Makna kata main dalam permainan silat main pukul terdapat unsur

Beksi merupakan seni bela diri tradisional khas Betawi. Mereka kerap menggunakan istilah main pukulan untuk bela diri. Kata main menunjukkan bahwa bela diri ini merupakan permainan (salah satu genre dalam tradisi lisan), sedangkan kata pukulan dipakai karena bela diri ini ternyata lebih mengutamakan pukulan ketimbang tendangan. Di Betawi pun ada juga yang lebih akrab menggunakan kata jurus atau maen jurus untuk bela dirinya.

Betawi sendiri memang memiliki beragam aliran main pukulan, sebut saja Cingkrik, Sabeni, Pengasinan, dan masih banyak lagi. Setiap perguruan dan aliran memiliki ciri khas masing-masing. Pada beksi, jurusnya sangat mudah diciri dari gerakan pukulannya. Beksi memiliki pukulan keras, cepat, dan posisi tangan yang terbalik atau yang dalam bahasa Betawi disebut sebagai pukulan celentang.

Lantas, bagaimana asal-usul beksi? Konon beksi merupakan bela diri yang diajarkan pertama kali oleh seorang pria keturunan Tionghoa bernama Lie Cheng Oek. Alkisah, Lie Cheng Oek memiliki sawah yang bertetangga dengan Saiman. Pada satu hari, mereka cekcok mengenai irigasi sawah. Saiman menyalahkan Lie Cheng Oek karena sawahnya tidak mendapatkan air. Pertarungan pun terjadi.

Diperkirakan peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan atau akhir abad ke-17. Pada masa itu, terdapat peraturan tidak tertulis, bagi orang yang kalah berkelahi, ia harus belajar pada orang mengalahkannya. Ternyata Saiman kalah. Karena merasa sudah tua, Saiman mengirimkan putranya yang bernama Marhali sebagai pengganti untuk belajar maen pukulan pada Lie Cheng Oek.

Ketika Marhali berguru kepada Lie Cheng Oek, ia tidak pernah diajarkan jurus, tetapi hanya disuruh membantu mengairi sawah dan melakukan beberapa pekerjaan lainnya. Saiman protes. Ternyata menurut Lie Cheng Oek pekerjaan yang diberikan kepada Marhali tersebut ialah cara melatih kekuatan fisik, sebagaimana pukulan beksi yang mengutamakan kekuatan fisik dan kecepatan. Kisah ini mengingatkan pada salah satu scene film lawas Hollywood, yaitu Karate Kid.

Di kemudian hari, Beksi juga dikembangkan oleh Gozali setelah selesai belajar pada Marhali dan Lie Cheng Oek. Disusul Kong Simin, Muhammad Nur, dan Hasbullah.

Asal muasal nama


Menurut guru beksi, Basir Bustomi, beksi berasal dari kata bie/bhi dan si/shi. Namun, lidah Betawi yang ‘lentur’ menyebabkan kata bisi berubah menjadi beksi. Penelusuran yang dilakukan G.J. Nawi (2016:63) menunjukkan ada pendapat kata beksi berasal dari kata bhe si, yang berasal dari kosakata Hokkian yang secara harfiah berarti kuda-kuda.

Guru Besar Beksi Tradisional, Sabenuh Masir dan Muali Yahya, menyebutka beksi berasal dari kata bek dan si. Kata bek berarti ‘pertahanan’, sedangkan kata si berarti ‘empat (penjuru)’. Jika dimaknai, kata beksi berarti pertahanan dari 4 penjuru mata angin. Makna pertahanan dari empat penjuru mata angin sangat sesuai dengan jurus-jurus/kuda-kuda Beksi yang bergerak keempat arah, yaitu kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang.

Versi lainnya, dari hasil penelitian yang dilakukan Rido (2019), bahwa pada era penjajahan orang Belanda menggunakan kata bek (wijk) sebagai arti kepala suatu kampung, kemudian dalam pengucapan orang Betawi menjadi bek. Dalam praktiknya, ketika orang mencari kepala kampung, “Mana si Bek?” Lama-lama panggilan ‘si bek’ menjadi ‘bek si (beksi)’.

Ada lagi yang berpendapat, pada 1980-an, kata Beksi ialah singkatan dari ‘berbaktilah engkau kepada sesama insan’. Dalam makna tersebut diharapkan seorang pendekar beksi selalu mengamalkan ilmunya demi kemanusiaan.

Nilai-nilai beksi


Bagi pesilat beksi (pebeksi) sejati, keterampilan main pukulan bukanlah untuk gaya-gayaan. Beksi dan agama ibarat golok dan sarungnya. Golok haruslah selalu diberi sarung dan di­simpan. Begitu juga beksi. Ia haruslah disimpan baik-baik dan digunakan hanya pada saat dibutuhkan. Sarung beksi ialah agama. Dengan agama, segala hawa nafsu, sifat congkak, rakus, dan lainnya bisa dikendalikan.

Muali Yahya menyatakan, jika kita berjalan- jalan membawa golok tanpa disarung, akan timbul niat iseng, entah batang pohon ditebas, petantang-petenteng, atau keisengan lain yang bisa saja berakibat mencelakakan. Namun, jika golok diberi sarung dan disimpan di pinggang, itu akan memperkecil kemungkinan niat berbuat iseng.

Agama Islam memang menjadi fondasi Beksi. Latihan-latihan beksi diawali dan diakhiri dengan doa secara Islam. Ritual yang ada dalam beksi pun kental dengan ajaran Islam. Pakar budaya Betawi, Abdul Chaer, menyatakan seorang anak (laki-laki) Betawi diwajibkan menguasai dua hal, yaitu ‘bisa ngaji’ dan ‘bisa maen pukulan’ atau anak Betawi ‘kudu bisa silat dan salat’ Dinyatakan juga ‘di atas bale bace Alquran, turun dari bale maen pukulan’. Artinya, seorang (laki-laki) Betawi harus menguasai ilmu agama dan bela diri. Kedua hal tersebutlah yang direkatkan sebagai ciri identitas (laki-laki) Betawi.

Maen pukulan atau silat menurut Oong Maryono, praktisi sekaligus peneliti silat, memang memiliki empat aspek yaitu (1) beladiri, (2) olahraga, (3) spiritual/akhlak/rohani, dan (4) seni budaya. Maen pukulan hadir pada berbagai seni budaya Betawi, seperti lenong, komedi Betawi, teater topeng, dan lainnya. Menurut Bang Bahtiar, pebeksi sekaligus seorang pemain lenong, kehadiran beksi dalam lenong tak lepas dari keinginan penonton.

Ternyata, adegan perkelahian di lenong tidak seperti adegan kung fu pada film-film Bruce Lee ataupun Jackie Chan. Unsur keindahan gerak, kecepatan, dan ketepatan para pemain lenong memang membuat mata sulit berkedip. Perkelahian baik tangan kosong maupun menggunakan jurus golok sangat terampil ditampilkan. Jurus-jurus beksi menggunakan kuda-kuda rendah dan bertarung dalam jarak dekat. Pukulan, tangkisan, dan sikutan menjadi andalan.

Tidak ada tendangan kaki yang tinggi sebagaimana pada beladiri karate atau taekwondo. Tidak ada petarung yang melayang-layang seperti pada bela diri wushu. Selidik punya selidik, tidak ada tendangan yang diarahkan ke kepala ternyata ialah local wisdom lain yang dimiliki beksi. Sebagaimana budaya Timur, kepala merupakan bagian tubuh yang terhormat sehingga tak selayaknya kaki menyentuh kepala. Mungkin inilah mengapa bela diri Betawi disebut main pukulan alih-alih main tendangan. (M-4)


Ini jaman serba instan, serba pengen cepet dan main cepet, barangkali menuruti pameo SIAPA CEPAT DIA DAPAT. Padahal cepat yang tidak terlatih kebanyakan malah mudarat, karena kita jadi selalu terburu-buru, tergesa-gesa.

Karena ini jaman serba instan seperti mi instan, pengen serba cepat, mau langsung jadi, maka trend yang berkembang dalam silatadalah “orang belajar silat pun mau nya instan”.Belajar silat sistim instan, sebulan, dua bulan, tiga bulan ingin langsung bisa. Entah bisa bersilat, entah bisa bak-bik-buk di jalanan atau sekedar bisa “bergaya silat” saja.

Apakah bisa belajar silat sistim instan? Kalau saya yang ditanya, tanpa ragu saya akan jawab tegas TIDAK, walau pun ini masuk kategori jawaban instan. Kenapa tidak bisa?

Silat, pencak silat, maenpo, maen pukulan, silek, dan segala keanekaan sebutannya adalah lebih dari sekedar “alat bela diri”. Silat adalah sebuah sistem. Sebuah sistem selalu terdiri dari lebih dari satu unsur, tidak berdiri sendiri dan saling berkaitan satu sama lain.

Kecenderungan yang berkembang saat ini, dimana belajar silat dipadatkan sedemikian rupa, sehingga tampak seolah-olah bisa dilakukan secara instan adalah hanya sebuah teknik marketing. Dengan bungkus yang menarik dan tujuan mulia : memperkenalkan pencak silat ke khalayak umum (terkesan silat adalah barang yang sangat asing di tanah air nya sendiri). Apakah itu salah? bisa salah bisa tidak. Menjadi salah apabila dalam pelatihan instan, para guru tidak mampu menjabarkan silat sebagai sebuah sistem.

Sebagai sebuah sistem, paling tidak silat terdiri dari unsur-unsur

  1. Seni/olah raga
  2. Bela diri
  3. Sosial
  4. Filosofi
  5. Kaedah
  6. Spiritual

Belajar silat secara instan hanya akan memperoleh unsur kedua dari (minimal) 6 unsur di atas, dan saya jamin tidak akan bisa mengerti dan menguasai silat secara komprehensif. Efek ke depannya adalah 10-100 tahun lagi penguasaan silat secara menyeluruh hanya akan ada di literatur tanpa ada praktisi yang mampu menjabarkan nya secara nyata.

Apakah tidak boleh? Boleh dan sah-sah saja. Tapi saya harap bagi yang instan ini tidak menyebut diri nya belajar SILAT, cukup lah BELAJAR BELA DIRI. Karena bela diri itu tidak harus silat, belajar bela diri adalah belajar bagaimana cara menyerang, bertahan, dan menghindari serangan.Itu sudah merupakan bakan alami mahluk hidup dan ada di sistim bela diri negara manapun. Jadi cukup lah belajar memukul, menangkis, menendang, menghindar, bahkan belajar cara melarikan diri, itulah bela diri.

Bagi yang sungguh-sungguh ingin belajar silat, maka mulai lah dengan berniat untuk mempelajari sistem kehidupan secara total.Bersiaplah untuk belajar seumur hidup, karena dalam konsep saya belajar silat adalah belajar mengenai kehidupan, belajar mengenal diri sendiri, belajar besosialisasi, dan belajar untuk menerima kenyataan bahwa kita hanyalaha mahluk yang lemah. Bahkan menghadapi seekor nyamuk pun kita masih membutuhkan bantuan obat nyamuk.

Mulai lah belajar silat dengan belajar memahami fungsi-fungsi anggota tubuh. Pahamilah bahwa kaki diciptakan Tuhan dengan kodrat nya, terletak dibagian bawah tubuh, lebih kokoh dan kuat dari sepasang lengan, karena tugas nya sangat berat : menyangga tubuh dan anggota tubuh. Kaki untuk melangkah dan menuntun ke mana tubuh akan bergerak.

Pahamilah bahwa kedua tangan berada dibagian paling atas tubuh (kepala tidak termasuk anggota tubuh). Posisi nya yang di atas menempatkan nya sebagai anggota tubuh yang dapat bergerak bebas dan lincah. Fungsi utama lengan/tangan adalah untuk memegang, thus kodrat nya adalah untuk menolong dan saling tolong.

Badan adalah anggota utama tubuh kita, didalam nya terdapat fungsi-fungsi utama kehidupan. Jadi mati nya badan berarti mati nya tangan dan kaki, hidup nya badan berarti hidup nya tangan dan kaki. Jagalah badan kita agar tetap hidup.

Dalam silat, tiga unsur utama ini (badan, tangan dan kaki) adalah suatu sistem, suatu kesatuan. Niat dan tujuan berasal dari hati yang berada dalam badan. Tujuan yang diniatkan akan tercapai apabila tangan dan kaki berkerja sama secara harmonis dengan variasi gerakan yang bermacam-macam. Begitulah dalam kehidupan kita di masyarakat, saling terkait, saling menolong dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.

Bersambung…

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA