Apa yang dimaksud ahlul kitab

Ada sekitar 173 ayat dalam Al-Quran di mana Allah menyebut kata Ahlul Kitab atau Ahli Kitab. Siapa yang dimaksud dengan Ahli Kitab dapat dilihat pada semua ayat-ayat tersebut. Ayat yang menyebut kata ahli kitab antara lain terdapat dalam QS Al Baqarah 2:105, 109; Ali Imran 3:64, 65 dan 69, dst.

Ahli Kitab secara etimologi berasal dari dua suku kata yaitu kata Ahli yang merupakan serapan dari bahasa Arab dan kitab. Kata ahl adalah bentuk kata benda (isim) dari kata kerja (fi’il) yaitu kata ahila–ya’halu–ahlan. Al-ahl yang bermakna juga famili, keluarga, atau kerabat. Adapun kata kitab atau al-kitab dalam bahasa Indonesia berarti buku, dalam arti yang lebih khusus yaitu kitab suci. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa ahlul kitab adalah ahli, yaitu orang-orang yang berpegang kepada kitab suci selain Al-Quran.

Sedangkan Ahli Kitab menurut terminologi adalah “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah)”. Diantara mereka adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Dinamakan ahlu al-kitab karena telah diberikan kepada mereka kitab suci oleh Allah SWT.

Dari pengertian secara etimologi maupun terminologi dapat dipahami bahwa ahli kitab atau ahlu al- kitab adalah bangsa Yahudi dan Nasrani. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam al Baidhawi ketika menafsirkan surat Al-Maidah ayat ke-5, beliau mengatakan bahwa ahli kitab mencakup orang-orang yang diberikan kepada mereka al Kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Sebab Yahudi dan Nasrani disebut sebagai Ahli Kitab karena Allah mengutus di tengah-tengah mereka nabi-nabi mereka yang membawa kitab suci masing-masing, walaupun mereka sendiri kemudian yang merubah isinya. Allah menurunkan kitab Taurat kepada nabi Musa As dan pengikut beliau yang merubah isi Taurat setelahnya dikenal sebagai Yahudi. Kemudian Allah menurunkan kitab Injil kepada nabi Isa As dan pengikut beliau yang merubah isi Injil disebut Nasrani. Mereka disebut Ahli Kitab karena kitab-kitab suci mereka sebelum mereka rubah isinya adalah turun dari Allah seperti Al-Quran.

Maka agama-agama selain Yahudi dan Nasrani seperti Hindu, Buddha, Majusi/Zoroastrianisme, Kong Hu Chu, Taoisme dan Shinto mereka tidak bisa disebut sebagai ahli kitab walaupun mereka memiliki kitab suci masing-masing. Hal ini dikarenakan kitab suci mereka bukan diturunkan oleh Allah akan tetapi mereka membuat sendiri yang disesuaikan dengan adat, tata krama dan filosofi masyarakat pada masa itu. Inilah yang menjadi pendapat Imam Syafi’i.

Jadi, pendapat yang paling umum dan populer mengenai ahli kitab adalah umat Nasrani dan Yahudi. Dalam Quran yang dimaksud ahli kitab termasuk juga Sabi’ah (QS Al-Baqarah 2:262) dan Majusi (QS Al Haj 22:17). Saat ini, agama samawi yang masih eksis selain Islam adalah Yahudi dan Kristen.

Pasca Tidak Orsinilnya Kitab dan Kepercayaan Mereka Apakah Hukum dan Status Masih Sama?

Pada titik inilah terjadi perbedaan kuat antara kelompok yang berpendapat bahwa syariat terkait ahli kitab tidak bisa berlaku kembali, karena ideologi dan isi kitab disinyalir telah dirubah dan dirombak total, dengan kelompok yang tetap ngotot bahwa hukum masih berlaku karena sebenarnya mereka sudah tidak orsinil sejak sebelum Muhammad SAW menjadi rasul.

Menarik untuk dikaji, bahwa golongan kedua yang berpendapat masih berlakunya hukum untuk mereka, berdalil dengan ayat:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ

Sungguh telah kafir orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu unsur dari trinitas. Padahal tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali satu tuhan. (QS. al-Maidah: 73).

Dari ayat ini diyakini bahwa kekafiran Ahli Kitab sudah diidentifikasi sejak zaman Rasulullah SAW karena perombakan yang mereka lakukan jauh-jauh hari sebelum Nabi Muhammad lahir.

Rabu , 15 Feb 2012, 15:52 WIB

reasonradionetwork.com

Ahlul Kitab (ilustrasi).

Red: Chairul Akhmad

REPUBLIKA.CO.ID, Ahl Al-Kitab artinya orang yang mempunyai kitab. Sebutan bagi komunitas yang memercayai dan berpegang kepada agama yang memiliki kitab suci yang berasal dari Tuhan selain Alquran. Pembicaraan tentang Ahlul Kitab dalam kajian fikih antara lain mengenai cakupan pengertiannya, hukum menikahinya, dan hukum memakan sembelihannya. Berdasarkan petunjuk Alquran, ulama tafsir dan fikih sepakat menyatakan komunitas Yahudi dan Nasrani adalah Ahlul Kitab, sedangkan komunitas lainnya diperselisihkan. Dengan kata lain, setiap Alquran menyebut istilah Ahlul Kitab dengan berbagai istilahnya, maka yang dimaksud adalah Yahudi dan Nasrani baik secara bersama-sama mapun secara terpisah. Alquran menyebut kaum Yahudi dan Nasrani dengan panggilan Ahlul Kitab untuk membedakan mereka dari kaum penyembah berhala.Mengenai hukum memakan binatang sembilihan Ahlul Kitab terdapat perselisihan pendapat di antara ulama fikih. Jumhur mufassir dan fukaha seperti Ibnu Abbas dan beberapa tokoh kalangan tabi'in seperti Ata bin Abi Rabah, Muhammadi bin Syihad Az-Zuhri, Amir bin Syurahil Asy-Sya'bi, dan Makhul bin Abu Muslim berpendapat, umat Islam boleh (halal) secara mutlak memakan sembelihan Ahlul Kitab.Sementara itu, terdapat juga sahabat seperti Aisyah binti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar (putra Umar bin Khathab), dan Tawus bin Al-Kaisan Al-Yamani, membolehkan memakan sembelihan Ahlul Kitab dengan ketentuan Ahlul Kitab yang dimaksud ketika menyembelih hewan menyebut nama Allah SWT. Jika ketika menyembelih hewan itu tidak disebut nama Allah SWT, maka haram memakan binatang sembelihan tersebut.Menikahi perempuan Ahlul Kitab. Sebagian besar sahabat Rasulullah, ahli tafsir, dan ulama fikih sepakat tentang kebolehan lelaki Muslim menikahi perempuan Ahlul Kitab, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. Pendapat mereka ini berdasarkan pada:1.    Firman Allah SWT dalam surat Al-Ma'idah ayat 5 yang secara tegas menghalalkan pernikahan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahlul Kitab.2.    Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 221 yang menetapkan keharaman menikahi perempuan musyrik (musyrikah), sementara firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 5 ditentukan menikahi perempuan Ahlul Kitab. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan antara status musyrikah dan Ahlul Kitab dan masing-masing mempunyai ketentuan sendiri, yakni haram mengawini perempuan musyrikah dan halal menikahi perempuan Ahlul Kitab.Kendatipun jumhur ulama tafsir dan fikih membolehkan perkawinan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahlul Kitab, ulama mazhab Hanafi, Syafi'i, dan sebagian ulama mazhab Maliki, memandang makruh laki-laki Muslim mengawini perempuan Ahlul Kitab yang berada di bawah lindungan pemerintahan Islam.Berbeda dengan pandangan di atas, Ibnu Umar tidak sependapat dengan para sahabat dan ulama yang membolehkan seorang Muslim mengawini perempuan Ahlul Kitab. Ia berpendapat bahwa Ahlul Kitab adalah bagian dari orang-orang musyrik. "Saya tidak tahu lagi adakah syirik yang lebih besar dari ungkapan seorang perempuan bahwa tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Allah," kata Ibnu Umar.Senada dengan pendapat Ibnu Umar di atas adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Melalui fatwanya, MUI melarang perkawinan antara orang mulim dan non-Muslim (baik Ahlul Kitab atau bukan Ahlul Kitab), baik laki-lakinya yang Muslim ataupun perempuannya yang Muslimah. Pertimbangan atau alasan dikeluarkannya fatwa MUI tersebut adalah untuk menghindari timbulnya keburukan/kerugian (mafsadat) yang lebih besar di samping kebaikan/keuntungan (maslahat) yang ditimbulkannya.

  • ensiklopedi hukum islam
  • ahlul kitab

sumber : Ensiklopedi Hukum Islam

Ahli Kitab secara etimologi berasal dari dua suku kata yaitu kata Ahli yang merupakan serapan dari bahasa Arab dan kitab. Kata ahl adalah bentuk kata benda (isim) dari kata kerja (Fi’il) yaitu kata ahila-ya’halu-ahlan. Al-Ahl yang bermakna juga famili, keluarga, kerabat. Ahl ar-rajul artinya adalah istrinya, ahl ad-dâr artinya penduduk kampung, ahl al-‘amr artinya penguasa, ahl al-madzhab artinya orang-orang yang beragama dengan mazhab tersebut, ahl al-wabar artinya penghuni kemah (pengembara), ahl al-madar atau ahl al hadhar artinya orang yang sudah tinggal menetap2.

Adapun kata Kitab atau Al-Kitab maka sudah masyhur di Indonesia yaitu bermakna buku, dalam makna yang lebih khusus yaitu kitab suci.

Dari pengertian di atas, kata ahl jika disambung dengan al-kitâb, tampaknya yang paling sesuai pengertiannya secara bahasa, adalah orang-orang yang beragama sesuai dengan al-Kitab. Dengan ungkapan lain, mereka adalah para penganut atau pengikut al-Kitab. Dalam Kamus Besar Bahasa ndonesia disebutkan bahwa ahlul kitab adalah ahli yaitu orang-orang yang berpegang kepada kitab suci selain al-Qur’an.

Sedangkan Ahli Kitab menurut terminology adalah “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah)”. Di antara mereka adalah Kaum Yahudi dan Nasrani. Dinamakan ahlu kitab karena telah diberikan kepada mereka kitab suci oleh Allah ta’ala.

Dari pengertian secara etimologi maupun terminology dapat dipahami bahwa ahli kitab atau ahlu kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam al Baidhawi ketika menafsirkan Surat Al-Maidah : 5 beliau mengatakan bahwa ahli kitab mencakup orang-orang yang diberikan kepada mereka al-Kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani. (Nashiruddin Abu Said Abdullah al-Baidhawi (w. 685 H), Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil Tafsir al Baidhawi, juz 2, hal. 48)

Meski Imam al-Syafi’i memberikan definisi yang lebih sempit lagi yaitu bahwa yang termasuk Ahli Kitab hanyalah pengikut Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil saja. (Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H), Al-Umm, (Baerut: Dar al-Ma’rifah, 1410 H), juz 4, hal. 193)  Ini berarti siapa saja yang masuk ke dalam agama Yahudi dan Nasrani yang berasal dari Bani Israil maka tidak bisa disebut sebagai ahli kitab.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab.” (QS. Ali Imron: 20)

Ayat ini ditujukan pada Ahli Kitab di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal ajaran ahli kitab yang hidup di zaman beliau sudah mengalami naskh wa tabdiil (penghapusan dan penggantian). Maka ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menisbatkan dirinya pada Yahudi dan Nashrani, merekalah ahli kitab.

Maka Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) pernah berkata:

Ayat “dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi kitab al-ayat” ini ditujukan kepada orang-orang yang ada di masa itu. Maksud kitab adalah kitab yang ada di tangan mereka yang sudah dirubah dan diganti. Ayat itu bukan ditujukan kepada mereka yang hidup sebelum Al-Qur’an diturunkan, karena mereka telah mati sebelumnya. Maka setiap orang yang beragama dengan berdasar kitab yang ada di tangan mereka maka disebut ahli kitab, meski kitabnya sudah dirubah-rubah. Mereka kekal di neraka karena kafir. Allah membolehkan mengambil jizyah dari mereka dan membolehkan memakan sembelihan dan menikahi perempuannya. (Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), al-Fatawa al-Kubra, (Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1408 H), juz 1, hal. 171)

Kafirkah Ahli Kitab?

Kafirnya Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani telah menjadi ijma’ kaum muslimin. Ia adalah pendapat dari para ulama baik salaf maupun khalaf, hal ini didasarkan kepada beberapa firman Allah ta’ala, di antaranya adalah :

Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (Q.S. Al-Bayyinah : 1)

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan:

Adapun ahli kitab mereka adalah Yahudi dan Nasrani, sedangkan musyrikun yaitu mereka yang menyembah berhala dari kalangan arab dan juga ‘ajam(selain arab). (bnu Katsir Ismail bin Umar, Tafsir Ibnu Katsir, (Baerut: Dar at-Thaibah, 1420 H), juz 8, hal. 456)

Ahli Kitab dalam ayat ini diapahami sebagai yahudi dan Nasrani, pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Qurthubi yang menyebutkan bahwa ahlu kitab yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Beliau menyebutkan:

Ahli kitab yaitu Yahudi dan Nashrani, kata “musyrikin” itu dibaca jarr athaf kepada Ahli Kitab. (Al-Qurthibi Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad (w. 671 H), Tafsir al-Qurthubi, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiyyah, 1384 H), juz 20, hal. 140)

Dari sini tersirat bahwa ahli kitab yang terdiri dari Yahudi dan Nasrani adalah kafir. Kekafian mereka disebabkan keyakinan mereka yang menganggap bahwa Tuhan itu memilik anak. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. At-Taubah : 30).

Dalam pandangan Islam, status Ahlul Kitab jelas termasuk kategori kufur. Menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H) kufur berarti pendustaan terhadap Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya. (Abu Hamid al-Ghazali, Fayshol al-Tafriqah Baina al-Islam wa al-Zandaqah, (T.t, cet. I, 1992), hal. 25)

Ada beberapa kelompok yang menyatakan bahwa tidak ada dalam Al-Qur’an ayat yang secara tegas menyebutkan bahwa mereka itu kafir. Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang Yahudi dan Sabiin dan Nasrani, barang siapa beriman kepada Allah, hari akhir dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.’ (Q.S. Al-Ma’idah, 69)

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. QS Al-Baqarah : 62.

Menurut orang-orang yang mengaggap bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidak kafir, ayat ini jelas-jelas menunjukan bahwa ketika mereka berbuat baik juga akan mendapatkan pahala dari sisi Allah ta’ala dan mereka tidak bersedih hati.

Padahal para mufasirin menyebutkan bahwa ayatini berbicara tentang ahli kitab sebelum kedatangan nabi di mana mereka mengamalkan semua yang ada di dalam taurat dan Injil ketika belum banyak terjadi perubahan.

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam”. Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?” Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. QS Al-Maidah : 17

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun. QS Al-Maidah : 72.

bnu katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa Allah ta’ala telah menghukumi mengenai kafirnya kaum Nasrani dari golongan Ya’qubiyyah dan Nasturiyyah, dll.

Ayat ini menjelaskan kepada kita mengenai kafirnya orang-orang yang mendakwahkan diri bahwa Isa adalah putra Tuhan. (Ibnu Katsir Ismail bin Umar, Tafsir Ibnu Katsir, (Baerut: Dar at-Thaibah, 1420 H), juz 8, hal. 456)

Walaupun sebab turunnya ayat berkenaan dengan golongan Ya’qubiyyah dan Nasturiiyah namun keyakinan ahli kitab saat ini memang demikian, yaitu meyakini bahwa Isa adalah putra tuhan. Atau dikatakan doktrin trinitas.

Sumber:
Hanif Luthfi, Lc., MA., Hukum Fiqih Seputar Ahli Kitab, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA