalahgunakan dan/atau mengingkari jabatannya, tidak aktif melaksanakan tugasnya selama enam (6) bulan secara terus-menerus, sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain, terhadapnya dapat ditempuh langkah-langkah penggembalaan umum

(19)

yang dapat menjadi dasar bagi pelaksanaan penggembalaan khusus bagi yang bersangkutan. b. Langkah-langkah itu harus didasarkan pada:

1) Informasi dari: a) Warga dari Runggun tersebut, b) Warga atau pertua atau diaken atau pendeta dari Runggun lain, yang diterima oleh pertua atau diaken atau pendeta dari Runggun tersebut. Informasi tersebut disampaikan secara lisan dan/atau tertulis yang dapat disertai dengan bukti-bukti awal. Informasi tersebut belum dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus. 2) Informasi dari pertua atau diaken atau pendeta dari Runggun tersebut. Informasi itu belum dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus. c. Bertolak dari informasi itu, pertua atau diaken atau pendeta tersebut melakukan klarifikasi, termasuk kepada terlapor, untuk mengetahui kebenaran informasi tersebut. d. Jika informasi tersebut tidak benar, pertua atau diaken atau pendeta tersebut memutuskan bahwa kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada pelapor. Pertua atau diaken atau pendeta tersebut dapat melakukan langkah-langkah penggembalaan umum terhadap pelapor. e. Jika informasi tersebut diakui benar oleh terlapor, pertua atau diaken atau pendeta itu melakukan peneguran dan memberikan nasihat kepada terlapor dalam kasih agar ia bertobat. 1) Jika terlapor bertobat, tetapi permasalahan ini diyakini oleh pertua atau diaken atau pendeta itu membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan gereja dan keberlangsungan pelayanan gereja secara menyeluruh, pertua atau diaken atau pendeta itu harus melaporkannya kepada Majelis Runggun secara lisan dan/atau tertulis. Berdasarkan laporan tersebut Majelis Runggun melanjutkan penggembalaan terhadap yang bersangkutan untuk menolong ia memahami kembali hakikat panggilan spiritualnya sebagai pertua atau diaken dan penerimaan Runggun terhadapnya. 2) Jika terlapor bertobat dan permasalahan ini diyakini oleh pertua atau diaken atau pendeta itu tidak membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan gereja dan keberlangsungan pelayanan gereja secara menyeluruh, penggembalaan umum terhadapnya dianggap selesai dan hal ini tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus. f. Jika informasi tersebut disangkal oleh terlapor, sedangkan pertua atau diaken atau pendeta itu berpendapat bahwa laporan tersebut diduga benar, atau jika informasi tersebut diakui benar oleh terlapor tetapi ia tidak bertobat, pertua atau diaken atau pendeta itu melaporkan hal itu kepada Majelis Runggun secara lisan dan/atau tertulis. g. Berdasarkan laporan dari pertua atau diaken atau pendeta itu, Majelis Runggun melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai kebenaran laporan itu. 1) Jika Majelis Runggun menyimpulkan bahwa laporan tersebut tidak benar, Majelis Runggun memutuskan bahwa kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada warga atau pertua atau diaken atau pendeta yang melaporkan. Majelis Runggun dapat melakukan langkahlangkah penggembalaan umum terhadap pelapor. 2) Jika Majelis Runggun menyimpulkan bahwa laporan tersebut benar, Majelis Runggun melakukan penilikan dengan mengadakan

percakapan pastoral secara optimal dengan terlapor agar ia bertobat. Jika terlapor bertobat tetapi permasalahannya tidak membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan gereja dan

keberlangsungan pelayanan gereja secara menyeluruh, Majelis Runggun memutuskan bahwa penggembalaan umum terhadapnya dianggap selesai dan hal ini tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus. 3) Jika terlapor bertobat tetapi permasalahannya ternyata membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan gereja dan keberlangsungan pelayanan gereja secara menyeluruh, Majelis Runggun melanjutkan penggembalaan terhadap yang

bersangkutan untuk menolong ia memahami kembali hakikat panggilan spiritualnya sebagai pertua atau diaken dan penerimaan Runggun terhadapnya. 4) Jika penilikan telah dilaksanakan dan terlapor tetap tidak bertobat, proses dilanjutkan ke Tata Laksana Pasal 54 bagi yang aktif dan ke Tata

Laksana Pasal 55 bagi yang sudah emeritus. 3. Terhadap Pendeta a. Jika ada seorang pendeta yang diduga kelakuannya bertentangan dengan Firman Allah dan/atau menganut dan mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran GBKP, termasuk menyalahgunakan dan/atau mengingkari jabatannya, sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain, terhadapnya dapat ditempuh langkah-langkah penggembalaan umum yang dapat menjadi dasar bagi pelaksanaan penggembalaan khusus bagi yang bersangkutan. b. Langkah-langkah itu harus didasarkan pada