5 sebutkan siapa saja penyebar Islam di Pulau Jawa?

Surabaya - Siapa yang tidak kenal Wali Songo? Masyarakat beragama muslim di Indonesia pasti sudah tak asing lagi dengan Wali Songo. Para Wali Songo tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Mereka dikenal gigih menyebarkan ajaran agama Islam pada abad ke 14 di tanah Jawa dan kerap berdakwah tanpa memaksa harus masuk Islam.

Di Jawa Timur, ada 5 Wali Songo yang lokasi makamnya membentang dari Surabaya hingga ke Kota Tuban. Makamnya pun terawat dengan bagus. Hingga kini ke-5 makam waliyulloh tersebut ramai dikunjungi peziarah. Ke-5 Wali Songo itu yakni Sunan Ampel Surabaya, Sunan Giri, Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Drajat Lamongan dan Sunan Bonang Tuban.

Berikut 5 Nama dan Makam Wali Songo tersebar di Jatim:

1. Sunan Ampel atau Raden Rahmat

Salah satu anggota Wali Songo yang memiliki peranan penting dalam pengembangan dakwah Islam di Pulau Jawa adalah Sunan Ampel. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481. Petilasan Sunan Ampel berada di jantung Kota Surabaya atau sebelah barat Masjid Ampel di Jalan Ampel, Petukangan I, Ampel, Kecamatan Semampir.

Sunan Ampel menempati peranan penting penyebaran Islam di Indonesia. Sunan Ampel juga pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Salah satu muridnya yang paling terkenal adalah Sunan Giri, Gresik, Raden Patah yang makamnya ada di Kota Demak dan Mbah Hisyamudin

Hingga kini makam Sunan Ampel sering dikunjungi wisatawan untuk melihat sejarah dan juga untuk mengalap berkah.

2. Sunan Gresik atau Syech Maulana Malik Ibrahim

Sunan Gresik atau Syech Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Maulana Maghribi (Syekh Maghribi). Sunan Gresik diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke 14. Namun hingga kini belum diketahui secara pasti sejarah tempat dan tahun kelahirannya.

Sunan Gresik dimakamkan di Jalan Malik Ibrahim Desa Gapurosukolilo, Kota Gresik, Jawa Timur. Sunan Gresik berasal dari keluarga muslim yang taat. Kendati ia belajar agama Islam sejak kecil, namun tidak diketahui siapa saja gurunya hingga ia menjadi ulama.

Pada abad ke-14, Sunan Gresik ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam ke Asia Tenggara. Ia berlabuh di Desa Leran, Gresik. Saat itu, Gresik merupakan bandar Kerajaan Majapahit. Tentu saja masyarakat saat itu banyak yang memeluk agama Hindu dan Buddha. Di Gresik, dia menjadi pedagang dan tabib di sela-sela berdakwah.

Sunan Gresik berdakwah berdagang di tempat terbuka dekat pelabuhan agar masyarakat tidak kaget dengan ajaran baru yang dibawanya. Sunan Gresik berhasil mengundang simpati masyarakat, termasuk Raja Brawijaya. Akhirnya, ia diangkat sebagai Syahbandar atau kepala pelabuhan.

Tidak hanya jadi pedagang andal, Sunan Gresik juga mengajarkan cara bercocok tanam kepada masyarakat kelas bawah yang selama ini dipandang sebelah mata. Karena strategi dakwah inilah, ajaran agama Islam secara berangsur-angsur diterima oleh masyarakat setempat.

(fat/fat)

Jakarta -

Wali songo memegang peranan penting dalam proses Islamisasi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam di Jawa tersebut terjadi saat keruntuhan Kerajaan Majapahit yang disusul dengan berdirinya Kerajaan Demak.

Saat itu, wali songo sebagai ulama penyebar agama Islam memiliki wilayah penyebaran masing-masing berikut dengan bukti dakwahnya. Secara bahasa, wali songo memiliki makna seseorang yang telah mencapai derajat tinggi dan memiliki pengetahuan agama yang luar biasa.

"Wali songo secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai tingkat wali, suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan hawa sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki peringkat wali," tulis Drs. Imam Subchi, MA dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas XII.

Nama-nama wali biasanya disesuaikan dengan tempat tinggalnya. Adapun daftar nama-nama wali songo beserta nama asli dan daerah penyebaran ajarannya adalah sebagai berikut.

Nama-Nama Wali Songo Beserta Nama Aslinya

1. Maulana Maghribi

Nama aslinya adalah Maulana Malik Ibrahim. Diperkirakan lahir di Uzbekistan, Asia Tengah. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni Desa Sembalo, desa yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, 9 kilometer utara Kota Gresik.

