Allah memelihara alam ini dengan cara menciptakan hukum-hukum alam salah satu contohnya adalah

Sukron Ma’mun, S.Ag., M.A. (D3702)

Sebagai makhluk Allah, manusia mendapat amanat Allah, yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan; wakil Allah di muka bumi untuk mengelola dan memelihara alam. Kewenangan manusia untuk mempergunakan alam bukanlah hak mutlaknya tapi merupakan hak yang telah direkomendasikan oleh Allah SWT. Dan suatu saat akan diminta pertanggungjawaban oleh pemilik sejatinya. Oleh karenanya manusia berkewajiban memelihara keseimbangan dan keselarasan alam agar tidak rusak seperti pertama kali Allah meminjamkan pada manusia. Sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Qhashash (28) ayat 77 :

“Dan carilah pada apa yang Allah karuniakan kepada kamu negeri akhirat. tetapi janganlah engkau melupakan nasibmu di dunia ini. Berbuatlah kebaikan sebagai mana Allah telah berbuat kebaikan kepada kamu: dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan“.

Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah berarti manusia memperoleh mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif yang memungkinkan dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah. Agar manusia dapat menjalankan kekhaliannya dengan baik, Allah mengajarkan kepada manusia kebenaran dalam segala ciptaan Allah melalui pemahaman serta pengusaan terhadap hukum-hukum yang terkandung dalam ciptaan Allah, manusia dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk sesuatu yang baru dalam alam kebudayaan.

Manusia berkewajiban mengolah dan menjaga potensi alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengolah potensi alam yang diberikan Allah kepada manusia merupakan fardhu kifayah, karena tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk menggali potensi alam yang diberikan tersebut. Untuk itu apabila manusia menyia-nyiakan potensi alam artinya tidak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia berarti mengabaikan fungsi manusia terhadap alamnya.

Dalam memenuhi tanggung jawab manusia terhadap alam, hendaknya selalu diusahakan agar keselamatan manusia tidak terganggu. Tidak memanfaatkan potensi alam secara berlebih-lebihan, agar generasi mendatang masih dapat menikmatinya, karena potensi alam terbatas. Apabila berlebihan, tamak dan rakus dalam memanfaatkan potensi alam akan berakibat kerusakan pada manusia itu sendiri. Dalam hubungan ini,  Allah memperingatkan manusia bahwa, “Kerusakan di darat dan laut terjadi akibat perbuatan tangan manusia sendiri; Allah merasakan kepada mereka sebagai (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. Rum : 41). Berdasarkan ayat ini, maka pemanfaatan potensi alam untuk kepentingan manusia sekarang, harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang, dengan berusaha menjaga dan melestarikan potensi alam tersebut.

Lima Hukum Alam atau Lima Hukum Tertib Kosmis (pañcaniyāmadhamma) adalah salah satu konsep dalam ajaran agama Buddha mengenai hukum-hukum yang bekerja di seluruh alam semesta.[1] Pañcaniyāmadhamma terdiri atas kata pañca yang artinya lima, niyāma yang artinya ketentuan atau hukum, dan dhamma yang artinya segala sesuatu. Dengan demikian, pañcaniyāmadhamma berarti lima hukum universal atau hukum segala hal.[2]

Allah memelihara alam ini dengan cara menciptakan hukum-hukum alam salah satu contohnya adalah

Dalam Agama Buddha, alam semesta diatur oleh hukum alam. Pemikiran bahwa alam semesta diatur oleh Dewa Tertinggi merupakan pemikiran yang tidak dibenarkan. (Baca juga: Tuhan dalam agama Buddha)

Agama Buddha tidak membenarkan bahwa alam semesta diatur oleh sesosok dewa tertinggi atau Tuhan. Pañcaniyāmadhamma merupakan hukum abadi yang bekerja dengan sendirinya. Hukum ini bekerja sebagai hukum sebab akibat dan membuat segala sesuatu bergerak sebagaimana dinyatakan oleh ilmu pengetahuan modern, seperti ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi, psikologi, dan sebagainya. Bulan timbul dan tenggelam, hujan turun, tanaman tumbuh, musim berubah disebabkan oleh hukum ini.[3]

Dalam kitab suci Tipiṭaka pada Uppādāsutta bagian Aṅguttara Nikāya 3.136:[4][5]

Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ, ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe saṅkhārā aniccā. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe saṅkhārā aniccā’ti.

Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe saṅkhārā dukkhā. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe saṅkhārā dukkhā’ti.

Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe dhammā anattā. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe dhammā anattā’”ti.

“Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena terkondisi adalah tidak kekal.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah tidak kekal.’

Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena terkondisi adalah penderitaan.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah penderitaan.’

Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’”

Dalam agama Buddha, kelima hukum tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Utuniyāma, hukum kepastian atau keteraturan musim.
  2. Bijaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan biji.
  3. Kammaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan kamma.
  4. Cittaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan kesadaran.
  5. Dhammaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan dhamma.

Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan musim. Hukum ini mengatur kepastian pergantian musim dan perubahan-perubahan temperatur di alam semesta.

Bijaniyāma

Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan biji. Hukum ini mengatur kehidupan tumbuh-tumbuhan, yaitu biji-biji tertentu akan menghasilkan tanaman atau buah tertentu; buah-buah tertentu memiliki citarasa tertentu dan lain-lain. Contoh lainnya adalah perkembangan hewan atau tumbuhan, mutasi gen manusia, pembuahan, pertumbuhan biji menjadi tumbuhan, pembentukan janin, pertumbuhan sel, dan sebagainya.

Kammaniyāma

Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan perbuatan (kamma). Hukum ini memastikan bahwa kamma baik akan menghasilkan kebahagiaan, sedangkan kamma buruk akan menghasilkan penderitaan. Perbuatan bisa dilakukan melalui pikiran, ucapan, dan tindakan.

Cittaniyāma

Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan kesadaran. Hukum ini mengatur kepastian kemunculan dan kelenyapan kesadaran (citta).

Dhammaniyāma

Hukum ini merupakan hukum kepastian atau keteraturan fenomena (dhamma). Hukum ini mengatur fenomena-fenomena lain yang tidak termasuk di empat hukum di atas. Contohnya kejadian bumi bergetar saat Bodhisatta Gotama lahir, turunnya hujan panas dan dingin untuk memandikan Bodhisatta Gotama ketika terlahir di dunia, dan munculnya gempa bumi yang dahsyat ketika Sang Buddha mengambil keputusan untuk memasuki nibbāna.[6]

Dengan begitu, selain hukum kamma (kammaniyāma), terdapat empat hukum lainnya yang berlaku di dunia ini. Menurut agama Buddha, merupakan hal yang tidak wajar jika menyatakan bahwa suatu kejadian disebabkan hanya karena satu hal. Biasanya suatu kejadian terjadi karena banyak hal yang mendukung, contoh peristiwanya adalah seseorang yang tertimpa bencana alam.

Ada kondisi seperti banjir (utuniyāma) yang mendukung dan kondisi-kondisi lainnya dari hukum-hukum lainnya. Kelima hukum alam ini saling berhubungan dan dapat saling memengaruhi satu sama lain. Contohnya, ketika manusia sudah semakin jahat dan tidak menyayangi alam (kammaniyāma), maka akan terjadi perubahan pada alam. Hujan tidak akan turun pada musimnya (utuniyāma), cuaca buruk (utuniyāma), tumbuhan mati (bijaniyāma), terjadi bencana alam (utuniyāma), hingga batin menjadi tidak tenang (cittaniyāma).

  1. ^ Hansen, Upa. Sasanasena Seng (September 2008). Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakata: Insight Vidyasena Production.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  2. ^ Nasiman, Nurwito (2017). Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas 10. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 175. ISBN 978-602-427-074-2.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  3. ^ Nasiman, Nurwito (2017). Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas 10. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 176. ISBN 978-602-427-074-2.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  4. ^ Gautama, Siddharta. "Aṅguttara Nikāya 3.136. Uppādāsutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 09/05/2020.  Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)
  5. ^ Anggara, Indra. "Aṅguttara Nikāya 3.136. Munculnya". SuttaCentral. Diakses tanggal 09/05/2020.  Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)
  6. ^ Kheminda, Ashin (2020). Kamma: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal. Jakarta: Dhammavihari Buddhist Studies. hlm. 46.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hukum_Alam_(Niyama_Dhamma)&oldid=20905376"