Apa adakah undang undang tentang penanaman ganja di aceh

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) akan melakukan kajian kembali soal penetapan ganja (Cannabis sativa) sebagai tanaman obat dengan melibatkan beberapa pemangku kepentingan terkait.

Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Tommy Nugraha mengatakan penetapan tersebut termuat dalam Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) No. 104/2020. Adapun, saat ini beleid sudah dicabut untuk sementara.

"Kami akan kaji kembali Kepmentan itu dan segera dilakukan revisi berkoordinasi dengan stakeholder terkait [Badan Narkotika Nasional, Kementerian Kesehatan, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia]," kata Tommy dalam siaran pers, Sabtu (29/8/2020).

Baca Juga : Aturan Soal Ganja Jadi Tanaman Obat Dicabut Sementara

Dia menuturkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo konsisten dan berkomitmen mendukung pemberantasan penyalahgunaan narkoba.

Pihaknya menyebutkan komitmen Mentan dalam hal ini di antaranya memastikan pegawai Kementan bebas narkoba, serta secara aktif melakukan edukasi bersama Badan Narkotika Nasional (BNN) terkait dengan pengalihan ke pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, pada daerah-daerah yang selama ini menjadi wilayah penanaman ganja secara ilegal.

Pihaknya memberikan penjelasan bahwa ganja adalah jenis tanaman psikotropika dan selama ini telah masuk dalam kelompok tanaman obat sejak 2006 dengan Kepmentan No. 511/2006. Pada 2006, pembinaan yang dilakukan adalah mengalihkan petani ganja untuk bertanam jenis tanaman produktif lainnya, dan memusnahkan tanaman ganja yang ada saat itu.

Baca Juga : Geger! Ganja Jadi Tanaman Obat, Kementan Beri Klarifikasi

"Pengaturan ganja sebagai kelompok komoditas tanaman obat, hanya bagi tanaman ganja yang ditanam untuk kepentingan pelayanan medis dan atau ilmu pengetahuan, dan secara legal oleh UU Narkotika," ujarnya.

Dia menambahkan saat ini belum dijumpai satu pun petani ganja yang menjadi petani legal, dan menjadi binaan Kementan. Pada prinsipnya Kementerian memberikan ijin usaha budidaya pada tanaman sebagaimana dimaksud pada Kepmentan No. 104/2020, tetapi dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Menurutnya, penyalahgunaan tanaman menjadi bagian tersendiri dan tentunya ada pengaturannya tersendiri. Dalam Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang No. 13/2010 tentang Hortikultura menyebutkan budidaya jenis tanaman hortikultura yang merugikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :


Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :

ganja kementan

Ladang ganja ditemukan subur di pebukitan Dusun Alue Garot, Desa Teupin Reusep, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara. (Foto: KBR/Erwin Jalaluddin)

KBR, Jakarta - Badan Narkotika Nasional (BNN) berencana mengalihfungsikan ladang tanaman ganja di Aceh menjadi lahan produktif.

Direktur Narkotika Deputi Pemberantasan BNN, Aldrin Hutabarat mengatakan, alih fungsi lahan itu akan dilakukan dengan membudidayakan tanaman komoditas seperti jambu, kopi, jagung dan sayur-mayur. Untuk melaksanakan rencana alihfungsi lahan atau Grand Design of Alternative Development (GDAD) itu, BNN bersama unsur terkait, akan lebih dulu melakukan pendekatan kepada masyarakat.

”Program nasional di Badan Narkotika Nasional itu ada namanya Grand Design of Alternative Development (GDAD), itu nanti akan dialihfungsikan. Dialifungsikan maksudnya adalah bahwa yang awalnya ditanami tanaman terlarang yaitu ganja, nanti dialihfungsikan ke tanaman yang bermanfaat. Misalnya, tanaman produktif seperti jagung, kopi dan lain-lain sebagainya, ” kata Aldrin Hutabarat kepada KBR, Kamis (9/9).

Baca juga: Pemerintah Didesak Buat Aturan Pemanfaatan Ganja untuk Medis

Baca juga: BNN Bakar 2 Hektare Ladang Ganja di Aceh Utara

Aldrin juga mengingatkan masyarakat, jangan menanam tanaman ganja karena dapat dipidana dengan Undang-undang Narkotika. Sanksi hukumannya bisa penjara seumur hidup atau hukuman mati.

Sejak Januari hingga Agustus kemarin, BNN sudah memusnahkan sejumlah ladang ganja di beberapa kabupaten-kota di Aceh. Misalnya di Aceh Besar, Nagan Raya, dan Aceh Utara.

Editor: Fadli Gaper

Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah sempat memunculkan harapan pemanfaatan ganja sebagai alternatif medis usai Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menetapkan tanaman ganja sebagai salah satu tanaman obat komoditas binaan Kementerian Pertanian.

Ketetapan itu termaktub dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang ditandatangani Menteri Syahrul sejak 3 Februari lalu.

Dalam Kepmen tersebut ganja masuk dalam lampiran jenis tanaman obat yang dibina oleh Direktorat Jenderal Hortikultura. Setidaknya total ada 66 jenis tanaman obat yang dibina Ditjen Hortikultura. Selain ganja, jenis tanaman obat lain yang dibina antara lain kecubung, mengkudu, kratom, brotowali, hingga purwoceng.


Kendati demikian, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Tommy Nugraha Kementan mengatakan, bahwa sebelumnya pihaknya telah menjadikan komoditas ganja sebagai salah satu tanaman binaan sejak 2006 lalu, kala pemerintah gencar menggalakkan kegiatan anti narkoba.

Menurut Tommy, saat itu Kementan mulai mengajak petani ganja di Aceh beralih menanam komoditas lain, salah satunya komoditas pisang. Pada 2006, pembinaan yg dilakukan adalah mengalihkan petani ganja untuk bertanam jenis tanaman produktif lainnya, dan memusnahkan tanaman ganja yang ada saat itu.

Peraturan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 Tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, dan Direktorat Jenderal Hortikultura.

Namun, Tommy menegaskan bahwa aktivitas tersebut tak ada sangkut pautnya dengan status legalisasi ganja secara hukum. Sebab, Permentan tersebut hanya digunakan di kalangan Kementan untuk pembinaan petani yang masih menanam ganja.

Tak berselang lama, Sabtu (29/8) lalu, Menteri Syahrul mencabut aturan yang telah ia buat sebelumnya. Syahrul mengatakan pihaknya bakal mengkaji dengan berkoordinasi bersama Badan Narkotika Nasional RI (BNN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Ladang ganja tersembunyi di balik hutan pegunungan Desa Lambada, Aceh. Foto: CNN Indonesia/Gilang Fauzi

Keputusan Syahrul tersebut menuai ragam kritik dari publik, salah satunya dari Komunitas Advokasi dan Kampanye Aksi Keadilan Indonesia (AKSI). Mereka mengaku kecewa atas keputusan kementan yang mencabut kembali aturan yang menetapkan ganja sebagai salah satu tanaman binaan.

Koordinator AKSI Yohan Misero menyayangkan keputusan pembatalan dari Syahrul. Dia menganggap penetapan ganja sebagai tanaman binaan dapat menunjukkan gambaran sikap progresif Pemerintah terhadap kebutuhan pengobatan masyarakat.

Pasalnya, ia menilai regulasi narkotika Indonesia yang ketat memiliki banyak dampak buruk, baik secara sosial, anggaran, hak asasi manusia, serta kesehatan masyarakat.

"Harapan kami agar kementerian/ lembaga lain justru berusaha untuk merespons Kepmentan ini dengan sikap yang lebih suportif. Toh, Kepmentan ini tidak serta merta mengubah lanskap regulasi narkotika di Indonesia karena butuh perubahan mendasar di UU Narkotika dan/atau Peraturan Menteri Kesehatan terkait penggolongan," kata Yohan.

Senada, pemerhati ganja asal Aceh Syardani M Syariaf alias Tgk Jamaica pun turut meminta pemerintah mesti melihat sisi manfaat dari tanaman ganja baik dari sisi medis maupun untuk kuliner.

Menurutnya selama ini Indonesia masih impor sebanyak 92 persen bahan baku obat-obatan, dan ia menduga di dalamnya juga termasuk dari bahan baku ganja. Untuk itu ia minta Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan peninjauan kembali terhadap UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

"Kalau bisa UU itu direvisi supaya ganja dikeluarkan dalam daftar narkotika golongan I. Sehingga ganja akan dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia," katanya.

Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja sendiri tergolong narkotik golongan I bersama dengan sabu, kokain, opium, heroin. Izin penggunaan terhadap narkotika golongan I hanya dibolehkan dalam hal-hal tertentu. Dan di luar itu, maka dianggap melanggar hukum alias ilegal.

Selain itu, UU Nomor 35/2009 juga melarang konsumsi, produksi, hingga distribusi narkotika golongan I. Kemudian, setiap orang yang memproduksi atau mendistribusikan narkotika golongan I diancam hukuman pidana penjara hingga maksimal seumur hidup atau hukuman mati. Sementara bagi penyalahguna narkotika golongan I diancam pidana paling lama 4 tahun.

Regulasi tersebut juga menoreh beberapa kasus penggunaan ganja untuk medis di Indonesia. Belum lama ini, Reyndhart Rossy Siahaan dijatuhi vonis 10 bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) terkait penggunaan ganja pada 22 Juni lalu.

Dalam kasus ini, Rossy ditangkap pada 17 November 2019 oleh Polda NTT, setelah diduga menggunakan narkoba jenis ganja untuk mengobati penyakitnya. Ia meminum air rebusan ganja untuk mengobati penyakit gangguan saraf terjepit yang dideritanya sejak 2015.

Warga asli Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur itu ditangkap di indekosnya Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Dalam penangkapan itu, polisi menyita barang bukti berupa paket ganja seberat 428,26 gram yang diterima dari jasa pengiriman logistik.

Selain itu, polisi juga menemukan paket ganja seberat 2,528 gram di saku celana Rossy. Rossy kemudian dinyatakan positif mengonsumsi ganja berdasarkan tes urine dan uji laboratorium di BPOM Kupang.

Tak hanya Rossy, kasus serupa pernah dialami oleh Fidelis Arie Suderwato. Ia pun sempat divonis delapan bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat, pada 28 Februari 2017 lalu. Fidelis terbukti bersalah menanam dan memiliki 39 batang ganja, meski untuk pengobatan penyakit langka yang diderita istrinya, Yeni Riawati.

Adapun vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa yang menuntut lima bulan penjara dan denda Rp 800 juta subsider satu bulan kurungan. Jaksa menjerat Fidelis dengan Pasal 111 ayat 2 Undang-undang Narkotika. Pasal itu mengatur tentang pidana minimum 5 tahun penjara.

Atas polemik kasus medis ganja ini, Koalisi Masyarakat Advokasi Penggunaan Narkotika terus mendesak Pemerintah untuk segera mereformasi kebijakan narkotika Indonesia dalam rangka memberi ruang pada pemanfaatan narkotika untuk kepentingan medis, terkhusus ganja.

Pasalnya proses hukum dalam kasus ganja medis ini disebut telah mencederai hak atas kesehatan yang dijamin konstitusi dan undang-undang. Sebab hingga saat ini Pemerintah pun belum mengakomodasi pengobatan secara menyeluruh.

Sedangkan hak atas pelayanan kesehatan warga telah dijamin UU HAM nomor 39/1999 dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia.

Berkaca pada kasus-kasus yang dialami Rossy dan Fidelis, Pemerintah pun didorong dapat mengembangkan pengetahuan melalui riset terkait hal itu. Dan meninjau ulang kebijakan narkotika Indonesia untuk membuka akses dan menjamin ketersediaan narkotika golongan I bagi pemenuhan hak atas kesehatan rakyat Indonesia.

(khr/gil)

[Gambas:Video CNN]

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA