Aku merasa gagal menjadi ibu facebook

Dua tahun lalu tepatnya di bulan April tahun 2020 di mana saat itu virus covid sedang melanda dunia, di suatu pagi yang sunyi selesai salat subuh, saya berpikir tentang peran saya sebagai seorang ibu terhadap anak perempuan semata wayang saya. Saya bertanya kepada diri saya apakah saya cukup benar mendidik dia untuk menjadi anak yang tangguh nantinya.

Mengapa saya berpikir seperti itu karena saya merasa bahwa anak saya tidak terlalu keras mendapat pelajaran tentang kedisiplinan khususnya dari saya dan suami sebagai orang tuanya. Saya merasa terlalu banyak kemudahan yang didapat anak saya dalam hidupnya; sehingga dia tidak cukup disiplin dan bertanggung jawab sebagai seorang anak seperti yang saya harapkan.

Seringkali untuk hal-hal yang remeh saya merasa bersalah karena dia tidak melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya seperti membersihkan kamarnya yang berantakan; memberi makan dan membersihkan kotoran kucing piarannya; mencuci piringnya setelah makan; dan sebagainya. Tentu saja saya khawatir. Khawatir bukan karena dia tidak mampu melakukannya tapi karena tidak mau melakukannya.

***

Sebagai seorang ibu yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan orang lain dengan waktu kerja dari pagi sampai malam, lima hari dalam seminggu; tidak terlalu banyak waktu saya untuk mendampingi anak saya dalam kesehariannya. Tidak setiap hari saya memberi contoh kepadanya bagaimana menyapu dan mengepel rumah dengan baik dan benar karena pekerjaan tersebut sudah saya outsource-kan kepada mbak asisten rumah tangga.

Hanya kadang-kadang saja saya bisa menunjukkan ke dia bahwa saya mau dan mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan sangat sempurna saat si mbak pulang kampung dan saya harus mengambil cuti untuk mengurus rumah agar tidak kusut. Dan saat saya meminta dia ikut berkontribusi dalam mengurus rumah. Paling tidak membantu membersihkan kamarnya dan memasak nasi saja, saya harus berubah menjadi seorang ibu yang memiliki kepribadian ganda, manis membujuk-membujuk lalu berubah menjadi vampire bertaring tujuh saking garangnya memaksa dia untuk bergerak.

Kalau sedang kesal seperti itu saya sangat membutuhkan ada orang yang menepuk-nepuk pundak saya lalu berkata, “Sabar bunda, anak jaman sekarang emang seperti itu, malas dan gak pengertian, tetap semangat ya bunda, di rumah saya ada stock 5 seperti yang di rumah bunda lho”. Hehehe, biar saya berasa ada temen senasib gitu.

Tapi serius, perasaan gagal mendidik anak itu sempat menjadi momok yang meresahkan saya sejak lama, sejak 6 tahun lalu seingat saya. Saya ingat pada hari ulang tahun anak saya yang ke-11 di tahun 2016 lalu. Saat itu saya sedang mengalami sakit GERD yang cukup parah dan mengalami gangguan anxiety; alih-alih merayakan ulang tahunnya saya malah menasehati dia panjang kali lebar kali tinggi agar dia bisa lebih disiplin, lebih bertanggung jawab, lebih perhatian terhadap hal-hal yang detil; lebih berinisiatif untuk membantu pekerjaan rumah agar nanti dewasanya tidak kagok, lebih berani menghadapi orang baru, lain sebagainya.  Ditambah dengan ucapan seperti, “Mama takut kamu nanti tidak bisa hidup mandiri, tidak bisa mengatasi kesulitan kamu, tidak tangguh menghadapi tantangan, bla bla bla”. Pokoknya panjaaang.

***

Sepintas tidak ada yang salah bukan dengan apa yang saya lakukan? Wong menasehati anak itu kan hak seorang ibu; jadi wajar dong kalau ibu menasehati anaknya. Itu kan tanda ibu sayang sama anaknya. Lantas kenapa dunia terasa kelam saat itu? Kenapa anak saya menangis merana sepanjang hari sampai tidak mau menyentuh kue ulang tahun yang saya belikan? Dan itu lah hari ulang tahun terburuk yang pernah dicatat anak saya dan mungkin terus tersimpan di alam bawah sadarnya sampai hari ini.

Anak saya bilang dia tidak merasa dinasehati oleh saya. Dia bilang dia dimarahi oleh saya, dengan sepenuh hati pula. Dan itu membuat dia sangat sedih. Dia merasa menjadi anak yang tidak berguna dan menjadi beban bagi saya. Dia tidak merasa saya menyayanginya tapi dia merasa saya membencinya.

Saya lalu sadar. Saya telah mengacaukan hari baik yang harusnya menjadi hari bahagia bagi anak saya. Kenapa sih saya tidak menasehati dia di hari yang bukan hari ulang tahunnya? Kenapa harus di hari ulang tahun sih? Hari ulang tahun itu kan selalu spesial, apalagi untuk anak kecil seusia anak saya itu. Saya lalu menyalahkan sakit GERD dan anxiety saya yang telah membuat saya menjadi ibu yang menyedihkan bagi anak saya. I think that’s the worst experience as a mother that I’ve been through.   

Setelah kejadian ulang tahun tersebut, saya sebenarnya sudah cukup banyak berubah. Saya sudah tidak terlalu demanding dan merasa khawatir berlebihan terhadap anak saya. Namun itu belum hilang lho saudara-saudara. Kadang pikiran bahwa saya salah mendidik anak itu masih menghantui saya. Dengan cara saya mendidiknya seperti sekarang, apakah anak saya dapat memikirkan cara-cara yang produktif yang dapat menjadi solusi bila nanti dia menemukan kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Apakah dia mampu untuk tidak hanya bersabar tapi juga harus berikhtiar untuk keluar dari kesulitan. Tidak give up tapi berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang harus ia dapatkan.

***

Apa yang sudah saya ajarkan kepada anak saya tentang ilmu survival? Apa contoh yang sudah saya tunjukkan kepadanya tentang ilmu menyelamatkan diri dari kepahitan dan penderitaan saat patah hati putus dari pacar misalnya. Pikiran-pikiran seperti itu masih sesekali muncul namun intensitasnya sudah tidak sering lagi.

Beberapa waktu lalu saya mengajak teman saya yang seorang psikolog untuk bertemu. Saya curhat tentang apa yang saya rasakan dan khawatirkan tentang peran saya sebagai seorang ibu yang tidak berhasil mendidik anak menjadi disiplin dan bertanggung jawab. Curhat sambil diselingi srat srut srat srut ngelap ingus karena mewek yang membabi buta. Teman saya bilang, apa yang saya rasakan itu akeh tunggale. Banyak temannya. Perasaan menjadi orang tua yang gagal itu mungkin dirasakan oleh hampir semua orang tua yang dikasih anugerah anak keturunan oleh Tuhan YME. Mengapa? Karena memang menjadi orang tua itu tidak ada sekolahnya dan tidak ada ranking juaranya.

Para orang tua saat membesarkan anaknya itu tidak akan pernah tahu apa dan bagaimana hasil dari didikan mereka itu sampai si anak benar-benar menunjukkan siapa dirinya setelah dewasa nanti. “Lalu, karena tidak ada sekolahnya jadi bagaimana dong orang tua itu harus mendidik anaknya dengan baik dan benar?” Tanya saya.

“Meneketeheeee…,” kata teman saya psikolog itu sambil tertawa. Lha orang tua itu adalah profesi yang tidak ada SOP (standar Operating Procedur) nya kok. Masing-masing orang tua menjalankan proses kerjanya mendidik anak itu dengan guideline sendiri-sendiri. Paling benar ya dengan menggunakan hati nurani masing-masing.

***

Teman saya lalu menasehati saya untuk tidak menghukum diri saya dengan perasaan bahwa saya gagal mendidik anak. Tidak ada kata gagal bagi seorang ibu yang ingin melihat anaknya berhasil dalam hidupnya. Karena keinginan itu saja sudah menjadi pendorong bagi sang ibu untuk terus berupaya membantu merubah anaknya menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Saya tercenung. Meresapi apa yang dikatakan oleh teman saya. Menyadari kebenaran kata-katanya. Dengan saya memiliki keinginan untuk melihat anak saya berhasil dalam hidupnya nanti, saya memang terus berupaya mengajak anak saya melakukan hal-hal yang produktif baik dengan cara yang halus maupun cara yang gahar.

Karena anak saya sekarang sudah mulai remaja menuju dewasa maka cara saya untuk “mengajari”nya tentang life lessons itu banyak dilakukan dengan berdialog. Meski masih sering muncul teguran-teguran saya seperti, “Eits, tolong piring kotornya dicuci sendiri” atau “Kamu suka bersin itu pasti karena kamarmu berdebu karena udah dua hari gak dibersihin, mbok tiap hari dibersihin kamarmu ini” atau “Jangan terlalu mikiran apa pendapat orang, be yourself aja” dan lain-lain, tapi kebanyakan saya ajak dia atau dia ajak saya ngobrol tentang banyak hal.

***

Kadang kami diskusi tentang hal yang serius seperti fenomena anak-anak jaman now yang suka-suka ngaku kalo mereka gay atau lesbian atau transgender; karena menjadi LGBT itu semacam kekerenan yang baru di mata mereka. Nauzubillah. Yang seperti ini saya banyak tahu dari dia karena dia senang melakukan “research” tentang hal-hal semacam ini. Dan dari momen ngobrol itu saya banyak kesempatan untuk menyelipkan wisdom-wisdom yang saya yakini dia harus ketahui; termasuk aturan agama yang perlu ia ketahui. Saya bersyukur kami berdua memiliki frekuensi yang cukup selaras dalam memandang suatu permasalahan.

Dengan metode atau pendekatan tarik ulur seperti itu, dari ibu sebagai teman atau ibu sebagai guru atau ibu sebagai orang tua yang harus dihormati dan didengarkan; saya merasa cukup berhasil melihat anak saya mendewasa dengan arah yang benar.  Dan pelan-pelan rasa keberhasilan itu mulai mengatasi kegalauan saya.

Sedikit demi sedikit pikiran saya tentang diri saya adalah orang tua yang gagal mulai terkikis. Saya mulai relaks. Saya mulai dapat meminimalkan keinginan saya agar anak saya menjadi seperti apa yang saya mau karena saya mulai sadar anak saya adalah anak yang mampu untuk menata jalan hidupnya sendiri. Suatu hari nanti dia yang akan menentukan kapan dia mulai menggandeng tangan saya dan bukan menunggu saya menggandeng tangannya lagi. Bismillah.

Ibu satu orang anak, berprofesi sebagai karyawan swasta. Lulusan Fakultas Sastra Inggris.