Apa maksud prabowo bilang gaji wartawan kecil

Prabowo Subianto
(Foto KOMPAS.com)

MataMaduraNews.com – JAKARTA – Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan, seorang pemimpin harus membela kepentingan rakyat di atas segalanya. Terlebih lagi terhadap warga kurang mampu.

Ia menambahkan, jangan sampai ada ketimpangan kesejahteraan di masyarakat.

“Jangan hanya membela orang kaya saja. Kira-kira itu baik enggak?” ujar Prabowo di Universitas Bung Karno, Jakarta Pusat, Kamis (17/8/2017).

Prabowo lantas menyinggung profesi wartawan yang menurutnya memiliki gaji kecil. Profesi tersebut, kata dia, semestinya lebih disejahterakan oleh pemerintah.

“Kita belain para wartawan. Gaji kalian juga kecil kan? Kelihatan dari muka kalian. Muka kalian kelihatan enggak belanja di mall. Betul ya? Jujur, jujur,” kata Prabowo disambut tawa awak media yang mengelilinginya.

Prabowo mengatakan, Indonesia negara yang kaya dengan sumber daya melimpah. Namun, ia menyayangkan kekayaan tersebut tak dirasakan menyeluruh oleh rakyat.

Dulu, kata dia, orang asing datang ke Indonesia untuk menjajah kekayaan tersebut.

“Selalu sumber alam kita mau diambil, dikuras. Kita kasihan sama kalian tidak bisa belanja di mall. Jadi kita berjuang buat kalian,” kata Prabowo.

sumber: kompas.com

BERITA tentang pernyatan Prabowo yang terbit di //www.tribunjabar.com tanggal 17 Agustus 2017. (FOTO: TRULY OKTO PURBA)

TANGGAL 17 Agustus 2017 lalu, ada cerita yang menurut saya unik saat mantan calon presiden Republik Indonesia yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto menghadiri upacara peringatan hari kemerdekaan RI ke-72 di Kampus Universitas Bung Karno, Jalan Kimia 20, Pegangsaan, Jakarta Pusat.

Cerita yang menurut saya unik itu terjadi dalams esi tanya jawab usai upacara bendera. Seperti yang diberitakan dalam situs www.tribunjabar.com (//jabar.tribunnews.com/2017/08/17/prabowo-bela-wartawan-gaji-kalian-kecil-kan-keliatan-dari-muka-kalian), Prabowo menebak gaji wartawan saat ditanya mengenai makna HUT RI bagi dirinya. Saat ditanya makna hari kemerdekaan tersebut, Prabowo menjawab memaknai hari kemerdekaan dengan membela seluruh rakyat, termasuk wartawan yang gajinya kecil. “Kita belain para wartawan. Gaji kalian juga kecil kan?‎” tanya Prabowo kepada wartawan di pelataran gedung UBK tempat sesi tanya jawab berlangsung.

Prabowo mengaku menebak gaji wartawan kecil karena terlihat dari tampangnya. Menurut prabowo tampang-tampang wartawan tidak bisa belanja di mal. “Keliatan dari muka kalian. Muka kalian keliatan gak belanja di mal. Betul ya? Jujur jujur. Kita ini membela kalian,” katanya.

Seketika dan tak perlu menunggu dalam hitungan jam, pernyataan Prabowo ini langsung menjadi viral baik di media sosial. Puluhan media online baik lokal maupun nasional mengutip pernyataan Prabowo ini sebagai berita. Selain itu, meme yang berkaitan dengan pernyataan inipun bermunculan di media sosial.

Mengapa berita soal gaji wartawan ini seketika bisa viral? Menurut saya, bicara soal gaji wartawan adalah bicara tentang isu lama yang cukup menarik dan sudah terang benderang di negeri ini sejak lama. Bukan rahasia umum lagi, kalau perusahaan penerbitan menggaji wartawannya dengan gaji yang kecil, sehingga tidak sejahtera. Dan kemudian, karena gaji yang kecil ini wartawan kerap dituduh “memeras” narasumber dengan berbagai cara lewat pemberitaan-pemberitaan yang ditulis. Hal ini yang salah satunya membuat jadi menarik, meskipun masih banyak wartawan yang jujur. Saya contohnya. He..he..

Jauh-jauh hari sebelum pernyataan Prabowo ini muncul, sebenarnya banyak pihak yang selalu bertanya kepada saya berapa sebenarnya gaji saya sebagai wartawan di Tribun Medan. Banyak yang penasaran, apalagi ketika tahu Tribun Medan merupakan salah satu anak perusahaan grup terkemuka di Indonesia, Kompas-Gramedia (KG).

Baiklah, saya jawab rasa penasaran tersebut. Jujur saja, gaji saya di Tribun Medan saat ini sekitar Rp 5 jutaan. Berapa sih pastinya? Ya, Rp 5 jutaanlah pokoknya. Mau Rp 5.001.000 atau Rp 5.999.000, pokoknya sekitar Rp 5 jutaanlah. He..he. Jumlah ini adalah jumlah bersih setelah di potong PPh-21, BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Komposisi gaji yang Rp 5 jutaan ini adalah untuk: gaji pokok, TTB, tunjangan jabatan, uang hadir dan tunjangan BTDL. Sedangkan posisi saya saat ini adalah Editor dengan masa kerja tujuh tahun.

SLIP gaji saya di Tribun Medan per Juni 2017. (FOTO: TRULY OKTO PURBA)

Setiap bulannya, gaji ini ditransfer ke rekening BCA. Setiap bulan pula, sejatinya gaji ini hanya “numpang lewat” saja. Paling lama, tujuh hari setelah gajian, gaji ini sudah habis. Kemana saja peruntukannya? Pertama, untuk membayar polis asuransi. Saya alokasikan sekitar 10 persen dari gaji. Saya berasuransi sudah sejak tahun 2007 lalu. Kenapa saya berasuransi? Sederhana, buat jaga-jaga kalau sakit dan untuk investasi.

Kedua, untuk membayar jula-jula (tarik-tarikan) bersama ibu-ibu di komplek rumah. Untuk jula-jula ini saya alokasikan sekitar 20 persen dari gaji. Saya ambil dua nomor sekaligus. Oh ya, sistem jula-julanya agak berbeda, yakni dengan sistem tawar (bunga), bukan dengan sistem yang biasanya berlaku yakni tarik nomor atau bergiliran. Kenapa saya ikut jula-jula? Alasannya untuk jaga-jaga kalau butuh uang dalam jumlah yang tidak besar dan waktu yang singkat. Daripada minjam ke bank, di foto-foto, didatangi dan ditanya-tanya lagi. He..he..

Dan alokasi ketiga adalah untuk mencicil kredit ke bank. Hampir dua tahun lalu, saya memutuskan untuk ikut sebuah investasi. Apa investasinya, sayalah yang tahun. He..he. Saya meminjam uang dari bank dan setiap bulannya mengalokasikan sekitar 74 persen dari gaji untuk membayar kredit. Alasan saya untuk berinvestasi sangat mulia loh, biar kelihatan hasil kerja itu. Ha..ha..

Nah, sekarang dihitung dulu ya. Untuk asuransi 10 persen, jula-jula 20 persen dan investasi 74 persen. Total seluruhnya 104 persen. Tekor 4 persen. Lalu bagaimana untuk menutupi tekor 4 persen, biaya makan, tagihan listrik, air, pulsa telepon dan paket data internet, biaya nongkrong bersama teman-teman, biaya mendaki gunung dan biaya mengurus keluarga yang sakit di kampung?

Untuk menutupi semua biaya-biaya ini, saya dapatkan dari beberapa pekerjaan nyambi di luar pekerjaan utama sebagai wartawan. Dua kali seminggu, saya memanfaatkan gelar Magister (M.Si) yang saya punya, menjadi dosen tidak tetap di Fakultas Ekonomi Unika Santo Thomas. Berapa honornya? Nggak banyak. Namanya juga dosen tidak tetap. Ha..ha..

Selain mengajar, pengalaman yang cukup panjang di dunia jurnalistik ternyata menjadi magnet yang kuat bagi beberapa pihak. Setiap bulan, ada saja yang mempercayakan saya sebagai pembicara di berbagai forum pelatihan penulisan, menulis buku atau menulis artikel lepas. Berapa duit yang saya dapat setiap bulan? Tidak tentu, bisa lebih besar dari gaji saya di Tribun Medan, bisa juga lebih kecil. Bahkan bisa tidak ada tambahan sama sekali.

Pernah saya tidak mendapat panggilan sebagai pembicara atau pesanan untuk menulis selama dua bulan. Praktis, saya hanya mengandalkan honor dari mengajar untuk menutupi kebutuhan. Selama dua bulan itu, saya merasakan semua sisi kehidupan saya terasa gelap. Saya terpaksa meminjam uang dari teman kantor. Saya panik, betul-betul panik. Kondisi ini terjadi 1,5 tahun terakhir.

Di tengah kegelapan dan kepanikan itu, saya mulai berpikir, bagaimana caranya bertahan hanya dengan mengandalkan honor mengajar, panggilan jadi pembicara dan menulis artikel. Saya pun mengubah pola hidup agar lebih hemat. Di mulai dari pola makan. Sejak 1,5 tahun terakhir, saya lebih banyak makan di rumah. Saya memilih untuk masak sendiri. Ke kantor pun bawa makanan dari rumah. Untuk biaya handphone, saya memutuskan untuk menutup handphone sistem pascabayar. Saya punya dua nomor handpohone, XL dan Telkomsel. Agar lebih hemat dan terkontrol, sejak 1,5 tahun terakhir, saya tidak lagi memakai sistem pascabayar, tetapi prabayar. Sedangkan untuk paket data internet, hampir setahun terakhir saya tidak lagi memakai paket data dari Telkomsel, melainkan dari 3 (Three). Hematnya lumayan loh.

Kebiasaan nongkrong-nongkrong di café atau resto bersama teman-teman pun sudah saya kurangi. Dalam sebulan, paling banyak saya hanya nongkrong satu kali. Bahkan bisa tidak sama sekali. Sedapat mungkin, kalau mau nongkrong, bertemunya di kontrakan atau di kampus. Penghematan lainnya saya lakukan adalah dari pakaian. Hampir 1,5 tahun terakhir saya belum pernah beli pakaian baru. Nggak ada duit soalnya. He..he.. Tapi satu hal, khusus mendaki gunung, frekuensinya tidak saya kurangi. Ha..ha..

Begitulah. Sepertinya, tulisan ini sudah menjawab dengan jelas pernyataan Prabowo. Gaji wartawan itu, menurut saya relatif. Bisa besar, bisa juga kecil. Terserah memandangnya dari mana, asal tidak dari puncak Tugu Monas saja. Yang penting sekarang, bagaimana si wartawan bijak mengelola gajinya, dan cerdas memanfaatkan kemampuan (pengalaman) yang dia punya.(Bersambung)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA