Islam dan Pancasila saling menguatkan yang dibahas dengan intelek di BPUPKI Selasa , 01 Jun 2021, 09:17 WIB wikipedia Red: Muhammad Subarkah REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Hanibal Wijayanta, Peminat Sejarah dan Jurnalis Senior Diskusi tentang dasar negara kini seolah telah menjadi diskusi yang sangat berbahaya, penuh emosi, perlu kehati-hatian, dan senantiasa mengarah ke satu kesimpulan yang tak terbantahkan. Padahal, semula para founding fathers bangsa ini telah mendiskusikan masalah ini secara cerdas, intelek dan lepas dari kesan emosi serta memaksakan kehendak. Bagaimana dengan kita? Diskursus tentang dasar negara yang hendak diterapkan di Indonesia sudah dimulai sejak Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menggelar persidangan untuk merancang sendi-sendi dasar negara. Pada sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr Muhammad Yamin mengusulkan konsep dasar negara dengan mengacu pada sejarah nasional, dan pendapat para pemikir barat. Pada sidang-sidang selanjutnya, beberapa ulama yang menjadi anggota BPUPKI sempat melontarkan gagasan mereka tentang keharusan negara yang akan dibentuk di nusantara ini memakai aturan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sayang, pendapat mereka banyak yang tidak terdokumentasikan, seperti pidato KH Ahmad Sanoesi dari Sukabumi. Namun, entah mengapa, hanya pidato mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo pada persidangan ke dua tanggal 31 Mei 1945, yang ditemukan catatannya. Simaklah beberapa petikan pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo berikut ini:
Setelah mengutip Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 90, surah An Nisa ayat 5, surah Ali Imron ayat 158, surah Syura ayat 38 dan surah Al Baqarah ayat 256, Ki Bagoes Hadikoesoemo melanjutkan pidatonya:
Pada bagian akhir Ki Bagoes mengatakan :
Selama puluhan tahun, transkrip pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo ini tidak pernah terungkap dalam pembicaraan politik dan urusan kenegaraan. Begitu pula pidato tokoh-tokoh Islam lainnya. Tentu sangatlah aneh jika sekian banyak tokoh muslim anggota BPUPKI dan PPKI yang dikenal masyarakat sebagai orator dan singa podium sama sekali tidak urun rembug dalam masalah krusial seperti ini. Dalam Buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara tahun 1998, terdapat catatan kaki yang menarik:
Hingga kini belum ada penyelidikan yang mendalam dan menyeluruh tentang hilangnya beberapa arsip penting di awal kehidupan bernegara di Indonesia ini, seperti raibnya notulen rapat BPUPKI dan PPKI. Padahal, banyak di antaranya berisi pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo dan tokoh-tokoh Islam lainnya. Namun beberapa pakar sejarah seperti Ahmad Mansyur Suryanegara menduga, ada faktor kesengajaan dari beberapa pihak untuk menggelapkan peran dan jasa para tokoh Islam. Parahnya, upaya penggelapan sejarah itu justru dilakukan oleh beberapa orang tokoh pendiri bangsa. Diduga, tujuannya adalah agar pemikiran, ide serta peranan para founding fathers Indonesia dari kalangan ulama dan tokoh-tokoh Islam tidak muncul, sehingga seolah kaum muslimin tidak berperan sama-sekali dalam penyusunan sendi-sendi Negara Indonesia ini. Tidak hanya sekadar menyembunyikan pidato penting dari beberapa tokoh nasional saat itu, Mohammad Yamin justru menambahkan beberapa teks pidato miliknya sendiri pada buku yang disusunnya, “Naskah Persiapan UUD 1945”, padahal menurut Mohammad Hatta, Yamin tidak pernah berpidato seperti yang ditulisnya itu di sidang BPUPKI. [vi] Meskipun demikian, fakta tentang adanya pidato bantahan Hatta tentang ide pembentukan negara Indonesia berdasarkan azas Islam sebagaimana dilontarkan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan KH Ahmad Sanoesi, dapat ditemukan dari pidato Prof. Dr. Mr. Soepomo yang pada prinsipnya kurang lebih sejalan dengan ide Hatta. Berikut petikannya:
Kemudian, Soepomo melanjutkan:
Dalam sidang BPUPKI selanjutnya, sebenarnya terjadi perdebatan seru akibat perbedaan tajam antara kubu Islam --kubu terbesar dengan 35 orang anggota-- yang menghendaki dasar negara Indonesia berdasarkan Islam, dan kubu sekuler dan non muslim yang tidak menghendaki peran agama (Islam) dalam negara. Golongan Sekuler dan non muslim menginginkan Indonesia berdasarkan prinsip kebangsaan. Perdebatan panjang itu tidak terselesaikan sampai tanggal 1 Juni. Saat itu, Soekarno berpidato selama satu jam yang penuh dengan janji dan rayuan kepada para tokoh BPUPKI dari kubu Islam agar mau berkorban dan berkompromi untuk membangun cita-cita Negara Indonesia yang hendak dicapai bersama. Pidato panjang yang sangat memukau hadiri itu dikemudian hari dikenal dengan judul Lahirnya Pancasila. Berikut beberapa petikannya:
Selanjutnya, untuk menarik perhatian para politisi muslim anggota BPUPKI, Soekarno mencoba meyakinkan mereka bahwa dirinya pun sejatinya adalah seorang pembela Islam. Soekarno mengatakan:
Ketika menjelaskan tentang prinsip musyawarah mufakat, Soekarno pun menyinggung sentimen kaum muslimin :
Namun, pada saat menjelaskan tentang prinsip Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Soekarno justru seolah melupakan kewajiban kaum muslimin untuk melaksanakan syari’at Islam ketika mengaku sebagai seorang muslim, dan ber-Tuhan menurut ajaran Nabi Muhammad SAW. Dengan lugas ia mengatakan :
Dalam perdebatan selanjutnya, saat itu akhirnya para politisi Islam harus susah payah untuk berkompromi dengan rumusan undang-undang dasar yang tidak tegas menyebutkan tentang negara Islam, presiden Islam dan sebagainya. Akhirnya dibentuklah sebuah panitia kecil beranggotakan sembilan orang yang akan merumuskan pokok pikiran pendirian negara Indonesia. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, Prof. Abdul Kahar Muzakir, KH. Wahid Hasyim, Mr. A.A. Maramis, H. Agus Salim, Mr. Mohammad Yamin. Pada tanggal 22 Juni 1945, panitia kecil yang kemudian disebut dengan nama Panitia Sembilan itu berhasil merumuskan suatu konsensus politik yang mencerminkan dan mewadahi aspirasi semua golongan. Pengorbanan itu rupanya masih agak terobati dengan adanya rumusan konsensus yang disebut Piagam Jakarta itu. Mr. Mohammad Yamin menyebutnya sebagai "Jakarta Charter", Prof. Dr. Mr. Soepomo meyebut konsensus itu sebagai "Perjanjian Luhur", sedangkan Dr. Sukiman Wirjosandjojo menyebutnya sebagai "Gentlemen Agreement". Bagi kalangan Islam, inti dari Piagam Jakarta adalah kalimat: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam Jakarta inilah yang seharusnya dibacakan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Tapi kekecewaan merebak ketika sehari setelah proklamasi, faksi Islam sekali lagi harus menerima kompromi demi pembentukan negara Indonesia yang dicita-citakan. Kompromi itu bermula dari pertemuan awal beberapa tokoh pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk merumuskan dasar Ideologi bangsa dan negara, Pancasila, serta konstitusi Oendang-oendang Dasar 1945. Mereka yang ikut dalam pertemuan itu adalah KH Wachid Hasjim dari Nahdlatul Ulama, Ki Bagoes Hadikoesoemo dari Muhammadiyah, Mr Kasman Singodimedjo dari Muhammadiyah, Mohammad Hatta dari Sumatera Barat dan Teoekoe Mohammad Hassan dari Aceh. Dalam rapat itu dibicarakan tentang rencana perubahan sila pertama Pancasila dalam Piagam Djakarta, 22 Juni 1945, yakni sila Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Semua berawal dari ungkapan Mohammad Hatta tentang adanya informasi dari seorang opsir Jepang. Si Opsir Jepang --yang hingga kini tidak pernah diketahui namanya itu-- konon mengatakan bahwa golongan Kristen dari Indonesia Timur tidak setuju dengan adanya tujuh kalimat inti dalam Piagam Jakarta. Jika tujuh kalimat itu diterapkan, konon, mereka khawatir akan terjadi diskriminasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Mereka lebih suka berdiri di luar republik,” katanya. Padahal, dalam bukunya, Ahmad Mansyur Suryanegara sempat mengutip keterangan Deliar Noer, sebagai berikut: “Menurut Deliar Noer, dari keterangan A Kahar Moezakkir, sebenarnya AA Maramis walaupun dari perwakilan Kristen menyetujui 200 % terhadap Preambule atau Piagam Djakarta. Persetujuan ini terjadi karena Ketoehanan tidak dituliskan dengan Jang Maha Esa. Jadi tidak bertentangan dengan keyakinan Trinitas ajaran Kristen. Sedangkan Ketoehanan dengan kewajiban mendjalankan Sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja, diberlakukan untuk umat Islam saja. Tidak untuk seluruh bangsa Indonesia. Artinya umat Kristen dan Katolik tidak terkena Sjariat Islam.” Karena itu, rencana perubahan yang ditawarkan Mohammad Hatta ini ditolak oleh KH Wahid Hasjim maupun oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun, dengan berbagai pendekatan akhirnya kedua tokoh ulama itu bersedia berkompromi dengan bersedia menghilangkan ketujuh kata dalam Piagam Djakarta itu. Hilangnya kalimat itu memang dirasakan sebagai pengorbanan yang tiada taranya dari umat Islam. Bahkan banyak pula yang menganggap bahwa kesepakatan itu sebagai sebuah pengkhianatan dan kekalahan para tokoh dan ummat Islam yang sangat menyakitkan. Tapi, menurut mendiang Menteri Agama Alamsjah Ratuperwira Negara, penghilangan ketujuh kata-kata kunci itu merupakan hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia.
|