Selesai membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, ia wafat pada tahun 1419. Makamnya terdapat di kelurahan Gapurosukolilo, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

2. Sunan Ampel

Semula bernama Raden Rahmat dan merupakan putra dari Syekh Maulana Malik Ibrahim. Sunan Ampel datang ke Pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama adiknya Sayid Ali Murtadho.

Nama Ampel diambil dari daerah bernama Ampel Denta, daerah rawa yang dihadiahkan raja Majapahit kepadanya. Di tempat inilah, ia memulai aktivitasnya mendirikan pesantren Ampel Denta, dekat dengan Surabaya. Ia wafat pada tahun 1491 M dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

3. Sunan Bonang

Sunan Bonang adalah anak dari Sunan Ampel atau cucu dari Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Mulanya, ia berdakwah di Kediri yang mayoritas penduduknya beragama Hindu.

Kemudian, menetap di Desa Bonang, Lasem, Jawa Tengah. Di sana, Sunan Bonang mendirikan pesantren yang dikenal sebagai Watu Layar. Ia kemudian wafat pada tahun 1525 M dan dimakamkan di Tuban, sebelah barat Masjid Agung.

4. Sunan Drajat

Nama asli Sunan Drajat adalah Raden Syarifuddin. Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa ia adalah putra dari Sunan Ampel. Ia berdakwah ke sebuah desa bernama Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Kemudian, mendirikan mushola atau surau yang dimanfaatkan sebagai tempat berdakwah.

5. Sunan Giri

Wali songo selanjutnya adalah sahabat dari Makhdum Ibrahim yang semula bernama Raden Paku. Sunan Giri memilih sebuah tempat yang letaknya di bukit sebelah selatan Kota Gresik, yaitu bukit Giri pada tahun 1481 M sebagai pusat berdakwah di Jawa Timur.

Kemudian, ia mendirikan sebuah pondok pesantren dengan nama Pesantren Giri.

6. Sunan Kalijaga

Ia merupakan tokoh wali songo yang paling terkenal di antara sembilan wali lainnya. Nama kecilnya adalah Jaka Said dan diyakini lahir pada 1401. Daerah tempat berdakwahnya tidak terbatas karena ia merupakan seorang mubalig keliling.

Namun, Sunan Kalijaga lama menetap di Kadilangu, Demak. Di sana, ia berperan aktif dalam pendirian Masjid Agung Demak dan menentukan kiblat agar sesuai dengan arah Ka'bah.

7. Sunan Kudus

Memiliki nama asli Ja'far Shodiq. Tidak ada bukti tahun berapa Sunan Kudus tiba di Kudus pertama kali, namun saat itu wilayah Kudus masih dikenal dengan nama Kota Tajug.

Saat itu, Kudus masih didominasi oleh penganut agama Hindu dan Budha. Sebab itulah, Sunan Kudus menerapkan strategi dakwah dengan menghargai adat istiadat yang lama dianut warga sekitar. Bentuk masjid yang dibangun juga tidak berbeda jauh bentuknya dari candi milik orang Hindhu.

8. Sunan Muria

Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, yang berjarak sekitar 18 kilometer ke utara Kota Kudus.

Cara berdakwahnya berbeda dengan sang ayah. Ia lebih memilih daerah yang sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Ia menyebarkannya lewat para pedagang, nelayan, pelaut, dan rakyat jelata.

9. Sunan Gunungjati

Mulanya bernama Syarif Hidayatullah. Ia mendapat tugas untuk berdakwah di daerah Cirebon. Di sana, Sunan Gunungjati mendirikan kerajaan Cirebon dan melepaskan diri dari pengaruh Pajajaran.

Hal ini membuat Sunan Gunungjati menjadi satu-satunya wali songo yang juga memiliki kedudukan sebagai raja.

Kesuksesan wali songo dalam menyebarkan agama Islam, bukan serta merta tanpa melalui proses yang panjang. Tentunya dilalui dengan peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat setempat.

Semoga dengan memahami nama-nama wali songo berikut dengan sekilas informasi dakwahnya dapat menambah wawasan kita ya, detikers. Selamat membaca!

Simak Video "Massa Aksi Bela Islam Gelar Demo Desak Kapolri Tangkap Yaqut"



(rah/erd)

Ilustrasi pengajaran Islam di tengah masyarakat. (Troppenmuseum).

Pada abad ke-15, keberadaan agama Islam mulai kuat di Pulau Jawa. Kehadirannya sedikit demi sedikit menggerus eksistensi Hindu-Budha yang telah hadir berabad-abad lamanya. Dianggap lebih mudah diikuti ketimbang ajaran-ajaran sebelumnya, masyarakat pun berbondong-bondong mengikrarkan diri sebagai seorang muslim.

Kemunculan Wali Songo (Sembilan Wali) juga turut menguatkan proses islamisasi kala itu. Para alim –seorang berilmu dalam agama Islam– itu menjadi ujung tombak dalam penyebaran ajaran Islam. Sunan Gersik, Sunan Bonang, hingga Sunan Gunung Jati, membangun daerah penyebarannya masing-masing. Mereka menjadi salah satu pembuka jalan era kerajaan Islam di Pulau Jawa.

Namun sebelum masa Sembilan Wali, masyarakat di Pulau Jawa telah mengenal tokoh-tokoh penyebar Islam. Syekh Jumadil Qubro misalnya, menjadi leluhur sebagian besar Wali Songo. Di antara ulama-ulama tersebut, berikut empat tokoh yang berhasil dirangkum Historia.

Advertising

Advertising

Syekh Datuk Kahfi –nama lainnya Syekh Nurjati atau Syekh Idhofi– dikenal sebagai perintis penyebaran Islam di barat Pulau Jawa, khususnya wilayah Cirebon dan sekitarnya. Lahir di Semenanjung Malaka sekitar abad ke-14, Syekh Datuk Kahfi merupakan putra seorang ulama besar Malaka yakni Syekh Datuk Ahmad. Disebutkan di dalam beberapa naskah, salah satunya Naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Datuk Kahfi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Zaenal Abidin.

Syekh Datuk Kahfi pernah menuntut ilmu di Makkah sekitar pertengahan abad ke-14. Dari Tanah Suci, dia pergi ke Baghdad, Irak. Di wilayah kekuasaan Persia itu, Syekh Datuk Kahfi memperdalam keilmuannya. Banyak pemikir-pemikir Muslim Persia yang turut mempengaruhi jalan dakwah Syekh Datuk Kahfi ketika berada di Jawa.

Baca juga: Mencari Bukti Awal Islamisasi di Nusantara

Di Baghdad ini juga Syekh Datuk Kahfi menikah dengan Syarifah Halimah, adik penguasa Baghdad Syarif Sulaiman. Kedunya dikaruniai empat orang anak, yang kelak mengikuti jejak ayahnya di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi lalu diutus oleh Raja Baghdad menyiarkan Islam ke wilayah Nusantara, yang ketika itu menjalin hubungan dagang dengan Persia.

Setelah melalui perjalanan yang panjang, Syekh Datuk Kahfi akhirnya sampai di Nusantara, tepatnya Pulau Jawa. Menurut sejarawan Uka Tjandrasasmita dalam Arekologi Islam Nusantara, Syekh Datuk Kahfi dan rombongannya tiba di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada 1420. Dia diketahui membawa serta 20 laki-laki, dan dua perempuan dalam perjalanan dakwahnya ini.

Syekh Datuk Kahfi langsung diterima baik oleh Juru Labuhan Ki Gedeng Jumajanjati (sumber lain menyebut Ki Gedeng Tapa). Dia diberi tempat bermukim di Giri Amparan Jati. “Mereka diterima dengan baik, diberikan tempat, dan dimuliakan oleh Ki Gedeng Jumajanjati,” tulis Uka Tjandrasasmita.

Di Amparan Jati, Syekh Datuk Kahfi giat berdakwah. Dia mengenalkan tentang agama Islam di sekitar masyarakat yang masih menganut ajaran Hindu-Budha. Banyak orang dari berbagai daerah yang kemudian berdatangan untuk belajar tentang Islam. Namun jalan dakwahnya ini tidak selalu mulus. Syekh Datuk Kahfi banyak mendapat tantangan, terutama dari Kerajaan Galuh sebagai penguasa Cirebon kala itu.

Baca juga: Anak Raja Sunda Mencari Islam

Syekh Datuk Kahfi diketahui menjadi guru bagi putra-putri Raja Sunda Prabu Siliwangi, yakni Raden Walasungsang dan Nyai Rara Santang. Keduanya memilih memeluk Islam setelah memperdalam tentang ajaran tersebut di bawah asuhan Syekh Datuk Kahfi. Raden Walasungsang (bergelar Syekh Duliman) lalu mendirikan tempat dakwah lain di Caruban Larang, tempat berdirinya Kesultanan Cirebon. Walasungsang membantu Syekh Datuk Kahfi dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, dan wilayah lainnya.

Syekh Maulana Akbar

Ulama lain yang menyebarkan ajaran Islam di barat pulau Jawa adalah Syekh Maulana Akbar –nama lainnya Syekh Bayanullah. Adik Syekh Datuk Kahfi ini banyak melakukan dakwah di wilayah Kuningan, Jawa Barat. Tercatat di dalam Naskah Pangeran Wangsakerta, Syekh Maulana Akbar adalah putra dari Syekh Datuk Ahmad, dan cucu Syekh Datuk Isa. Keduanya dikenal sebagai ulama besar Malaka.

Syekh Maulana Akbar datang ke Jawa setelah Syekh Datuk Kahfi membangun pusat dakwah di Amparan Jati, Cirebon. Sama seperti kakaknya, Syekh Maulana Akbar juga lahir di Malaka sekitar abad ke-14. Menurut cerita di dalam Naskah Pangeran Wangsakerta, dia menimba ilmu di Makkah sejak usia remaja. Diketahui, Syekh Maulana Akbar lebih dahulu tinggal di Makkah ketimbang Syekh Datuk Kahfi. Di sana dia mendirikan pondok, dan dikenal masyarakat sebagai guru agama sekaligus saudagar.

Menurut Bambang Irianto dan Siti Fatimah dalam Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi): Perintis Dakwah dan Pendidikan, kedatangan Syekh Maulana Akbar di Kuningan bermula dari kunjungan murid Syekh Datuk Kahfi, Walasungsang dan Rara Santang ke Makkah. Dari interaksi itu, dan berbagai cerita yang disampaikan Walasungsang terkait situasi di Nusantara, Syekh Maulana Akbar mulai memiliki keinginan untuk berdakwah ke Jawa, mengikuti jejak kakaknya.

Baca juga: Muslim Pertama di Tatar Sunda

Syekh Maulana Akbar juga sempat pergi ke Persia. Sehingga banyak orang yang mengira kalau Syekh Maulana Akbar berasal dari Persia. Syekh Maulana Akabr tiba di Kuningan sekitar tahun 1450. Dia sempat tinggal di Cirebon bersama Syekh Datuk Kahfi. Kemudian memutuskan membangun lingkungan dakwahnya sendiri di Kuningan. Syekh Maulana Akbar mendirikan pondok di Desa Sidapurna, Kuningan.

Diceritakan sejarawan Edi S. Ekadjati dalam Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten, Syekh Maulana Akbar menikah dengan Nyi Wandasari, cucu Raja Sunda Prabu Dewa Niskala di Kawali. Dari pernikahan itu lahir seorang putra berama Maulana Arifin. Putranya inilah yang nantinya menggantikan peran Syekh Maulana Akbar dalam menyiarkan Islam di Kuningan setelah dirinya wafat.

“… Penduduk setempat mulai banyak masuk Islam atas upaya Syekh Maulana Akbar,” kata Ekadjati.

Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro dikenal sebagai guru para Wali di Tanah Jawa. Keturunannya kelak banyak yang memangku gelar Wali Songo (sembilan wali), sebagai para pendakwah Islam di Pulau Jawa. Dalam Atlas Wali Songo disebutkan bahwa Syekh Jumadil Qubro merupakan ayah dari Sunan Gresik; kakek dari Sunan Ampel; dan kakek buyut dari Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.

Syekh Jumadil Qubro lahir di sebuah desa di Samarkhand, Uzbekistan pada pertengahan abad ke-14. Syekh Jumadil Qubro terlahir dengan nama Syekh Jamaluddin al-Husain al-Akbar. Sejak kecil, dia telah mendapat pendidikan agama Islam yang baik dari ayahnya Sayyid Zainul Khusen. Beranjak dewasa, Syekh Jumadil Qubro pergi ke India untuk belajar Tasawwuf dan ilmu agama lainnya.

Kemudian Syekh Jumadil Qubro melanjutkan pencarian ilmunya ke Makkah. Berbagai ilmu keislaman diterimanya dari sejumlah ulama besar Makkah dan Madinah. Dalam buku Sejarah Islam Nusantara, Syekh Jumadil Qubro menikah dengan seorang putri dari Uzbekistan dan dikaruniai tiga putra: Maulana Malik Ibrahim, Ibrahim Asmaraqandi, dan Maulana Ishaq.

Selain dikenal sebagai pendakwah, Syekh Jumadil Qubro juga seorang saudagar. Ketika sedang berada di Champa, dia berhasil mengislamkan penguasa di wilayah yang sangat kental dengan ajaran Hindu-Budha tersebut. Di sana, Syekh Jumadil Qubro menikahkan Ibrahim Asmaraqandi dengan putri Raja Champa Dewi Candrawulan. Perjalanan lalu berlanjut ke wilayah Samudera Pasai di Aceh. Syekh Jumadil Qubro didampingi oleh putra-putranya saat berdakwah dan berdagang di Nusantara.

Baca juga: Islamisasi Jawa Menurut Tome Pires

Syekh Jumadil Qubro tiba di Jawa pada 1399. Dia langsung dihadapi dengan situasi politik kerajaan Majapahit. Ajaran Hindu Budha saat itu pun masih sangat kuat di wilayah Jawa. Untuk beberapa waktu, Syekh Jumadil Qubro melakukan pengenalan ajaran Islam secara perlahan, dan sembunyi-sembunyi. Dia mengalami berbagai kesulitan dalam upaya Islamisasi tersebut, mengingat pengaruh Majapahit.

“Kegiatan dakwah secara terang-terangan tidak memungkinkan beliau lakukan, karena hal tersebut tentu akan mengundang kemurkaan kerajaan,” tulis Cholil Nasiruddin dalam Punjer Wali Songo: Sejarah Sayyid Jumadil Kubro.

Meski begitu, banyak orang, termasuk kalangan bangsawan, yang akhirnya memilih memeluk Islam dan menjadi murid Syekh Jumadil Qubro. Perlahan upaya Islamisasi di sekitar kekuasaan Majapahit semakin kuat. Banyak masyarakat yang meninggalkan ajaran Hindu-Budha, sehingga pengikut Syekh Jumadil Qubro semakin besar. Pada masa ini juga mulai bermunculan ulama-ulama lain yang melakukan dakwah ke seluruh penjuru Jawa.

Syekh Quro

Ulama lain yang memberi pengaruh besar kepada penyebaran Islam di Pulau Jawa adalah Syekh Quro –nama lainnya Syekh Mursyahadatillah, atau Syekh Hasanuddin. Syekh Quro berasal dari Champa, putra seorang ulama besar bernama Syekh Yusuf Siddik. Dia mendapat pengetahuan Islam dari ulama-ulama besar Makkah.

Peneliti Atja dalam Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, menyebut jika Syekh Quro pergi ke Nusantara dalam perjalanan dakwahnya. Dia ikut di dalam rombongan orang-orang Cina yang datang ke Champa. Syekh Quro sempat mengajar keislaman di Kesultanan Malaka pada permulaan abad ke-15. Dari sanalah dia melanjutkan dakwahnya ke Pulau Jawa.

Menurut Uka Tjandrasasmita, daerah pertama yang disinggahi Syekh Quro adalah Pelabuhan Cirebon, di wilayah Kerajaan Galuh-Sunda. Kedatangannya pada 1418 itu disambut Syahbandar Muara Jati Ki Gedeng Tapa. Di sana, Syekh Quro melanjutkan syiar agamanya. Banyak masyarakat di sekitar pelabuhan yang akhirnya memeluk Islam setelah menerima ajaran Syekh Quro, termasuk Ki Gedeng Tapa sendiri.

Baca juga: Empat Tokoh Islam di Indonesia

Syekh Quro tidak lama tinggal di Cirebon. Halangan dari para penguasa membuat dia terpaksa pergi dan melanjutkan dakwahnya di Karawang. Di tempat baru ini, Syekh Quro membangun sebuah pondok sebagai tempat dakwah dan penyiaran agama Islam. Diketahui, Syekh Quro memiliki suara yang merdu ketika membaca Al-Qur’an. Hal itu menjadi daya tarik yang membuat banyak orang tertarik mempelajari Islam.

Melalui penelitian Ading Kusdiana dalam Sejarah Pesantren: Jejak Penyebaran, dan Jaringannya di Wilayah Priangan, diketahui bahwa Ki Gedeng Tapa menyuruh putrinya Nyai Subang Larang pergi ke Kerawang guna menuntut ilmu agama di bawah asuhan Syekh Kuro. Di sinilah Nyai Subang Larang memeluk Islam dan mulai mengajarkan pengetahuan Islam kepada anak-anaknya: Raden Walasungsang dan Nyai Lara Santang. Keduanya kemudian menjadi murid Syekh Datuk Kahfi.

“Ada beberapa indikasi bahwa penyebaran Islam dan kegiatan pendidikan pesantren masuk ke wilayah Priangan dari Cirebon dan dari Karawang,” tulis Ading.