Yang bukan termasuk jumlah maksimal wasiat dari keseluruhan harta adalah

Untuk menjawab pertanyaan Anda ini, kami akan menggunakan dua perspektif, yaitu perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan perspektif hukum Islam.

Perspektif Hukum Islam

Dalam perspektif hukum Islam, wasiat pada dasarnya boleh diberikan kepada siapapun. Wasiat bertujuan sebagai pemberian dari pewasiat kepada penerima wasiat.

Bedanya dengan hibah, wasiat diserahterimakan pada saat pewasiat telah meninggal dunia. Perbedaan lainnya adalah wasiat pada dasarnya memiliki batas maksimal sepertiga (1/3) dari harta warisan, sedangkan hibah tidak ada batasan demikian.

Pasal 194 Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) mengatur bahwa:

  1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.

  2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

  3. Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

Terkait penerimanya, para ulama umumnya sepakat bahwa wasiat tidak dapat diberikan kepada ahli waris. Yang dimaksud dengan ahli waris di sini adalah mereka yang mendapatkan bagian warisan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.

Sebagai contoh, Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh us Sunnah menerangkan ada tiga syarat orang yang berhak menerima wasiat, salah satunya yaitu dia bukan ahli waris.

Sedangkan dalam KHI, wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. Pernyataan persetujuan tersebut dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan notaris.[1]

Perlu untuk diingat bahwa wasiat tidak menyebabkan penerima wasiat berubah menjadi ahli waris. Wasiat tidak bisa dijadikan alasan menetapkan seseorang menjadi ahli waris.

Dari uraian di atas, menurut hemat kami, ketentuan hukum Islam pada dasarnya membolehkan Anda memberikan wasiat kepada pacar Anda. Namun demikian, jumlahnya tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) dari harta warisan Anda.

KHI sendiri sebenarnya membolehkan wasiat senilai lebih dari sepertiga (1/3) harta warisan. Namun demikian, hal ini membutuhkan persetujuan ahli waris.[2]

Baca juga: Wasiat Dalam Waris Islam

Perspektif KUH Perdata

Berbeda dengan hukum Islam, dalam KUH Perdata, wasiat dapat menetapkan seseorang sebagai ahli waris. Wasiat juga dapat dijadikan sebagai pemberian saja, biasanya disebut hibah wasiat.

Pasal 957 KUH Perdata menguraikan bahwa:

Hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dan macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya.

Soebekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata menguraikan bahwa wasiat model seperti ini disebut legaat, yaitu pemberian kepada seseorang berupa:

  1. satu atau beberapa benda tertentu;

  2. seluruh benda dari satu jenis atau satu macam;

  3. hak atas sebagian atau keseluruhan warisan;

  4. suatu hak lain terhadap budel, seperti hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari budel.

Pemberian wasiat kepada pacar juga dibolehkan menurut KUH Perdata. Kebolehan ini selama tidak melanggar ketentuan seperti tidak boleh lompat tangan (fidei-commis) dan tidak boleh memberikan wasiat kepada pasangan zinanya.

Hal ini sesuai ketentuan Pasal 909 KUH Perdata, yang berbunyi:

Pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan, tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dari wasiat kawan berzinanya, dan kawan berzina ini tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dan wasiat pelaku, asal perzinaan itu sebelum meninggalnya pewaris, terbukti dan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Baca juga:

Pembatasan-pembatasan dalam Membuat Surat Wasiat

Hubungan Wasiat dengan Surat Wasiat

Demikian jawaban kami, semoga bemanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

  1. Sayyid Sabiq. Fiqh us Sunnah. Mesir: al-Fath lil I’lam al-‘Arabi. 2004.

  2. Soebekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Internusa. 2003.

[1] Pasal 195 ayat (3) dan (4) KHI

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Menurut pandangan Islam, wasiat tidak sekadar menyangkut masalah harta benda. Dalam makna luas, wasiat juga berkaitan dengan pesan-pesan moral kepada umat manusia. Di dalam Alquran, Allah SWT sendiri telah mengingatkan agar orang-orang beriman senantiasa berwasiat dalam kebajikan dan kesabaran (QS al-Ashar [103]: 3).

Dalam pengertian khusus, wasiat juga diartikan sebagai pesan yang disampaikan orang yang hendak meninggal dunia. Pakar konsultasi syariah Aris Munandar, dalam tulisannya Serba Serbi Wasiat dalam Islam menuturkan, wasiat jenis ini dibagi menjadi dua kategori.

Yang pertama adalah permintaan orang yang akan meninggal kepada orang-orang yang masih hidup untuk melakukan suatu pekerjaan. “Misalnya, membayarkan utang, memulangkan barang-barang yang dipinjam atau merawat anak,” ujar Munandar mencontohkan.

Kedua, kata dia, wasiat bisa pula berbentuk harta benda yang ingin diberikan kepada orang atau pihak tertentu. Wasiat semacam ini dilaksanakan setelah si pembuat wasiat meninggal dunia.

Ada beberapa syarat sah dalam berwasiat. Pertama, orang yang diberi wasiat haruslah seorang Muslim dan berakal sehat. Syarat ini penting agar amanah dalam wasiat bisa terlaksana dengan baik. Kedua, orang yang berwasiat juga mesti berakal sehat dan memiliki harta yang akan diwasiatkan.

Selanjutnya, tidak boleh berwasiat dalam hal yang haram, misalnya, meminta agar sebagian hartanya diberikan kepada gereja atau dipergunakan untuk membiayai kegiatan maksiat. “Keempat, orang yang diberi wasiat bersedia menerima wasiat. Jika dia menolak maka wasiat itu batal dan setelah penolakan orang tersebut tidak berhak atas apa yang diwasiatkan,” imbuh Munandar.

Dalam ketentuan hukum Islam, orang memiliki ahli waris dilarang mewasiatkan lebih dari sepertiga harta yang dimilikinya. Sementara, orang yang sama sekali tidak memiliki ahli waris diperbolehkan untuk berwasiat dengan seluruh hartanya.

“Wasiat dengan lebih dari sepertiga boleh saja dilaksanakan jika seluruh ahli waris menyetujui dan tidak mempermasalahkan keinginan si pembuat wasiat tersebut,” ujar Munandar lagi.

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Article Information

Source : Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam

Issue : Vol 9, No 2 (2017)

Publisher : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

DOI : 10.14421/ahwal.2016.09203

Testament is a problem that can be found in all societies. The differences are related to what form of sentences of the testament is, when the testament is uttered, how many testaments are, and who gets the testament. In the Western law, someone may give a testament to a person or an institution with the total amount of his inheritance. This can make the family or the heirs do not get the inheritance, so that the family relationship will become unharmonious. In the traditional society in Indonesia, there is no limit of how many testaments are allowed to give. Parents usually divide the inheritance to their children while they are still alive so that there will be no broken relationship within the family. In Islam, a testament is allowed for the family members or others who are not the family members. The maximum limit of testament in general is 1/3 of the inheritance. A testament for others does not absolutely need the heirs’ permission. It will be different if the testament is for the heirs; it is only allowed when the other heirs permit. The hindered heir (if the member of the family is not Moslem) can get a part of the inheritance by the ‘wajibah’ testament. This provision indicates the importance of family relations and the realization of justice, because all can get the inheritance from the testate. [Wasiat merupakan persoalan yang hampir ada pada semua masyarakat. Perbedaan yang ada terkait bentuk kalimat wasiat, waktu pengucapan wasiat, jumlah wasiat, dan siapa yang mendapatkan wasiat. Dalam hukum Barat, terdapat wasiat yang diberikan oleh pewasiat kepada seseorang atau lembaga dengan jumlah keseluruhan harta. Hal ini membuat keluarga atau ahli waris tidak mendapat harta warisan, sehingga hubungan kekeluargaan menjadi tidak harmonis. Dalam masyarakat adat Indonesia, tidak ada batasan berapa jumlah wasiat yang diperbolehkan. Orang tua biasanya membagi harta kepada anak-anaknya ketika masih hidup agar nantinya tidak terjadi perpecahan dalam keluarga. Dalam Islam, wasiat diperbolehkan untuk orang lain atau untuk anggota keluarga. Batasan maksimal wasiat secara umum adalah 1/3 dari harta peninggalan. Wasiat untuk orang lain tidak harus dengan izin ahli waris. Hal ini berbeda dengan wasiat untuk ahli waris, baru diperbolehkan apabila ahli waris lain mengizinkan. Adapun ahli waris yang terhalang, maka bisa mendapatkan bagian dari harta peninggalan dengan cara wasiat wajibah. Ketentuan ini menunjukkan pentingnya hubungan keluarga dan terwujudnya keadilan karena semuanya bisa mendapatkan harta dari peninggalan pewasiat/pewaris.]

View Original Download PDF

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA