Hak Berdaulat Negara Pantai di ZEE Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (“UU Kelautan”) mendefinisikan Zona Ekonomi Eksklusif (“ZEE”) adalah: Suatu area di luar dan berdampingan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. ZEE merupakan bagian dari wilayah yurisdiksi Indonesia[1] di mana negara memiliki hak berdaulat.[2] Lebih lanjut mengenai hak berdaulat ini dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.[3] Adapun United Nations Convention on the Law of the Sea (“UNCLOS”) telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) dan Indonesia menjadi salah satu pihak di dalamnya. Mengenai hak, yurisdiksi dan tugas dari negara pantai di wilayah ZEE dapat Anda simak selengkapnya dalam Kenali ZEE dan Hak-hak Berdaulatnya. Kemudian berkaitan dengan pengawasan di wilayah ZEE, Pasal 73 angka 1 UNCLOS mengatur: Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif, dapat mengambil tindakan demikian: termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. Patut diperhatikan, hak berdaulat negara pantai terbatas hanya pada yang diatur oleh hukum internasional di atas. Sehingga, negara pantai tidak dapat menggunakan yurisdiksinya di luar untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di ZEE. Kapal Perang Negara Lain Melintasi ZEE Menyambung pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai hak dan kewajiban negara lain di ZEE, Pasal 58 angka 1 dan 3 UNCLOS berbunyi:
Mengacu bunyi pasal di atas, UNCLOS tidak mengatur secara spesifik terkait larangan atau perizinan kapal perang atau aktivitas militer di wilayah ZEE negara lain. Sehingga menjawab pertanyaan Anda, ada 3 pandangan berbeda terkait hal ini:[4]
Pandangan ini berlandaskan beberapa argumen, antara lain:
Kapal perang berarti suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh Pemerintah Negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer yang tepat atau daftar serupa, dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.[5] Tidak satu pun ketentuan dalam UNCLOS dapat mengurangi kekebalan kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial, kecuali kapal perang tersebut tidak menaati peraturan perundang-undangan dari negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial.[6]
Kebebasan di laut lepas ini diatur dalam Pasal 87 angka 1 UNCLOS yang berbunyi:
Kebebasan ini akan dilaksanakan oleh semua negara, dengan memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan negara lain dalam melaksanakan kebebasan laut lepas itu, dan juga dengan memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dalam UNCLOS yang bertalian dengan kegiatan di kawasan.[7] Oleh karena itu, mengingat bunyi Pasal 58 dan Pasal 87 UNCLOS mengenai kebebasan pelayaran sebagaimana disebutkan di atas dapat disimpulkan kebebasan laut lepas juga diaplikasikan di wilayah ZEE. Maka semua negara memiliki hak kebebasan untuk berlayar di wilayah tersebut. Pandangan ini didukung oleh beberapa orang penulis seperti H.B. Robertson,[8] B. Kwiatkowska,[9] dan G. V. Galdorisi beserta A. G. Kaufman.[10]
Pasal 58 angka 1 UNCLOS sebagaimana dicantumkan sebelumnya tidak menyebutkan aktivitas militer sebagai salah satu hak yang diizinkan. Jadi, negara pantai memiliki hak untuk membatasi atau melarang masuknya kapal perang atau aktivitas militer di wilayah ZEE.[11]
Pandangan ini merujuk pada Pasal 59 UNCLOS yang berbunyi: Dalam hal di mana Konvensi ini tidak memberikan hak-hak atau yurisdiksi kepada Negara pantai atau kepada Negara lain di zona ekonomi eksklusif, dan timbul sengketa antara kepentingan-kepentingan Negara pantai dan Negara lain atau Negara-negara lain manapun, maka sengketa itu harus diselesaikan berdasarkan keadilan dan dengan pertimbangan segala keadaan yang relevan, dengan memperhatikan masing-masing keutamaan kepentingan yang terlibat bagi para pihak maupun bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Meskipun demikian, pandangan yang ketiga ini memiliki kelemahan karena kapal perang memiliki hak imunitas dan sengketa internasional terkait aktivitas militer dapat dikecualikan dari prosedur wajib penyelesaian sengketa sebagaimana diatur Pasal 298 angka 1 huruf b UNCLOS. Ketentuan ZEE sebagai Hukum Kebiasaan Internasional Ketentuan-ketentuan mengenai hak negara pantai di wilayah ZEE sebagaimana diatur UNCLOS telah dinyatakan oleh beberapa putusan pengadilan internasional dan akademisi sebagai sumber hukum kebiasaan internasional, contohnya:
Jadi, ketentuan-ketentuan mengenai wilayah ZEE yang tercantum di UNCLOS berlaku ke seluruh negara di dunia sebagai hukum kebiasaan internasional terlepas dari status keanggotan negara-negara tersebut di dalam konvensi. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Referensi:
[1] Pasal 7 ayat (2) UU Kelautan [2] Pasal 7 ayat (3) huruf c UU Kelautan [3] Pasal 7 ayat (4) UU Kelautan [4] Yoshifumi Tanaka. The International Law of the Sea. Cambridge: Cambridge University Press, 2012 [7] Pasal 87 angka 2 UNCLOS [8] H. B. Robertson. Navigation in the Exclusive Economic Zone. Virginia Journal of International Law, 1984, hal. 885 - 888 [9] B. Kwiatkowska. Military Uses in the EEZ: A Reply. Marine Policy, 1987, hal. 249 [10] G. V. Galdorisi and A. G. Kaufman. Military Activities in the Exclusive Economic Zone: Preventing Uncertainty and Defusing Conflict. California Western International Law Journal, 2001 - 2002, hal. 272 [11] R. Xiaofeng and C. Xizhong. A Chinese Perspective. Marine Policy, 2005, hal. 142; Zhang Haiwen. Is It Safeguarding the Freedom of Navigation or Maritime Hegemony of the United States? Comments on Paul (Pete) Pedrozo’s Article on Military Activities in the EEZ. Chinese Journal of International Law, 2010, hal. 31 - 47 |