Organisasi pergerakan nasional yang tidak bersifat radikal adalah

Doni Setyawan | Maret 5, 2020 | Masa Pergerakan Nasional |

Pegerakan nasional Indonesia ditandai dengan munculnya organisasi modern pertama, yakni Budi Utomo. Setelah munculnya Budi Utomo, perjuangan yang awalnya menggunakan senjata fisik berganti menjadi perjuangan melalui organisasi organisasi modern yang dibentuk oleh kaum cendikiawan atau intelektual. Terdapat dua strategi perjuangan yang dilakukan oleh organisasi pergerakan nasional.

(1) Stretegi bersifat radikal dengan taktik non kooperatif

Strategi perjuangan radikal non kooperatif merupakan perjuangan dengan menggunakan cara yang keras dalam menentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Non kooperatif berarti tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Taktik non kooperatif menekankan bahwa kemerdekaan harus diusakan sendiri. Berbagai organisasi radikal di Indonesia antara lain Sarekat Islam, Perhimpinan Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia dan PNI Baru.

Faktor yang mempengaruhi organisasi pergerakan nasional bersifat radikal antara lain:

  1. Timbulnya krisis ekonomi tahun 1921 yang merupakan dampak dari Perang Dunia I yakni terjadi hiperinflasi di negara negara Eropa.
  2. Pergantian kepala pemerintahan yang lebih bersifat reaksioner. Pada tahun 1921, terjadi pergantian pemerintahan di Hindia Belanda. Dirk Fock menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda menggantikan Van Limburg Stirum. Dirk Fock lebih reaksioner dengan membuat beberapa kebijakan yakni mempersulit hak untuk berserikat, memperkuat dinas intelejen Hindia Belanda, menerapkan pasal penyebaran kebencian, melakukan penghematan besar besaran yang menyebabkan banyak PHK.

Organisasi yang bersifat radikal terhadap pemerintah kolonial Belanda melakukan kegiatan perjuangan berupa (1) menggembleng semangat kebangsaan dan persatuan di masyarakat melalui rapat umum, surat kabar, (2) menuntut pemerintah kolonial agar memberikan kebebasan bergerak kepada partai partai, (3) mengecam pemerintah kolonial yang melakukan tindakan sewenang wenang (4) melakukan aksi pemogokan.

Salah satu organisasi pergerakan nasional yang bersifat radikal adalah Partai Komunis Indonesia

PKI pada awalnya bernama ISDV yang kemudian merubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia pada 23 Mei 1920. Beberapa cara yang dilakukuan oleh PKI dalam menentang pemerintah kolonial Belanda yakni mengkritik kebijakan pemerintahn kolonial Belanda melalui surat kabar Suara Rakyat dan Sinar Hindia, melakukan pemogokan kerja, menangkap dan memenjarakan tokoh tokoh PKI. Pemberontakan PKI tahun 1926-1927 mengalami kegagalan. Banyak tokohnya yang kemudian ditangkap dan dibuang ke Boven Digul. Adanya pemberontakan PKI menyebabkan pemerintah kolonial belanda melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap organisasi organisasi pergerakan nasional.

(2) Strategi bersifat moderat dengan taktik kooperatif

Strategi bersifat moderat dengan taktik kooperatif merupakan kebalikan dari strategi bersifat radikal dengan taktik non kooperatif. Perjuangan yang dilakukan dengan cara bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda untuk menghindari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Upaya yang dilakukan dengan taktik kooperatif antara lain mengirimkan wakilnya ke Volksraad (dewan rakyat) tujuannya adalah dapat memperjuangkan kepentingan rakyat. Beberapa tokoh Indonesia yang menjadi anggota Volksraad antara lain:

  1. O.S Cokroaminoto
  2. Agus Salim
  3. Abdul Moeis
  4. Muhammad Husni Thamrin
  5. Otto Iskandardinata
  6. Radjiman Wediodiningrat

Di dalam Volksraad kemudian dibentuk Fraksi Nasional yang diusulkan oleh Muhammad Husni Thamrin pada tanggal 27 Januari 1930. Tujuan Fraksi Nasional dalam Volksraad antara lain (1) mengusahakan perubahan perubahan ketatanegaraan, (2) mengusahakan penghapusan perbedaan politik, ekonomi dan intelektual dengan cara yang tidak melanggar hukum.

Tokoh pergerakan moderat memiliki prinsip bahwa kemerdekaan ekonomi harus tercapai lebih dahulu.

Adapun faktor yang mempengaruhi kelangan pergerakan bersifat moderat antara lain:

  1. Krisis ekonomi dunia tahun 1929 atau dikenal dengan nama Krisis Malaise
  2. Pembatasan berserikat yang dilakukan oleh belanda terhadap organisasi pegerakan nasional
  3. Banyak tokoh pegerakan nasional yang ditangkap oleh Belanda antara lain tokoh dari Partai Nasional Indonesia yaitu Soekarno, Gatot Mangkupraja, Soepridinata dan Maskun Sumadiredja.

Organisasi nasional Indonesia yang bersifat moderat dengan taktik kooperatif antara lain Gerindo, Parindra, dan GAPI.

Perbedaan perjuangan organisasi pergerakan nasional dengan strategi radikal dan strategi moderat memiliki perbedaan antara lain: cara perjuangan yang dilakukan kalau radikal tidak mau bekerjasama dengan belanda, sedangkan kooperatif mau bekerjasama dengan Belanda. Organisasi bersifat radikal menginginkan langsung kemerdekaan politik, sedangkan moderat menginginkan kemerdekaan ekonomi terlebih dahulu baru kemudian kemerdekaan politik.

Sedangkan untuk persamaan antara perjuangan dengan strategi radikal dan strategi moderat antara lain:

  1. Menggunakan organisasi modern sebagai alat perjuangan
  2. Perjuangan bersifat nasional
  3. Tidak menggunakan kekerasan senjata
  4. Dipimpin oleh kaum terpelajar
  5. Ingin mendapatkan kemerdekaan

Untuk materi lebih lengkap tentang ORGANISASI ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA silahkan kunjungi link youtube berikut ini. Jikalau bermanfaat jangan lupa subscribe, like dan share.. Terimakasih

Mari berlomba lomba dalam kebaikan. Semoga isi dari blog ini membawa manfaat bagi para pengunjung blog. Terimakasih

ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL DI BAWAH INI YANG BERSIFAT RADIKAL DAN NONKOOPERATIF ADALAH?

  1. BOEDI OETOMO
  2. SAREKAT ISLAM
  3. PERHIMPUNAN INDONESIA
  4. PKI
  5. JONG JAVA

Berdasarkan pilihan diatas, jawaban yang paling benar adalah: D. PKI.

Dari hasil voting 987 orang setuju jawaban D benar, dan 0 orang setuju jawaban D salah.

ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL DI BAWAH INI YANG BERSIFAT RADIKAL DAN NONKOOPERATIF ADALAH pki.

Pembahasan dan Penjelasan

Jawaban A. BOEDI OETOMO menurut saya kurang tepat, karena kalau dibaca dari pertanyaanya jawaban ini tidak nyambung sama sekali.

Jawaban B. SAREKAT ISLAM menurut saya ini 100% salah, karena sudah melenceng jauh dari apa yang ditanyakan.

Jawaban C. PERHIMPUNAN INDONESIA menurut saya ini juga salah, karena dari buku yang saya baca ini tidak masuk dalam pembahasan.

Jawaban D. PKI menurut saya ini yang paling benar, karena kalau dibandingkan dengan pilihan yang lain, ini jawaban yang paling pas tepat, dan akurat.

Jawaban E. JONG JAVA menurut saya ini salah, karena setelah saya cari di google, jawaban tersebut lebih tepat digunkan untuk pertanyaan lain.

Kesimpulan

Dari penjelasan dan pembahasan diatas, bisa disimpulkan pilihan jawaban yang benar adalah D. PKI

Jika masih punya pertanyaan lain, kalian bisa menanyakan melalui kolom komentar dibawah, terimakasih.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Syaiful Arif

Keterangan gambar,

Seorang guru menunjukkan buku panduan belajar untuk kelas V SD/MI. Dalam buku panduan belajar tersebut organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama atau NU disebut sebagai organisasi radikal.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menghentikan pencetakan dan distribusi buku pelajaran kelas V Sekolah Dasar (SD) berjudul Peristiwa Dalam Kehidupan.

Buku itu sebelumnya diprotes Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) karena dianggap menyamakan organisasi tersebut dengan kelompok yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS dengan digunakannya kata 'radikal'.

Namun seorang pengamat sejarah berpendapat langkah Kemendikbud justru tidak tepat sebab berdasarkan konteks zaman, penggunaan kata itu memang menunjukkan perlawanan kelompok-kelompok antipemerintah kolonial.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud, Ari Santoso, mengatakan keberatan yang dilayangkan PBNU harus diakomodasi. Itu mengapa pihaknya bakal merevisi buku tersebut.

"Persoalan ini sudah diselesaikan kemarin ketika ada protes. Kita juga sudah hentikan distribusinya dan sepakat dengan PBNU untuk dikoreksi," ujar Ari Santoso kepada BBC News Indonesia, Kamis (07/02).

Buku yang diprotes PBNU itu ditulis pada 2013 dan direvisi pada 2017.

Pada tema ketujuh buku pegangan siswa itu ada judul Peristiwa dalam Kehidupan yang memuat tulisan: pada abad ke-20 disebut masa radikal karena pergerakan-pergerakan nasional pada masa ini bersifat radikal/keras terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka menggunakan asas nonkoperatif/tidak mau berkerja sama. Organisasi-organisasi yang bersifat radikal adalah Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Nahdlathul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI).

Namun demikian, keputusan menghentikan pendistribusian dan merevisi buku pegangan siswa itu tidak didasari pada pengkajian terlebih dahulu. Ari mengakui, Kemendikbud belum bertemu langsung dengan tim penyusun buku. Sehingga belum bisa dipastikan ada atau tidaknya kekeliruan dalam penulisannya.

"Teman-teman pembuat (buku) tidak bilang keliru, tapi mereka punya referensi. Jadi referensi itu dijadikan mereka menulis. Ini yang harus kita perjelas dengan yang diprotes PBNU," imbuhnya.

"Jadi ini bukan salah atau benar. Kita hentikan dulu distribusinya, terus kita bahas atau koreksi kalau ada," sambung Ari.

Menurut Ari, tim penyusun buku itu berjumlah tujuh orang yang terdiri dari sejarawan, guru sejarah, dan sosiolog.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Saiful Bahri

Keterangan gambar,

Siswa antre meminjam koleksi buku perpustakaan keliling di SDN Kowel 3 Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Selasa (8/01/2019).

Menurut sejarawan Bonnie Triyana, sebenarnya Kemendikbud tidak perlu melakukan revisi sebab tidak ada kekeliruan dalam penulisan Buku Peristiwa Dalam Kehidupan, termasuk penggunaan kata 'radikal' di dalamnya.

Menurut dia, konteks zaman itu memang menunjukkan perlawanan kelompok-kelompok antipemerintah kolonial seperti Sarekat Islam, Sukarno, Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap dengan Hindia Belanda.

"Sebagai contoh penolakan kerjasama dengan pemerintah kolonial itu, mereka tidak pernah mau menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat)," ujar Bonnie Triyana kepada BBC News Indonesia.

Karena sikap itu, kata Bonnie, Hindia Belanda menyebut kelompok atau orang-orang pejuang kemerdekaan Indonesia dengan sebutan radikal.

"Di tahun 1920-an, menjadi seorang radikal itu biasa saja. Lumrah saja. Bahkan dengan bangga menyebut dirinya seorang radikal."

"Kalau misalkan kata radikal itu diprotes, sementara radikal saat itu melawan pemerintah kolonial. Ya radikalisme itu suatu sikap politik yang mewujud dalam aksinya. Harus dipahami konteksnya, supaya nanti tidak gara-gara salah memahami sejarah, jadi salah persepsi."

Bahkan Sukarno, kata Bonnie, mendirikan front persatuan 'Konsentrasi Radikal' untuk menghadapi pemerintah kolonial. Organisasi itu diisi Sarekat Islam, Budi Utomo, Insulinde, Pasundan dan Perkumpulan Sosial Demokratis Indonesia.

"Jadi ini sebuah blok yang dibentuk untuk menyatukan kelompok-kelompok politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengambil possisi sebagai lawan politik," terang Bonnie.

Sehingga menurutnya, protes yang dilayangkan PBNU tidak berdasar. Sebab PBNU harus melihat penulisan di buku sejarah itu dalam konteks zamannya, bukan menyandingkan dengan kondisi sekarang.

"Kita ini belajar sejarah sering kali tidak diajarkan konteksnya dan karena tidak diajarkan, kita jadi kehilangan makna dan arti sebuah peristiwa. Beberapa istilah yang berlaku saat itu pun jadinya tereduksi."

Itu mengapa, ia menyesalkan sikap terburu-buru Kemendikbud yang bakal merevisi buku tersebut. Baginya, dengan mengubah konteks sejarah maupun penggunaan diksinya, sama saja dengan memenggal fakta sejarah.

"Kita (sejarawan) kalau menamakan sesuatu hal yang terjadi pada saat itu tak boleh sembarangan. Kita harus pakai istilah atau penamaan yang pada waktu itu berlaku. Kalau diubah-ubah malah kita gagal. Masak sejarah diubah-ubah."

"Kalau bentar-bentar ada yang protes, diganti. Ini gimana?"

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Keterangan gambar,

Pengunjung memilih buku saat pameran liga buku di Gor Saparua, Bandung, Jawa Barat, Kamis (31/01/2019).

Menurutnya, Kemendikbud semestinya menjelaskan kepada publik dan pihak yang keberatan tentang konteks penulisan sejarah itu. Sederhananya, kata Bonnie, pesan moral dari pelajaran sejarah itu adalah tentang heroisme.

"Ini malah yang protes tak paham, yang diprotes ketakutan. Harusnya tak perlu diubah, tapi dijelaskan konteksnya biar orang tahu dan paham," imbuhnya.

Bagaimanapun, menurut wakil sekjen PBNU, Masduki Baedowi, diksi 'radikal' itu menyudutkan organisasinya dan jauh dari semangat nasionalisme serta cinta tanah air. Karena itulah, pihaknya mendatangi Kemendikbud dan meminta buku itu ditarik serta direvisi.

"Kami kaget karena banyak protes dari bawah bahwa ini ada penyebutan 'radikal' di buku ajar untuk siswa. Tiba-tiba di situ ada penulisan sejarah yang aneh," ujar Masduki.

"Orang-orang NU protes karena kata radikal, konotasinya kan ke Islam radikal yang saat ini marak dibicarakan di berbagai media. Sehingga kami tanyakan ke Kemendikbud dan Kemendikbud minta maaf," sambungnya.

Tak hanya penggunaan kata 'radikal' yang ditentang. PBNU, kata Masduki, juga keberatan dengan periodisasi yang dimuat, yakni; Masa Awal Radikal, Masa Moderat, dan Masa Kebangkitan.

Masa Awal Radikal dikatakan di buku itu, dimulai pada 1920-1927 dan Masa Moderat pada 1930-an.

"Periodisasi itu metodologinya salah. Tak ada ilmu sejarah yang membagi periodisasi seperti itu," tukasnya.

"Masa Radikal itu tidak tepat. Itu adalah masa dimana ketika penjajah Belanda mengeluarkan kebijakan politik etis, lalu ada sikap nonkooperatif dan di saat yang sama ada yang kooperatif."

Karena itu, PBNU mendesak agar penggunaan kata 'radikal' diganti dengan patriotisme. Pihaknya pun bersedia dilibatkan dalam proses revisi. Sebab menurut dia, buku sejarah mestinya berfungsi membendung paham radikal dan membangkitkan semangat cinta tanah air. Bukan sebaliknya.

"Kalau tak bisa (menulis buku sejarah), ya tak usah menulis yang aneh-aneh. Anak didik jadi korban nanti," ujar Masduki.

Sementara itu Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Awaluddin Tjalla mengatakan pihaknya sudah meminta sekolah-sekolah di seluruh Indonesia menghentikan mencetak buku itu. Meski proses pembelajarannya sudah berlangsung.

"Versi digitalnya sudah di-off kan dalam sistem. Sementara buku-buku yang sudah dipegang siswa tak ditarik, karena proses belajar sub tema itu (Peristiwa Dalam Kehidupan) sudah lewat," ujar Awaluddin.

Dia pun tak bisa memastikan berapa lama proses revisi akan berlangsung. Sembari pihaknya meminta ahli bahasa memperbaiki narasi dan mencari diksi yang sepadan dengan kata 'radikal'.

"Kita berusaha tidak mereduksi fakta sejarah dengan mengubah diksinya."

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA