Apakah sumber ajaran Islam yang dipegang oleh Muhammadiyah?

Gedung Dakwah Muhammadiyah

Selama ini masih banyak orang yang salah paham terhadap Muhammadiyah karena dianggap sebagai organisasi, kelompok, aliran yang berbeda bahkan ekstrimnya dianggap sebagai “agama baru” yang berbeda dari Islam. Hal ini terjadi karena mereka tidak mengenal Muhammadiyah dengan baik atau menerima informasi yang salah, baik itu informasi sekilas ataupun terus menerus yang berupa doktrinasi. Akhirnya yang terjadi adalah ketidaksukaan atau bahkan kebencian tidak berdasar yang terus menerus terjadi dan terpelihara.

Lambang Muhammadiyah beserta organisasi otonomnya (sumber : sangpencerah.com)

Nah agar Anda semua memahami dengan benar tentang Muhammadiyah, ada baiknya membaca sebentar tulisan dibawah ini yaitu tentang Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, memuat prinsip-prinsip dasar dalam beragama yang diyakini di Muhammadiyah :

  1. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
  2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
  3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan : Al-Qur’an      : Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW,  Sunnah Rasul   : Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
  1. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
    ‘Aqidah
    Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.

    b.  Akhlak
    Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia

    c.   Ibadah
    Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
  2. Muamalah Duniawiyah

Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.

  1. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT :“BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR”

Dari tulisan singkat di atas bisa disimpulkan bahwa yang dilaksanakan Muhammadiyah selama ini tidak keluar sama sekali dari qoidah-qoidah ajaran Islam, bahkan sebaliknya berusaha melaksanakan dengan baik. Lantas mengapa masih dianggap “Islam yang beda”…? Memang mengaji itu sebaiknya dari berbagai sumber dan pemahaman. Wallohu a’alam bis-shawab.

(Sapari, Ketua PDPM Kabupaten Magelang)

Oleh: Azaki Khoirudin

“Memahami agama dalam perspektif tarjih dilakukan langsung dari sumber-sumber pokoknya, al-Quran dan Sunnah melaluin proses ijtihad dengan metode-metode ijtihad yang ada. Ini berarti Muhammadiyah tidak berafiliasi kepada mazhab tertentu. Namun ini tidak berarti menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada. Pendapat-pendapat mereka itu sangat penting dan dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan diktum norma/ajaran yang lebih sesuai dengan semangat di mana kita hidup” (Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah).

Dalam kutipan di atas dapat dipahami bahwa Muhammadiyah memahami agama dilakukan langsung dari sumber-sumber pokoknya, al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi bukan berarti menegasikan pendapat ulama yang ada.Jadi, tidak bermadzhab bukan berarti anti-madzhab. Bukan pula berarti tidak merujuknya. Memang Muhammadiyah tidak mengikat diri pada Madzhab tertentu, tetapi terikat dengan sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan hadits.

Kembali ke al-Qur’an dan Sunnah itu Produktif, bukan Konservatif

Ciri fundamendal Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian Islam (Islam puritan/ salafi-reformis) adalah ketergantungannya yang sangat kuat terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Dalam manhaj Tarjih Muhammadiyah, dinyatakan bahwa sumber pokok ajaran agama Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah.

Hal ini ditegaskan dalam sejumlah dokumen resmi Muhammadiyah, yaitu antara lain: Pertama,Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas yang menyatakan bahwa “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah” (BRM, 2005: 111). Kedua,Putusan Tarjih di Jakarta Tahun 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbūlah.

Doktrin Al-Ruju’ ila Qur’an wa Sunnah dalam Muhammadiyah itu produktif (melahirkan pemikiran baru), bukan konservatif (mempertahankan pemikiran lama) sebagaimana kelompok Salafi tekstual. Muhammadiyah memahami Al-Qur’an dan as-Sunnah secara mendalam dan keseluruhan dan mendalam.

Bagi Muhammadiyah, Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah wahyu yang bersifat final dan absolut. Sedangkan tafsir Al-Qur’an merupakan ra’yu: buah pemikiran atau penjelasan para ulama atas al-Qur’an yang terikat oleh ruang dan waktu. Karena itu pemahaman atas al-Qur’an selalu bersifat terbuka, relatif, dan subjektif karena kemampuan akal manusia yang terbatas. Muhammadiyah memandang bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka, tafsir al-Qur’an dimungkinkan untuk dikaji, dijelaskan, atau dikoreksi.

Karena itu kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah bagi Muhammadiyah itu memiliki tiga makna, yaitu:

  1. beragama dengan sumber yang otentik murni, dan valid. Harus jelas dalilnya. Kalau hadits harus yang shahih, sanadnya jelas, atau dalam bahasa Tarjih disebut dengan Sunnah maqbullah.
  2. memilah antara wahyu dan ra’yu atau membedakan antara agama yang mutlak dan pemahaman agama yang relatif dan dinamis. Agama dan wahyu tidak bisa berubah, tetapi pemahaman agama bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
  3. keterbukaan pintu ijtihad, sehingga melahirkan pemikiran keagamaan baru untuk menjawab realitas.

Tidak Bermadzhab itu Sesuai dengan Pesan Imam Madzhab

Sebetulnya apa yang dilakukan Muhammadiyah langsung merujuk pada Al-Qur’an dan al-Hadits ini sesuai dengan ajuran para Imam Madzhab (Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: 15-16). Empat Imam Madzhab itu menyatakan:

  1. Imam Abu Hanifah: “Apabila aku mengatakan sesuatu perkataan (pendapat) menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, maka tinggalkanlah pendapatku tersebut”.
  2. Imam Malik bin Annas: “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa (mungkin) aku salah dan (mungkin) aku benar. Maka perhatikanlah pendapatku, selama pendapatku itu sesuai al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan selama pendapatku itu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, maka tinggalkanlah”.
  3. Imam al-Syafi’i: “Apabila engkau menemukan dalam kitab (pendapat)-ku menyelisihi Sunnah Rasulullah Saw, maka katakanlah (ikutilah) yang disampaikan Rasulullah Saw dan tinggalkan apa yang aku katakana (pendapatku) itu”.
  4. Imam Ahmad bin Hamal: “Janganlah engkau taqlid kepadaku, demikian juga kepada Imam Malik, Imam Syafii, Imam Auza’I dan Imam al-Tsauri. Namun ambillah (ikutilah) dari mana mereka (para imam itu) mengambil yaitu (al-Qur’an dan Hadits)”.

Baca Juga  Spirit al-'Ashr sebagai Basis Pengembangan PTMA

Berdasarkan perkatan empat Imam di atas, dapat disimpulkan bahwa semua ulama tersebut memberikan pesan kuat supaya tidak terikat pada satu madzhab tertentu. Menurut Muhammadiyah, hasil ijtihad para ulama yang terkodifikasi menjadi mazhab merupakan ”paham agama” yang tidak mengikat, bukan doktrin agama yang harus diikuti. Meskipun pernyataan ini tidak berarti Muhammadiyah menolak pendapat para imam Mazhab.

Dengan tidak bermazhab, Muhammadiyah dapat bersikap ”netral” dan bergerak bebas tanpa terbelenggu oleh suatu pendapat. Muhammadiyah berusaha melakukan revitalisasi al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam yang universal. Dalil-dalil al-Qur’an lebih diutamakan daripada pendapat para imam mazhab.

Tanpa mengurangi penghargaan kepada para ulama dan pendapatnya, Muhammadiyah menilai ijtihad para ulama klasik memiliki keterbatasan. Pertama,keterbatasan intelektual yang bermuara pada otentisitas dan validitas referensi dalil-dalil rujukannya. Kedua, keterbatasan relevansi dengan kehidupan kontemporer karena perbedaan konteks, ruang dan waktu.

Keterbukaan Pintu Ijtihad

Secara khusus Muhammadiyah melembagakan tradisi ijtihad melalui Majelis Tarjih yang bertugas melakukan pengkajian sehingga seluruh amal ibadah Muhammadiyah sesuai dengan dalil al-Qur’an dan Hadits yang rajih (kuat).

Bagi Muhammadiyah pintu ijtihad senantiasa terbuka. Hasil-hasil pemikiran dan tafsir ulama terdahulu terbuka untuk dikaji kembali. Meskipun otoritas berijtihad tetaplah terbatas. Otoritas ijtihad hanya diberikankepada mereka yang berkompeten, baik secara induvidual maupun kolektif. Tetapi, setiap manusia berkewajiban untuk meningkatkan pengetahuan dan mendalami ajaran agama. Sebagaimana dalam Langkah Dua Belas Muhammadiyahdinyatakan pentingnya “memperluas faham agama”.

Fakta historis mengenai hal ini adalah perubahan fatwa Majelis Tarjih tentang pemasangan foto K.H. Ahmad Dahlan. Atas alasan syaddu al-dzarî’ah (preventif) Majelis Tarjih masa awal melarang pemasangan foto K.H. Ahmad Dahlan karena bisa menjurus kepada kemusyrikan (kultus individu), Di kemudian hari, ketika akidah umat sudah kuat, foto K.H. Ahmad Dahlan boleh dipasang untuk tujuan pendidikan.

Baca Juga  Gerakan Ranting Muhammadiyah Melawan Politik Uang

Muhammadiyah juga berpendapat bahwa hasil ijtihad tidak pernah tunggal. Karena itu, dalam setiap pernyataannya Muhammadiyah selalu mengemukakan: ”ini adalah pendapat Muhammadiyah”. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa dalam masalah yang sama sangat dimungkinkan adanya pendapat kelompok lain yang berbeda. Di antara perbedaan pendapat yang ada, Muhammadiyah tidak mengklaim pendapatnya yang paling benar (Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis, 2002: 117)

Sebagai produk pemikiran, kebenaran hasil ijtihad kolektif (ijtihad jamâi’)dan ijtihad individual (ijtihad munfarid) bersifat subyektif dan relatif. Berdasarkan prinsip keagamaan yang kedua ini, Muhammadiyah berpendapat bahwa tidak ada hasil ijtihad yang final. Semuanya terbuka untuk dikaji kembali dan direvisi, termasuk yang dikemukakan oleh Muhammadiyah sendiri.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA