Orang Belanda yang tidak peduli dengan penderitaan bangsa Indonesia adalah

Jakarta -

Pada tahun 1830 kondisi ekonomi di negeri Belanda sangat buruk, beban hutang juga semakin besar. Untuk menyelamatkannya, maka Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia dengan tugas mencari cara untuk mengisi kekosongan kas negara tersebut.

Kemudian Van den Bosch mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan untuk melakukan penanaman yang hasil-hasilnya dapat dijual di pasaran dunia. Hal tersebut dinamakan sistem tanam paksa atau Cultur Stelsel.

Baca juga: Sejarah Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Peraturan, dan Penyimpangan

Tujuan diciptakannya sistem tanam paksa adalah menutup defisit keuangan negeri Belanda. Dikutip dari Buku Siswa Ilmu Pengetahuan Sosial SMP/MTS Kelas 8 yang ditulis Nurhayati, M.Pd., ketentuan sistem tanam kerja sama pada lembaran negara nomor 22 tahun 1834 ternyata dilanggar dalam pelaksanaannya.

Misalnya yang tertuang dalam perjanjian adalah tanah yang digunakan untuk cultur stelsel seperlima sawah. Namun dalam praktiknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga dan bahkan setengah dari sawah milik pribumi.

Selain itu, tanah petani yang dipilih hanya tanah yang subur, sedangkan rakyat hanya mendapat tanah yang tidak subur. Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehingga tidak sesuai dengan perjanjian.

Dengan banyaknya penyimpangan yang dilakukan, seperti yang disebutkan di atas, adapun beberapa tokoh yang menentang sistem tanam kerja paksa, mengutip dari buku Seri IPS Sejarah SMP Kelas VIII oleh Drs. Prawoto, M.Pd. yaitu:

1. Eduard Douwes Dekker (1820-1887)

Ia adalah mantan asisten residen di Lebak (Banten) sehingga sangat mengetahui penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah di bawah sistem tanam paksa. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa.

2. Fransen van der Putte (1822-1902)

Ia menunjukkan sikapnya terhadap kebijakan tanam paksa dalam bukunya berjudul Sulker Constracten, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti "Kontrak Gula." Ia bersama dengan Douwes Dekker merupakan tokoh penentang tanam paksa dari golongan liberal.

Baca juga: Sejarah Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Peraturan, dan Penyimpangan

3. Baron van Hoevell (1812-1870)

Ia adalah seorang pendeta Belanda yang menuntut pemerintah pusat dan gubernur jendral agar memperhatikan nasib dan kepentingan rakyatnya.
Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.

4. Golongan pengusaha

Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan.

Nah, itulah tokoh-tokoh yang menentang sistem tanam paksa pada masa pemerintahan Belanda. Semoga menambah pemahaman detikers tentang sejarah Indonesia, ya.



Simak Video "Deretan Tahun Paling Mengerikan dalam Sejarah Manusia"


(row/row)

Perhatikanlah nama-nama berikut ini! 1. Baron Van Hoevel. 2. Van Den Bosch. 3. Mr. Van Deventer. 4. Edward Douwes Dekker. Siapakah orang Belanda yang tinggal atau pernah tinggal di Indonesia yang mengetahui penderitaan rakyat Indonesia karena diterapkannya tanam paksa??

  1. 1, 2, dan 3
  2. 1, 2, dan 4
  3. 1, 3, dan 4
  4. 2, 3, dan 4
  5. Semua jawaban benar

Jawaban: C. 1, 3, dan 4

Dilansir dari Encyclopedia Britannica, perhatikanlah nama-nama berikut ini! 1. baron van hoevel. 2. van den bosch. 3. mr. van deventer. 4. edward douwes dekker. siapakah orang belanda yang tinggal atau pernah tinggal di indonesia yang mengetahui penderitaan rakyat indonesia karena diterapkannya tanam paksa 1, 3, dan 4.

Kemudian, saya sangat menyarankan anda untuk membaca pertanyaan selanjutnya yaitu Gerakan Budi Utomo yaitu sebuah organisasi pertama di Indonesia yang bersifat nasional dan berbentuk modern atau lebih jelasnya sebuah organisasi dengan sistem pengurusan yang tetap, ada anggota, tujuan dan program kerja. Organisasi Budi Utomo sendiri dibentuk oleh pelajar STOVIA yang bernama?? beserta jawaban penjelasan dan pembahasan lengkap.

Cultuurstelsel / sistem tanam paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila). Hal ini menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia karena tanahnya secara paksa digunakan untuk tanaman kepentingan ekspor Belanda. Hal ini menimbulkan kontra dari golongan liberal Belanda diantaranya: E.F.E. Douwes Dekker (Multatuli), Baron van Hoevell, dan Fransen van der Putte. Disamping Van deventer juga orang Belanda yang simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia, yaitu dengan bukti trilogi Van deventer

Dengan demikian, tokoh dari golongan liberal Belanda yang menentang adanya Cultuurstelsel adalah E.F.E. Douwes Dekker (Multatuli), Baron van Hoevell,  Fransen van der Putte dan Van deventer sebagai penggagas politik balas budi.

Jadi, jawaban yang tepat adalah A.

Indonesia merdeka dengan susah payah setelah berhasil melepaskan diri dari penjajahan Belanda dan Jepang. Berbagai elemen masyarakat meliputi para pemuda hingga tokoh lintas agama seluruhnya berjuang demi merebut kemerdekaan ibu pertiwi.

Namun yang unik, ternyata ada beberapa orang dari negeri penjajah Belanda atau blasteran Indo-Belanda yang justru all out dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Hal itu didasarkan atas rasa cinta dengan Indonesia yang mengalahkan rasa cintanya pada kampung halamannya sendiri.

Berikut ini ulasan mengenai orang-orang Belanda yang rela mati-matian berjuang untuk Indonesia.

Baron van Hoevell

Baron van Hoevell dikenal sebagai seorang pendeta yang juga negarawan asal Belanda. Dilansir dari laman boombastis.com, selama bertugas di Batavia pada tahun 1848, ia kerap memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang dianggap tidak pro rakyat. Akibat perbuatannya, Baron sempat diusir oleh pemerintah Belanda lantaran dianggap radikal.

Baron juga paling vokal menolak program tanam paksa atau cultuurstelsel yang diterapkan Belanda terhadap rakyat Indonesia. Ia memang konsisten berjuang demi kesejahteraan rakyat pribumi di mana salah satunya ialah pengembangan pendidikan layak tanpa adanya diskriminasi.

Eduard Douwes Dekker alias Multatuli

Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal dengan panggilan Multatuli termasuk tokoh Belnda yang memberi sumbangsih besar terhadap perjuangan rakyat Indonesia. Ia bahkan sampai menulis buku berjudul Max Havelaar (1860) yang berisi sindiran kepada pemerintah kolonial Belanda yang hobi menyiksa banyak orang bumi ibu pertiwi.

Buku tersebut intinya berisi penderitaan rakyat Indonesia yang akhirnya membuat semangat perjuangan semakin kuat bergelora. Disebutkan pula bahwa perilaku tentara kolonial saat itu sangat kejam yang memperlakukan rakyat Indonesia seolah seperti hewan ternak.

Ernest Francois Eugene Douwes Dekker

Pria berdarah Belanda yang masih kerabat dengan Multatuli ini lahir dan besar di Pasuruan, Jawa Timur. Salah satu tokoh dari Tiga Serangkai bersama dr Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat ini yang mengenalkan nama Nusantara sebagai pengganti Hindia Belanda.

 

Ia sempat dibuang ke Suriname oleh pemerintah Belanda hingga akhirnya tiba di Yogyakarta pada tahun 1947 untuk kembali berjuang untuk Indonesia. Ia meninggal dunia tiga tahun setelahnya dan mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Johannes Cornelis Princen

Salah seorang serdadu Belanda yang akrab dipanggil Poncke Princen ini ikut membela Indonesia melawan negaranya sendiri pada tahun 1948.

Keberpihakannya kepada Indonesia bermula dari kebenciannya atas pemerintah kolonial Belanda yang menolak memberi kemerdekaan secara utuh bagi Indonesia.

Ia lalu memutuskan bergabung dengan para pejuang Indonesia dan terlibat dalam serangan umum 1 Maret 1949 dengan bergabung bersama Divisi Siliwangi. Atas aksi heroiknya itu, Poncke kemudian meraih anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno.

Mohammad Husni Thamrin

Husni Thamrin merupakan pejuang blasteran Indo-Belanda. Ayahnya merupakan orang Belanda yang menikahi wanita Betawi. Namun, sepeninggal ayahnya, ia diasuh oleh keluarga dari ibu hingga tidak menyandang nama Belanda.

Lantaran sejak kecil menyaksikan penderitaan rakyat pribumi akhirnya ia memutuskan memerangi pemerintah kolonial Belanda.

Ia pernah memimpin pemberontakan rakyat Betawi untuk melawan penindasan Belanda. Namun sayang, ajal menjemputnya terlalu cepat. Disinyalir, ia dibunuh saat mendekam di penjara. Atas dedikasinya terhadap negara, Husni Thamrin mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA