Jalan atau cara menyatukan diri dengan Ida sanghyang Widhi Wasa melalui kerja disebut

Oleh

 I Made Pageh

1. Pendahuluan

Catur Marga merupakan salah satu ajaran Hindu yang berarti empat jalan mencapai moksa (menuju Tuhan) yang terdiri dari Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Raja Marga. Di dalam agama Hindu dikenal adanya berbagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jalan atau cara itu bebas dipilih oleh umat-Nya sesuai dengan sifat dan pembawaannya. Dalam kitab Bhagavad Gita Bab IV Sloka (11) disebutkan :

tams tathai ‘va bhajamy aham

mama vartma ‘nuvartante

manushyah partha sarvasah

Artinya : Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku,

semuanya Ku-terima,  dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku,

oh Parta.

 Di dalam agama Hindu tidak ada suatu keharusan untuk menempuh satu jalan, karena semua jalan untuk menuju Tuhan Yang Maha Esa diturunkan oleh-Nya untuk memudahkan umat-Nya menuju kepada-Nya.

Empat jalan untuk menghubungkan diri, yang dimaksud adalah menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Usaha untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa akan berhasil bila didukung dengan metode, media maupun lokasi spiritual yang kondusif. Untuk itu, di samping personalitas pribadi orang yang menghubungkan diri kepada-Nya. Di zaman kaliyuga ini, masalah personalitas pribadi masih menjadi masalah dalam hal mendekatkan diri kehadap-Nya. Seperti yang kita ketahui bahwa moralitas manusia cenderung menurun karena kemajuan zaman dan faktor penyebab lainnya. Hal tersebut, sebenarnya bisa diatasi jika ada kesadaran dari manusia untuk selalu berbuat dengan memperhatikan ajaran agama. Salah satunya adalah dengan melaksanakan ajaran catur marga untuk menghubungkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Berkaitan dengan hal itu, umat Hindu khususnya di Bali telah bermunculan pelatihan-pelatihan yoga atau pun meditasi dengan berbagai cara. Meskipun dengan banyak cara, namun pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai ketenangan dan penguasaan diri secara mendalam baik dari segi emosi, tingkah laku, maupun perkataan yang asal mulanya dimulai dari pikiran kita. Kemudian dalam konsep Hindu sendiri juga terdapat berbagai jenis yoga atau meditasi dan pengendalian diri yang kiranya harus dilakukan oleh umat Hindu, seperti pelaksanaan catur brata saat Hari Raya Nyepi, pelaksanaan jagra upawasa saat Hari Raya Siwaratri, termasuk juga pengendalian diri lainnya yang sudah terkandung dalam ajaran Catur Marga.

Mengingat pentingnya ajaran Catur Marga ini dan penerapannya pun juga tergolong sulit. Maka, pada makalah ini kami akan memaparkan dan mengupas lebih mendalam mengenai konsep Catur Marga itu sendiri, dengan harapan mampu memberi pengetahuan, gambaran dan motivasi untuk umat Hindu agar melaksanakan setiap hal yang berkaitan dengan Catur Marga dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga apa yang menjadi keinginan kita bersama, yakni ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup akan bisa tercapai dengan maksimal. Perlu dikaji secara ringkas: pengertiannya, pembagiannya, implementasinya dalam kehidupan nyata umat hindu di Bali.

2. Pengertian Catur Marga Yoga

Catur Marga Yoga sendiri berasal dari kata catur yang berarti empat. Marga berarti jalan dan yoga berarti penyatuan dengan Brahman. Jadi catur marga adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Catur marga juga sering disebut dengan catur marga yoga. Sumber ajaran catur marga ada dalam Pancama Weda Bhagawadgita, terutama pada trayodhyaya tentang karma yoga marga.

Agama Hindu merupakan ajaran yang bersifat universal, dan tidak pernah mempermasalahkan agama lain, karena dalam Agama Hindu meyakini bahwa jalan apapun yang ditempuh seseorang yang penting berdasarkan dharma maka akan tetap mencapai tujuannya, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dalam Hindu sendiri terdapat banyak jalan untuk mencapai-Nya. Salah satu cara untuk mencapai-Nya yakni dengan Catur Marga Yoga.

Ajaran Catur Marga Yoga dengan mengembangkan perilaku yang jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan,  gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

3. Bagian-Bagian Catur Marga Yoga

(a)     Bakti Marga Yoga:

Bhakti Marga Yoga adalah proses atau cara mempersatukan Atman dengan Brahman dengan berlandaskan atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi dan segala ciptaan-Nya. Kata bhakti berarti hormat, taat, sujud, menyembah, mempersembahkan, cintah kasih, penyerahan diri seutuhnya pada Sang pencipta. Seorang Bhakta (orang yang menjalani bhakti marga) dengan sujud dan cinta, menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai yadnya kepada Sang Hyang Widhi. Cinta kasih yang mendalam adalah suatu cinta kasih yang bersifat penyerahan secara total dan mendalam yang disebut Maitri. Semangat Tat Twam Asi sangat subur dalam hati sanubarinya. Cinta bhaktinya kepada Hyang Widhi yang sangat mendalam itu juga dipancarkan kepada semua makhluk ciptaan-Nya baik manusia binatang juga tumbuh-tumbuhan. Dalam doanya selalu menggunakan pernyataan cinta dan kasih sayang dan memohon kepada Hyang Widhi agar semua makhluk tanpa kecuali selalu berbahagia dan selalu mendapat anugrah termulia dari Hyang Widhi. Jadi dapat dikatakan seorang bhakta akan selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk citaan-Nya, dan selalu berusaha memupuk dan mengembangkan sifat-sifat maitri, karuna, mudita dan upeksa (disebut catur paramita).

Di dalam kitab suci Veda kita jumpai beberapa mantra tentang Bhakti salah satunya adalah:“Arcata prarcata priyam edhaso Arcata, arcantu putraka uta puram na dhrsnvarcata” Rgveda VIII.69.8). Terjemahannya: “Pujalah, pujalah Dia dengan sepenuh hati, Oh cendekiawan,  Pujalah Dia. Semoga semua anak- anak ikut memuja- Nya, teguhkanlah hati seperti kukuhnya candi dari batu karang untuk memuja keagungan- Nya”.

Terhadap landasan filosofis ajaran bhakti di atas, dapat dipahami nahwa: “… bhakti adalah perwujudan cinta yang tulus kepada Tuhan, mengapa harus berbhakti kepada Tuhan, karena  Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala isinya berdasarkan Yajnya.” Oleh karenanya kita wajib beryadnya dalam memanfaatkan segala hasil ciptaannya di bumi dan di palnet yang ada di alam semesta ini.

Sikap yang paling sederhana dalam kehidupan beragama adalah cinta kasih dan pengabdian yang tulus. Tuhan dipandang sebagai yang paling disayangi, sebagai ibu, bapak, teman, saudara, sebagai orangtua, sebagai tamu, dan sebagai seorang anak. Pada umumnya kita mengenal dua bentuk bhakti yaitu bentuk Aparabhakti dan Parabhakti.

§  Apara  bhakti artinya tidak utama; jadi apara bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang tidak utama. Aparabhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang atau sedang-sedang saja. Aparabhakti, yaitu pemujaan atau persembahan dan kebaktian dengan berbagai permohonan dan permohonan itu adalah wajar mengingat keterbatasan pengetahuan kita tentang hakikat bhakti.

§  Para bhakti  artinya utama; artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang utama. Para bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi. Parabhakti adalah bhakti berupa penyerahan diri yang setulusnya. Penyerahan diri kepada- Nya bukanlah dalam pengertian pasif tidak mau melakukan berbagai aktivitas, tetapi aktif dan dengan keyakinan bahwa bila bekerja dengan baik dan tulus maka akan memperoleh pahala yang baik pula.  Kita tidak boleh mendoakan seseorang celaka, nista dan sejenisnya.

Dengan demikian dapat dipahami:  bahwa Tuhan yang Maha Esa adalah ibu dan bapa kita (Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi), seperti kita meminta sesuatu pada kedua orangtua kita, tidak semua permintaan dapat terpenuhi. Demikianlah bila kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sesungguhnya kita sering mendapat karunia- Nya berupa kesejahteraan, kegembiraan atau kebahagiaan, tetapi bila kita lalai dan tidak bersyukur, maka sekali waktu cobaan dan penderitaan yang akan kita terima. Walaupun itu cobaan dan penderitaan, itupun sesungguhnya sebuah karunia, kita harus mensyukuri agar kita segera mawas diri, memperbaiki kesalahan atau kelelaian kita. Menyerahkan dan menerima apa yang kita miliki dengan rasa syukur, tanpa miri pada milik dan pencapaian orang lain, adalah wujud bhakti padanya, dan wujud ketidak serakahan seorang anak pada hadiah yang didapat saudara karena sebuah “prestasi”.

Dalam meningkatkan kualitas bhakti kita kepada sang Hyang Widi ada beberapa jenis bentuk bhakti yang disebut Bhavabhakti, sebagai berikut:

Ø  Santabhava, yaitu sikap bhakti seperti bhakti atau hormat seorang anak terhadap ibu dan bapaknya.

Ø  Sakhyabava, yaitu bentuk bhakti yang meyakini Hyang Widi, manifestasiNya, Istadevata atau Avatara- Nya sebagai sahabat yang sangat akrab dan selalu memberikan perlindungan dari pertolongan pada saat yang diperlukan.

Ø  Dasyabhava, yaitu bhakti atau pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti sikap seorang hamba kepada majikannya.

Ø  Vatsalyabhava, yaitu sikap bhakti seorang penyembah memandang Tuhan Yang Maha Esa seperti anaknya sendiri.

Ø  Kantabhava, yaitu sikap bhakti seorang istri terhadap suami tercinta.

Ø  Maduryabhava, yaitu bentuk bhakti sebagai cinta yang amat mendalam dan tulus dari seorang bhakta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara lahiriah bentuk- bentuk di Indonesia sama halnya dengan di India, umat mewujudkannya melalui pembangunan berbagai Pura ( mandir), mempersembahkan berbagai sesaji (naivedya), mempersembahkan kidung (bhajan), gamelan, tari- tarian, dan sebagainya.

Ciri-ciri seorang Bhakti Marga yaitu (a) keinginan untuk berkorban, (b) keinginan untuk bertemu Tuhan. Dalam pustaka suci kita disebutkan bahwa “Tuhan senang bila engkau menolong dan melayani sesama manusia (dharmabakti). Kitab suci telah menetapkan 9 jalan bhakti, yaitu :

v  Mendengarkan kisah-kisah Tuhan (shravanam)

v  Menyanyikan kemuliaan Tuhan (kirtanam)

v  Mengingat Nama-Nama Tuhan ( Vishnusmaranam)

v  Melayani kaki Tuhan yang suci (padasevanam)

v  Pemujaan (archanam)

v  Sembah sujud (vandanam)

v  Pengabdian (dasyam)

v  Persahabatan (sneham)

v  Pasrah / penyerahan diri kepada Tuhan sepenuhnya (atmanivedanam)

(b)   Jnana Maga Yoga:

Jnana Marga Yoga artinya kebijaksanaan filsafat (dharsana, pengetahuan). Yoga berasal dari urat kata Yuj artinya menghubungkan diri. Jadi jnana yoga artinya mempersatukan jiwatman dengan paramatman jalan mempelajari dan mengamalkan ilmu pengetahuan baik science maupun spiritual, seperti hakikat kebenaran tentang Brahman, Atman. Dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan sejati, orang mampu membebaskan diri dari ikatan-ikatan keduniawian. Ada tiga hal yang penting dalam hal ini yaitu: (1) kebulatan pikiran, (2) pembatasan pada kehidupan sendiri, dan (3) keadaan jiwa yang tenang, pandangan yang kokoh tentram damai. Ketiga hal tersebut di atas merupakan dhyana yoga. Untuk tercapainya perlu dibantu dengan abhyasa yaitu latihan-latihan dan vairagya yaitu keadaan tidak mengaktifkan diri. Adapun pikiran dalam berbagai aktivitas harus dipusatkan kepadanya.

Belajar Jñanayoga pertama-tama harus melengkapi dirinya dengan tiga cara yaitu: (a) Pembedaan (viveka), (b) Ketidak-terikatan (vairagya), dan (c) Kebajikan. Ada enam macam (satsampat), yaitu:

1.      Ketenangan  (sama)

2.      Pengekangan  (dama)

3.      Penolakan (uparati), ketabahan (titiksa)

4.      Keyakina n (sraddha)

5.      Konsentrasi  (samadhana)

6.      Kerinduan  yang sangat akan pembebasan (mumuksutva)

Ada tujuh tahapan dari Jñana atau pengetahuan, yaitu;

1.      Aspirasi  pada kebenaran (subhecha)

2.      Pencarian  filosofis (vicarana)

3.      Penghalusan pikiran (tanumanasi)

4.      Pencapaian sinar (sattwatti)

5.      Pemisahan  batin (asamsakti)

6.      Penglihatan  spiritual(padarthabhawana)

7.      kebebasan tertinggi (turiya)

(C ) Karma Marga Yoga

Karma Marga adalah cara/ajaran untuk mencapai moksa dengan jalan ditekankan pada pengabdian yang berwujud kerja tanpa pamrih untuk kepentingan diri sendiri. Hidup manusia di dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja, seperti disebutkan dalam Bhagavadgita III.5 ada disebutkan:

Na hi kascit ksanam api

Jatu tisthati akarma-krt,

Karyate hy avasah karma,

Sarvah prakrti-jair gunaih

Terjemahan: “Walaupun untuk sesaat juga

tidak seorang pun untuk tidak berbuat

karena setiap manusia dibuat tidak berdaya.

Bhagavadgita III.8 menegaskan lagi sebagai berikut:

Niyatam kuru karma tvam; Karma jyayo hyakarmanah; Sarira-yatrapi ca te na; Prasidhyed akarmanah. Terjemahannya: “bekerjalah seperti yang telah ditentukan sebab berbuat lebih baik daripada tidak berbuat dan bahkan tubuh pun tidak terpelihara tanpa berkarya”.

Kenyataannya memanglah benar demikian, tidak ada orang yang bisa menghindari diri untuk tidak bekerja walaupun di waktu tidur, karena jantung selalu berdetak, darah selalu mengalir dan nafas selalu bekerja walaupun kita tidak menyadari. Sebab berpikir saja sudah melahirkan karma lebih-lebih kalau buah pikirannya itu dituangkan dalam bentuk upacara atau perbuatan maka sempurnalah karma yang dibuatnya. Berbicara tentang karma adalah berbicara tentang tindakan, kerja. Dan berbicara tentang Karma Yoga adalah berbicara tentang cara tindakan kerja. Janganlah orang terpaku kepada pemeo yang mengatakan karma selalu dikaitkan dengan hukum karma atau karmaphala, yaitu sebagai suratan nasib. Terutama keada orang-orang yang tidak beruntung dalam melaksanakan kerja, lalu dikatakan: “Nah, itulah karmaphala-mu, suratan nasib-mu!”. Ini tentu tidak betul. Jangan sekali-kali pemeo ini dijadikan pola pikir yang mengidentikkan nasib jelek, frustasi, putus asa, kurang mampu sama dengan karmaphala, hukuman terhadap tindakan kerja dimasa-masa lampau. Karmaphala sesungguhnya adalah positif dan objektif. Sebab dia didasarkan atas Karma Yoga, dan Karma Yoga adalah etos kerja. Ingatlah petunjuk yang diberikan Bhagawadgita: “Bekerjalah seperti yang telah ditentukkan, sebab bekerja lebih baik dari tak kerja, kalau engkau tidak bekerja, hidup sehari-hari pun tidak mungkin”. (III.8)

Para Maharishi kita mengevolusi hidup dan kegiatan kerja ini seperti bagan dibawah ini: Sesungguhnya hidup ini adalah terdiri atas saat-saat kegiatan dan atas-atas stagnasi. Lewat stagnasi, tiada kemajuan yang dapat dicapai dan sebalik kemerosotan selalu mungkin. Saat-saat kegiatanlah menciptakan hidup manusia. Saat-saat tergantung pada kerja yang mana, kerja jenis apa yang seseorang akan lakukan. Menurut para Maharishi dimasa-masa lampau, kerja itu ada dua macam. Pertama kerja yang konstruktif, kedua kerja yang destruktif. Kerja konstruktif membantu seseorang dalam evolusi hidupnya disebut karma. Kerja destrultif adalah semua jenis kerja yang di haramkan oleh kitab suci dan kitab-kitab sastra yang menyajikan tafsirnya, sebab kerja destruktif akan selalu memdorong seseorang untuk menghindari tanggung jawabnya. Ini disebut Vikarma. Karma, yaitu kerja positif, terdiri dari tiga jenis : Nitya, kerja sehari-hari sebagai tanggung jawab setiap individu, Naimittika, kerja spesialisasi dalam kesempatan yang khusus dan Kamya. kerja tepat sasaran, dengan perencanaan dan tujuan yang pasti untuk mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan doktrin kitab suci Veda, Krisnha menjelaskan kepada Arjuna jati diri dan percaya diri, bahwasanya hidup adalah kerja berkesinambungan. Dan kerja ini dibagi dalam dua jenis karma dan Vikarma, seperti dijelaskan di atas. Dengan tegas Krisnha memberi petunjuk kepada Arjuna, karma adalah kerja positif, konstruktif secara gambelang. Dan analisis yang dipaparkan adalah berwatak ilmiah fondmental dan universa. Dan Krisnha juga menolak hidup tunakerja: Akarma (Inactivity, Actionlessness).

Dalam kaitan pemindahan penduduk lewat transmigrasi penduduk Bali yang mayoritas adalah umat Hindu, dan program mengentaskan kemiskinan di tempat asal dengan maksud agar di tempat baru mereka tidak miskin lagi, seyogyanya pola piker rekayasa yang dianut adalah konsep etos kerja yang di isyaratkan Krisnha kepada Arjuna. Etos kerja ini berlandaskan aspek-aspek karma, yaitu kerja positif dan konsrtuktif yang dipacu oleh minat, motivasi, harapan dan kepastian bagi mereka yang ditransmigrasikan, yang dientaskan kemiskinannya, bukan untuk mereka-mereka pejabat dan penguasa. Semua ini dilaksanakan lewat Karma Yoga, jalan kerja, cara kerja. Istilah yoga, terkait dengan istilah Karma Yoga, hendaknya dipahami secara betul. Yoga disini bermakna suatu synthesis antara lain spiritual dan pengetahuan benda-benda materi (spirit and matter). Keseimbangan antara spiritualitas dan materialitas merupakan hasil cemerlang yoga, yang dalam hal ini adalah dimaksudkan Karma Yoga. Keseimbangan ini sering dikaitkan dengan doktrin Trihita Karana. Hidup serasi, selaras, seimbang, diantara semua makhluk hidup, alam semesta dan Hyang Widhi seru sekalian alam. Untuk mencapainya, dengan cara Karma Yoga.

(d)   Raja Marga Yoga

Raja yoga adalah suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau moksa. Melalui raja marga yoga seseorang akan lebih cepat mencapai moksa, tetapi tantangan yang dihadapinya pun lebih berat, orang yang mencapai moksa dengan jalan ini diwajibkan mempunyai seorang guru kerohanian yang sempurna untuk dapat menuntun dirinya ke arah tersebut. Adapun tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para raja yogin yaitu melakukan tapa, brata, yoga, Samadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita kea rah yang positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Sedangkan yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.

Seorang raja yoga akan dapat menghubungkan dirinya dengan kekuatan rohani melalui astangga yoga yaitu delapan tahapan yoga untuk mencapai moksa. Astangga yoga diajarkan oleh Maharsi Patanjalai dalam bukunya yang disebut yoga sutra patanjali.

Bila seseorang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh ia akan dapat menerima getaran-getaran suci dan wahyu Tuhan. Keempat jalan untuk pencapaian moksa itu sesungguhnya memiliki kekuatan yang sama bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Setiap orang akan memilih kecenderungan memilih jalan-jalan tersebut, maka itu setiap orang memiliki jalan mencapai moksa bervariasi. Moksa sebagai tujuan hidup spiritual bukanlah merupakan suatu janji yang hampa melainkan merupakan suatu keyakinan yang berakhir dengan kenyataan. Kenyataan dalam dunia batin merupakan alam super transcendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan instuisi yang dalam. Moksa merupakan suatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya, karena demikianlah yang dijelaskan oleh kitab suci. Oleh sebab itu marilah kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran astangga yoga dengan tuntunan seorang guru yang telah memiliki kemampuan didalam hal tersebut. Keempat jalan (marga) itu dapat dilakukan diberbagai tempat dan waktu sesuai kemampuan seseorang dan keempatnya tidak dapat dipisahkan karena dalam prakteknya saling berkaitan. Misalnya sembahyang, keempat cara (marga) itu dapat diamalkan sekaligus yaitu: “rasa  hormat atau berserah merupakan wujud bhakti marga; menyiapkan sarana kebhaktian merupakan wujud karma marga;  pemahaman tentang sembahyang merupakan wujud jnana marga; duduk tegak-tenang-konsentrasi merupakan wujud raja marga”.

Jika direnungkan dan diperhatikan maka sesungguhnya pengamalan agama Hindu sangat mudah, praktis dan lues. Keluesan itu disebabkan karena agama Hindu dapat dilaksanakan : “Dengan mempraktekan Catur Marga; oleh seluruh umat tanpa terkecuali, di segala tempat, waktu dan keadaan. Tidak harus dengan materi, sesuai dengan kemampuan umat, sesuai dengan adat istiadat karena Hindu menjiwai adat istiadat (desa, kala, patra).

4. Implementasi Catur Marga Yoga dalam Kehidupan di Bali

Penerapan catur marga oleh umat Hindu sesungguhnya telah diterapkan secara rutin dalam kehidupannya sehari-hari, termasuk juga oleh umat Hindu yang tinggal di Bali maupun yang tinggal di luar Bali. Banyak “jalan menuju Roma” atau menuju-Nya” yang bisa dinerapkannya. Sesuai dengan ajaran catur marga bahwa penerapannya disesuaikan dengan kondisi atau keadaan setempat yang berdasarkan atas tradisi, sima, adat-istiadat, dresta, ataupun yang lebih dikenal di Bali adagium “desa kala patra atau desa mawa cara,negara mawa tata”.

Inti dan penerapan dan Catur Marga adalah untuk memantapkan mengenai hidup dan kehidupan umat manusia di alam semesta ini, terutama untuk peningkatan, pencerahan, serta memantapkan keyakinan atau kepercayaan (sraddha) dan pengabdian (bhakti) terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memahami dan menerapkan ajaran catur marga, maka diharapkan segenap umat Hindu dapat menjadi umat Hindu yang berkualitas, bertanggung jawab, memiliki loyalitas, memiliki dedikasi, memiliki jati diri yang mulia, menjadi umat yang pantas diteladani oleh umat manusia yang lainnya, menjadi umat yang memiliki integritas tinggi terhadap kehidupan secara lahir dan batin, dan harapan mulia lainnya guna tercapai kehidupan yang damai, rukun, tenteram, sejahtera, bahagia, dan sebagainya. Jadi dengan penerapan dan ajaran catur marga diharapkan agar kehidupan umat Hindu dan umat manusia pada umumnya menjadi mantap dalam berke-sraddha-an dan berke-bhakti-an kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, serta dapat diharmoniskan dengan kehidupan nyata dengan sesama manusia, semua ciptaan Tuhan, dan lingkungan yang damai dan serasi di sekitar kehidupan masing-masing.

Tidak ada orang yang menjalankan catur marga itu sendiri-sendiri atau terpisah-pisah, karena satu sama lainnya berkaitan. Perincian menjadi empat itu hanyalah untuk mengukur dan memilih ‘bobot’ jalan yang mana yang bisa diutamakan, sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Dengan demikian keempat marga itu dilaksanakan bersamaan, namun pemilihan mana yang utama tergantung dari kemampuan individu. Inilah salah satu contoh ‘kebesaran Agama Hindu’ yang membedakannya dengan agama-agama lainnya.

 1)   Bhakti Marga Yoga

         Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas dengan melaksanakan Tri Sandhya yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang, dan sore hari serta melaksanakan yadnya sesa/ ngejot setelah memasak. Dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya dalam mewujudkan rasa bhakti sekaligus mendekatkan diri kehadapan-Nya hendaknya melaksanakan puja tri sandya tersebut dengan tulus dan ikhlas. Implementasi bhakti marga juga dapat dilihat pada hari-hari keagamaan hindu, seperti hari saraswati, tumpek wariga dan tumpek uye dan hari raya lainnya.

2)      Jnana Marga Yoga

a)  Ajaran brahmacari, brahmacari adalah mengenai masa menuntut ilmu dengan tulus ikhlas. Tugas pokok kita pada masa ini adalah belajar dan belajar. Belajar dalam arti luas, yakni belajar dalam pengertian bukan hanya membaca buku. Tetapi lebih mengacu pada ketulus iklasan dalam segala hal. Maha Rsi Wararuci dalam Kitab Sarassamuccaya, sloka 27 mengajari kita memanfaatkan masa muda ini dengan sebaik- baiknya, yang beliau umpamakan seperti rumput ilalang yang masih muda. Bahwa masa muda itu pikiran masih sangat tajam, hendaknya digunakan untuk menuntut dharma, dan ilmu pengetahuan. Dengan tajamnya pikiran seorang anak juga bisa meyadnyakan tenaga dan pikirannya itu.

b)      Ajaran aguron-guron, ajaran aguron-guron merupakan suatu ajaran mengenai proses hubungan guru dan murid . Namun istilah dan proses ini telah lama dilupakan karena sangat susah mendapatkan guru yang mempunyai kualifikasi tertentu dan juga sangat sedikit orang menaruh perhatian dan minat terhadap hal ini. Seorang guru harus mampu menuntun kita, menentukan arah tujuan kita, menunjukkan cara dan metodenya, menghibur dan menyemangatinya.

c)      Ajaran catur guru

Berhasilnya seseorang menempuh jenjang pendidikan tertentu (pendidikan tinggi yang berkualitas) tidak akan mungkin bila kita tidak memiliki rasa bhakti kepada Catur Guru. Mereka yang melaksanakan ajaran Guru Bhakti sejak dini (anak-anak), mereka pada umumnya memiliki disiplin diri dan percaya diri yang baik. Dengan sikap ini, tidak saja akan sukses dalam bidang akademik, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan. Di sinilah kita melihat ajaran Catur Guru senantiasa relevan sepanjang masa, sesuai dengan sifat agama Hindu yang Sanatana Dharma. Aktualisasi ajaran Guru Bhakti atau rasa bhakti kepada Catur Guru dapat dikembangkan dalam situasi apapun, sebab hakikat dari ajaran ini adalah untuk  pendidikan diri, utamanya adalah pendidikan disiplin, patuh dan taat kepada sang Catur Guru dalam arti yang seluas-luasnya.

3)      Karma Marga

a)   Ngayah dan Matatulungan

Ngayah merupakan suatu istilah yang ada di Bali yang identik dengan gotong royong. Ngayah ini bisa dilakukan di pura-pura dalam hal upacara keagamaan, seperti odalan-odalan/karya. Sedangkan matulungan ini bisa dilakukan terhadap antar manusia yang mengadakan upacara keagamaan pula, seperti upacara pawiwahan, mecaru dan lain sebagainya. Sesuai dengan ajaran karma yoga, maka hendaknya ngayah atau matulungan ini dilakukan secara ikhlas tanpa ada ikatan apapun. Sehingga apayang kita lakukan bisa memberikan suari manfaat.

b)      Mekarama dengan Baik  

Berbuat yang baik atau mekarma sane melah hendaknya selalu kita lakukan. Dalam dalam agama hindu ada slogan mengatakan “Rame ing gawe sepi ing pamrih”, slogan itu begitu melekat pada diri kita sebagai orang Hindu. Banyaklah berbuat baik tanpa pernah berpikir dan berharap suatu balasan. Niscaya dengan begitu kita akan selalu mendapat karunianya tanpa pernah terpikirkan dan kita sadari. Untuk melaksanakan slogan itu dalam kehidupan sehari-hari tidaklah mudah untuk memulainya. Sebagai makhluk ciptaan Brahman, sepantasnya kita menyadari bahwa sebagian dari hidup kita adalah untuk beryadnya. Berkarma baik itu adalah suatu  pelayanan. Kita akan ikut berbahagia bila bisa menyenangkan orang lain. Hal ini tentu dibatasi oleh perbuatan Dharma. Slogan “Tat Twam Asi” adalah salah satu dasar untuk  ber-karma baik. “Engkau adalah Aku  adalah Engkau”. Suatu slogan yang sangat sederhana untuk diucapkan, tapi memiliki arti yang sangat mendalam, baik dalam arti pada kehidupan sosial umat dan juga sebagai diri sendiri/individu yang memiliki pertanggungjawaban karma langsung kepada Brahman.

c)      Ajaran Karma phala

Karma phala merupakan hasil dari suatu perbuatan yang dilakukan. Kita percaya bahwa perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang baik dan perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa hasil yang buruk. Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala tingkah laku kita agar selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna mencapai cita- cita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang buruk. Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga atau masuk neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat adalah surga. Sebaliknya bila hidupnya selalu berkarma buruk maka hukuman nerakalah yang terjadi. Dalam pustaka- pustaka dan ceritera-ceritera keagamaan dijelaskan bahwa Surga artinya alam atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang indah dan serba mengenakkan. Neraka adalah alam hukuman, tempat roh atau atman mendapat siksaan sebagai hasil dan perbuatan buruk selama masa hidupnya.  Selesai menikmatiSurga atau neraka, roh atau atma akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali sebagai karya penebusan dalam usaha menuju Moksa.

     4)      Raja Marga

Setiap pengikut Raja Marga Yoga akan dapat menghubungkan dirinya dengan kekuatan rohaninya melalui Astangga Yoga. Astangga Yoga adalah delapan tahapan yoga untuk mencapai moksa. Astangga Yoga diajarkan oleh Maha Rsi Patanjali dalam bukunya yang disebut dengan Yoga Sutra Patanjali. Adapun bagian-bagian dari Astangga Yoga yang merupakan implementasi dari ajaran Raja Marga adalah:

a)    Yama, yama yaitu bentuk larangan atau pengendalian diri yang harus dilakukan oleh seorang dari segi jasmani, misalnya dilarang membunuh (ahimsa), dilarang berbohong (satya), pantang menginginkan sesuatu yang bukan miliknya (asteya), pantang melakukan hubungan seksual (brahmacari) dan tidak menerima pemberian dari orang lain (aparigraha).

b)   Nyama, nyama yaitu bentuk pengendalian diri lebih bersifat rohani, misalnya Sauca (tetap suci lahir batin), Santosa (selalu puas dengan apa yang datang), Swadhyaya (mempelajari kitab-kitab keagamaan) dan Iswara pranidhana (selalu bhakti kepada Tuhan).

c)    Asana, asana yaitu sikap duduk yang menyenangkan, terartur dan disiplin.

d)     Pranayama, pranayama yaitu mengatur napas sehingga menjadi sempurna melalui tiga jalan yaitu puraka (menarik napas), kumbhaka (menahan napas) dan recaka (mengeluarkan napas).

e)      Pratyahara, pratyahara yaitu mengontrol dan mengendalikan indriya dari ikatan objeknya, sehingga orang dapat melihat hal-hal suci.

f)       Dhyana, dhyana yaitu pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu objek. Dhyana dapat dilakuakan terhadap Ista Dewata.

g)  Dharana, dharana yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan.

h)      Samadhi, samadhi yaitu penyatuan atman (sang diri sejadi dengan Brahman) bila seseorang melakukan latihan yoga dengan terartur dan sungguh-sungguh maka ia akan mendapat etaran-getaran suci dari wahyu Tuhan.

5. Efilog         

      `“Dharma ewa plawo nanyah swargam sabhiwanchatam sa ca naurpwanijastatam jala dhen paramicchatah”.Ikang dharma ngaranya, hetuning mare ring swarga ika, kadi gatining prahu, an hetuning banyaga nentasing tasik” .Terjemahannya: “Yang disebut dharma, penyebab menuju sampai ke surga itu, seperti halnya sebuah perahu alat bagi pedagang menyebrangi laut” (Sarasamuçcaya I.14).

Umat manusia tentunya memiliki tujuan hidup, termasuk umat Hindu memiliki tujuan hidup yang jelas yakni seperti berikut ini. “Moksartham jagad hita ya ca iti Dharma; Catur Purusartha; Santa Jagadhita; Sukerta Sakala lan Niskala; Mencapai keharmonisan hidup sesuai ajaran Catur Marga. Penerapan Catur Marga oleh umat Hindu sesungguhnya telah diterapkan secara rutin dalam kehidupannya sehari- hari, termasuk juga oleh umat Hindu yang tinggal di Bali maupun yang tinggal di luar Bali. Banyak cara dan jalan yang dapat ditempuh untuk dapat menerapkannya. Inti dari penerapan Catur Marga adalah untuk memantapkan mengenai hidup dan kehidupan umat manusia di alam semesta ini, terutama untuk peningkatan, pencerahan, serta memantapkan keyakinan atau kepercayaan (sraddha) dan pengabdian (bhakti) terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memahami dan menerapkan ajaran Catur Marga, diharapkan segenap umat Hindu dapat menjadi umat yang berkualitas, bertanggung jawab, memiliki loyalitas, dedikasi, jati diri yang mulia dan harapan lainnya guna tercapai kehidupan yang damai, rukun, tenteram, sejahtera, bahagia dan sebagainya. Jadi dengan penerapan ajaran Catur Marga diharapkan agar tujuan dari agama Hindu dapat terwujud.

Kita sebagai masyarakat hindu hendaknya selalu menerapkan ajaran catur marga yoga dalam kehidupan sehari-hari yang disesuaikan dengan kepribadian, watak, dan kesanggupan manusia. Jika seseorang kesanggupannya terletak pada mencari ilmu pengetahuan maka ajaran jnana marga yoga yang digunakan . Jika seseorang itu mempunyai watak yang halus dan perasa serta mempunyai ketekunan dalam memuji Sang Hyang Widhi, maka ajaran bhakti marga yoga yang digunakan. Demikian juga yang kesanggupannya terletak pada kerja serta pengabdian yang tulus tanpa pamrih maka ajaran karma marga yoga yang harus dijalani. Sedangkan orang tekun dalam samadhi, kuat dalam tapa brata serta tidak dapat dipengaruhi oleh hal yang bertentangan yang ada dalam hidup ini, maka ajaran raja marga yoga yang digunakan. Semua ajaran catur marga yoga yang ingin diterapkan harus didasarkan dengan tulus ikhlas, ketekunan, kesujudan, keteguhan iman, dan tanpa pamrih.

DAFTAR PUSTAKA


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA