Apa isi dari kitab Al Muwatta karangan Imam Malik brainly

Oleh  :  Yulia Hafizah*

 Madinah atau dikenal juga dengan Hijaz, merupakan kota tempat Nabi Muhammad saw membentuk dan membangun satu peradaban dan negara berdasarkan ajaran Islam untuk pertama kalinya. Madinah juga dikenal dengan budaya ‘sunnah’ karena banyak dari penduduknya mengetahui serta menyaksikan berbagai sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah. Sehingga tidak berlebihan jika kemudian penduduk Madinah tergolong kepada pribadi yang sederhana, layaknya kehidupan Rasulullah.

Di sinilah Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn ‘Amr ibn al Harits atau dikenal dengan nama Malik ibn Anas, dilahirkan pada tahun 93 H.  Layaknya seorang anak, Malik kecil sangat suka bermain burung merpati dan juga mendengarkan musik. Gara-gara ini, ia pernah ditegur oleh ayah dan ibunya agar tidak terlena dengan kegemaran tersebut, lantas melupakan pentingnya menuntut ilmu. Diriwayatkan bahwa ia pernah berguru pada 900 orang syekh, di antaranya adalah Rabiah al Ra’yi, Abdurrahman ibn Harmuz, Nafi’ al-Dailami, Ibnu Syihab al-Zuhri dan Ja’far ash-Shadiq.

Keutamaan Imam Malik

Imam Malik memiliki keutamaan sebagai seorang yang sangat perhatian terhadap penampilan, namun tetap rendah hati dan tidak menyombongkan ilmunya. Ia sangat senang mengenakan pakaian yang rapi dan berkualitas tinggi. Ia berucap “Aku tidak suka seseorang yang diberi nikmat oleh Allah kecuali orang itu menampakkan bekas nikmat tersebut. Khususnya para ulama, mereka harus menampakkan muru’ah dan kehormatannya melalui pakaiannya. Hal itu untuk menghormati ilmu”.

Keutamaan lain yang juga dimilikinya adalah kekuatan firasat sehingga dapat mengetahui apa yang tersirat dalam jiwa seseorang. Seperti di saat Imam Malik bertemu dengan seorang pemuda seraya menayakan namanya. Pemuda itupun menjawab “Muhammad”. Malik kemudian berkata “Wahai Muhammad bertakwalah kepada Allah, jauhi maksiat, kelak kau akan menjadi orang besar”. Pemuda inilah yang kemudian kita kenal dengan Imam Syafi’i.

Dalam usia belia, Malik sudah mengajar dan menyampaikan fatwa di masjid Nabawi. Ada hal yang menarik ketika ia menyampaikan fatwa dan hadis. Jika seseorang bertanya perihal fatwa, Malik segera datang untuk memberikan fatwa. Namun jika mereka meminta hadis, Malik akan mempersilakan orang tersebut untuk duduk, kemudian ia masuk untuk mandi, lalu memakai pakaiannya yang terbaik dan mengenakan minyak wangi. Malik akan menemui mereka dengan keadaan khusyu’ dan rapi, kemudian menyalakan setangkai bukhur, membakarnya sampai ia selesai menyampaikan hadis.

Berkawan dengan Penguasa

Imam Malik melewati hidupnya pada masa 13 kekhalifahan, 8 khalifah masa Bani Umayah dan 5 khalifah masa Abbasiyah. Karena itu hubungannya dengan para pemimpin sangat luas. Dihadapan penguasa, Malik adalah seorang guru dan penasihat. Seperti disaat al-Mahdi mengutus dua orang anaknya, Musa dan Harun. Selanjutnya disaat Harun berkuasa, mereka mengutus anak-anaknya untuk belajar kepada Imam Malik. Hal ini mereka lakukan karena Imam Malik menolak untuk datang ke istana mengajar anak-anaknya. Bagi Malik, ilmu itu didatangi, bukan mendatangi. Murid itu laksana timba, dan ilmu itu seperti sumur. Jadi timba-lah yang harus mendatangi sumur.

Diwaktu tertentu, ia akan mendatangi para khalifah untuk memberi nasihat agar berbuat baik dan menghindari perbuatan zalim. Ketika ditanya, Malik pun menjawab “Lantas siapa yang akan menyampaikan kebenaran kepada mereka? Setiap muslim yang diberikan ilmu dan fikih oleh Allah berhak untuk menemui orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintahkannya berbuat baik, melarangnya berbuat munkar dan menasihatinya”.

Seperti saat Malik men-tasymît al Manshur yang bersin. Salah seorang pejabat kemudian mendatangi Malik seraya melarangnya, karena begitulah tradisi kerajaan. Pertemuan berikutnya, kembali khalifah bersin, maka Imam Malik menoleh kepada pejabat yang melarangnya tersebut seraya berkata “Wahai Khalifah, apa yang engkau inginkan, hukum Allah atau setan?” Langsung dijawab Khalifah dengan “Tentu Hukum Allah”. Selanjutnya langsung Imam Malik men-tasymît-nya, yarhamkallah.

Begitu baiknya hubungan antara Malik dengan penguasa, maka tidak jarang para khalifah memberi hadiah kepada Imam, dan ia pun tidak keberatan untuk menerimanya. Meski demikian, integritas Malik tetap terjaga. Terbukti dari sebuah peristiwa yang mengakibatkannya harus masuk penjara karena ia menolak untuk menarik kembali pendapatnya. Sejarawan sepakat bahwa peristiwa tersebut bermula saat ada seorang ahlul-bait bertanya tentang talak yang dilakukan dengan terpaksa, apakah talaknya akan jatuh atau tidak. Imam Malik kemudian menjawabnya dengan “Tidak”.

Sebenarnya pertanyaan tersebut adalah pertanyaan fikih biasa. Namun ketika fatwa tersebut ditanyakan pada kondisi politik yang sedang bergejolak, hal tersebut ternyata memicu perdebatan di kalangan masyarakat yang kemudian mengaitkannya dengan persoalan baiat; baiat kepada penguasa yang dilakukan dalam keadaan terpaksa, sehingga kesimpulannya adalah baiat tersebut tidak sah. Hal ini tentu dapat mengancam kedudukan penguasa, sehingga gubernur Madinah saat itu memanggil Imam Malik. Imam Malik kemudian menjawabnya dengan menyampaikan hadis Rasulullah: Telah diangkat dari umatku dosa yang dilakukan karena kesalahan, lupa dan keadaan terpaksa.

Kemudian pertanyaan tentang kebolehan membunuh bagi pemberontak. Maka Imam Malik menjawab, boleh membunuh orang yang memberontak kepada khalifah jikalau khalifahnya seperti Umar bin Abdul Aziz, pemimpin yang adil. Kemudian yang lain juga bertanya, bagaimana jika khalifahnya tidak seperti Umar, maka Malik kembali menjawab dengan “Biarkan saja mereka, Allah akan membalas orang zalim dengan orang yang zalim lagi, kemudian Allah akan menghancurkan keduanya”.

Integritas Imam Malik kembali diuji saat memberikan fatwa kafarat sumpah atas diri khalifah Harun. Fatwa ini bermula dari sumpah yang tidak dilaksanakan oleh khalifah, dan hukumannya didasarkan pada QS. 5: 89. Kemudian khalifah meminta pendapat para ulama untuk memutuskan kafarat apa yang mesti dilakukannya. Para ulama sepakat bahwa khalifah harus memerdekakan budak, sesuai dengan urutan yang dituliskan dalam ayat. Sementara Imam Malik berbeda pendapat, bahwa khalifah harus berpuasa selama tiga hari.

Demi mendengar ini, khalifah dan ulama lainnya terkejut dan meminta Malik untuk mengemukakan argumentasinya. Malik pun menjawab dengan tegas bahwa harta yang ada di tangan khalifah bukanlah miliknya melainkan milik umat. Karena itu khalifah dilarang untuk menafkahkannya untuk kepentingan pribadi. Kemudian, sekiranya khalifah diminta untuk memerdekakan budak, maka tentu itu bukan perkara yang sulit baginya. Sehingga maksud dari kafarat itu sebagai hukuman, tidak akan dirasakan oleh seorang penguasa. Wallahu a’lam…

*Penulis adalah dosen pada Fakultas Eekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

Imam Malik merampungkan penulisan kitab ini selama kurun waktu sekitar 40 tahun.

Senin , 14 Oct 2019, 12:00 WIB

Blogspot.com

Hadist (ilustrasi).

Rep: Islam Digest Republika Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hadis adalah perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat yang berasal dari Rasulullah SAW. Kedudukan hadis dalam Islam adalah sebagai sumber hukum kedua yang terpenting setelah Alquran. Keterkaitan antara keduanya sangat erat dan tak bisa dipisahkan. Hadis menjelaskan hukum dan persoalan yang belum dijabarkan dalam Alquran secara jelas.

Dalam beberapa persoalan, hadis menghadirkan hukum tersendiri yang belum disebutkan dalam Alquran. Seperti hukum mengonsumsi hewan Jalalah atau binatang yang makan sehari-harinya adalah benda najis. Karena itulah, kedudukan hadis adalah sebagai penjelas dari Alquran.

Akan tetapi, seiring dengan pergulatan pemikiran akibat dari perluasan wilayah yang berimbas pada munculnya keberagaman pendapat, maka perbedaan pun tak dapat dihindari.

Setiap daerah memiliki corak dan metode pengambilan hukum masing-masing. Di daerah Hijaz termasuk Makkah dan Madinah misalnya, terkenal dengan corak periwayatan hadis yang sangat kental, sedangkan umat Islam yang berada di pusat pemerintahan, seperti Irak kala itu, lebih dekat dengan metode rasional.

Perbedaan tersebut akibatnya memicu pemahaman yang beragam tentang interpretasi teks, baik Alquran ataupun hadis. Kendati demikian, riuhnya perbedaan ini tak mengurangi minat para pengkaji hadis untuk menghasilkan pemikiran brilian yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu. Setidaknya, upaya tersebut berhasil dibuktikan oleh Abdullah bin Malik bin Anas bin Malik Al-Ashbahi (179 H).

Kehadiran tokoh asli Madinah Al-Munawwarah ini memengaruhi metode pemikiran keagamaan. Dalam fikih misalnya, corak pemikirannya senantiasa berdasarkan teks hadis yang menjadi karakternya. Setidaknya, buah pemikiran di bidang hadis-fikih tersebut tertuang secara apik dalam karya monumentalnya yang berjudul Al-Muwaththa’.

Inspirasi 

Adapun inspirasi yang mendasari Imam Malik menulis untuk Al-Muwaththa’ adalah permintaan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur. Tepatnya, ketika sang khalifah bertemu dengan Imam Malik dalam suatu musim haji. Setelah mengikuti majelis ilmu yang dipimpin langsung oleh Imam Malik, Abu Ja’far merasa takjub atas penguasaan hadis dan fikih pemuka Madinah tersebut. Lantas, terbesit di benak Khalifah agar Imam Malik berkenan membuat kumpulan hadis sahih yang membahas tentang hukum fikih dalam berbagai aspek, mulai dari ibadah, muamalah, munakahat (pernikahan), jinayat (pidana), dan lainnya.

Namun, Abu Ja’far memberikan standardisasi dan kriteria terpenting guna dijadikan acuan penulisan kitab nantinya. Standardisasi tersebut berkaitan dengan posisi perspektif fikih yang moderat. Yakni, tidak seperti Abdullah bin Umar yang condong kaku ataupun Abdullah bin Abbas yang terlampau menggampangkan maupun coraknya terlalu asing ala fikih Abdullah bin Mas’ud.

Dengan standardisasi itu, kitab tersebut bisa dijadikan sebagai acuan umum bagi umat Islam. Dan latar belakang inilah yang menjadi dasar penamaan kitab tersebut dengan nama Al-Muwaththa’ yang berarti rujukan.

Kendati permintaan tersebut datang dari seorang khalifah, Imam Malik tak langsung mengabulkannya. Sebab, dalam pandangan Imam Malik, masing-masing kelompok Muslim memiliki metode ijtihad dan rujukan tersendiri sehingga tak etis jika kemudian membatasi dan menyatukan pendapat-pendapat menjadi satu.

Meski demikian, pada akhirnya Imam Malik menerima masukan sang Khalifah dan lalu mengarang kitab yang dimaksud. Imam Malik merampungkan penulisan kitab ini selama kurun waktu sekitar 40 tahun. 

  • imam malik
  • kitab al-muwaththa

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA