Unsur unsur kebudayaan yang merupakan kunci berkembangnya suatu peradaban suatu bangsa adalah sistem

Tiada keraguan bahwa bahasa merupakan unsur pokok dan prasyarat utama perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk kembali mengajukan sebuah pertanyaan klasik seputar kelahiran bahasa yang selama ini telah menjadi perdebatan para ahli dan filsuf bahasa. Sejak kapan bahasa ada? Secara sambil lalu mungkin bisa dijawab sejak manusia ada. Bila nirmana (perspective) evolusionisme Darwinian digunakan, maka bahasa lahir bersamaan dengan munculnya spesies homo sapiens.

Sayang sekali, seperti teori dasarnya yang gagal menemukan matarantai yang hilang (missing link), perluasan teori ini di bidang sosial-budaya juga gagal menghadirkan sedikit saja bukti tentang kehebatan manusia sebagai pencipta bahasa. Karena itu, alih-alih meninggalkan begitu saja pertanyaan ini, sebagai pengiman kitab suci, saya justru menawarkan sebuah titik tolak peristiwa bahasa pertama berdasarkan kisah penciptaan manusia pertama.

Dengan sedikit perenungan, akan tampak jelas bagaimana dalam kisah penciptaan Adam terdapat dialog yang tidak saja membuktikan adanya peristiwa bahasa pertama, tetapi juga menjelaskan kekhususan manusia dibanding makhluk lain, serta alasan mendasar atas fenomena penguasaan manusia atas bumi.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

“Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”[2]

 

Ada pelajaran sangat penting dari peristiwa bahasa pertama ini. Penguasaan kosa kata serta kecakapan merangkai kata-kata secara bermakna, sejauh mengikuti logika terbatas atas wacana tersebut, bisa ditafsir sebagai ciri kualitatif non-fisik Adam dibanding dengan makhluk lain. Ciri-ciri lain, misalnya dalam At-Tiin lebih menunjuk pada ciri kuantitatif fisik.[3] Oleh karena itu, ditambah dengan penegasan dan perintah dan bahkan sindiran berkali-kali agar manusia menggunakan akal atau berpikir, paling tidak terdapat tiga keistimewaan manusia dibanding makhluk lain, yaitu: penguasaan bahasa, kemampuan berpikir, dan kesempurnaan bentuk ragawi.

Secara teoretik terdapat sinergi sangat kuat di antara ketiga ciri istimewa manusia tersebut. Tanpa bahasa, maka sehebat apa pun pemikiran tidak akan bisa disampaikan kepada dan dipahami oleh orang lain. Demikian pula, tanpa pemikiran, maka bahasa manusia juga tidak akan berkembang sebagaimana sekarang. Sinergi antara bahasa dan pemikiran manusia ini pula yang mengantarkan manusia untuk tidak saja menyempurnakan penampilan ragawi mereka, tetapi juga mengatasi berbagai keterbatasan ragawi mereka sehingga memberi jalan bagi lahirnya fenomena khas manusia berupa kebudayaan, dan secara lebih khusus peradaban. Juga tampak dari perintah untuk menghormat kepada pemilik bahasa dan buah pemikiran berupa pengetahuan, betapa Islam menempatkan bahasa dan pemikiran secara sangat terhormat.

Menghayati kedudukan terhormat bahasa dan pemikiran, yang memberi jalan bagi kelahiran peradaban manusia, maka sesuai dengan bidang minat kajian pribadi saya, yaitu: filsafat pengetahuan dan sosiolinguistik, maka saya memilih bahasa, pemikiran dan peradaban sebagai tema pidato pengukuhan ini.

Dari istilah episteme yang berarti pengetahuan, epistemologi kini dikenal sebagai cabang kajian tentang bentuk-bentuk pengetahuan yang sahih. Sering pula disebut sebagai filsafat atau teori pengetahuan. Epistemologi meminati sejumlah pertanyaan, antara lain: Apakah mungkin memperoleh pengetahuan sejati? Bagaimanakah sifat-sifat dasar kebenaran? Apa saja keterbatasan pengetahuan? Metode apakah yang harus diterapkan untuk mendapatkan pengetahuan yang sahih? Bagaimana menilai suatu pernyataan apriori? Dimanakah batas antara subjektivitas dan objektivitas?

Lazimnya, selain logika dan matematika, epistemologi juga memandang bahasa sebagai piranti sangat penting untuk menghasilkan pengetahuan yang sahih. Dengan ungkapan lebih sederhana, bahasa merupakan salah satu sarana berpikir ilmiah, sekaligus juga sarana untuk menyampaikan hasil pemikiran ilmiah. Karena itu, penting sekali bagi siapa pun yang akan memasuki dunia pengetahuan secara umum untuk memahami hubungan antara bahasa dengan kegiatan berpikir.

Memang tidak banyak filsuf atau ilmuwan yang menaruh perhatian cukup besar terhadap hubungan antara bahasa dan pemikiran, apalagi dikaitkan dengan peradaban. Dari jumlah yang sedikit tersebut, bisa disebut antara lain Thomas Hobbes, Ludwig Wittgenstein, Ernest Cassirer, dan Michael Polanyi.

Mana yang lebih dulu dan lebih penting antara bahasa dan pemikiran? Bisakah tumbuh bahasa tanpa pemikiran? Mungkinkah pemikiran berlangsung tanpa bahasa? Barangkali itu merupakan sejumlah pertanyaan yang begitu menggoda untuk ditelaah terus-menerus.

Thomas Hobbes, seorang filsuf terkemuka berkebangsaan Inggris, mempertanyakan ”apa yang memungkinkan pengetahuan manusia terus-menerus berkembang?” Perenungannya sampai pada simpulan bahwa keistimewaan manusia terletak pada kemampuannya menandai secara simbolik setiap kenyataan. Contoh sangat sederhana tetapi cukup mengejutkan kita adalah, sebuah perhelatan yang demikian rumit seperti ini --- ada kepanitiaan, pidato ilmiah, tamu-tamu terhormat, paduan suara, prosesi anggota senat, spanduk, konsumsi dan sebagainya ----, bisa ditandai secara simbolik dengan istilah ”pengukuhan”, sebuah istilah yang sangat ringkas, sederhana, dan mudah dipahami. Memang salah satu fungsi bahasa adalah untuk membuat simplifikasi realitas yang kompleks agar mudah dipahami.

Manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Karena ada sediaan nama-nama itu, maka manusia mampu memanggil kembali dan mengaitkannya satu sama lain. Ilmu dan filsafat dimungkinkan kelahirannya karena kemampuan manusia untuk merumuskan kata-kata dan kalimat. Karena itu, pengetahuan manusia pun memiliki dua bentuk berbeda, yaitu: pengetahuan realitas dan pengetahuan konsekuensi.

Science and philosophy are possible because of man's capacity to formulate words and sentences. Knowledge, then, takes on two different forms, one being knowledge of reality, and the other knowledge of consequences.[4]

Walhasil, menjadi agak mudah bagi kita untuk memahami pernyataan seorang filsuf bahasa kenamaan Ludwig Wittgenstein bahwa ”batas bahasaku adalah batas duniaku” (Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt).[5] Kalau ketidak-mampuan berbahasa adalah batas dunia binatang, maka kekurang-cakapan berbahasa juga membatasi dunia manusia. Pun bila dikehendaki memperluas dunia manusia, maka salah satu piranti utamanya adalah kecakapan berbahasa.

Ernest Cassirer, menggeser locus kajian filosofisnya pada persoalan hubungan antara bahasa dan pemikiran. Hasilnya, meskipun pada bidang kajian yang berbeda, mengingatkan tengara Emile Durkheim tentang kekhususan seorang pemikir luar biasa:

[That] a superb sociologist can hold views of society as radically different from those of the common man as are the views of physical reality held by the best physicists.[6]

Memang Ernest Cassirer juga melahirkan suatu simpulan  yang berbeda dari kecenderungan pemikiran awam. Kalau kebanyakan dari kita meyakini bahwa pembeda utama manusia dari binatang adalah kemampuan berpikirnya, maka Cassirer menegaskan bahwa manusia menjadi begitu istimewa karena bahasa. Ungkapan Erving Goffman, ”... human beings are symbol-using creatures”,[7] pada dasarnya sama dan sebangun dengan penyebutan Cassirer bahwa manusia adalah animal symbolicum.[8]

Secara filosofis, sebutan manusia sebagai makhluk pengguna simbol memiliki cakupan lebih luas dibanding sebutan manusia sebagai makhluk berpikir (homo sapiens), karena hanya dan hanya bila menggunakan bahasa maka manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih, dan abstrak. Lebih lanjut, semua prestasi kolektif manusia, seperti khasanah pengetahuan keilmuan, kemajuan peradaban, serta keadiluhungan budaya, hampir pasti tidak bisa diwujudkan tanpa peran bahasa sebagai prasyarat utama.

Tanpa bahasa, maka tiada pula kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai, pola-pola perilaku, dan benda-benda budaya dari satu angkatan kepada angkatan penerusnya. Lebih dari itu, tanpa bahasa boleh jadi juga akan jauh lebih sulit membayangkan terjadinya pengayaan budaya melalui pertukaran antar kelompok masyarakat.

Sebegitu jauh, bahasa telah memberikan sumbangan paling pentingnya bagi umat manusia. Namun demikian, sebagaimana diuraikan oleh Michael Polanyi, seorang filsuf berkebangsaan Hongaria, terdapat paradoks hubungan antara bahasa dan pengetahuan. Di satu sisi, bahasa memungkinkan manusia untuk berbagi, mewariskan, dan mengembangkan hasil buah pemikiran, yang di antaranya adalah pengetahuan. Di sisi lain, karena sifat dasar yang juga tak terelakkan, ternyata bahasa juga cenderung menyederhanakan kenyataan yang seharusnya bisa dipaparkan, dijelaskan, dan bahkan diramalkan secara apa adanya oleh ilmu pengetahuan.

Berdasarkan tinjauan matra bahasa pula, Michael Polanyi menggolongkan dua jenis pengetahuan manusia (Periksa Bagan 1). Menurutnya, dari kenyataan (the whole reality) yang hampir tak terbatas, sebagian kecilnya merupakan kenyataan yang diketahui (the known reality) manusia, sehingga melahirkan pengetahuan (knowledge). Selanjutnya, dari khasanah pengetahuan yang jumlahnya juga masih luar biasa, sebagian besar masih merupakan pengetahuan tak terbahasakan (pre-articulated knowledge), sedangkan sebagian kecil di antaranya merupakan pengetahuan terbahasakan (articulated knowledge). Konsekuensinya, tak mungkin menarik simpulan  lain, kecuali bahwa manusia pada dasarnya mengetahui lebih banyak daripada yang bisa diucapkan (we know more than we can say).[9]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagan 1: Kenyataan dan Dua Jenis Pengetahuan

Apa yang sehari-hari kita bincang sebagai pengetahuan, mengacu pemikiran Polanyi, tidak lain adalah pengetahuan yang terbahasakan. Setiap butir dari khasanah pengetahuan manusia, semula berasal dari pengetahuan pribadi (personal knowledge). Hanya dan hanya bila pemilik pengetahuan mampu membahasakan pengetahuan pribadinya, maka pengetahuan jenis ini bisa menjadi pengetahuan objektif, dalam arti bisa dibahas dan bahkan diuji oleh orang lain. Walaupun demikian, tetap saja masih begitu banyak pengetahuan manusia yang tetap tinggal menjadi pengetahuan pribadi yang tak-terbahasakan. Pengetahuan kita tentang segala rasa, seperti pedas, manis, asin dan lain-lain, misalnya, masih saja gagal kita tingkatkan derajatnya menjadi pengetahuan terbahasakan.

Kenyataan tentang kegagalan manusia untuk membahasakan seluruh pengetahuan yang mereka miliki, memaksa kita untuk menyimpulkan, bahwa di samping begitu berjasa di dalam mengembangkan pengetahuan manusia, ternyata begitu terbatas kemampuan bahasa untuk digunakan sebagai piranti pengungkap seluruh pengetahuan manusia. Lebih dari itu, bahasa juga telah membatasi manusia dalam mengungkapkan kenyataan sebagaimana adanya. Jadi bahasa memiliki sifat reduksionis.

Memang benar bahwa dengan hanya dua kata, mancung dan pesek, kita bisa merangkum seluruh kategori bentuk hidung. Namun demikian, juga sangat kentara bagaimana kedua kata itu telah begitu semena-mena menggolongkan saya, atau mungkin juga anda semua, sebagai orang berhidung pesek. Tidak adil, sebab hanya karena kita tidak memiliki istilah lain yang lebih mewakili, kita terpaksa melakukan penggolongan seperti itu. Sifat reduksionis bahasa ini yang acapkali kurang disadari oleh para pengguna bahasa. Termasuk di dalam kelompok pengguna bahasa ini adalah para ilmuwan yang mengembangkan terminologi yang tidak saja kurang mewakili realitas yang hendak dicakup, tetapi juga mengandung kemencengan (biased). Bisa dibayangkan, bagaimana sosok yang sama, bisa mendapat sebutan yang sangat berlawanan, seperti istilah ”pahlawan” dengan istilah ”penjahat”. Sekadar contoh adalah Pangeran Diponegoro. Bagi bangsa Indonesia, dia dikenal sebagai pahlawan, tetapi sebaliknya bagi penjajah Belanda dia adalah penjahat atau pemberontak sehingga ditangkap dan kemudian diasingkan.

Diletakkan dalam konteks kebahasaan di Indonesia, kita bisa semakin memahami mengapa Bahasa Indonesia belum bisa tampil sebagai bahasa keilmuan secara memuaskan bila dibandingkan dengan Bahasa Inggris atau bahkan Bahasa Arab. Ketebalan kamus ketiga bahasa ini saja sudah mampu menggambarkan tingkat kekayaan kosa katanya. Karena lema (entry) kata Bahasa Indonesia masih sedikit bila dibanding Bahasa Inggris, maka secara logis bisa disimpulkan bahwa penggunaan Bahasa Indonesia dalam bidang keilmuan berpotensi mengakibatkan reduksionisme berlebihan.[10] Padahal, ketepatan, kecermatan, dan keterwakilan baik dalam pengukuran atau pelabelan (measurement and labeling) terhadap kenyataan sebagai bahan kajian ilmu, merupakan syarat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Keterbatasan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan masih diperparah dengan kecenderungan umum retorika bahasa Indonesia. Pemetaan oleh Soeseno Kartomihardjo yang disampaikan ketika memberikan sambutan promosi seorang calon doktor Pendidikan Bahasa Inggris pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM) 26 Pebruari 1998, menunjukkan bahwa retorika Bahasa Indonesia diwarnai oleh cara penyampaian maksud yang terselubung. Pokok pembicaraan dalam retorika gaya Asia, termasuk bahasa Indonesia, tidak dinyatakan secara langsung dan dilihat dari beberapa sisi.

Dalam kehidupan politik, misalnya, kita masih mengalami kesulitan ketika menjelaskan makna demokrasi seperti makna asalnya, dan kemudian mempraktikkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sesungguhnya kita belum benar-benar memahami dan menghayati konsep demokrasi. Masing-masing orang memahami demokrasi dalam makna, dan menghayati demokrasi dalam citarasa yang berbeda. Akibatnya praktik demokrasi menemui begitu banyak kendala.

Menjadi lebih jelas bagi kita mengapa tidak semua kandungan khazanah pengetahuan manusia bisa dimajukan menjadi pengetahuan terbahasakan? Sebagian jawabannya jelas, karena keterbatasan bahasa. Karena itu, sebagian jalan pemecahan dari masalah itu pun cukup jelas. Bila bahasa dikehendaki sebagai bahasa pengetahuan, maka tidak hanya kosa kata yang harus dikembangkan, tetapi tata bahasanya pun harus dicanggihkan, sehingga mampu menjadi sarana pengungkap kenyataan secara tepat, rinci, dan lengkap.

Dari sisi ilmuwan sebagai pengguna bahasa, maka kekayaan kosa kata dan ketrampilan tata-bahasanya pun harus senantiasa diperbaiki.  Semakin banyak kosa kata yang mereka miliki, serta semakin terampil mereka menyusun kalimat, maka semakin mungkin bagi mereka untuk mempersembahkan pengetahuan pribadinya agar bisa diterima menjadi bagian dari khasanah pengetahuan terbahasakan. Bagi seorang ilmuwan, berlaku ungkapan Gadamer, bahwa keberadaan akan mewujud dalam bahasa (being is manifested in language).[11] Kelengkapan peran seorang ilmuwan mencakup empat kecakapan utama, yaitu kemampuan pengumpulan data (observing), kemampuan menarik simpulan  secara logis (reasoning) baik deduktif maupun induktif, kemampuan menyusun model teoretik (constructing), dan kemampuan mengomunikasikan semua itu dengan bahasa yang baik dan mudah dimengerti (communicating).[12]

Sebagai gejala khas manusia, peradaban (tammadun, civilization) dikenali sebagai bagian dari kebudayaan. Kebudayaan, meskipun begitu banyak takrif diberikan, digambarkan memiliki tiga perwujudan, yaitu sebagai: seperangkat gagasan, pola-pola perilaku, dan benda-benda karya manusia.

Bertolak dari pemikiran bahwa situasi kemasyarakatan niscaya dibentuk oleh tiga komponen budaya yang saling berkaitan, yaitu: ideologi, teknologi, dan organisasi sosial, Thomas J. La Belle mengembangkan konfigurasi tiga komponen kebudayaan dengan perilaku manusia sebagai pusatnya sebagai berikut (Periksa Bagan 2).[13]

 

 

Bagan 2: Model Heuristik Kebudayaan

Ketiga sub-sistem sosio-budaya, yaitu: ideologi, organisasi sosial, dan teknologi, saling memengaruhi untuk akhirnya membentuk perilaku masyarakat. Sub-sistem ideologi menjawab pertanyaan mengapa dan kemana. Ini mencakup seperangkat nilai, keyakinan, serta pengetahuan yang dimiliki dan dianut oleh masyarakat. Faktor-faktor yang tercakup dalam ideologi, utamanya memberikan arah kepada perilaku dan tindakan masyarakat. Dengan ungkapan lain, ideologi berperan sebagai paradigma ideal-normatif.

Organisasi sosial menunjuk pada pola-pola hubungan, tatanan, serta pranata-pranata yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya, atau cara-cara individu mengorganisasikan hubungan-hubungan dan interaksi mereka dengan orang lain.

Sub-sistem teknologi mencakup baik kegiatan maupun objek yang oleh masyarakat digunakan untuk mengatur atau mengelola lingkungan atau benda-benda di sekitarnya. Dengan demikian, teknologi menunjuk pada keterampilan, piranti, tata kerja, dan teknik yang digunakan manusia untuk mewujudkan kehendak yang diarahkan oleh ideologi. Teknologi menjawab pertanyaan dengan apa, cara apa, atau alat apa dan bagaimana.

Bila disepadankan dengan civilization, maka istilah peradaban hanya menunjuk kepada benda-benda buatan manusia (cultural materials). Namun demikian, bila disepadankan dengan tamaddun, istilah peradaban mencakup tidak hanya benda-benda buatan manusia yang bermutu tinggi, tetapi juga berbagai gagasan cemerlang dan bijaksana, serta pola-pola perilaku luhur dan bermartabat.

Tamaddun sendiri berasal dari bahasa Arab madinah atau kota dan madaniyah atau aspek material dari peradaban atau tamaddun itu. Sedangkan aspek intelektual dan spiritual dari tamaddun itu disebut budaya, dalam bahasa Arab disebut tsaqaafah dan dalam bahasa Inggris disebut culture. Pendeknya tamaddun itu mengandung dua komponen: madaniyah yaitu aspek material dari tamaddun, dan kebudayaan adalah aspek intelektual dan spiritual dari tamaddun itu. Ibarat sebuah mobil, madaniyah adalah badan mobil, sedang budaya adalah mesin yang mendorong mobil supaya bergerak. Aspek lain dari budaya (tsaqaafah) selain dari ilmu adalah seni, moral, dan lain-lain. Semua ini berfungsi sebagai penggerak tamaddun, ibarat mesin pada mobil.[14]

Peradaban bisa dipahami sebagai pola-pola yang maju dan tinggi dalam cara-cara kehidupan umat manusia, yang meliputi dua aspek, yaitu aspek budaya yang merupakan jiwa dan aspek pemikiran dan batin, sedangkan aspek madaniyah merupakan bentuk kebendaan dan bentuk luar peradaban. Karena itu, membangun peradaban berarti pula usaha sungguh-sungguh untuk mengembangkan baik aspek tsaqaafah dan aspek madaniyah.

Bertolak dari takrif yang diberikan kepada tamaddun, dapat kita simpulkan bahwa tamaddun tiada lain adalah proses dan hasil tindakan manusia. Rangkaian tindakan manusia bisa dikias sebagai batu-bata yang membangun tamaddun. Rangkaian tindakan manusia bisa dipilah menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) tindakan manusia sebagai akibat dari interaksinya dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan orang lain, baik sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, maupun sebagai umat manusia, (2) tindakan manusia sebagai akibat dari interaksinya dengan alam, benda-benda, serta makhluk-makhluk lain.

Unsur-unsur tindakan manusia, sehagaimana dapat disimpulkan dari sejarah umat dan ayat-ayat- al-Qur’an, terdiri dari: kehendak bebas, kemampuan, dan pengetahuan. Tanpa kehendak bebas manusia tak dapat berbuat apa-apa, apalagi dalam fungsinya sebagai khalifah. Oleh sebab itu, unsur ini juga membedakan manusia dari makhluk lain. Malaikat tidak diangkat sebagai khalifah karena patuh sepenuhnya kepada perintah kepada Allah, dan tidak memiliki kehendak bebas. Namun kehendak bebas manusia bersifat terbatas. Seseorang, misalnya, tidak sanggup memilih ibu dan atau bapak yang akan melahirkannya. Kebebasan manusia dibatasi oleh kemampuan dan kodratnya, baik sebagai individu atau sebagai masyarakat.

Agar tindakan manusia itu tidak bersifat acak, maka ia memerlukan ilmu. Bagi manusia, ilmu berfungsi: (1) membimbingnya untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, (2) menolong kemampuan yang terbatas itu agar lebih luas jangkauannya. Ilmu dan teknologi modern tidak menciptakan kemampuan baru manusia, tetapi hanya menolong dengan mempertajam dan memperluas kemampuan manusia.

Tampak jelas bahwa istilah peradaban lebih bermuatan nilai (value weighted) dibanding istilah kebudayaan. Karena itu, kita bisa mengatakan ada peradaban yang maju, tetapi tidak bisa mengatakan kebudayaan yang rendah. Tidak mengherankan kalau klaim tentang kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah senantiasa dipersoalkan.[15] Praktik berbahasa suatu masyarakat atau seseorang, mengacu konsep peradaban demikian, pada hakikatnya juga mencerminkan keberadaban masyarakat atau seseorang dimaksud.

Kemajuan peradaban, sejauh ia bergantung pada hasil pikiran kolektif manusia, dimungkinkan karena menyatunya tiga karakteristik manusia sebagai homo symbolicum, yang melandasi kegiatannya sebagai homo sapiens. Kegiatan manusia sebagai homo sapiens, pada gilirannya, melandasi perilakunya sebagai homo faber. Ini menjelaskan bahwa prestasi kolektif manusia sebagai makhluk perekayasa (homo faber) hanya akan berkembang pesat apabila dilandasi oleh bangunan pengetahuan yang logik dan teruji (logical and verified knowledge) sebagai hasil kegiatannya selaku makhluk bernalar (homo sapiens). Sebagaimana dijelaskan tentang hubungan antara karakteristik manusia sebagai homo symbolicum dan sebagai homo sapiens, hanya dan hanya bila menggunakan bahasa maka manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih, dan abstrak sebagaimana dituntut dalam kegiatan keilmuan. Walhasil, kemajuan peradaban diprasyarati oleh kemajuan pengetahuan. Kemajuan pengetahuan diprasyarati oleh kemapanan bahasa. Hasil kajian Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), bisa menjelaskan proposisi berantai tersebut.

Peter Russel mencoba menghitung laju dan percepatan pertumbuhan ilmu dan teknologi dengan hasil cukup mengejutkan.[16] Andai kita membiji satu satuan pengetahuan kolektif manusia untuk Tahun 1 Masehi, itu dicapai manusia selama 50.000 tahun. Menjelang tahun 1500, karena manusia telah berhasil mengembangkan sistem bahasa tulis, volume pengetahuan mengalami penggandaan, menjadi dua kali lebih besar daripada sebelumnya. Penggandaan berikutnya terjadi tahun 1750. Hingga awal 1900-an, jumlah pengetahuan kolektif manusia sudah mencapai 8 (delapan) satuan.

Masa penggandaan makin lama makin singkat. Untuk penggandaan berikutnya, umat manusia hanya butuh waktu 50 tahun, yang menurun lagi menjadi 10 tahun. Pada tahun 1960 umat manusia memiliki 32 satuan pengetahuan kolektif. Tiga belas tahun kemudian (1973) menjadi 128 satuan. Kini, penggandaan akan terjadi setiap 18 bulan. Tak pelak lagi, timbunan pengetahuan umat manusia sekarang jauh lebih besar ketimbang yang terkumpul selama 7 millenia alias 7000 tahun.

Mencermati peran sangat penting bahasa, dan lebih-lebih bahasa tulis dalam memajukan peradaban, tidak mengherankan kalau sosiolog terkemuka Talcott Parsons juga menempat pemilikan bahasa sebagai salah satu tahap paling kritis berkembangnya peradaban. Selengkapnya, Talcott Parsons menteorikan lima tahapan perkembangan kebudayaan, yaitu: (1) kebudayaan primitif, (2) kebudayaan baca-tulis, (3) kewarga-negaraan luas, (4) filsafat dan kesusasteraan, dan (5) kebudayaan berkaidah hukum dan agama universalistik.[17]

Kita bersyukur, karena ternyata Allah menurunkan al-Qur’an di masyarakat yang juga berperadaban baca-tulis, sehingga kini al-Qur’an bisa dengan mudah dibaca, dikaji, dan diaktualisasikan nilai-nilainya. Bisa dibayangkan, seandainya kebudayaan Arab tidak memiliki sistem penulisan sendiri, maka terlepas dari jaminan Allah SWT untuk memelihara Al-Qur’an, juga tidak mungkin bagi Utsman bin Affan r.a. untuk memerintahkan penulisan, pembukuan, dan penyebar-luasan Al-Qur’an  hingga ke seluruh pelosok dunia.[18] Karena bahasa tulis pula, kita tetap bisa menelaah Al-Muqadimmah Ibn Khaldun, Al-Risalah Imam Syafei, Ihya’ Ulum al-Din Al-Ghazali, Al-Syifa Ibnu Sina, Risalat fi ’Ara Ahl al-Madinah Al-Farabi, Education and Democracy John Dewey, Il-Prince Machiavelli, Psychopathology of Everyday Life Sigmun Freud, The Wealth of Nation Adam Smith, Dialog on the two chief systems of world Galileo Galilei, maupun Mathematical Principles of Natural Philosophy Isaac Newton.

Sejauh kebudayaan baca-tulis dipandang sebagai salah satu tahapan sangat penting perkembangan lanjut peradaban, maka kita boleh berbangga tetapi juga prihatin. Indonesia semestinya bisa menjadi salah satu pusat peradaban dunia, karena salah satu bahasa daerahnya dikenal sebagai salah satu dari hanya dua puluh satu bahasa di dunia yang memiliki sistem tulis sendiri (writing system), yakni: Bahasa Jawa yang memiliki sistem huruf dengan beberapa sandangan bunyi vokal sebagai berikut:

 

 

 

Dengan sistem penulisan tersebut, para pujangga dan pemikir Jawa mewariskan karya-karyanya kepada angkatan penerusnya. Ini yang memungkinkan para akademisi angkatan masa kini untuk tetap bisa mengkaji, mengembangkan dan bahkan mengecam karya-karya filosofis Jawa seperti Serat Centhini, Serat Wulang Reh, Serat Wedhatama hingga Serat Kala Tidha, karya Pujangga kenamaan Ronggowarsito.[19]

Kebanggaan harus disandingkan dengan keprihatinan, karena hasil kajian mutakhir tentang preferensi bahasa menunjukkan betapa semakin menurun jumlah pasangan suami-istri perkotaan yang membesarkan anak-anaknya dengan bahasa daerah, khususnya Jawa. Mereka lebih senang mendidik anak-anaknya dengan Bahasa Indonesia, atau bahkan Bahasa Inggris. Bahasa Jawa,  bersama ratusan atau bahkan ribuan bahasa daerah di dunia sedang dalam bahaya, language endangerment, meminjam istilah Anthony Woodbury.

Today roughly 5,000 to 6,000 languages are spoken in the world, but a century from now, the number will almost certainly fall to the low thousands or even the hundreds. More than ever, communities that were once self-sufficient find themselves under intense pressure to integrate with powerful neighbors, regional forces, or invaders, often leading to the loss of their own languages and even their ethnic identity.[20]

Para ahli bahasa menilai bahwa keterancaman bahasa merupakan masalah yang sungguh sangat serius karena memiliki konsekuensi humanistik dan keilmuan. Belakangan ini para ahli sosiolinguistik dan antropolinguistik semakin memahami pengaruh kepunahan bahasa terhadap masyarakat. Salah satu pengaruh paling menonjol dari punahnya suatu bahasa, baik karena terpaksa maupun sukarela,  adalah hilangnya identitas sosial. Lebih memprihatinkan lagi, kehilangan juga sampai pada aspek-aspek budaya, spiritual dan intelektual.

Moreover, the loss is not only a matter of perceived identity. Much of the cultural, spiritual, and intellectual life of a people is experienced through language. This ranges from prayers, myths, ceremonies, poetry, oratory, and technical vocabulary, to everyday greetings, leave-takings, conversational styles, humor, ways of speaking to children, and unique terms for habits, behavior, and emotions. When a language is lost, all this must be refashioned in the new language -- with different word categories, sounds, and grammatical structures -- if it is to be kept at all. Linguists' work in communities when language shift is occurring shows that for the most part such refashioning, even when social identity is maintained, involves abrupt loss of tradition. More often, the cultural forms of the colonial power take over, transmitted often by television.[21]

Memang bisa saja dikatakan bahwa kepunahan sejumlah bahasa merupakan akibat tak terelakkan dari kemajuan dan akan meningkatkan kesaling-pemahaman antar kelompok masyarakat. Namun demikian, semestinya tujuan ini dapat dicapai dengan belajar bahasa kedua atau ketiga, dan bukan dengan membiarkan punahnya bahasa daerah sebagai bahasa pertama. Sebab, meminjam ungkapan Galtung, kepunahan suatu bahasa daerah lebih merupakan akibat kekerasan struktural terhadap keragaman budaya.

Blantika musik Indonesia baru saja mencatat lagu Laskar Cinta sebagai salah satu lagu paling populer. Mudah dikesan, karya kelompok musik Dewa ini diilhami oleh ayat Al-Qur’an yang meniscayakan keragaman umat manusia.

Bukankah kita memang tercipta laki-laki dan wanita

dan menjadi suku-suku dan bangsa-bangsa yang pasti berbeda?

Bukankah kita memang harus saling mengenal dan menghormati

bukan untuk saling bercerai dan berperang angkat senjata?[22]

 

Kalau keragaman umat manusia merupakan keniscayaan, maka seniscaya itu pula keragaman bahasa. Di sisi lain, berlangsung kaidah panta rhei, semua mengalir, sebuah ungkapan yang mewakili salah satu pandangan filsafat, bahwa hakikat dunia adalah perubahan. Jadi, kalau perubahan merupakan keniscayaan, maka seniscaya itu pula perubahan bahasa.

Sosiolinguistik, sebagai salah satu bidang kajian lintas-disiplin, memang sering ditakrif sebagai sekadar kajian tentang aspek-aspek sosialnya bahasa. Ternyata, pengertian sederhana ini justru menawarkan kawasan dan tentu saja pendekatan kajian yang terus-menerus berkembang. Logika yang mendasari pernyataan ini cukup sederhana, yaitu: karena aspek-aspek sosial senantiasa bersifat dinamik, maka gejala bahasa pun bergerak dinamik. Konsekuensinya, praksis bahasa masyarakat pun menggambarkan praksis hidup para penggunanya.

Sebagaimana ditengarai oleh Yayah B. Mugnisjah Lumintaintang, para mahasiswa Fakultas Sastra kurang memberi perhatian kepada matakuliah sosiolinguistik. Menurut dia, setidaknya harus direkomendasikan bahwa kajian dari pendekatan sosiolinguistik sudah waktunya menjadi tanggungjawab para mahasiswa, dosen serta peneliti. Sejauh ini kajian tentang pemakaian bahasa dalam konteks masyarakat yang menjadi bidang kerja sosiolinguistik masih kurang mendapat perhatian.

Memang, bila ditilik dari usia bidang kajian sosiolinguistik yang baru muncul awal tahun 1960-an, masih terlalu dini untuk memperoleh tempat yang terhormat di kalangan akademisi maupun mahasiswa. Ini tampak dari, misalnya, jumlah jurusan bahasa dan sastra yang menawarkan matakuliah sosiolinguistik, jumlah tenaga ahli yang memilih minat sosiolinguistik, serta jumlah buku dan penerbitan tentang sosiolinguistik yang masih sangat sedikit. Namun demikian, bidang kajian ini sebenarnya memiliki daya-tarik tersendiri, dan karena itu juga sangat prospektif. Selain memiliki prospek sebagai salah satu piranti diagnosis sosial-politik, sosiolinguistik juga cukup menarik karena mengkaji bahasa tanpa dilepaskan dari faktor-faktor ekstralinguistik, termasuk konteks sosial para penggunaannya sebagaimana dikemukakan oleh Yayah B. Mugnisjah Lumintaintang.

[K]ajian sosiolinguistik merupakan kajian yang menggunakan ekstralinguistik atau faktor sosial untuk menjelaskan kebahasaan. Demikian pula halnya dengan penelitian tentang laras bahasa politik dan media massa.

"Laras bahasa politik dan media massa (elektronik/cetak) termasuk ke dalam penelitian sosiolinguistik karena keduanya dibahas dalam konteks sosial pemakaiannya," katanya.[23]

 

Berkenaan dengan sketsa perspektif sosiolinguistik, Allen D. Grimshaw[24] menggambarkannya sebagai berikut:

 

Bagan : Skestsa Perspektif Sosiolinguistik

Tampak bahwa praksis bahasa seseorang atau sekelompok orang, yang mencakup dialek, register, jargon dan sebagainya, dibentuk oleh: (1) posisi dalam struktur sosial seperti nativitas, bahasa ibu, tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, kelas sosial, dan jenis kelamin, (2) formalitas dan informalitas percakapan dan audiensnya, dan (3) proses produksi linguistiknya, yang pada akhirnya menentukan (4) keluaran interaksionalnya. Semua itu, sebagaimana tampak, juga dipengaruhi oleh kendala dan keterlibatan situasional.

Pada tataran empirik, bisa dihipotesiskan bahwa situasi politik yang diliputi oleh persaingan sangat tajam, ikut membentuk fenomena dan perilaku bahasa para elite politik. Sebagaimana dipercaya oleh kaum Sofis, kegairahan mengasah kepiawaian berbahasa mencapai puncaknya ketika mereka sampai pada simpulan  bahwa bahasa merupakan piranti utama bagi pencapaian aneka tujuan. Begitu besar pesona yang bisa ditampilkan, sehingga bahasa pun menjadi anasir sangat penting bagi percaturan politik tingkat tinggi. Karena itu, tidak mengherankan bila hingga kini, masih tampak jelas betapa bahasa dimanfaatkan sebagai senjata perjuangan politik. Siapa piawai bermain kata, maka dia pun berpeluang besar memenangkan pertarungan politik.

Begitu besar godaan kekuasaan, sehingga tidak jarang terjadi penyalah-gunaan bahasa yang bermuara pada kekonyolan-kekonyolan perilaku berbahasa di kalangan politisi. Kejatuhan Gus Dur dari kursi kepresidenan, misalnya, disumbang salah satunya oleh kecerobohan bahasa politiknya sendiri. Kita masih ingat ungkapan Gus Dur ”Sulit membedakan antara anggota DPR dan murid taman kanak-kanak” ternyata telah menjadi pemicu ketegangan antara anggota DPR dan Gus Dur yang menggiring ke kejatuhannya.[25]

Persoalan ini pula yang dulu pernah menjadi bahan perdebatan para pengkaji budaya politik Indonesia, seperti bisa kita simak dari salah satu kajian berikut:

The languages of contemporary Indonesian politics have recently been the object of a certain cantankerous attention. The eminent Swiss historian and publicist Herbert Luethy describes Indonesian (bahasa Indonesia) as a ”synthetic” language that has borrowed ”copiously and indiscriminately from all the technical terminologies and ideological abstractions of the modern world”, and that is ”scarcely intelligible, in its newer parts, to the average Indonesian, who listens to the official speeches all the more admiringly for being able to make nothing of them.[26]

Begitulah praksis penggunaan bahasa oleh para petarung politik (political gladiators) yang tidak jarang dijadikan rujukan oleh para pengikut setianya (the true believers). Lantas bahasa pun menjadi alat kekerasan simbolik-psikologik, menjadi semacam sangkur tajam yang setiap saat bisa melukai batin sasarannya. Menggunakan perspektif strukturasi Giddens (1990), bahasa bisa bersifat sangat memberdayakan (enabling) atau sangat mengendala (constraining), sedangkan dalam sorotan analisis wacana, praksis bahasa bisa bersifat sangat memerdekakan (emancipating) atau sangat mengancam (threatening).[27]

Bila dipahami bahwa bahasa adalah cermin masyarakat, maka dengan mudah pula kita bisa memahami seperti apa masyarakat Indonesia pasca kejatuhan Orde Baru. Jaman kepresidenan Gus Dur, kita terbiasa mendengar ungkapan-ungkapan  seperti "biang kerok, maling, Presiden pembohong, Presiden tak jewer, jangan percaya kepada Presiden, Presiden jangan penthentang-pethenteng, omongan Presiden kok esuk dele sore tempe, anggota DPR seperti Taman Kanak-Kanak". Kini, jaman kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, sisa-sisa praksis berbahasa itu pun masih bisa ditemukan, seperti tampak pada pernyataan: ”SBY, Presiden Wacana; Rapor Presiden Merah; SBY adalah Presiden peragu; SBY: Mana janjimu”, dan sebagainya. Tak hanya itu. Karena Indonesia semakin dirundung musibah yang menelan banyak korban nyawa, SBY pun dipelesetkan menjadi Susilo Bambang Nyudo Nyowo. Dalam perspektif sosiolinguistik ala Chaika, bahasa adalah cermin penggunanya.[28] Karena itu, mudah dikesan dunia batin macam apa yang terbayang dalam cermin kebahasaan seperti itu.

Bertolak dari postulat bahwa setiap zaman atau era menampilkan wajah bahasanya sendiri, maka era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono juga diwarnai penggunaan bahasa politik yang berbeda. Parodi politik seperti yang ditayangkan melalui Republik BBM dan Republik Mimpi oleh Stasiun Televisi Indosiar dan Metro TV setiap minggu bagi pengkaji sosiolinguistik tidak dapat diartikan  sekadar lelucon dan hiburan, tetapi sebagai kritik sosial (social criticism) masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

Betapapun, seperti aneka piranti lain, bahasa niscaya bersifat netral. Ia menjadi baik atau menjadi buruk, sangat bergantung kepada pemakainya. Bahasa, karena itu, menjadi senjata sangat handal bagi para pembenci, pun sangat bernilai bagi para pecinta. Bahasa juga bisa menjadi alat kejujuran, tetapi bisa pula menjadi alat kedustaan. Kita sembunyikan realitas tak dikehendaki dengan bahasa, juga kita bongkar realitas tersembunyi dengan bahasa. Hal-hal yang suram dapat kita jelaskan sehingga menjadi terang-benderang melalui bahasa.  Sebaliknya hal-hal yang sudah terang dan jelas dapat dijadikan suram melalui bahasa pula.

Tentu jelas terpateri bagi siapa pun pelajar sejarah nabi-nabi, bagaimana oleh Ibrahim a.s. bahasa bisa digunakan untuk menyampaikan perintah Allah SWT agar mengorbankan anak tercintanya, sehingga dengan penuh keikhlasan Ismail AS menerima perintah teramat berat tersebut.

$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB z

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA