Pemanasan global menyebabkan penyebaran penyakit malaria yang semakin meluas disebabkan oleh nyamuk

Peningkatan suhu Bumi telah membuat wilayah tropis 'melebar'. Salah satu imbasnya, penyebaran beberapa penyakit khas wilayah tropis, seperti demam berdarah dan malaria, turut meluas.

Dewasa ini, perubahan iklim beserta segala dampaknya telah menjadi isu global yang menyita atensi banyak kalangan, di banyak negara. Di Indonesia, Budi Haryanto ialah salah satu sosok yang bergelut dengan isu tersebut sebagai Direktur Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia (UI).

Tidak semata perubahan iklim, ia pun menaruh perhatian perihal korelasinya pada kesehatan yang merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Setidaknya, ada tiga persoalan yang dipaparkan Budi terkait masalah perubahan iklim dan kesehatan masyarakat Tanah Air. Pertama, adalah perubahan iklim dan demam berdarah dengue (DBD) --penyakit yang umumnya marak di Indonesia saat musim penghujan-- kemudian perubahan iklim dan malaria, serta perubahan iklim dan virus korona. Berikut adalah petikan wawancara Media Indonesia dengannya, di Kampus UI Depok, Kamis (13/2).

Bagaimana perubahan iklim dapat berdampak terhadap kesehatan manusia?

Perubahan iklim dan kesehatan adalah topik menarik. Konsep perubahan iklim secara umum berhubungan dengan pemanasan global. Akan tetapi, perubahan iklim itu sendiri pada dasarnya terjadi secara regional, baik yang berkenaan dengan temperatur, curah hujan, kelembapan udara, arah, dan kecepatan angin, maupun beberapa komponen lain.

Pergerakan udara itu sebenarnya bergerak ke wilayah yang regang. Kemudian karena ada yang dingin sekali, panas sekali, atau setengah dingin, setengah panas, akhirnya simpang siur. Itulah yang kemudian memengaruhi suhu di Bumi hingga terus meningkat dan diperkirakan selama 100 tahun, 150 tahun ke depan.

Perubahan cuaca secara ekstrem itulah yang kemudian mengakibatkan kerusakan lingkungan. Lingkungan itu sendiri isinya bermacam-macam mulai air, darat, udara, dan laut, maka dari itu pula efek yang muncul kemudian juga mencakup berbagai bidang.

Termasuk kesehatan kita?

Salah satu contohnya ialah efek langsung di bidang agrikultur. Zaman dahulu, seorang petani mungkin bisa menanam setahun dua kali. Tetapi hal itu tidak mungkin terjadi saat ini karena cuaca makin sulit diprediksi.

Pola-pola seperti itulah yang kemudian turut berpengaruh pada 'intake' manusia atau lebih tepatnya yang berkenaan dengan nutrisi. Jadi misalnya dulu bisa panen dua kali setahun, sekarang penghasilannya berkurang. Tadinya panen juga bervariasi, ada sayur, ada buah, dan segala macam, sekarang tidak lagi. Cuaca yang berubah memengaruhi nutrisi, jadi sudah jelas dari konsep perubahan iklim itu yang terakhir terdampak efeknya adalah manusia.

Apakah perubahan suhu juga memengaruhi virus dan bakteri?

Jadi begini, efek pada nutrisi hanyalah salah satu dari sekian banyak masalah yang dapat ditemui. Kompleksitas juga dapat disaksikan dari perkembangan penyakit di kawasan tropis seperti demam berdarah atau malaria. Maka dari itu pula, dalam Assessment Report III (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC), pembahasan yang muncul kemudian tidak hanya mengarah pada mitigasi, tapi juga adaptasi.

Jika berbicara virus pada demam berdarah, malaria, dan lain sebagainya, mekanisme di dalamnya sangat berbeda-beda. Ia memiliki karakter, spesifikasi, hingga variasi yang sungguh luar biasa. Salah satu contoh, katanya, dalam kasus demam berdarah saja hingga sekarang sebarannya terus meluas.

Seberapa parah perkembangannya hingga saat ini?

Banyak yang meninggal karena tidak siap bahwa itu demam berdarah. Karena apa? Di suatu daerah misalnya, yang dulu terkenal dengan malaria, tapi sekarang juga ada demam berdarah. Jadi iklim itu sangat memengaruhi. Daerah yang dulu identik dengan curah hujan sekarang panas. Kalau dulu basah, sekarang muncul genangan-genangan air, entah di daun atau di mana, sehingga dekat dengan nyamuk Aedes aegypti yang kemudian bertelur di kawasan itu.

Perubahan iklim tidak serta-merta membawa keuntungan bagi virus demam berdarah. Keuntungan justru didapat oleh induk semangnya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk yang kian hari bertambah, kemudian memberi kesempatan bagi virus untuk semakin tersebar luas.

Bisa dijelaskan soal keuntungan bagi nyamuk Aedes aegypti itu?

Dewasa ini nyamuk Aedes aegypti telah semakin berubah. Zaman dulu ukurannya lebih besar, belakangan ini justru semakin mengecil. Namun, yang menjadi catatan ialah siklus hidup si nyamuk tersebut rupanya juga ikut berubah seturut dengan pola makannya.

Dulu, nyamuk mungkin butuh waktu 9 hingga 12 hari untuk tumbuh dewasa sejak dari telur. Sekarang mereka hanya butuh 7 sampai 9 hari untuk menjadi dewasa, dan oleh karena itulah ukurannya menjadi lebih kecil.

Nyamuk Aedes aegypti kini juga makan sebanyak dua hingga tiga hari sekali. Kebiasaan ini sangat berbeda dengan pola sebelumnya, yang membutuhkan waktu lima hari untuk makan hingga kemudian bertelur.

Lalu, ini juga ada kaitanya dengan jarak terbang. Dulu mereka terbang lurus sampai 70 meter, tapi sekarang bisa jadi dua kali lipat atau 140 meter karena tubuhnya kecil. Selain itu, banyangkan, dengan usia satu setengah bulan, kalau tadinya lima hari sekali dia makan atau menularkan ke sembilan orang, sekarang dia bisa makan dua sampai tiga hari sekali dan menularkan ke 15 orang. Ini bergerak cepat sekali karena adanya masalah suhu udara.

Penanganannya lalu seperti apa?

Penanganan sudah dilakukan, tapi perkembangannya juga sangat pesat. Coba kalau cek di rumah sakit, pasti sekarang ini ada yang terserang demam berdarah. Pindah rumah sakit, ada lagi yang sedang dirawat. Kita juga sudah mapping di beberapa tempat, harapannya ini bisa menjadi semacam panduan ketika melakukan pembasmian nyamuk, ketimbang harus melakukan pembasmian di berbagai tempat tetapi tidak tepat sasaran. Sudah ada kok titik-titiknya, tinggal didatangi.

Tetapi belakangan ini masalah demam berdarah juga cukup ironis karena sudah dianggap menjadi 'neglected diseases' atau kasus yang dianggap lumrah karena kerap terjadi, layaknya batuk dan flu. Nah, pola pandang seperti ini sebenarnya keliru karena seharusnya orang kan tidak boleh sakit.

Bagaimana dengan malaria?

Malaria juga cukup kompleks, perubahan iklim telah membawanya ke dataran yang lebih tinggi karena suhu di kawasan demikian sekarang sudah menjadi semakin hangat. Fenomena mencairnya es di kutub, itu juga menjadi pertanda bahwa perubahan iklim terjadi sangat cepat. Padahal malaria kan merupakan penyakit di daerah tropis, maka dari itu kemudian menjadi cukup mengherankan ketika dapat ditemukan di salah satu daerah di Australia Utara.

Berangkat dari fenomena-fenomena seperti ini, para ahli perubahan iklim kemudian juga membicarakan bahwa perubahan iklim rupanya juga bekaitan dengan semakin lebarnya wilayah tropis.

Wilayah tropis, sebenarnya berada di 23,5 derajat Lintang Utara dan 23,5 derajat Lintang Selatan. Pembagian garis imajiner itu ditentukan berdasarkan suhu: yang satunya lebih dingin, sedangkan satunya lebih hangat. Sekarang, karena ada pemanasan global, ini bergeser, yang tropis menjadi semakin lebar.

Berarti penyebaran malaria, seperti demam berdarah juga kian melebar?

Melebarnya wilayah tropis ini sekarang menjadi momentum para ahli perubahan iklim untuk membicarakan masalah kesehatan. Padahal, sebelumnya tidak. Sekarang mereka seolah-olah terbangun semua karena masalah ini.

Hal serupa juga terlihat saat malaria juga ditemukan di daerah Amerika Serikat, bagian selatan. Sejak 2009 pembahasan terkait masalah perubahan iklim dan kesehatan menjadi semakin intens dibarengi dengan ketakutan atas potensi penyebaran penyakit yang semakin luas.

Masyarakat dunia kini sedang dihebohkan virus korona. Bagaimana risiko penyebarannya di Indonesia?

Sejauh ini rasanya belum ada potensi yang benar-benar confirmed terhadap virus korona hingga ke Indonesia sehubungan dengan perubahan iklim. Secara teoritis, virus korona memang tidak dapat bertahan pada suhu lebih dari 23 derajat celsius. Akan tetapi, apa bedanya Indonesia yang suhunya hampir sama dengan Singapura, Kamboja, Vietnam, atau Malaysia yang sudah terjangkit virus korona?

Maka dari itu, untuk mengurai persoalan tersebut, mula-mula port the entry (cara virus masuk ke dalam tubuh) harus dilihat terlebih dahulu. Sejauh ini, juga belum ada penelitian yang menjelaskan bahwa virus korona dapat menular melalui udara (air bone). Penularan justru terjadi melalui lendir yang masuk ke pori-pori. Maka dari itu wilayah yang perlu diwaspadai, salah satunya tempat pelelangan ikan.

Maksudnya ikan bisa membawa virus korona?

Jadi, misalnya di sana ada yang terinfeksi lalu bersin. Ingusnya kemudian menempel di ikan atau tempat di sana, setelah itu lalu ada orang yang memegangnya lalu mengusap muka, itu bisa kena karena ini menular lewat lendir yang masuk ke tubuh lewat permukaan kulit. lendir-lendirlah yang menularkan (virus) dari orang satu ke orang lainnya.

Ada cara mudah untuk menghalau penyebaran virus ini?

Selama ini pihak pemerintah Singapura, Hong Kong, Malaysia, dan lain sebagainya lebih banyak menganjurkan warganya agar tidak memegang muka dengan tangan kosong. Karena seperti yang saya bilang tadi, potensi penularan sangat besar terhadap virus korona melalui kulit yang bersentuhan langsung dengan lendir. Tetapi, ada juga cara yang cukup mudah untuk menghindari virus tersebut, yaitu dengan mencuci tangan. Itu cukup penting. (M-2)

Biodata

Prof. Dr. R. Budi Haryanto, SKM., M.Kes, M.Sc. Posisi: Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Direktur Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia Edukasi: 2008 — Dr, Epidemiologi, UI 1999 — MSc, Epidemiology, University of California Los Angeles, USA 1993 — M. Kes, UI

1987 — SKM, UI

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA