Pemeriksaan apbn dilakukan oleh bpk yang tertuang dalam uud 1945 pasal

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Badan Pemeriksa Keuangan, dan Keterkaitannya Dengan Tiga Undang-Undang Bidang Keuangan Negara

Oleh : H. Habsul Nurhadi, SE

Tulisan ini dipersiapkan guna memenuhi salah satu persyaratan sebagai Bakal Calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia – Pengganti Antar Waktu Periode 2009-2014 – yang harus sudah diterima oleh Pimpinan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) pada 30 November 2011.

Tulisan ini mengambil judul “Badan Pemeriksa Keuangan, dan Keterkaitannya dengan Tiga Undang-Undang Bidang Keuangan Negara”.

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan tiga Undang-Undang di bidang keuangan negara yang mempunyai keterkaitan dengan BPK adalah (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Badan Pemeriksa Keuangan

Berdasarkan Konstitusi Negara sebelum mengalami perubahan, kedudukan BPK-RI adalah termasuk sebagai salah satu – di antara beberapa – lembaga negara yang dinamakan sebagai “Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara” – atau sering dikenal dengan singkatannya “Lettina”. Pada UUD 1945 – sebelum dirubah - tersebut BPK-RI hanya diatur dalam satu ayat, yakni dalam Pasal 23 ayat (5).

Pasal 23 ayat (5) itu berbunyi : “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

Akan tetapi setelah Konstitusi Negara kita mengalami perubahan pada rentang waktu tahun 1999-2002, maka berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah tidak ada lagi sebutan “Lettina”, dan kedudukan BPK-RI adalah sebagai salah satu – di antara beberapa – Lembaga Negara yang ada.

BPK-RI dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – setelah perubahan - sekarang ini diatur dalam Bab tersendiri, yakni Bab VIII-A tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang berisi tiga pasal mencakup tujuh ayat, yakni Pasal 23-E yang berisi tiga ayat, Pasal 23-F yang berisi dua ayat, dan Pasal 23-G yang berisi dua ayat.

Dalam Pasal 23-E ayat (1) diatur “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”.

Pasal 23-E ayat (2) mengatur bahwa “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya”.

Pasal 23-E ayat (3) mengatur bahwa “Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang”.

Sedangkan dalam Pasal 23-F ayat (1) diatur bahwa “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden”.

Kemudian Pasal 23-F ayat (2) mengatur bahwa “Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota”.

Sementara dalam Pasal 23-G ayat (1) diatur bahwa “Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi”. Pada ayat (2) ditentukan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang”.

Beberapa ketentuan aturan mengenai Badan Pemeriksa Keuangan pada Bab, Pasal, dan Ayat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, karena dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan, baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.

Sejarah BPK-RI

Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan sementara di kota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, yang untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR (Indische Comptabiliteitswet/ICW Stbl. 1925 No. 448) dan Instructie en Verdere Bepalingen voor de Algemene Rekenkamer (IAR Stbl. 1933 No. 320).

Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.

Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA).

Dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.

Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.

Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan pernah berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS, Dewan Pengawas Keuangan RI (berdasarkan UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR.

Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.

Untuk mengganti PERPPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.

Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.

Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.

Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu : UU No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

BPK mempunyai 9 orang anggota, dengan susunan 1 orang Ketua merangkap anggota, 1 orang Wakil Ketua merangkap anggota, serta 7 orang anggota. Anggota BPK memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Tugas BPK-RI

BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

Pelaksanaan pemeriksaan BPK tersebut dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, yang mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tersebut, BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara. Dalam hal pemeriksaan tersebut dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.

BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. Selanjutnya DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan tersebut sesuai dengan Peraturan Tata Tertib masing-masing lembaga perwakilan.

Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya. Sedangkan penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD dilakukan oleh Anggota BPK atau pejabat yang ditunjuk.

Untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh BPK, maka BPK juga menyerahkan hasil pemeriksaan tersebut secara tertulis kepada Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Kemudian tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK tersebut oleh Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota diberitahukan secara tertulis kepada BPK.

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Anggota BPK dilarang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang. Laporan BPK tersebut akan dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BPK selanjutnya memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang bersangkutan, dan hasilnya diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemerintah.

Visi dan Misi BPK-RI

Visi BPK adalah “Menjadi lembaga pemeriksa keuangan negara yang kredibel dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dasar untuk berperan aktif dalam mendorong terwujudnya tata kelola keuangan negara yang akuntabel dan transparan”.

Sedangkan misi BPK adalah untuk :

1.Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;

2.Memberikan pendapat untuk meningkatkan mutu pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; dan

3.Berperan aktif dalam menemukan dan mencegah segala bentuk penyalahgunaan dan penyelewengan keuangan negara.

Dalam menjalankan visi dan misinya, BPK-RI mempunyai 10 Tujuan Strategis, yakni sebagai berikut :

1.Meningkatkan Efektivitas Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan dan Memenuhi Harapan Pemangku Kepentingan (SS-1)

Pengelolaan keuangan negara yang baik adalah pengelolaan keuangan negara yang dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikelola secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

BPK dalam meningkatkan perannya untuk mendorong terwujudnya pengelolaan keuangan negara yang baik berupaya untuk membangun komunikasi dua arah secara efektif kepada semua pemangku kepentingan.

Komunikasi efektif mencakup adanya pengelolaan informasi yang jelas dan akurat, pilihan media komunikasi yang tepat dan penerimaan informasi yang baik bagi semua pemangku kepentingan. Komunikasi yang efektif menitikberatkan kepada proses pendidikan kepada publik (public awareness) untuk dapat memahami kedudukan, peranan dan hasil pemeriksaan BPK.

Dengan demikian, BPK dapat menyajikan informasi yang akurat mengenai mutu pengelolaan keuangan negara dan dapat menjaring serta menerima umpan balik informasi dari publik untuk perbaikan kualitas proses bisnis BPK.

Melalui sasaran strategis ini BPK mengharapkan adanya kontribusi dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam rangka meningkatkan efektivitas tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK dan mempercepat upaya perbaikan mutu pengelolaan keuangan negara secara komprehensif.

2.Meningkatkan Fungsi Manajemen Pemeriksaan (SS-2)

Manajemen pemeriksaan mencakup kegiatan perencanaan strategis pemeriksaan, perencanaan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan untuk seluruh jenis pemeriksaan yang dilaksanakan oleh BPK.

Melalui sasaran strategis ini, BPK melakukan upaya pengendalian mutu pemeriksaan yang sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara dan kode etik serta sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan. Sasaran strategis ini juga meliputi upaya peningkatan cakupan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Melalui pelaksanaan pemeriksaan yang terintegrasi, BPK berkomitmen untuk meningkatkan fungsi manajemen pemeriksaan melalui pelaksanaan pemeriksaan yang lebih efisien dan efektif melalui pemanfaatan biaya pemeriksaan yang optimal dengan memanfaatkan teknologi informasi. Pemeriksaan yang dikelola dengan baik akan memberikan hasil pemeriksaan yang sesuai dengan kebutuhan dan bermanfaat bagi para pemangku kepentingan dalam mengambil keputusan.

3.Meningkatkan Mutu Pemberian Pendapat dan Pertimbangan (SS-3)

BPK dapat memberikan pendapat kepada para pemangku kepentingan yang diperlukan karena sifat pekerjannya. Pendapat yang diberikan dapat berupa perbaikan kebijakan dan tata kelola di bidang pendapatan, pengeluaran, pinjaman, privatisasi, likuidasi, merger, akuisisi, penyertaan modal pemerintah, penjaminan pemerintah, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Di samping itu, BPK juga dapat memberikan pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Kewenangan BPK dalam memeriksa pengelolaan keuangan negara memungkinkan BPK memiliki data dan informasi keuangan negara yang diperlukan dalam memberikan pendapat dan pertimbangan yang diperlukan oleh para pemangku kepentingan.

4.Meningkatkan Percepatan Penetapan Tuntutan Perbendaharaan dan Pemantauan Penyelesaian Ganti Kerugian Negara (SS-4)

Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian. BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik secara sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. BPK melakukan pemantauan atas penyelesaian ganti kerugian negara di seluruh instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan BUMN/BUMD.

Melalui sasaran strategis ini BPK ingin memastikan proses penetapan kerugian negara yang disebabkan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain dilakukan secara lebih cepat dengan memperhatikan peraturan yang berlaku. Di samping itu, BPK akan berupaya untuk dapat menyajikan database status penyelesaian ganti kerugian negara yang lengkap, akurat dan tepat waktu sehingga dapat menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian negara.

5.Meningkatkan Efektivitas Penerapan Sistem Pemerolehan Keyakinan Mutu (SS-5)

Sebagai lembaga profesi BPK dituntut untuk terus meningkatkan (1) kapasitas kelembagaan, (2) kompetensi pelaksananya sesuai dengan perkembangan dunia pemeriksaan, dan (3) hasil pemeriksaan yang bebas dari kesalahan, yang sejalan dengan kebutuhan pemangku kepentingan yang terus berubah.

Melalui sasaran strategis ini, BPK berupaya untuk melaksanakan Sistem Pemerolehan Keyakinan Mutu (SPKM) secara konsisten dan berkesinambungan.

6.Pemenuhan dan Harmonisasi Peraturan di Bidang Pemeriksaan Keuangan Negara (SS-6)

Dalam melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK berwenang untuk merumuskan aturan-aturan pelaksanaan yang diperlukan untuk memastikan pelaksanaan kewenangan yang ada. Kewenangan BPK sebagaimana tertuang dalam peraturan perundangan-undangan antara lain mencakup kewenangan mengakses semua data dan informasi yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara serta mengatur perangkat yang diperlukan dalam melaksanakan pemeriksaan.

Melalui sasaran strategis ini BPK bertekad untuk menyelesaikan aturan pelaksanaan yang dibutuhkan dan terlibat secara aktif dalam proses harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan dan pemeriksaan keuangan negara.

7.Meningkatkan Mutu Kelembagaan dan Ketatalaksanaan (SS-7)

Semua tugas dan wewenang BPK harus terakomodasi dalam suatu struktur organisasi efektif yang dilengkapi dengan perangkat organisasi sebagaimana diperlukan. Melalui sasaran strategis ini BPK berupaya untuk memiliki organisasi yang fleksibel dengan komposisi hemat struktur dan kaya fungsi serta dilengkapi dengan pedoman kerja yang jelas untuk memastikan standar kualitas kerja yang tinggi.

8.Meningkatkan Kompetensi SDM dan Dukungan Manajemen (SS-8)

Sebagai organisasi yang bertumpu pada kecakapan dan keahlian, SDM merupakan aset terpenting BPK. Oleh sebab itu, penambahan jumlah pemeriksa dan pengembangan kemampuan serta kompetensi pegawai BPK menjadi prioritas utama untuk dapat mencapai hasil pemeriksaan yang berkualitas. Selain itu, BPK perlu menyediakan suatu lingkungan kerja yang kondusif, untuk menarik orang-orang terbaik di bidangnya, termasuk melalui peningkatan kesejahteraan pegawai.

Melalui sasaran strategis ini, BPK berupaya untuk menyusun dan mengimplementasikan manajemen sumber daya manusia yang komprehensif dan terintegrasi.

9.Meningkatkan Pemenuhan Standar dan Mutu Sarana dan Prasarana (SS-9)

Kinerja BPK yang tinggi perlu didukung dengan tersedianya fasilitas kerja yang memadai sesuai dengan standar sarana dan prasarana kerja. Melalui sasaran strategis ini, BPK secara khusus berupaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi melalui penyediaan infrastruktur dan jaringan yang mendukung pelaksanaan seluruh kegiatan BPK. Selain itu, BPK akan terus berupaya meningkatkan sarana dan prasarana kerja lainnya untuk seluruh unit organisasi BPK.

10.Meningkatkan Pemanfaatan Anggaran (SS-10)

Sebagai pelaksana anggaran negara BPK tidak lepas dari kewajiban untuk mengelola keuangan negara secara efisien, efektif, dan ekonomis dengan mengedepankan akuntabilitas dan transparansi.

Melalui sasaran strategis ini BPK berupaya untuk meningkatkan kualitas, ketertiban, dan kepatuhan proses perencanaan, penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran BPK sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Di samping pertanggungjawaban anggaran, sasaran strategis ini difokuskan pada pemanfaatan anggaran secara optimal dalam rangka peningkatan kinerja BPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Nilai-Nilai Dasar BPK-RI

Dalam melaksanakan misinya, maka setiap Anggota BPK berkewajiban menjaga nilai-nilai dasar BPK sebagai berikut :

1.mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku.

2.mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

3.menjunjung tinggi “independensi”, “integritas” dan “profesionalitas”.

4.menjunjung tinggi martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas BPK.

Yang dimaksudkan dengan “Independensi” adalah bahwasanya BPK menjunjung tinggi independensi, baik secara kelembagaan, organisasi, maupun individu. Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, BPK bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan/atau organisasi yang dapat mempengaruhi independensi.

Sementara yang dimaksudkan dengan “Integritas” adalah bahwasanya BPK membangun nilai integritas dengan bersikap jujur, obyektif, dan tegas dalam menerapkan prinsip, nilai, dan keputusan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan “Profesionalitas” adalah bahwasanya BPK membangun nilai profesionalisme dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, ketelitian, dan kecermatan, serta berpedoman kepada standar yang berlaku.

Kode Etik BPK-RI

Untuk menjamin independensi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Anggota BPK berkewajiban (1) memegang sumpah dan janji jabatan, (2) bersikap netral dan tidak berpihak, (3) menghindari terjadinya benturan kepentingan, dan (4) menghindari hal-hal yang dapat mempengaruhi obyektivitas.

Sedangkan untuk menjamin independensi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut, Anggota BPK (1) dilarang merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain, badan-badan lain yang mengelola keuangan negara, dan perusahaan swasta nasional atau asing, (2) dilarang menjadi anggota partai politik, dan (3) dilarang menunjukkan sikap dan perilaku yang dapat menyebabkan orang lain meragukan independensinya.

Untuk menjamin integritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Anggota BPK mempunyai kewajiban (1) bersikap tegas dalam menerapkan prinsip, nilai dan keputusan, (2) bersikap tegas dalam mengemukakan dan/atau melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan dan keyakinannya perlu dilakukan, dan (3) bersikap jujur dengan tetap memegang rahasia pihak yang diperiksa.

Untuk menjamin integritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut, Anggota BPK dilarang menerima pemberian dalam bentuk apapun baik langsung maupun tidak langsung yang diduga atau patut diduga dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

Untuk menjunjung profesionalisme dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Anggota BPK wajib untuk (1) menerapkan prinsip kehati-hatian, ketelitian, dan kecermatan, (2) menyimpan rahasia negara dan/ atau rahasia jabatan, (3) menghindari pemanfaatan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan atau jabatannya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain, serta (4) menghindari perbuatan di luar tugas dan kewenangannya.

Undang-Undang Keuangan Negara

Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sebagai landasan hukum pengelolaan keuangan negara tersebut, pada tanggal 5 April 2003 telah diundangkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 ini menjabarkan lebih lanjut aturan-aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke dalam asas-asas umum pengelolaan keuangan negara.

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Keuangan Negara tersebut meliputi (1) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman, (2) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga, (3) Penerimaan Negara, (4) Pengeluaran Negara, (5) Penerimaan Daerah, (6) Pengeluaran Daerah, (7) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah, (8) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum, maupun (9) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara,  dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN. Begitu pula semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance  dalam penyelenggaraan negara,  pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23-C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :

Øakuntabilitas berorientasi pada hasil;

Øprofesionalitas;

Øproporsionalitas;

Øketerbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;

Øpemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut selanjutnya (1) dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, (2) dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, dan (3) diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Akan tetapi kekuasaan tersebut tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang akan diatur dengan undang-undang.

Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.

Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/ Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.

Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas (1) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, (2) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN, (3) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran, (4) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan, (5) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang, (6) melaksanakan fungsi bendahara umum negara, (7) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, dan (8) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.

Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut (1) menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, (2) menyusun dokumen pelaksanaan anggaran, (3) melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya, (4) melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara, (5) mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya, (6) mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya, (7) menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya, dan (8) melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan undang-undang.

Sementara itu, kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD, ataupun dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang  daerah.

Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai tugas (1) menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD, (2) menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD, (3) melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah, (4) melaksanakan fungsi bendahara umum daerah, dan (5) menyusun laporan keuangan yang merupakan per-tanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Sedangkan Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut (1) menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya, (2) menyusun dokumen pelaksanaan anggaran, (3) melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya, (4) melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak, (5) mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya, (6) mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya, dan (7) menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.

APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang- undang. APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Sedangkan Belanja Negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Penyusunan Rancangan APBN tersebut berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Akan tetapi dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.

Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga  dalam penyusunan usulan anggaran.

Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya. Rencana kerja dan anggaran tersebut disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai, yang disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.

Rencana kerja dan anggaran tersebut disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.

Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.

Sementara dalam hal keuangan daerah, APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah. APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Pendapatan daerah  berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.

APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan Rancangan APBD itu berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.

Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan. DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Sementara itu, dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran (RKA) Satuan Kerja Perangkat Daerah tahun berikutnya. Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana kerja dan anggaran tersebut disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. Rencana kerja dan anggaran tersebut disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.

Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.

Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya. Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.

APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah tersebut, untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.

Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Selain itu, Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya, yang dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Begitu pula Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah lain dengan persetujuan DPRD.

Setelah APBN dilaksanakan, maka Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.

Begitupun setelah APBD dilaksanakan, maka Gubernur / Bupati / Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah.

Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD   tersebut disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan, yang disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undang-undang tersendiri.

Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum.

Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggung-jawaban pelaksanaan APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan  catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam)  bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.

Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang  bertanggung jawab atas  pelaksanaan  kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti  melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.

Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.

Undang-Undang Tentang Perbendaharaan Negara

Dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diperlukan kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan negara yang mengatur perbendaharaan negara. Berhubung Undang-undang Perbendaharaan Indonesia/Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1968 Nomor 53), tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan dan pertanggungjawabankeuangan negara, maka telah dibentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara ini dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum di bidang administrasi keuangan negara. Dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini ditetapkan bahwa Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.

Sesuai dengan pengertian tersebut, dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini diatur ruang lingkup dan asas umum perbendaharaan negara, kewenangan pejabat perbendaharaan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan uang negara/daerah, pengelolaan piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/APBD, pengendalian intern pemerintah, penyelesaian kerugian negara/daerah, serta pengelolaan keuangan badan layanan umum.

Sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara, Undang-undang Perbendaharaan Negara ini menganut asas kesatuan, asas universalitas, asas tahunan, dan asas spesialitas. Asas kesatuan menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran. Asas universalitas mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran. Asas tahunan membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu. Asas spesialitas mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya. Demikian pula Undang-undang Perbendaharaan Negara ini memuat ketentuan yang mendorong profesionalitas, serta menjamin keterbukaan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran.

Ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan kaidahkaidah sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah.

Oleh karena itu Undang-undang Perbendaharaan Negara ini selain menjadi landasan hukum dalam pelaksanaan reformasi pengelolaan Keuangan Negara pada tingkat pemerintahan pusat, berfungsi pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan.

Sesuai dengan prinsip tersebut Kementerian Keuangan berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional, sementara kementerian negara/lembaga berwenang dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

Konsekuensi pembagian tugas antara Menteri Keuangan dan para menteri lainnya tercermin dalam pelaksanaan anggaran. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan menjamin terselenggaranya saling-uji (check and balance) dalam proses pelaksanaan anggaran perlu dilakukan pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif dengan pemegang kewenangan kebendaharaan.

Penyelenggaraan kewenangan administratif diserahkan kepada kementerian negara/lembaga, sementara penyeleng-garaan kewenangan kebendaharaan diserahkan kepada Kementerian Keuangan. Kewenangan administratif tersebut meliputi melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.

Di lain pihak, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan pejabat lainnya yang ditunjuk sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan, dan manajer keuangan.

Fungsi pengawasan keuangan di sini terbatas pada aspek rechmatigheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaan atau pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang dilakukan oleh kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional. Dengan demikian, dapat dijalankan salah satu prinsip pengendalian intern yang sangat penting dalam proses pelaksanaan anggaran, yaitu adanya pemisahan yang tegas antara pemegang kewenangan administratif (ordonnateur) dan pemegang fungsi pembayaran (comptable). Penerapan pola pemisahan kewenangan tersebut, yang merupakan salah satu kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara, telah mengalami “deformasi” sehingga menjadi kurang efektif untuk mencegah dan/atau meminimalkan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara. Oleh karena itu, penerapan pola pemisahan tersebut harus dilakukan secara konsisten.

Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan negara, dirasakan pula semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas secara efisien. Fungsi perbendaharaan tersebut meliputi, terutama, perencanaan kas yang baik, pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan, pencarian sumber pembiayaan yang paling murah dan pemanfaatan dana yang menganggur (idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan.

Upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang selama ini lebih banyak dilaksanakan di dunia usaha dalam pengelolaan keuangan pemerintah, tidaklah dimaksudkan untuk menyamakan pengelolaan keuangan sektor pemerintah dengan pengelolaan keuangan sektor swasta. Pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik.

Dalam kedudukannya yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik. Melalui kegiatan berbagai lembaga pemerintah, negara berusaha memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat (welfare state).

Namun, pengelolaan keuangan sektor publik yang dilakukan selama ini dengan menggunakan pendekatan superioritas negara telah membuat aparatur pemerintah yang bergerak dalam kegiatan pengelolaan keuangan sektor publik tidak lagi dianggap berada dalam kelompok profesi manajemen oleh para profesional. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelurusan kembali pengelolaan keuangan pemerintah dengan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance) yang sesuai dengan lingkungan pemerintahan.

Dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini juga diatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kas, perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang piutang dan investasi serta barang milik negara/daerah yang selama ini belum mendapat perhatian yang memadai.

Dalam rangka pengelolaan uang negara/daerah, dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini ditegaskan kewenangan Menteri Keuangan untuk mengatur dan menyelenggarakan rekening pemerintah, menyimpan uang negara dalam rekening kas umum negara pada bank sentral, serta ketentuan yang mengharuskan dilakukannya optimalisasi pemanfaatan dana pemerintah. Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan piutang negara/daerah, diatur kewenangan penyelesaian piutang negara dan daerah. Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan pembiayaan ditetapkan pejabat yang diberi kuasa untuk mengadakan utang negara/daerah. Demikian pula, dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini diatur pula ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan investasi serta kewenangan mengelola dan menggunakan barang milik negara/daerah.

Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah perlu disampaikan secara tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan. Sehubungan dengan itu, perlu ditetapkan ketentuan yang mengatur mengenai hal-hal tersebut agar :

(1).Laporan keuangan pemerintah dihasilkan melalui proses akuntansi;

(2).Laporan keuangan pemerintah disajikan sesuai dengan standar akuntansi keuangan pemerintahan, yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, dan Laporan Arus Kas disertai dengan catatan atas laporan keuangan;

(3).Laporan keuangan disajikan sebagai wujud pertanggungjawaban setiap entitas pelaporan yang meliputi laporan keuangan pemerintah pusat, laporan keuangan kementerian negara/lembaga, dan laporan keuangan pemerintah daerah;

(4).Laporan keuangan pemerintah pusat/daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selambatlambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran yang bersangkutan berakhir;

(5).Laporan keuangan pemerintah diaudit oleh lembaga pemeriksa ekstern yang independen dan profesional sebelum disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat;

(6).Laporan keuangan pemerintah dapat menghasilkan statistik keuangan yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan Pemerintah(Government Finance Statistics/GFS) sehingga dapat memenuhi kebutuhan analisis kebijakan dan kondisi fiskal, pengelolaan dan analisis perbandingan antarnegara (cross country studies), kegiatan pemerintahan, dan penyajian statistik keuangan pemerintah.

Pada saat ini laporan keuangan pemerintah dirasakan masih kurang transparan dan akuntabel karena belum sepenuhnya disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang sejalan dengan standar akuntansi sektor publik yang diterima secara internasional. Standar akuntansi pemerintahan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 32 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjadi acuan bagi Pemerintah Pusat dan seluruh Pemerintah Daerah di dalam menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan.

Standar akuntansi pemerintahan ditetapkan dalam suatu peraturan pemerintah dan disusun oleh suatu Komite Standar Akuntansi Pemerintahan yang independen yang terdiri dari para profesional. Agar komite dimaksud terjamin independensinya, komite harus dibentuk dengan suatu keputusan Presiden dan harus bekerja berdasarkan suatu due process. Selain itu, usul standar yang disusun oleh komite perlu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan. Bahan pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan digunakan sebagai dasar untuk penyempurnaan. Hasil penyempurnaan tersebut diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan, dan selanjutnya usul standar yang telah disempurnakan tersebut diajukan oleh Menteri Keuangan untuk ditetapkan dalam peraturan pemerintah.

Agar informasi yang disampaikan dalam laporan keuangan pemerintah dapat memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, perlu diselenggarakan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang terdiri dari Sistem Akuntansi Pusat (SAP) yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga.

Selain itu, perlu pula diatur agar laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah dapat disampaikan tepat waktu kepada DPR/DPRD. Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintah terlebih dahulu harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum disampaikan kepada DPR/DPRD, BPK memegang peran yang sangat penting dalam upaya percepatan penyampaian laporan keuangan pemerintah tersebut kepada DPR/DPRD. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menetapkan bahwa audit atas Laporan Keuangan Pemerintah harus diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah Laporan Keuangan tersebut diterima oleh BPK dari Pemerintah. Selama ini, menurut Pasal 70 ICW, BPK diberikan batas waktu 4 (empat) bulan untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Untuk menghindari terjadinya kerugian keuangan negara/daerah akibat tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang, dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini diatur ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara/daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini ditegaskan bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus diganti oleh pihak yang bersalah. Dengan penyelesaian kerugian tersebut negara/daerah dapat dipulihkan dari kerugian yang telah terjadi.

Sehubungan dengan itu, setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah wajib segera melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian. Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sedangkan pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.

Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana apabila terbukti melakukan pelanggaran administratif dan/atau pidana.

Undang-Undang tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Agar BPK dapat mewujudkan fungsinya secara efektif, dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara ini diatur hal-hal pokok yang berkaitan dengan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, yang meliputi :

1. Pengertian pemeriksaan dan pemeriksa;

2. Lingkup pemeriksaan;

3. Standar pemeriksaan;

4. Kebebasan dan kemandirian dalam pelaksanaan pemeriksaan;

5. Akses pemeriksa terhadap informasi;

6. Kewenangan untuk mengevaluasi pengendalian intern;

7. Hasil pemeriksaan dan tindak lanjut;

8. Pengenaan ganti kerugian negara;

9. Sanksi pidana.

Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Sehubungan dengan itu, kepada BPK diberi kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yakni:

1. Pemeriksaan keuangan, yaitu pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.

2. Pemeriksaan kinerja, yaitu pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah.

Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien serta memenuhi sasarannya secara efektif.

3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.

Pelaksanaan pemeriksaan tersebut didasarkan pada suatu standar pemeriksaan, yang disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional. Sebelum standar tersebut ditetapkan, BPK perlu mengkonsultasikannya dengan pihak pemerintah serta dengan organisasi profesi di bidang pemeriksaan.

BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiri dalam undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.

Untuk mewujudkan perencanaan yang komprehensif, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, memperhatikan masukan dari pihak lembaga perwakilan, serta informasi dari berbagai pihak. Sementara itu kebebasan dalam penyelenggaraan kegiatan pemeriksaan antara lain meliputi kebebasan dalam penentuan waktu pelaksanaan dan metode pemeriksaan, termasuk metode pemeriksaan yang bersifat investigatif. Selain itu, kemandirian BPK dalam pemeriksaan keuangan negara mencakup ketersediaan sumber daya manusia, anggaran, dan sarana pendukung lainnya yang memadai.

BPK dapat memanfaatkan hasil pekerjaan yang dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.Dengan demikian, luas pemeriksaan yang akan dilakukan dapat disesuaikan dan difokuskan pada bidang-bidang yang secara potensial berdampak pada kewajaran laporan keuangan serta tingkat efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara. Untuk itu, aparat pengawasan intern pemerintah wajib menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada BPK.

BPK diberi kewenangan untuk mendapatkan data, dokumen, dan keterangan dari pihak yang diperiksa, kesempatan untuk memeriksa secara fisik setiap aset yang berada dalam pengurusan pejabat instansi yang diperiksa, termasuk melakukan penyegelan untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara pada saat pemeriksaan berlangsung.

Hasil setiap pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun dan disajikan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) segera setelah kegiatan pemeriksaan selesai. Pemeriksaan keuangan akan menghasilkan opini.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 16 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, makadinyatakan bahwa Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria (i) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, (ii) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), (iii) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (iv) efektivitas sistem pengendalian intern.

Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni (i) opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), (ii) opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), (iii) opini tidak wajar (adversed opinion), dan (iv) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).

Pemeriksaan kinerja akan menghasilkan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi, sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu akan menghasilkan kesimpulan. Setiap laporan hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya ditindaklanjuti, antara lain dengan membahasnya bersama pihak terkait.

Selain disampaikan kepada lembaga perwakilan, laporan hasil pemeriksaan juga disampaikan oleh BPK kepada pemerintah. Dalam hal laporan hasil pemeriksaan keuangan, hasil pemeriksaan BPK digunakan oleh pemerintah untuk melakukan koreksi dan penyesuaian yang diperlukan, sehingga laporan keuangan yang telah diperiksa (audited financial statements) memuat koreksi dimaksud sebelum disampaikan kepada DPR/DPRD. Pemerintah diberi kesempatan untuk menanggapi temuan dan kesimpulan yang dikemukakan dalam laporan hasil pemeriksaan. Tanggapan dimaksud disertakan dalam laporan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR/DPRD. Apabila pemeriksa menemukan unsur pidana, Undang-undang ini mewajibkan BPK melaporkannya kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangundangan.

BPK diharuskan menyusun ikhtisar hasil pemeriksaan yang dilakukan selama 1 (satu) semester. Ikhtisar dimaksud disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya, dan kepada Presiden serta gubernur/ bupati/walikota yang bersangkutan agar memperoleh informasi secara menyeluruh tentang hasil pemeriksaan.

Dalam rangka transparansi dan peningkatan partisipasi publik, Undang-undang ini menetapkan bahwa setiap laporan hasil pemeriksaan yang sudah disampaikan kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka untuk umum. Dengan demikian, masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk mengetahui hasil pemeriksaan, antara lain melalui publikasi dan situs web BPK.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 ini mengamanatkan pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK. Sehubungan dengan itu, BPK perlu memantau dan menginformasikan hasil pemantauan atas tindak lanjut tersebut kepada DPR/DPD/DPRD.

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 62 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 ini mengatur lebih lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara. BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi, setelah mengetahui ada kekurangan kas/barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara/daerah. Bendahara tersebut dapat mengajukan keberatan terhadap putusan BPK. Pengaturan tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah ini ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah.

Kesimpulan

Dengan adanya ketiga Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta telah disesuaikannya landasan hukum Badan Pemeriksa Keuangan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, maka sudah menjadi lebih jelas ketentuan-ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara, termasuk aspek pemeriksaannya maupun aspek tanggung jawabnya.

Dengan adanya aturan yang sudah lebih jelas tersebut, diharapkan tata kelola keuangan negara dapat lebih akuntabel, dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, demi terjaminnya pewujudan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Bekasi, 30 November 2011

H. Habsul Nurhadi, SE

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA